KAJIAN ISLAM DAN KARYA PENA

KAJIAN ISLAM YANG MEMUAT HAL-HAL BERKAITAN TENTANG PENGETAHUAN ISLAM BAIK SADURAN ATAU KARYA ASLI. BAIK HAL AKIDAH, MUAMALAT, FIKIH ATAUPUN TASKIYATUN NUFS (PENYUCIAN HATI)

JUGA KARYA PENA UMUM BERUPA PUISI CERPEN DAN KARANGAN ATAU ILMU PENGETAHUAN UMUM DAN PENELITIAN ILMIAH

Sabtu, 02 Juli 2011

CAHAYA MEDIA DALAM PENDIDIKAN


CAHAYA MEDIA DALAM PENDIDIKAN

Segala Puji Bagi Allah Yang Maha Mengetahui. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah Muhammad beserta keluarga, para sahabat dan ummat Beliau yang tetap setia kepada sunnah dan ajaran Allah yang telah Beliau sampaikan dengan selengkap-lengkapnya. Amma ba’d.

Sebelum dituliskan artikel ini ada beberapa pesan yang perlu disampaikan. Artikel ini hanyalah retorika semata, dalam penulisannya terlalu cepat dan tidak terkonsep dalam bentuk kerangka yang sistematis karena ada beberapa pertimbangan. Beberapa sumber tidak disebutkan secara eksplisit dan retorika ini diharapkan bisa memberikan dan membuka alur pikir sesuai dengan kondisi dan keruwetan negeri saat ini. Marilah kita simak retorikan yang ‘sedikit’ dibuat ruwet ini agar pembaca pun bisa sedikit berpikir dan memberikan argument yang tepat dalam kondisi yang demikian absurd:

Pendidikan di Indonesia khususnya Sekolah Dasar akhir-akhir ini tercoreng. Berawal dari kasus pembocoran jawaban ujian pada UNAS tingkat SMA di beberapa wilayah dan berakhir dengan perintah guru kepada beberapa siswa-siswi yang pandai untuk memberikan contekan masal kepada siswa yang lain di tingkat Sekolah Dasar. Kejujuran seakan-akan telah sirna di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya dilakukan secara sporadik dan sembunyi-sembunyi akan tetapi telah dilakukan secara masal dan dengan sistem yang terencana.

Apakah memang hal ini adalah suatu hal yang telah diseting ataukah memang hal ini adalah murni kesalahan guru-guru sekolah itu?

Media merupakan sarana efektif untuk melakukan setting pengurangan kejujuran disamping juga sistem pendidikan yang penuh dengan suasana berlebihan dalam menyikapi suatu hal. Pembahasan kali ini adalah dibatasi oleh sikap dan situasi media dalam memegang peranan komunikasi media pendidikan di Indonesia.

Pentingnya Media Sebagai Sarana Komunikasi Pendidikan yang Efektif
Media merupakan suatu sarana komunikasi efektif untuk mensosialisasikan program pendidikan maupun situasi pendidikan terkini di Indonesia. Tanpa adanya peran media, program komunikasi tidak akan dikenal masyarakat luas di negeri ini, begitupula tenaga pendidiknya tidak dapat secara tanggap melakukan perubahan pada proses pembelajaran baik di kelas maupun di lapangan.

Maka dari itu, fasilitas media pendidikan sangat perlu untuk dikembangkan dan dibina agar terbentuk sinkronisasi antara program-program pendidikan yang dibentuk lembaga pendidikan yang berwenang dengan pakar pendidikan seperti guru serta stake holders seperti orang tua/wali murid dan siswa itu sendiri.

Media yang tidak terkontrol dapat menyebabkan proses pendidikan mengalami hambatan dan bahkan bisa mengacaukan program-program yang ada. Media juga dapat berubah menjadi virus yang mematikan yang melahap perencanaan-perencanaan pendidikan, bahkan pembangunan dalam bidang pendidikan tidak akan bisa melaju atau bisa dikatakan berjalan di tempat, karena peran media yang memberikan kritikan-kritikan tajam terkadang tidak pada tempatnya dan media terkesan hanya menyampaikan pendapat-pendapat masyarakat tanpa melakukan cross check terlebih dahulu. Akibatnya pembangunan dalam hal pendidikan tersebut seringkali membangkitkan kritikan-kritikan masyarakat dan menjadikan masyarakat merasa pesimis anak-anak mereka bisa berkembang dengan program, sistem dan metode pendidikan yang saat ini dikembangkan pemerintah. Reaksi masyarakat ini tentu saja berdampak pada sulitnya perjalanan pembangunan pendidikan di Indonesia, karena pihak berkepentingan yang paling utama dan menentukan dalam proses pembangunan pendidikan adalah masyarakat.

Media bisa saja menjadi agen pembangunan tatkala benar-benar obyektif dalam perannya sebagai penyampai realita ke masyarakat, pembangunan justru akan semakin cepat berjalan, karena tentu krtitikan-kritikan itu akan menjadi cambuk bagi pihak-pihak eksekutif dalam membangun program dan sistem pendidikan, obyektifitas media itu tentu saja bukan hanya kritik kosong akan tetapi mengandung saran dan ide-ide untuk kebaikan kedepan. Karena tentu saja suatu metode pendidikan yang dibangun tidak sepenuhnya buruk namun tidak sepenuhnya pula baik (ini memandang realita pada negara demokratis seperti Indonesia saat ini), maka tentu saja dalam membangun sistem pendidikan itu adalah mengambil yang terbaik dalam beberapa metode yang pernah diterapkan oleh para peneliti.

Secara idealis sistem pendidikan yang paling baik adalah sistem pendidikan yang merujuk pada Al-Qur’an teknik secara global dan As-Sunnah dengan gambaran teknis yang lebih detail, namun Islam tidak menafikkan adanya sistem pendidikan yang lain dimana sistem ini diterapkan sesuai dengan perkembangan jaman saat ini (tentu saja selama tidak melanggar ketentuan syariat). Akan tetapi saat ini, realitas yang terjadi di Indonesia bukanlah seperti itu walau kedepan insya Allah syariat benar-benar bisa diterapkan akan tetapi hal itu memerlukan tahapan-tahapan yang ada, terlebih saat ini intervensi pendidikan dari “pihak asing” betul-betul mencengkeram hebat untuk mengarahkan pemikiran anak didik ke arah materialistik dan kepitalistik. Pembahasan kita kali ini tidaklah terkonsentrasi kepada hal ini, tetapi terkonsentrasi ke arah peranan media. Yang menjadi pertanyaan adalah apa hubungan antara media, pendidikan dengan kondisi negeri saat ini? Jawaban yang lebih sederhana adalah, media harus pandai menempatkan dirinya dalam perannya di bidang pendidikan, media haruslah obyektif dalam mengambil berita dan media tidak hanya berfungsi sebagai sarana menyuarakan fakta dan pendapat saja, akan tetapi juga berfungsi sebagai detektif informasi dan yang paling penting adalah penetralisir masalah. Manajemen konflik media seharusnyalah dipelajari dan diterapkan, karena dengan media masalah itu bisa meletup, masalah itu bisa diredam dan masalah itu bahkan bisa diselesaikan.

Media dan Kasus Kejujuran
Kasus kejujuran yang mencuat pada bidang pendidikan (khususnya) di negeri ini adalah tidak lepas dari peran media itu sendiri. Secara psikologis, media sangat besar peranannya dalam mencetak sektor psikologis masyarakat secara luas tanpa memandang profesi dan pangkat mereka, baik sebagai Presiden, Jenderal, Kepala Sekolah, Guru, Siswa bahkan tukang sapu jalanan pun dapat terpengaruh oleh media. Betapa tidak, karena secara sederhana dan terus terang saja orang saat ini lebih menyukai Koran dari pada Qur’an, akan tetapi Koran saat ini hampir tidak ada bahkan mungkin tidak ada yang menyitir ayat-ayat Al-Qur’an kecuali hanya sebagai pelengkap berita. Andaikan ada Koran yang menyediakan sarana dakwah pun, itu tak lepas dari pemberitaan resensi buku dan itu pun perlu diperhatikan lebih lanjut, apakah buku itu relefan mengajarkan kerangka pikir Al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemikiran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya ataukah kerangka pikir ro’yu (akal) semata?

Singkatnya, peranan media tidak lepas dari peranan pembentukan psikologis masyarakat saat ini, ironisnya psikologis media tak lepas dari monetary politic dan faktor kepentingan yang sangat mengikat. Sehingga pada ujungnya, masyarakat negeri ini (khususnya) secara psikologis dibentuk dari proses pemikiran yang menyatakan “Uang adalah Segalanya”. Apakah semboyan ini adalah landasan dasar sejak jaman dahulu?

Pendidikan adalah Pintu Gerbang Mencari Uang (Konspirasi Media)
‘Uang adalah segalanya’ hanyalah semboyan, sedangkan hakikat semboyan adalah suatu alat bantu yang dapat memotivasi diri untuk meraih tujuannya. Semboyan ini sangat membantu untuk mewujudkan pembangunan kesejahteraan baik individu maupun masyarakat, namun bisa menjadi sangat berbahaya bila semboyan digunakan sebagai alat propaganda untuk merusak suatu tatanan sosial.

Bila kita melihat fakta sejarah pada masa penjajahan Belanda, guru dari kalangan pribumi sangat dihormati. Khususnya setelah sumpah pemuda tahun 1924 dilaksanakan dan proses pergerakan untuk menuju kemerdekaan Indoensia diupayakan. Ki Hajar Dewantoro menjadi ikon pahlawan pendidikan karena berani memberikan pendapatnya menyangkut ketidakadilan pendidikan yang diterapkan Belanda serta aplikasi beliau dalam membangun Taman Siswa yang dibangunnya. Begitupula Kartini dalam bukunya yang terkenal menyatakan, bahwa kaum perempuan seakan-akan dimarjinalkan dalam hal ilmu, seakan-akan wanita tidak boleh lebih berpendidikan dan tidak boleh lebih mengetahui dunia luar daripada laki-laki, pribumi adalah kaum lebih rendah dari Noni dan Tuan Belanda. Dari ide, saran dan kritik merekalah muncul banyak profesi guru dan guru sangat dihormati pada jaman pergerakan kemerdekaan Indonesia dan jaman mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ternyata mereka menjadi sosok yang dikenal banyak kalangan karena mereka memanfaatkan media yang ada dan selaras dengan tujuan dan cita-cita rakyat Indonesia yang luhur saat itu.

Dari sisi lain, peran guru sangat dihormati karena masyarakat mengetahui dan memahami bahwa peranan guru adalah mendidik para siswa untuk meraih tujuan utama dan meraih cita-cita warga negara Indonesia, yaitu kemerdekaan dan kesejahteraan rakyat. Guru pun mendidik dengan orientasi yang sangat mulia, yaitu mencetak generasi penerus yang berilmu, disiplin dan berakhlak agar kelak mereka memahami pentingnya kemerdekaan dan pembangunan. Gaji seorang guru pada masa itu adalah anak didik yang berhasil dalam hal ilmu dan akhlak, agar kelak sang anak dapat memberikan kontribusi besar bagi kemaslahatan dan kesejahteraan ummat.

Guru jaman dahulu memiliki cita-cita yang satu dengan masyarakat yaitu bisa merdeka, kemudian membangun negeri dan mempertahankan kemerdekaan, hanya saja guru memang melakukan perjuangan dengan apa yang bisa mereka lakukan yaitu mendidik anak bangsa. Guru memahami bahwa pembangunan diperlukan suatu perjuangan dan modal yang tidak sedikit, selain kepandaian kedisiplinan, akhlak yang baik serta kerja keras merupakan modal utama bagi anak bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan dan membangun bangsa ini. Landasan pemikiran guru jaman dahulu bukan tanpa alasan, mereka (guru yang pernah sekolah di Belanda dan STOVIA) melihat bahwa Belanda bisa maju dan memiliki peralatan perang serta sistem pemerintahan yang modern karena kerja keras dan disiplin mereka dan melihat bahwa masyarakat pribumi tidak memiliki modal tersebut. Maka setelah mereka mendapatkan legitimasi menjadi guru dan mendirikan sekolah-sekolah rakyat secara underground hal ini kesempatan untuk menanamkan pola pikir anak menuju arah perjuangan untuk meraih cita-cita bersama. Saat itu para tokoh pendidikan dan media bersatu padu untuk memberikan propaganda-propaganda yang sangat bermanfaat bagi kemajuan persiapan kemerdekaan dan terbentuknya kesejahteraan rakyat. Orientasi yang sangat luhur ini memadukan gerak langkah para tokoh politik, tokoh ilmiah dan tokoh media.

Setelah kemerdekaan dan kesejahteraan masyarakat mulai tampak, maka konsep kesejahteraan menjadi bertambah dan meningkat. Sebagaimana yang disitir oleh hadist Rasulullah Shalallahu ‘alaih wasallam bahwa bila manusia diberi dua gunung emas, maka ia akan meminta yang ketiga. Saat ini (khususnya setelah kaum liberalis mengakar kuat pada sistem perekonomian Indonesia) pendidikan pun bergeser makna dan tujuannya. Ironisnya, peran media sebagai penunjang informasi memberikan dukungan terhadap sistem kapitalisme itu sendiri.

Bila kita lihat pada kenyataannya, media gencar menayangkan acara-acara televisi yang bersifat hedonis. Sinetron dan film anak seringkali ditampilkan beberapa adegan yang memiliki latar belakang rumah mewah, mobil mengkilap dan beberapa profesi yang sangat memukau, seperti dokter, artis dan beberapa profesi elit lainnya. Di sisi lain hal-hal yang bersifat miskin dimarginalkan dan seakan-akan sangat menyesakkan dalam hidup dan tidak bahagia kecuali sedikit saja. Latar belakang rumah gubug dengan profesi pedagang asongan menjadi suatu ‘momok’ tersendiri dalam kisahnya. Ironis para orang tua memberikan masukan kepada anaknya secara dramatis dan generalisir bahwa mereka adalah kaum yang lemah dan sengsara, maka “Janganlah kamu menjadi seperti itu besoknya dan belajarlan, sekolah yang pandai agar kamu tidak menjadi seperti itu!”, kata-kata motivasi yang menampilkan ego secara kurang obyektif. Seharusnyalah mereka menyatakan, “Lihatlah mereka, mereka bekerja keras, mereka berusaha dan berdoa akan tetapi Allah mengujinya dengan kemiskinan agar mereka merasakan sisi lain dari kehidupan manusia. Jadilah kamu orang yang cukup harta, berupayalah dengan belajar yang sungguh-sungguh dan berdoa lalu bila Allah memberikanmu keberhasilan bantulah mereka. Akan tetapi, bila ternyata setelah kamu berusaha maksimal kamu diuji dengan seperti itu, maka bersabarlah dan tidaklah mereka seperti itu melainkan mereka juga memiliki kebahagiaan tersendiri” (adakah orang tua yang memberikan masukan seprti ini? Apabila ada, saya berani bilang,”JARANG”!!).

Peran media menampilkan hedonism dan fulgarisme di televisi baik dalam bentuk film, sinetron, drama komedi ataupun yang lainnya berdampak pada psikologis sang anak itu sendiri. Coba kita tanyak anak-anak saat ini tentang apa yang ia cita-citakan dalam hidup mereka? Insya Allah mayoritas mereka menjawab, “Aku ingin jadi dokter”, “ingin jadi insinyur” banyak juga yang menyatakan “ingin jadi presiden”. Apabila ditanya kepada anak mengenai alasan mereka memilih hal itu, maka sang anak akan menjawab secara pandangan materialistis. Pengalaman pribadi menunjukkan bahwa banyak orang yang memotivasi saya untuk jadi dokter dengan alasan, “Dokter itu uangnya banyak (bisa jadi utangnya banyak juga…haha)” dan saat saya ke poliklinik tatkala Bu Dokter datang dengan mobil putihnya, ada yang berkata, “Lihatlah itu Bu Dokter datang dengan mobil putihnya, besok jadi dokter biar bisa beli mobil putih mengkilat seperti itu”, waaah bayangan saya macem-macem, tapi Allah ternyata berkehendak laen dan saya sekolah di jenjang perguruan tinggi untuk menempuh pakar perekonomian untuk kemaslahatan ummat ini (insya Allah), Alhamdulillah. Lebih parah bagaimana sang anak bercita-cita menjadi presiden, adakah anak berfikir mengapa kamu menjadi presiden? (padahal Sahabat Ummar ibn Khaththab tatkala ditawari jabatan tinggi sempat pingsan beberapakali). Intinya sang anak dengan polosnya mengatakan, “biar dapet uang banyak, keliling Indonesia dan dunia…bla…bla…bla”.  Tak tahukah, betapa beratnya menjadi seorang pemimpina???

Lalu siapakah yang menadikan sang anak ini sedemikian “hebatnya”? dan mengarahkan pendidikannya untuk cita-cita tinggi namun bertujuan rendah ini? Tentu, anak yang masih polos itu sedemikian pintarnya berbicara dan berangan-angan karena ada yang mengisinya, siapakah gerangan? Maka cobalah kita tengok ucapan manusia terbaek sepanjang jaman yang pernah diciptakan dan dilahirkan ke dunia ini, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-Islami). Ayah dan ibunya lah kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala)” (HR. Bukhari). Bukankah harta dan uang saat ini juga dijadikan berhala yang seringkali disembah oleh manusia, walaupun tidak disembah secara ritual akan tetapi banyak orang yang menyatakan “Keuangan yang berkuasa”? hingga sang anak diberitahukan bahwa hidup presiden adalah enak, nikmat dan nyaman lalu bisa keliling Indonesia dan keliling dunia dengan penuh santainya??? Ow, inilah yang membuat kursi eksekutif bergoyang dan panas pada saat kampanye…
Maka peranan orang tua pun juga sangat memberikan kontribusi besar, akan tetapi media dan media adalah sarana pendukung dan penyokong hal itu semua, karena media sebagai sarana informasi yang efektif bagi proses pendidikan anak. Komik-komik kartun anak-anak juga memberikan khayalan-khayalan kosong bagi anak dan khayalan kekerasan, sebagai contoh Doraemon dan Shincan yang merupakan komik kartun anak penuh khayalan dan kemalasan serta kebodohan. Kartun yang mengarahkan kepada kekerasan, seperti dragon ball, one piece, naruto dan beberapa kartun yang terlhat soft akan tetapi sangat menjebak seperti Sailor Moon. Di dalamnya digambarkan penuh khayalan, kenyamanan hidup adalah dengan saling bersaing secara keras dan itu notabene adalah kehidupan yang sangat berbeda di Jepang, jauh dari konsepsi Ketimuran apalagi konsepsi Islam, sedangkan komik fiksi buatan Indonesia sendiri mayoritas saat ini meniru komik ala Jepang dan Barat.

Dengan keadaan-keadaan seperti inilah, nilai-nilai pendidikan sudah tidak lagi bertujuan untuk mendidik akhlak anak bangsa, sudah tidak lagi memberikan ilmu untuk mensejahterakan masyarakat secara bersama akan tetapi memberikan ilmu hanya untuk memuaskan ego-nya saja. “Tidak perlu penekanan akhlak dan agama, yang penting pemahaman tentang kenegaraan yang baik itu adalah yang perlu, maka agama bukan titik ukur seseorang untuk bergerak, yang perlu adalah ilmu sains, sosial dan untuk penunjang adalah ilmu Kenegaraan”, ini adalah pendapat yang kurang tepat, karena kerangka kenegaraan saat ini berbeda dengan kerangka kenegaraan pada masa memperjuangkan kemerdekaan.

Dengan media-media dan pendidikan orang tua yang menginginkan agar anaknya “kaya” harta, tanpa dibekali motivasi kearah tujuan yang benar dalam memanfaatkannya, maka sang anak secara otomatis termotivasi pula dalam melakukan persaingan-persaingan yang mengarah kepada hedonisme dan materialisme. Sang anak hanya mengetahui hakekat persaingan itu adalah dengan makna ‘sebagai yang lebih unggul’ tanpa mengetahui hakekat dari tujuan persaingan itu sendiri dan bagaimana persaingan itu sebaiknya dilakukan.

Saat ini hakekat dari keberhasilan seorang siswa yang dilihat di mata guru, kepala sekolah, masyarakat bahkan pemerintah adalah bila Sang Anak bernilai baik saat ujian. Karena dengan nilai yang baik saat ujian, mereka akan mendapatkan sekolah yang favorit dan melalui proses pendidikan yang baik. Dengan itu mereka akan pandai membuat suatu karya dan seterusnya, saat ini Indonesia tidak kurang orang-orang yang pandai dan cerdas, akan tetapi kekurangan orang yang cerdas dalam spiritualnya dan kurang orang-orang yang paham tentang ajaran hidup yang hakiki (baca: Pengetahuan tentang Agama Islam yang mendalam). Nilai baik tidaklah dilarang dan itu merupakan fitrah bila seseorang yang mendapat nilai baik akan senang, akan tetapi nilai baik bukanlah satu-satunya tolok ukur keberhasilan dan kecerdasan. Ada banyak sekali orang-orang yang kurang mampu di bidang sains dan sosial, akan tetapi ia mampu di bidang bahasa, seni dan yang lainnya. Maka pemerintah membuat terobosan bahwa masuk ke perguruan tinggi atau sekolah favorit tidak harus memakai Danun akan tetapi bisa melalui bakat dan minat.

Masuk PTN maupun sekolah favorit melalui bakat dan minat ini merupakan salah satu terobosan awal, akan tetapi yang menjadi masalah adalah bagaimana ‘prosesnya’. Pada prosesnya mereka juga ditunutut untuk memiliki nilai yang baik. Sebagai contoh, “Seseorang anak memiliki nilai Daneun SMP-nya kurang baik, namun ia pandai di bidang olahraga dan dia menjuarai kejuaraan tim nasional. Akan tetapi setelah ia masuk SMA-pun, ia dituntut untuk bersaing dengan masalah nilai dengan teman-temannya, bila ternyata ia kurang mampu dalam hal sains, maka ia pun akan tersisih dan merasa dimarginalkan. Pada ujung-ujungnya ia pun hanya dinilai dari 5 atau 6 mata pelajaran. Ia memiliki bakat yang lain, akan tetapi bakat itu hanya sebagai kunci masuk saja tanpa menjadi suatu hal yang dihargai di akhirnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem penilaian pendidikan di Indonesia masih belum bisa lepas dari sistem tebang-pangkas. Siswa SD belajar selama 6 tahun, hanya dipangkas dalam waktu 3 hari. Begitupula yang lainnya, sehingga proses situ sama sekali tidak dihargai.

Ada anak yang bekerja keras dan tekun dalam belajarnya, karena memang Allah memberikan kapasitas yang demikian halnya, maka sang anak memiliki nilai yang kurang memuaskan, akhirnya ia gagal lulus. Walau akhir-akhir ini sudah mulai diperbaiki, akan tetapi masih saja kita rasakan bahwa nilai tetap menjadi pintu gerbang cita-cita hedonisme. Akhirnya, bagaimanapun elemen yang terkait dengan pendidikan dan siswa merasa bahwa nilai adalah tolok ukur utama, bila nilai jelek maka anak dianggap bodoh, dalam hal ini perlu adanya perubahan mainset pemikiran. Apabila mainset ini masih dipertahankan, maka tidak heran kasus contekan bersama, pembocoran kunci jawaban UAN secara masal dan beberapa tindak ketidakjujuran lain menjadi ajang informasi headline news.

Media juga berperang penting di sini untuk memberikan informasi yang mendidik bagi masyarakat. Bila berita dan film yang bersifat positif itu ditampilkan dengan baik kepada masyarakat sebagaimana contohnya adalah bahwa anak yang kurang mampu (baik dalam harta, fisik, maupun daya fikir) pun bisa sukses apalagi yang mampu. Dan tidaklah baik apabila media memberikan informasi dan tayangan yang menyebabkan masyarakat pesimistis, sebagaimana cerita dan kisah yang biasanya ditampilkan, bawa nilai jelek merupakan suatu adzab yang berbahaya dan menjadikan pelakunya akan masuk ke sekolah yang ganas dan buruk lingkungannya serta bisa menjadikan anak sebagai pemulung dan gelandangan.

Ujian Itu Hal yang Biasa…!
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa ujian itu adalah biasa bagi anak yang sekolah, jangankan hal itu, kehidupan ini pun juga tak luput dari ujian. Lantas, untuk apakah ujian? Yaitu untuk meraih tujuan dan cita-cita dan memberikan makna perjuangan bagi siswa dan bagi manusia selama sekolahnya dan/atau selama hidupnya.

Ujian dalam sekolah adalah hal biasa yang tak perlu dirisaukan. Mulai jaman Belanda, kemerdekaan hingga penataan pembangunan ini ujian telah dilakukan beribu-ribu kali dengan sistem dan cara yang berbeda. Ujian itu juga memberikan banyak kejadian-kejadian yang sangat unik dalam sejarah pendidikan.

Namanya ujian, tentu ada berhasil dan juga gagal. Keberhasilan dan kegagalan pun diukur dengan sudut pendang yang berbeda. Ada siswa yang benar-benar gagal, sehingga dinyatakan tidak naik kelas dan/atau tidak lulus. Ada pula yang berhasil lulus dan/atau meraih nilai yang baik, semua itu adalah biasa dalam kehidupan manusia, hanya yang perlu diperhatikan adalah evaluasi ketekunan dan ikhtiar dari para siswa itu bagaimana.

Kalau kita mendengar banyak sekali anak yang rajin dan tekun gagal dalam ujiannya, karena beberapa sebab. Ada pula anak yang termasuk malas akan tetapi dia lulus dengan nilai yang baik dan memuaskan. Pada intinya lulus atau tidak, baik atau tidak nilainya bukanlah suatu ukuran “mutlak” bagi evaluasi siswa, karena itu semua yang paling besar adalah “Kehendak Allah” kemudian faktor-faktor lain yang mendasari hal itu. Jadi kita tidak bisa menggantungkan semua hal itu pada usaha kita namun juga tidak bisa menggantungkan keajaiban-keajaiban semata. Semua ada prosesnya dan proses ada restu Ilahi yang berawal dari usaha manusia tuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, Allah Ta’ala.

Katalisator Media
Dari semua yang telah dipaparkan terdapat keterkaitan yang sangat erat. Pendidikan yang saat ini berhaluan dan bertujuan untuk mendapatkan keindahan dunia dan bagaimana motivasi-motivasi yang salah dari orang tua tak lepas dari peranan media saat ini yang berperan sebagai katalisator (baca: peruwet) keadaan.  

Seseorang yang gagal dalam ujian dan membutuhkan motivasi yang sangat intensif justru diturunkan mental dan derajadnya oleh media. Kegagalan memang mengandung hikmah dan pelajaran bila sudah melalui serentetan peristiwa, karena sepotong peristiwa yang dinamakan ‘kegagalan’ tidak bisa dikatakan memiliki makna, sepotong peristiwa itu  adalah “AIB” yang harus ditutupi dan sebisa mungkin ditekan untuk tidak diekspos kepada masyarakat luas. Akan tetapi media justru senang dan berlomba-lomba membuat Headline Berita yang sangat besar bila ada berita fantastis tentang kegagalan pendidikan yang terjadi pada suatu wilayah atau intsnsi pendidikan, namun tidak menaruh Headline Berita pada keberhasilan para siswa dalam ajang prestasi dan keberhasilan mereka kecuali bila dalam bidang olahraga.

Sangat disayangkan, aib yang diumbar begitu saja di media menyebabkan reaksi yang berlebihan dari mayoritas masyarakat. Terlebih bagi mereka yang telah mendapatkan motivasi bahwa dirinya bisa meraih apa yang mereka inginkan yaitu kebahagiaan masa depannya dengan ‘nilai’ yang baik. Sehingga tidak heran tatkala mereka melihat nilai yang buruk dan/atau tidak lulus sekolah teriakan-teriakan histeris yang terdengar bahkan ada yang melakukan tindakan lebih bodoh lagi yaitu ‘bunuh diri’. Konspirasi media pendidikan juga membentuk masyarakat untuk berpikir skeptik tentang ‘nilai buruk’ pada anak, mayoritas mereka yang tidak memahami mengatakan bahwa anak yang nilainya buruk dan/atau tidak lulus mereka adalah anak-anak “bodoh” yang terkesan diremehkan. Padahal bila mereka semua mau berpikir, ada hikmah yang besar di balik itu, dan bila media bisa berperan obyektif serta penetralisir keadaan maka seharusnyalah media tidak memberitakan berita pada Headline Berita akan tetapi diberitakan pada bagian hikmah, data-data yang ada disertai argument yang menyejukkan bagi para pembaca dan membuka wawasan mereka bahwa semua itu adalah yang terbaik dari Allah Ta’ala. Maka seharusnyalah media bisa memberikan pelita bagi pendidikan di Indonesia pada khususnya dan Ummat Islam pada umumnya, sehingga terbentuk suatu generasi muda yang tegar, tabah, qona’ah dan mampu menghadapi tantangan kehidupan karena tujuan mereka adalah akherat dan dunia hanyalah sarana. Maka media yang mampu seperti itulah yang benar-benar bisa memberikan pencerahan dan cahaya dalam bidang pendidikan dan pembangunan bangsa pada khususnya dan ummat pada umumnya.

Good News is Good News, Bad News is Bad News
Itulah yang dinamakan obyektifitas media, yaitu mampu memberitakan yang buruk adalah buruk dan yang baik adalah baik, bukan seperti yang dilakukan mayoritas media saat ini yang sangat senang dengan berita buruk, berita buruk dijadikan berita utama yang dianggap mereka baik, slogan mereka pun terbalik bad news is good news, good news is bad news, tidak demikian seharusnya. Bukan hanya mampu obyektif dalam pemberitaannya, media juga harus memiliki etika pemberitaan dengan menaruh di kolom dan/atau halaman mana berita itu layak ditempatkan dan memilih serta memilah (mengklasifikasi) mana yang saat ini boleh diberitakan dan mana yang tidak. Media harus peka terhadap kondisi psikologis masyarakat, bukan hanya psikologis rakyat namun juga psikologis pemerintah. Kondisi ini sangat dibuthkan dalam pembentukan media pendidikan yang obyektif dan bersifat membangun.  

Dapatkah hal ini diupayakan?
Bagaimana caranya?
Dan….apakah solusi terbaik untuk permasalahan media saat ini?

Mari kita diskusikan bersama…..

Malang, 22 Rajab 1432 (24 Juni 2011)
@nd.

File dapat didownload gratis di:
http://www.ziddu.com/download/15543111/KEJUJURANDANKONSPIRASIPENDIDIKAN.pdf.html

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah