KAJIAN ISLAM DAN KARYA PENA

KAJIAN ISLAM YANG MEMUAT HAL-HAL BERKAITAN TENTANG PENGETAHUAN ISLAM BAIK SADURAN ATAU KARYA ASLI. BAIK HAL AKIDAH, MUAMALAT, FIKIH ATAUPUN TASKIYATUN NUFS (PENYUCIAN HATI)

JUGA KARYA PENA UMUM BERUPA PUISI CERPEN DAN KARANGAN ATAU ILMU PENGETAHUAN UMUM DAN PENELITIAN ILMIAH

Selasa, 02 Agustus 2011

Artikel Bulan Ramadhan

  ALLAH TIDAK HENDAK MEMPERSULIT HAMBA-HAMBANYA

Segala Puji Bagi Allah, Tuhan yang telah memperkenalkan kita kepada indahnya agama Islam. Agama yang ringan bagi manusia dan penuh maslahat, dimana orang-orang bodoh seperti Greets Wilders menganggapnya agama yang cacat, padahal semua adalah kebalikan dari apa yang dituduhkan mereka kepada agaman kita. Semoga shalawat serta salam tetap tercurah kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dan kepada keluarganya, para sahabatnya dan ummatnya yang mengikuti Beliau hingga akhir zamman. Amma ba’d.

Kemurahan Allah kepada hamba-hambaNya dinyatakan dalam berbagai ayat dalam surat yang berlainan, yaitu:
“…Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (al-Hajj: 78).
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (Al-Baqarah: 286).
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…” (Ath-Thagabun: 16).
Telah tampak bahwa segala syariat yang disyariatkan Allah Ta’ala merupakan syariat yang mudah bagi manusia, termasuk juga puasa di Bulan Ramadhan. Puasa wajib telah ditentukan waktunya yaitu selama satu bulan di Bulan Ramadhan, akan tetapi puasa ini menjadi gugur kewajibannya apabila terdapat halangan tertentu yang dapat membahayakan seseorang dan/atau yang seseorang itu tidak mampu melaksanakannya dengan ketidakmampuan yang sebenarnya. Berkaitan dengan keringanan puasa ini, Allah berfirman, “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 184).

Allah menentukan bahwa berpuasa diwajibkan atas beberapa hari tertentu, jawaban itu difirmankan olehNya dalam ayat selanjutnya (Al-Baqarah: 185), yaitu Bulan Ramadhan. Menurut Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa saat Bulan Ramadhan di jaman Nabi dahulu, terdapat pilihan dalam hal ibadah, yaitu Puasa atau membayar Fidyah, sesuai dengan kehendak orang yang akan menjalaninnya. Fidyah adalah makanan pokok yang diberikan kepada 30 orang fakir miskin. Fidyah bisa dilakukan dengan memberikan makanan pokok seperti beras satu mud setiap harinya kepada fakir dan/atau miskin. Satu mud setara dengan ¼ sha’, di Indonesia 1 sha’ setara dengan 2,5 Kg, sehingga fidyah yang diberikan adalah ± 625 gram (Ust. Hadhromi 2009: 45).

Setelah turun ayat ini, maka tidak ada pilihan bagi Ummat Rasulullah Shalallau ‘alaihi wasallam selain berpuasa. Akan tetapi apabila terdapat sebab yang membahayakan seseorang bila ia berpuasa dan yang memberatkannya, maka membayar fidyah masih tetap menjadi sebuah aturan dalam Islam dengan perincian dan penjelasan para ulama. Maka dengan adanya kewajiban puasa, seseorang harus memperhatikan sebab ia meninggalkan puasa dan tata cara menggenapkan kewajibannya. Sehingga hukum fidyah ini dihapuskan karena kewajibannya akan tetapi tidak dihapuskan dalam syariat fiqihnya sebagai salah satu solusi dalam menggenapkan apa yang wajib bagi orang-orang yang tidak mampu. Adapun orang-orang yang:   

1. Seorang yang Sakit: dimana sakitnya terdapat hubungan dengan puasanya, seperti apabila sakitnya bertambah parah bila ia berpuasa (contoh: magh akut yang tiba-tiba ia derita saat itu), maka ia dibolehkan untuk berbuka dan mengganti di hari lain, sesuai dengan ayat “…Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (al-Baqarah: 184).

2.  Musafir: ia dipersilahkan memilih, berpuasa ataukah berbuka dengan menggantinya di hari yang lain. Diriwayatkan melalui jalan dari Hamzah ibn Amr Al-Aslamiy radhiyallahu ‘anhu yang bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah aku boleh berpuasa dalam safar?”, maka Beliau menjawab, “Puasalah jika kau mau, dan berbukalah jika kau mau” (HR. Bukhari&Muslim), dengan syarat ia harus mengganti di hari lainnya. Hadist lainnya dinukil oleh Bukhari&Muslim adalah diriwayatkan dari Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan, “Aku pernah melakukan safar (perjalanan jauh) bersama Rasulullah di Bulan Ramadhan, orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa (HR. Bukhari&Muslim). Perlu diketahui bahwa musafir adalah orang yang telah meninggalkan keramian suatu negerinya, sehingga sebelum keluar dari negerinya (dalam konteks saat ini adalah Kotanya) ia belum dikatakan musafir. Para ulama menjadikan hal ini sebagai rujukan fiqih sebab mereka menuju kepada arti dari safar itu sendiri, yaitu ‘menuju padang pasir’, dimana padang pasir bukanlah sebuah keramaian suatu kota/negeri (Syaikh al-Fauzan 2007: 284). Apabila dalam safarnya ia sangat berat bila berpuasa, maka tiada pilihan lain selain ia harus berbuka dan menggantinya di hari lainnya, hal ini dinyatakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda, “Bukan suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar” (HR. Bukhari&Muslim).

3.  Perempuan Hamil dan Menyusui: Terdapat banyak pilihan untuk mereka. Apabila mereka kuat untuk berpuasa, maka tidak masalah bagi mereka berpuasa. Akan tetapi permasalahan muncul tatkala mereka tidak kuat berpuasa, atau dikhawatirkan membahayakan dirinya dan anaknya apabila bepuasa, maka para ulama ahli fiqih menyatakan banyak pendapatnya. Akan tetapi dalam artikel ini dinukil pendapat yang paling masyhur dari para ulama, yaitu: “Boleh tidak berpuasa dengan membayar fidyah dan tanpa mengqadha” (Ust. Hadhrami 2009: 46). Pilihan ini paling masyhur di kalangan ulama’ karena banyak para sahabat Nabi Muhammad radhiyallahu ‘anhum yang menyatakan demikian, di antaranya adalah perkataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, “Perempuan Hamil dan Menyusui (boleh) berbuka dan tanpa meng-qdha” (HR. Daruquthni). Riwayat lain adalah dari istri Ibnu Umar yang sedang hamil bertanya kepadanya tentang puasa, maka Ibnu Umar menjawab, “Berbukalah dan berilah makan setiap harinya kepada satu orang fakir miskin dan tidak perlu kamu qadha” (HR. Daruquthni dan jalan lain dengan sanad Jayyid).

4. Perempuan Haid dan Nifas: Perempuan yang haid dan nifas tidak diperkenankan puasa berdasarkan hadist Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam beliau menyatakan, “Bukankah jika haid dia tidak shalat dan juga tidak berpuasa?” kami menjawab “ya”, Beliau bersabda, “Itulah (bukti) kekurangan agamanya” (HR. Muslim). Maka diwajibkan atas mereka meng-qadha puasa di hari yang lain selain di Bulan Ramadhan hingga tidak jatuh pada mereka peredaran selama satu tahun (memasuki Bulan Ramadhan lagi). Hal ini dinyatakan dalam riwayat Mu’adzah, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Mengapa perempuan haid meng-qadha puasa akan tetapi tidak meng-qadha shalat?”, ia bertanya, “Apakah kau orang Harury? (Harury = Khawarij: Paham Islam garis keras yang mengkafirkan orang di luar kelompoknya)”, Mua’adzah menjawab, “Bukan!”, lalu Ibunda ‘Aisyah menyatakan, “Kami juga haid di masa Nabi, tetapi kami hanya diperintah meng-qadha puasa dan tidak diperintah meng-qadha shalat” (HR. Bukhari-Muslim).

5.  Menolong Orang Lain: Terkadang terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kebakaran dan sebagainya, sedangkan kita harus menolong orang itu atau berprofesi sebagai penolong (Contoh: Tim Sar, Pemadam Kebakaran, dll), maka ia boleh berbuka dan meng-qadha di hari lainnya.

6.  Berprofesi Sebagai Pekerja Berat: Maka dia diharuskan meng-qadha puasa di hari lain, ini adalah menurut jumhur ulama. Karena bagaimanapun pekerjaan itu, ia pasti memiliki hari libur. Bila di Indonesia libur yang secara umum jatuh pada hari Sabtu dan Ahad, maka dua hari selama setahun itu cukup untuk meng-qadha puasanya yang ia tinggalkan, dan tidak ada alasan baginya untuk membayar fidyah.

Catatan Seputar Fidyah:
Fidyah telah dijelaskan, yaitu memberikan makanan pokok berupa beras sejumlah satu mud kepada fakir&miskin. Adapun fidyah pembayarannya boleh dilakukan dengan alternatif:

a. Memberikannya 1 mud (±625 gr) per hari kepada kedua golongan itu. Boleh keadaan beras mentah boleh pula dalam keadaan matang bersama lauk-pauknya.

b. Megumpulkan kedua golongan itu sejumlah 30 orang lalu mereka diajak makan-makan bersama, boleh dalam Bulan Ramadhan (malam hari tentunya) dan/atau boleh juga di bulan-bulan lainnya. Hal ini dinukil dari riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang beliau mengundang 30 orang fakir&miskin kemudian ia diajak makan bersama dalam rangka membayar fidyah-nya karena saat itu beliau sudah tua. Boleh pula ia membayarnya dalam bentuk beras mentah, akan tetapi ia harus niatkan untuk membayar fidyah, bukan zakat fitrah, karena keduanya memiliki fungsi dan peranan yang berbeda.

Allahu a’lam bish shawwab

Malang, 2 Ramadhan 1432 H (2 Agustus 2011)

@nd

Referensi:

Ustad. Abdullah Shalihal-Hadhromi. 2009. Fiqih Ramadhan. Majelis Husnul Khatimah: Malang.
Syaikh. Shalih ibn Fauzan al-Fauzan. 2007. Kitab Shalat. Darul Falah: Jakarta.

File PDF dapat didownload gratis di:
http://www.ziddu.com/download/15906390/ALLAHTIDAKHENDAKMEMPERSULITHAMBA.pdf.html
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah