MUTIARA DALAM CANGKANG
(KISAH ROMANTISME TERINDAH SEPANJANG SEJARAH PART III)
Ummu Sulaim pun menutup kamar Abu Umair yang telah tertidur lemas tak berdaya. Ia tutup pintunya rapat-rapat dan ia pun menguncinya. Lalu ia pergi ke kamar rias untuk merias dirinya, ia memakai wewangian yang hanya ia persembahkan untuk suaminya saja, tidak untuk yang lain.
Mutiara pun bersinar cerah pada hati dan wajahnya, ia siap menerima kedatangan suami tercintanya. Rumah yang seharusnya berduka, kini menjadi bercahaya akibat ketegaran seorang wanita di dalamnya, namun sayang hal ini tak tampak oleh kasat mata manusia. Beberapa waktu pun berselang, setelah ia menunggu dengan berharap-harap cemas, sisa-sisa kesedihan pun masih tergores jelas di hatinya. Tapi sang mutiara tetaplah mutiara, ia kan menampakkan kemilaunya, dalam duka ia tetap setia di dalam cangkangnya dan tak goyah oleh binatang buas di sekelilingnya.
Ummu Sulaim pun mendengar ketukan pintu yang sangat halus dan sopan, rasa senang dan gembira terlecut di hatinya dan dengan penuh semangat ia buka pintu rumah tuk suami tercinta. Abu Thalhah datang dengan penuh senyum dan kekhawatiran akan sang putera, “Bagaimanakah kabar anak kita wahai Adinda Sulaim?”. Detak jantung Ummu Sulaim pun mulai terpacu, antara duka dan gembira serasa mengharu biru, namun ketegaran tampak pada hati serta wajahnya yang telah dipoles dengan keimanan dan keyakinan yang sangat kokoh dan mengakar kuat pada kalbu. Ia pun menjawab, “Wahai Kakanda Thalhah, anak kita keadaannya lebih tenang dari biasanya saat ini. Biarlah ia tidur dahulu janganlah engkau ganggu dia”. Rasa kasihan dari sang ayah terhadap anaknya pun bangkit. Ingin rasanya ia menengok Abu Umair sang putera, namun apa boleh buat bila sang istri tercinta menyarankan untuk tidak mengganggunya untuk sementara waktu. Padahal ia tak tahu ada apa di balik kata-kata mutiara itu.
Malam itu sangat damai dan tentram, suasana duka tersembunyi dalam cahaya cinta dan kasih sayang. Malam itu sepasang suami istri saling melepas rindu, malam itu Allah pun bersaksi atas mereka. Bukan hanya itu, malam itu para malaikatNya, serta para makhlukNya yang kasat mata pun turut menyaksikan betapa RMTSnya mereka. Malam itu penuh keberkahan tlah terjadi pada mereka, seakan suasana duka terusir dari mereka. Betapa bahagianya Abu Thalhah memiliki istri sepertinya, ia mampu menghilangkan penat Sang Suami bila ada di rumah setelah seharian bekerja mencari nafkah, dan ia mampu menjaga kemilau kehormatannya saat Sang Suami meninggalkannya untuk melaksanakan tugas negara. Betapa RMTSnya mereka dan betapa RMTSnya, sehingga tak kan pernah ada seorang manusia pun yang menandinginya kecuali manusia yang paling dimuliakan di muka bumi ini (Semoga Allah selalu melimpahkan shalawat serta salam kepadanya dan kepada keluarganya).
Waktu pun berlalu, selesailah tugas Ummu Sulaim sebagai seorang istri yang sangat mencintai suaminya dengan kecintaan yang berlandaskan iman dan Islam. Keadaan pun tenang kembali, saat Abu Thalhah stabil dalam emosinya, Ummu Sulaim pun duduk di sebelahnya dan mengatakan, “Wahai suamiku, apabila ada seseorang yang menitipkan sesuatu pada kita lalu orang itu mengambil titipannya. Apa yang harus kita lakukan?”. Abu Thalhah pun sebagai seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang taat menjawab, “Ya kita harus mengembalikan titipan itu padanya”. Ummu Sulaim pun menekankan, “Bila orang yang dititipi itu tidak mau mengembalikannya Wahai Kakanda Thalhah?” Abu Thalhah menjawab, “Maka ia tidak amanah dan khianat. Ia adalah orang yang benar-benar tidak waras”. Ummu Sulaim pun menarik nafas dalam-dalam, dalam hati ia berkata, “Insya Allah ini adalah waktu yang tepat bagiku untuk mengatakan pada suamiku”. “Wahai Kakanda Thalhah, janganlah engkau marah. Sungguh anak kita merupakan titipan dari Allah Ta’ala, dan saat ini Allah tlah mengambilnya”.

Betapa kaget Abu Thalhah mendengar perkataan istrinya. Petir seraya menyambar dadanya, gairah dan semangat pun tlah luntur dalam hati dan pikirannya. “Apa?!?!?! apa yang kau katakan hai Sulaim?”. Ummu Sulaim dengan tetap tenang terus menyadarkan suaminya, “Relakanlah ia wahai Kakanda, Allah tlah menuliskan takdirNya atas kita”. “Hai Sulaim, kanapa kau baru beritahukan hal itu padaku?!?!?! Kenapa kau biarkan aku ternoda (junub) di saat-saat seperti ini?!?!?!”. “Wahai Kakanda, aku hanya berusaha tuk menyenangkanmu, salahkah aku sebagai istri bila ingin melayanimu karena aku ingin mendapat ridhoNya malam ini? Aku hanya ingin rasa penat dan capek yang ada padamu bisa sedikit terobati atas duka ini. Aku tak mau kau bersedih karena Allah tlah mengambil apa yang memang hak untuk Ia ambil. Istighfarlah wahai Kakanda, semoga Allah memberkati kita”. Kemarahan Abu Thalhah mereda setelah mutiara itu menampakkan kemilau kata-katanya. Mungkin kata-kata itu jauh lebih indah dari apa yang dituliskan di sini, jauh lebih indah, namun hati yang sedih dan gundah tetap menggelayut di hati Abu Thalhah. Ummu Sulaim dengan tetap setia terus menerus menegarkan hati suaminya.
Abu Thalhah pun pergi ke kamar Sang Putera tercinta Abu Umair, ia pandang dengan penuh seksama. Tetesan air mata membasahi pipinya, antara sedih dan kagum dengan istrinya bercampur menjadi satu. Terpadu dalam cangkang Rumah Tangga yang mengharu biru dan penuh romantisme indah yang pernah terukir dalam sejarah kehidupan manusia, hanya Allah Yang Maha Tahu. Menjelang Subuh, Abu Thalhah langsung pergi menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan seluruh kejadian yang terjadi semalam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pun kagum dengan ketegaran Ummu Sulaim. Kekaguman Beliau sangat beralasan, bahkan Beliau mendoakan, “Semoga Allah Ta’ala memberikan barakah pada malam pengantin kalian berdua”. Benar saja Ummu Sulaim lantas mengandung lagi dan melahirkan seorang anak yang diberi nama Abdullah bin Thalhah oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan subhanallah barakahnya ternyata tak hanya sampai di situ. Abdullah kelak di kemudian hari memiliki tujuh orang putra yang semuanya hafizhul Qur’an. Allahu Akbar!!! sungguh beruntung mereka...sungguh beruntung mereka...atas berkat rahmat Allah, sungguh beruntung mereka.
Itulah gambaran kasih sayang sepasang suami istri yang dilandasi karena Allah. Suka dan duka pastilah terus menyelimuti semua makhluk hidup di dunia ini, ujian terus menimpa dan menerpa. Hanya orang-orang dengan keimanan yang tinggi sajalah yang tegar dalam menahan hempasan badai kehidupan.
Ummu Sulaim, itulah sosok shahabiah yang tegar hatinya, bersih lagi putih berseri. Bagai mutiara yang tak pernah goyah oleh ganasnya makhluk di sekitarnya. Ia tetap kemilau walau berada di dalam laut yang dalam, ia tetap tenang walau permukaan laut itu bergelombang dengan dahsyatnya bahkan ia tetap terjaga walau badai menimpa lautan. Bagaimana mungkin ia terusik oleh badai padahal posisinya berada di dalam laut yang dalam dan di dalam cangkang yang kokoh, ia tetap putih berseri walau terletak dalam potongan gelap yang kelam. Arti ibarat itu adalah bagaimana keimanan dan rasa cinta serta kasih sayang Ummu Sulaim yang tegar dan kokoh, lebih kokoh dari langit serta lebih mengakar dari gunung. Ia tak goyah oleh harta benda yang ditawarkan tatkala orang kafir yang melamarnya walau setampan apapun dia, ia tak sedih walau duka menyelimuti hatinya walau seberat apapun ujiannya. Hingga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menyatakan, "Aku memasuki surga dan aku mendengar jalannya seseorang. Lantas aku bertanya "Siapakah ini?" Penghuni surga spontan menjawab "Ini adalah Rumaisha binti Milhan, ibu Anas bin Malik."
Itulah kisah romantisme terindah sepanjang sejarah kehidupan manusia yang terus dikenang penduduk langit dan bumi. Tak semu oleh hawa nafsu dan tak fana oleh kisah-kisah lainnya. Cinta Romeo dan Juliet, Laila Majnun, dan Kisah Rose dan Jack dalam Titanic adalah kisah-kisah yang lekas hangus dan fana ditelan kebodohan dan kobohongan hawa nafsu. Cerita cinta yang mengandung unsur merusak dan tak kan pernah dikenang penduduk langit walau penduduk Bumi sangat mengaguminya.
Berbeda dengan keindahan cinta yang dibalut dengan Iman dan Islam, cinta yang hakiki dengan landasan yang kokoh. Allah berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al-Baqarah: 256). Kisah Ummu Sulaim telah menunjukkan pada kita bagaimana ia memegang tali Buhul yang sangat kokoh itu. Ia menjaga kehormatannya dan kehormatan keluarganya. Ia bagai mutiara yang kemilaunya sangat elok dan indah. Tak ada ibarat yang tepat bagi dirinya selain bagai “Mutiara dalam Cangkang”.
Alhamdulillah, hamdan katsiro mubarokan fih. Allahumma shali ‘ala muhammadin wa ‘ala ‘alhi wa shahabihi ajma’in. Allahu a’lam.
The End
@nd.
Rujukan:
1. Al-Qur’anul Karim.
2. Tami. 2006. Ummu Sulaim, si Cerdas yang Dijamin Surga. Kisah Tauladan. http://muslimah.blogsome.com/2006/09/22/ummu-sulaim-si-cerdas-yang-dijamin-surga/.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah