BAB WUDHU
Segala Puji
Bagi Allah dengan sebenar-benar pijuan. Semoga Shalawat serta salam tercurah
pada Utusan Allah, Nabi Muhammad beserta keluarganya beserta para sahabatnya
dan ummatnya hingga hari kiamat. Amma
ba’d.
Wudhu
merupakan syariat yang sangat penting dalam Islam, Allah mensyariatkannya untuk
kemaslahatan yang besar para hamba-hambaNya. Salah satu maslahat yang tampak di
antara jutaan bahkan lebih dari itu adalah menjaga kesucian, kebersihan dan
keindahan para hambaNya baik lahir maupun batin. Karena fitrah manusia adalah
suci, cinta kesucian dan kebersihan serta condong kepada keindahan baik jasmani
ataupun rohani.
Maka dari itu
Allah mengutus RasulNya Shalallahu
‘alaihi wasallam untuk mengajarkan tata cara berwudhu kepada ummatnya
dengan tata cara yang mudah dipelajari dan juga diamalkan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pun
mengajarkan tata cara berwudhu yang mudah dan lengkap dan mampu dilaksanakan
para hambaNya. Allah Ta’ala pun
memerintahkan utusanNya untuk memerintahkan ummatnya berwudhu setiap hendak
menghadapNya dalam maqam (kedudukan)
yang tertinggi, yaitu shalat dan juga ibadah-ibadah lainnya yang Ia Ta’ala syariatkan.
Setelah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
wafat, maka para ulama ahli fikih berusaha untuk mengumpulkan berbagai dalil
sahih tentang syariat wudhu. Mereka mengumpulkan dalil-dalil yang ada
berdasarkan Sunnah Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam, mereka mengelompokkannya ke dalam syarat, rukun dan sunnahnya.
Adapun beberapa permaslahan yang perlu perincian lebih detail, para ulama fikih
mencoba untuk menjelaskannya dengan ijtihad (pendapat) mereka yang tentunya
bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam, walau bersumber dari dalil yang sahih
namun apabila itu berupa penjelasan para ulama tetap saja terdapat perbedaan
pendapat. Selama perbedaan pendapat itu secara jelas tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an dan Sunnah, maka hal itu merupakan rahmat bagi ummat ini karena ada suatu keringanan untuk memilih mana tata cara yang menurut mereka mudah
untuk dilakukan. Tata cara itu tergabung dan terangkum dalam suatu madzhab
fikih yang di Indonesia mayoritas yang dipakai adalah Madzhab Fikih Imam
Syafi’ie. Akan tetapi, madzhab fikih ini bukanlah kitab suci yang harus kita
pegang dan kita kultuskan, sehingga apabila ada sebagian saudara kita yang
melakukan tata cara berbeda dalam melakukan suatu ibadah, selama itu dia
memiliki alasan kuat dan ada dalilnya serta tidak menyimpang dalam permasalahan
pokok dengan menabrak dalil sahih (Al-Qur’an dan Sunnah), maka kita pun harus
menghormatinya. Allahu a’lam
Maka dari itu saya ingin memaparkan bagaimana tata cara
syariat wudhu dalam Madzhab Imam Syfi’ie dan juga penjelasan ulama yang lain
baik bermadzab Syafi’ie ataupun bukan, serta dari riwayat-riwayat ahli hadist
tentang bagaimana cara Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam berwudhu. Dengan demikian insya Allah akan terbuka wawasan
kita mengenai bab fikih wudhu yang ada sehingga kita tidak taklid (cinta buta) kepada satu madzhab saja, namun kita tetap taklid kepada sang pembawa risalah
Muhmmad Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Karena Imam Syafi’ie pun pernah menyatakan, “Apabila kamu mendapatkan dalam
kitabku ada yang menyelisihi sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, maka katakanlah yang sesuai dengan
Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam”.
I. Syarat Wudhu
Syaikh Abu Syuja’ Al-Asfihani Rahimahullah Ta’ala (Ulama Fikih Madzhab Syafi’ie) dalam bukunya
berjudul Matn al-Ghaayah wat Taqrib
(Fiqih Tradisi, terj Ind) menyatakan bahwa wudhu itu memiliki syarat-syarat,
yaitu suatu ketentuan yang menyebabkan obyek (orang) itu dikatakan boleh dan
sah untuk berwudhu. Syarat itu adalah:
1.
Islam : Adapun orang-orang kafir baik dari kalangan Musyrik
ataupun ahli kitab, tidak berhak melakukan wudhu. Apabila mereka wudhu, maka
wudhunya tidak sah.
2.
Tamyis : Adalah orang yang bisa membedakan yang benar dan
yang salah (berakal). Anak kecil yang sudah bisa membedakan keduanya, maka ia
telah mendapatkan syarat sah untuk berwudhu. Sebaliknya bila orang dewasa namun
hilang akal (gila), maka wudhunya tidak sah atau ia tidak memiliki beban
syariat wudhu.
3.
Air yang dipakai suci
4.
Tiada penghalang yang tampak antara air wudhu dengan
permukaan kulit
5.
Tidak ada najis dalam tubuh
6.
Masuk waktu sholat untuk orang yng selalu dalam kedaan
berhadast. Maksudnya ada beberapa orang yang ia memiliki penyakit bawaan sejak
lahir, bahwa ia selalu mengeluarkan kotoran (berupa cairan yang keluar dari
kemaluannya) tanpa bisa dikontrol. Orang semacam ini wajib berwudhu saat setiap
hendak melaksanakan shalat wajib. Artinya, ia tidak bisa menggunakan air
wudhunya untuk dua atau lebih shalat wajib, hal ini berbeda dengan orang
normal. Namun, bila ia melaksanakan shalat sunnah maka hukumnya seperti orang
normal, ia boleh menggunakan air wudhunya untuk dua atau lebih shalat sunnah. Allahu a’lam.
II. Rukun Wudhu
Setelah syarat-syarat di atas terpenuhi, maka terdapat rukun
wudhu. Rukun wudhu adalah kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh obyek
(orang) yang telah memenuhi syarat di atas. Adapun bila salah satu rukun tidak
terpenuhi, maka wudhunya tidak sah/gugur. Rukun wudhu yang kan kita bahas
secara lebih mendalam adalah ‘niat’.
2.1 Niat Ketika Membasuh Wajah

A.
Dalam ilmu ikhlas, niat adalah suatu unsur yang sangat
penting untuk membedakan seseorang itu beramal karena Allah ataukah selainnya.
Sedangkan dalam ilmu fikih, niat merupakan unsur yang membedakan seseorang itu melakukan ibadah atau selainnya.
Niat dalam ilmu fikih ini secara sederhana dapat dicontohkan sebagai berikut:
Bila ada orang yang mandi janabat (mandi wajib) dengan orang yang mandi biasa,
secara kasat mata tiada bedanya. Keduanya sama-sama mengguyurkan air ke seluruh
tubuhnya, namun yang sangat membedakan di sini adalah niat orang yang mandi
tersebut apakah untuk mandi janabat yang hal ini suatu ibadah guna mensucikan
dari hadast besar, ataukah mandi biasa untuk sekedar menyegarkan badan? Inilah
pentingnya niat.
B.
Dalam Madzhab Imam Syafi’ie, niat dimulai dari membasuh
wajah. Hal ini karena dalam Madzhab Imam Syafi’ie hal wajib yang pertama kali
harus dilakukan dalam berwudhu adalah membasuh wajah.
C.
Niat terletak dalam hati yang memiliki fungsi untuk
menetapkan dan menegaskan bahwa apa yang dilakukannya adalah berwudhu. Adapun
yang menyatakan niat itu diucapkan adalah boleh, namun hal ini sepertinya tidak
sesuai dengan tujuan niat itu sendiri, karena orang yang berakal dalam
melakukan sesuatu pasti ada niatan yang ia sadari sehingga amat mengherankan
bila tiap melakukan sesuatu ia harus berkomat-kamit untuk mengucapkan niatnya.
Sebagai contoh adalah makan, tentu seseorang yang mengambil piring lalu
mengambil nasi dan lauk pauknya adalah ia niatkan untuk makan. Niat itulah yang
menggerakkan ia untuk mengambil piring, nasi dan lauk-pauknya. Maka, apabila
kita mendapati orang yang akan mengambil piring menyatakan secara lisan, “Aku
berniat mengambil piring, nasi dan lauk untuk makan karena Allah Ta’ala” kita akan menyatakan bahwa orang
itu sedang kebingungan atau bahkan akan hilang akalnya. Begitupula dalam ibadah
seperti wudhu dan juga yang lainnya. Allahu
a’lam.
D.
Orang yang sehat dan tidak memiliki penyakit, maka dalam
berwudhu ia memiliki beberapa versi niat (beberapa alasan) untuk berwudhu,
yaitu:
a. Ia niat berwudhu untuk menghilangkan hadast kecil
b. Ia niat berwudhu agar ia dibolehkan melaksanakan sholat atau ibadah
lainnya yang tidak boleh dilakukan kecuali harus berwudhu
c. Ia niat berwudhu untuk menunaikan wudhu itu. Karena wudhu merupakan ibadah
yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam menganjurkan untuk menjaganya. Hal ini dilandasi oleh hadist
riwayat Ad-Darimi dalam sunannya nomor 654 dari Tsauban Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Usahakanlah untuk menetapi
kebenaran dan usahakanlah untuk mendekatinya, dan sebaik-baik amalan kalian
adalah shalat, dan tidaklah seorang selalu menjaga wudhu melainkan ia adalah
orang yang beriman”
Imam Nawawi Rahimahullah menyatakan, “Kalau berniat
bersuci untuk sholat atau untuk melakukan ibadah lainnya yang diharuskan untuk
wudhu, maka itu telah mencukupinya”. Pernyataan Imam Nawawi ini mendukung versi
niat poin “C”, hal ini juga didukung
oleh pendapat Syaikh Husein yang menyatakan, “Kalau niat wudhu saja itu sudah
cukup, karena tiada ibadah lain yang persis sama dengan wudhu” (Hal ini dikecualikan
untuk mandi janabat).
E. Orang yang memiliki penyakit kelainan dimana ia selalu saja
berhadast (mengeluarkan carian dari kemaluannya) tanpa bisa dikontrol, maka hal
ini ada perbedaan dalam hal niat. Orang semacam ini berwudhu dengan niat agar
ia dibolehkan sholat atau melakukan ibadah lain yang mengharuskannya ia untuk
berwudhu, inilah pendapat yang lebih dipercaya. Karena bila ia berniat wudhu
untuk menghilangkan hadast, maka ini jelas tidak mungkin sebab ia memang
kondisinya selalu berhadast. Andai ia sudah berwudhu, kotorannya yang selalu
menetes itu sudah dimaafkan oleh Allah karena kondisinya yang seperti demikian
adalah diluar kendalinya/diluar kemampuannya.
Catatan: Berwudhu adalah ibadah yang berfungsi untuk
menghilangkan ‘hadast kecil’, bukan menghilangkan ‘najis’ karena
konteks keduanya berbeda. Kalau konteksnya menghilangkan najis maka ia hanya
perlu menghilangkan najis yang menempel di pakaiannya, tatkala najisnya hilang
ia diperbolehkan shalat dan tidak perlu berwudhu. Hal ini didukung oleh hadist
yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam Sunannya No. 1343 dan Imam Ahmad dalam
Sunannya No. 11443 dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu
‘anhu berkata, “Tatkala Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya, tiba-tiba Beliau melepas
kedua sandalnya dan meletakkannya di samping kirinya, maka mereka pun melepas
sandal mereka. Selesai shalat Beliau pun bertanya, ‘Apa yang mendorong kalian
melepas sandal kalian?’, mereka berkata, ‘kami melihat Anda melepas sandal,
maka kami pun melepas sandal’. Lalu Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Jibril alaihisallam telah datang padaku dan
memberitahuku bahwa pada kedua sandal itu terdapat najis, maka apabila salah
seorang di antara kalian datang ke masjid hendaknya ia membalikkan kedua
sandalnya. Bila ia melihat padanya terdapat najis, maka hendaknya ia
menghilangkannya dan melakukan shalat dengan keduanya (kedua sandalnya)”
Maka konteks ‘menghilangkan najis’ tersebut sudah jelas
tergambar dalam hadist di atas, yaitu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menghilangkan
najisnya saja, tanpa ada pernyataan atau perintah berwudhu lagi. Berbeda dengan
perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam tatkala ada seseorang yang buang angin (yang termasuk salah satu
hadast kecil). Diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui sahabat Ali bin Thalq ia
berkata bahwa Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian
buang angin ketika sedang shalat, maka berwudhulah dan hendaknya ia mengulangi
lagi shalatnya”. Allahu a’lam.
Ini sekedar sedikit paparan dari buku Fiqih Islam Tradisi
karya Syaikh Abu Syuja' al-Asfihani dan beberapa penjelas menurut pendapat yang
lain. Dalam pemaparannya, saya tidak memaksakan para pembaca untuk harus,
apalagi wajib mengikuti pendapat pada apa yang saya tuliskan. Bila memang ada
perbedaan pendapat di antara pembaca, maka hal itu dipersilahkan dan itu wajar
dalam hal Fiqih dengan syarat: (1) memiliki dalil syar'i dalam sebuah
pendapatnya dan (2) tidak bertentangan dengan Ushul Dien (masalah-masalah
prinsip beragama) serta (3) Tidak bertentangan dengan Ijma' para sahabat
(kesepakatan) dan juga para ulama.
Saya hanyalah seorang pemuda yang masih awam akan ilmu dan
masih sangat perlu menyelami ilmu lebih dalam lagi. Maka dari itu, saya memohon
masukan-masukan yang positif kepada para pembaca. Serta, apabila ada pembaca
yang lebih memahami dan mendalami ilmu fiqih, khususnya tentang masalah niat
berwudhu, kemudian menemukan hal fatal yang saya tuliskan, maka saya meminta
Anda untuk mengkoreksinya dan memberikan masukan yang terbaik dengan cara yang
baik pula. Komentar dan masukan dapat dikirimkan melalui e-mail di alamat:
paranggaruda@gmail.com atau dapat juga di Facebook dengan alamat:
paranggaruda@yahoo.com a.n Abdullah Arnando el-Aji Saputro.
Terima kasih, semoga artikel ini bermanfaat dan apabila ada
kelebihan itu datangnya dari Allah, namun bila ada kesalahan datangnya dari
diri saya pribadi dan bukan dari ustad, maupun pengarang kitab apalagi dari
yang menyampaikan risalah ilmu agama shalallahu
'alaihi wasallam terlebih lagi bukan dari Yang Maha Mengetahui dan Maha
Hikmah.
Akhirul Kallam. Alhamdulillah hamdan katsiro mubarokan fih, Allahumma
shali 'ala Muhammadin wa 'ala alihi wa sahabihi ajma'in
Rujukan Kitab:
1. Al-Qur’anul Karim
2. Lidwa.com – Alamat situs hadist sembilan imam
3. Syaikh Abu Syuja’ al-Ashifani. Matn al-Ghaayah wat Taqrib.
Terjemah: Faiz el-Muttaqiem berjudul Fiqih Islam Tradisi. Ampel Mulia: Surabaya.
4. Kajian Mulazammah Pagi. An-Nur Jagalan. Pengampu Materi
Ustad Abdullah Shalih Hadhromi.
Rabu, 9 Muharram 1432 / 15 Desember 2010.
@nd
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah