KAJIAN ISLAM DAN KARYA PENA

KAJIAN ISLAM YANG MEMUAT HAL-HAL BERKAITAN TENTANG PENGETAHUAN ISLAM BAIK SADURAN ATAU KARYA ASLI. BAIK HAL AKIDAH, MUAMALAT, FIKIH ATAUPUN TASKIYATUN NUFS (PENYUCIAN HATI)

JUGA KARYA PENA UMUM BERUPA PUISI CERPEN DAN KARANGAN ATAU ILMU PENGETAHUAN UMUM DAN PENELITIAN ILMIAH

Sabtu, 22 Oktober 2011

BAB WUDHU


BAB WUDHU

Segala Puji Bagi Allah dengan sebenar-benar pijuan. Semoga Shalawat serta salam tercurah pada Utusan Allah, Nabi Muhammad beserta keluarganya beserta para sahabatnya dan ummatnya hingga hari kiamat. Amma ba’d.

Wudhu merupakan syariat yang sangat penting dalam Islam, Allah mensyariatkannya untuk kemaslahatan yang besar para hamba-hambaNya. Salah satu maslahat yang tampak di antara jutaan bahkan lebih dari itu adalah menjaga kesucian, kebersihan dan keindahan para hambaNya baik lahir maupun batin. Karena fitrah manusia adalah suci, cinta kesucian dan kebersihan serta condong kepada keindahan baik jasmani ataupun rohani.

Maka dari itu Allah mengutus RasulNya Shalallahu ‘alaihi wasallam untuk mengajarkan tata cara berwudhu kepada ummatnya dengan tata cara yang mudah dipelajari dan juga diamalkan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pun mengajarkan tata cara berwudhu yang mudah dan lengkap dan mampu dilaksanakan para hambaNya. Allah Ta’ala pun memerintahkan utusanNya untuk memerintahkan ummatnya berwudhu setiap hendak menghadapNya dalam maqam (kedudukan) yang tertinggi, yaitu shalat dan juga ibadah-ibadah lainnya yang Ia Ta’ala syariatkan.

Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat, maka para ulama ahli fikih berusaha untuk mengumpulkan berbagai dalil sahih tentang syariat wudhu. Mereka mengumpulkan dalil-dalil yang ada berdasarkan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka mengelompokkannya ke dalam syarat, rukun dan sunnahnya. Adapun beberapa permaslahan yang perlu perincian lebih detail, para ulama fikih mencoba untuk menjelaskannya dengan ijtihad (pendapat) mereka yang tentunya bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam, walau bersumber dari dalil yang sahih namun apabila itu berupa penjelasan para ulama tetap saja terdapat perbedaan pendapat. Selama perbedaan pendapat itu secara jelas tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka hal itu merupakan rahmat bagi ummat ini karena ada suatu keringanan untuk memilih mana tata cara yang menurut mereka mudah untuk dilakukan. Tata cara itu tergabung dan terangkum dalam suatu madzhab fikih yang di Indonesia mayoritas yang dipakai adalah Madzhab Fikih Imam Syafi’ie. Akan tetapi, madzhab fikih ini bukanlah kitab suci yang harus kita pegang dan kita kultuskan, sehingga apabila ada sebagian saudara kita yang melakukan tata cara berbeda dalam melakukan suatu ibadah, selama itu dia memiliki alasan kuat dan ada dalilnya serta tidak menyimpang dalam permasalahan pokok dengan menabrak dalil sahih (Al-Qur’an dan Sunnah), maka kita pun harus menghormatinya. Allahu a’lam

Maka dari itu saya ingin memaparkan bagaimana tata cara syariat wudhu dalam Madzhab Imam Syfi’ie dan juga penjelasan ulama yang lain baik bermadzab Syafi’ie ataupun bukan, serta dari riwayat-riwayat ahli hadist tentang bagaimana cara Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berwudhu. Dengan demikian insya Allah akan terbuka wawasan kita mengenai bab fikih wudhu yang ada sehingga kita tidak taklid (cinta buta) kepada satu madzhab saja, namun kita tetap taklid kepada sang pembawa risalah Muhmmad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Karena Imam Syafi’ie pun pernah menyatakan, “Apabila kamu mendapatkan dalam kitabku ada yang menyelisihi sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, maka katakanlah yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam”.

I. Syarat Wudhu
Syaikh Abu Syuja’ Al-Asfihani Rahimahullah Ta’ala (Ulama Fikih Madzhab Syafi’ie) dalam bukunya berjudul Matn al-Ghaayah wat Taqrib (Fiqih Tradisi, terj Ind) menyatakan bahwa wudhu itu memiliki syarat-syarat, yaitu suatu ketentuan yang menyebabkan obyek (orang) itu dikatakan boleh dan sah untuk berwudhu. Syarat itu adalah:
1.      Islam : Adapun orang-orang kafir baik dari kalangan Musyrik ataupun ahli kitab, tidak berhak melakukan wudhu. Apabila mereka wudhu, maka wudhunya tidak sah.
2.      Tamyis : Adalah orang yang bisa membedakan yang benar dan yang salah (berakal). Anak kecil yang sudah bisa membedakan keduanya, maka ia telah mendapatkan syarat sah untuk berwudhu. Sebaliknya bila orang dewasa namun hilang akal (gila), maka wudhunya tidak sah atau ia tidak memiliki beban syariat wudhu.
3.      Air yang dipakai suci
4.      Tiada penghalang yang tampak antara air wudhu dengan permukaan kulit
5.      Tidak ada najis dalam tubuh
6.      Masuk waktu sholat untuk orang yng selalu dalam kedaan berhadast. Maksudnya ada beberapa orang yang ia memiliki penyakit bawaan sejak lahir, bahwa ia selalu mengeluarkan kotoran (berupa cairan yang keluar dari kemaluannya) tanpa bisa dikontrol. Orang semacam ini wajib berwudhu saat setiap hendak melaksanakan shalat wajib. Artinya, ia tidak bisa menggunakan air wudhunya untuk dua atau lebih shalat wajib, hal ini berbeda dengan orang normal. Namun, bila ia melaksanakan shalat sunnah maka hukumnya seperti orang normal, ia boleh menggunakan air wudhunya untuk dua atau lebih shalat sunnah. Allahu a’lam.

II. Rukun Wudhu
Setelah syarat-syarat di atas terpenuhi, maka terdapat rukun wudhu. Rukun wudhu adalah kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh obyek (orang) yang telah memenuhi syarat di atas. Adapun bila salah satu rukun tidak terpenuhi, maka wudhunya tidak sah/gugur. Rukun wudhu yang kan kita bahas secara lebih mendalam adalah ‘niat’.

2.1 Niat Ketika Membasuh Wajah
Niat merupakan hal yang paling penting dalam melakukan apa pun. Dalam Riwayat Bukhari dinyatakan bahwa Umar Ibn Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menyatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semua perbuatan itu tergantung dari niatnya”. Karena orang berakal pasti memiliki tujuan yang mendorong untuk melakukan suatu tindakan, tujuan yang mendorong seseorang untuk melakukan wudhu itulah yang dinamakan niat wudhu.

  A.    Dalam ilmu ikhlas, niat adalah suatu unsur yang sangat penting untuk membedakan seseorang itu beramal karena Allah ataukah selainnya. Sedangkan dalam ilmu fikih, niat merupakan unsur yang membedakan seseorang itu melakukan ibadah atau selainnya. Niat dalam ilmu fikih ini secara sederhana dapat dicontohkan sebagai berikut: Bila ada orang yang mandi janabat (mandi wajib) dengan orang yang mandi biasa, secara kasat mata tiada bedanya. Keduanya sama-sama mengguyurkan air ke seluruh tubuhnya, namun yang sangat membedakan di sini adalah niat orang yang mandi tersebut apakah untuk mandi janabat yang hal ini suatu ibadah guna mensucikan dari hadast besar, ataukah mandi biasa untuk sekedar menyegarkan badan? Inilah pentingnya niat.

  B.     Dalam Madzhab Imam Syafi’ie, niat dimulai dari membasuh wajah. Hal ini karena dalam Madzhab Imam Syafi’ie hal wajib yang pertama kali harus dilakukan dalam berwudhu adalah membasuh wajah.

  C.     Niat terletak dalam hati yang memiliki fungsi untuk menetapkan dan menegaskan bahwa apa yang dilakukannya adalah berwudhu. Adapun yang menyatakan niat itu diucapkan adalah boleh, namun hal ini sepertinya tidak sesuai dengan tujuan niat itu sendiri, karena orang yang berakal dalam melakukan sesuatu pasti ada niatan yang ia sadari sehingga amat mengherankan bila tiap melakukan sesuatu ia harus berkomat-kamit untuk mengucapkan niatnya.
Sebagai contoh adalah makan, tentu seseorang yang mengambil piring lalu mengambil nasi dan lauk pauknya adalah ia niatkan untuk makan. Niat itulah yang menggerakkan ia untuk mengambil piring, nasi dan lauk-pauknya. Maka, apabila kita mendapati orang yang akan mengambil piring menyatakan secara lisan, “Aku berniat mengambil piring, nasi dan lauk untuk makan karena Allah Ta’ala” kita akan menyatakan bahwa orang itu sedang kebingungan atau bahkan akan hilang akalnya. Begitupula dalam ibadah seperti wudhu dan juga yang lainnya. Allahu a’lam.

   D.    Orang yang sehat dan tidak memiliki penyakit, maka dalam berwudhu ia memiliki beberapa versi niat (beberapa alasan) untuk berwudhu, yaitu:
a.       Ia niat berwudhu untuk menghilangkan hadast kecil
b.      Ia niat berwudhu agar ia dibolehkan melaksanakan sholat atau ibadah lainnya yang tidak boleh dilakukan kecuali harus berwudhu
c.       Ia niat berwudhu untuk menunaikan wudhu itu. Karena wudhu merupakan ibadah yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk menjaganya. Hal ini dilandasi oleh hadist riwayat Ad-Darimi dalam sunannya nomor 654 dari Tsauban Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Usahakanlah untuk menetapi kebenaran dan usahakanlah untuk mendekatinya, dan sebaik-baik amalan kalian adalah shalat, dan tidaklah seorang selalu menjaga wudhu melainkan ia adalah orang yang beriman”
Imam Nawawi Rahimahullah menyatakan, “Kalau berniat bersuci untuk sholat atau untuk melakukan ibadah lainnya yang diharuskan untuk wudhu, maka itu telah mencukupinya”. Pernyataan Imam Nawawi ini mendukung versi niat poin “C”, hal ini juga didukung oleh pendapat Syaikh Husein yang menyatakan, “Kalau niat wudhu saja itu sudah cukup, karena tiada ibadah lain yang persis sama dengan wudhu” (Hal ini dikecualikan untuk mandi janabat).

E.  Orang yang memiliki penyakit kelainan dimana ia selalu saja berhadast (mengeluarkan carian dari kemaluannya) tanpa bisa dikontrol, maka hal ini ada perbedaan dalam hal niat. Orang semacam ini berwudhu dengan niat agar ia dibolehkan sholat atau melakukan ibadah lain yang mengharuskannya ia untuk berwudhu, inilah pendapat yang lebih dipercaya. Karena bila ia berniat wudhu untuk menghilangkan hadast, maka ini jelas tidak mungkin sebab ia memang kondisinya selalu berhadast. Andai ia sudah berwudhu, kotorannya yang selalu menetes itu sudah dimaafkan oleh Allah karena kondisinya yang seperti demikian adalah diluar kendalinya/diluar kemampuannya.

Catatan: Berwudhu adalah ibadah yang berfungsi untuk menghilangkan ‘hadast kecil’, bukan menghilangkan ‘najis’ karena konteks keduanya berbeda. Kalau konteksnya menghilangkan najis maka ia hanya perlu menghilangkan najis yang menempel di pakaiannya, tatkala najisnya hilang ia diperbolehkan shalat dan tidak perlu berwudhu. Hal ini didukung oleh hadist yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam Sunannya No. 1343 dan Imam Ahmad dalam Sunannya No. 11443 dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tatkala Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya, tiba-tiba Beliau melepas kedua sandalnya dan meletakkannya di samping kirinya, maka mereka pun melepas sandal mereka. Selesai shalat Beliau pun bertanya, ‘Apa yang mendorong kalian melepas sandal kalian?’, mereka berkata, ‘kami melihat Anda melepas sandal, maka kami pun melepas sandal’. Lalu Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Jibril alaihisallam telah datang padaku dan memberitahuku bahwa pada kedua sandal itu terdapat najis, maka apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid hendaknya ia membalikkan kedua sandalnya. Bila ia melihat padanya terdapat najis, maka hendaknya ia menghilangkannya dan melakukan shalat dengan keduanya (kedua sandalnya)

Maka konteks ‘menghilangkan najis’ tersebut sudah jelas tergambar dalam hadist di atas, yaitu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menghilangkan najisnya saja, tanpa ada pernyataan atau perintah berwudhu lagi. Berbeda dengan perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tatkala ada seseorang yang buang angin (yang termasuk salah satu hadast kecil). Diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui sahabat Ali bin Thalq ia berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian buang angin ketika sedang shalat, maka berwudhulah dan hendaknya ia mengulangi lagi shalatnya”. Allahu a’lam.

Ini sekedar sedikit paparan dari buku Fiqih Islam Tradisi karya Syaikh Abu Syuja' al-Asfihani dan beberapa penjelas menurut pendapat yang lain. Dalam pemaparannya, saya tidak memaksakan para pembaca untuk harus, apalagi wajib mengikuti pendapat pada apa yang saya tuliskan. Bila memang ada perbedaan pendapat di antara pembaca, maka hal itu dipersilahkan dan itu wajar dalam hal Fiqih dengan syarat: (1) memiliki dalil syar'i dalam sebuah pendapatnya dan (2) tidak bertentangan dengan Ushul Dien (masalah-masalah prinsip beragama) serta (3) Tidak bertentangan dengan Ijma' para sahabat (kesepakatan) dan juga para ulama.

Saya hanyalah seorang pemuda yang masih awam akan ilmu dan masih sangat perlu menyelami ilmu lebih dalam lagi. Maka dari itu, saya memohon masukan-masukan yang positif kepada para pembaca. Serta, apabila ada pembaca yang lebih memahami dan mendalami ilmu fiqih, khususnya tentang masalah niat berwudhu, kemudian menemukan hal fatal yang saya tuliskan, maka saya meminta Anda untuk mengkoreksinya dan memberikan masukan yang terbaik dengan cara yang baik pula. Komentar dan masukan dapat dikirimkan melalui e-mail di alamat: paranggaruda@gmail.com atau dapat juga di Facebook dengan alamat: paranggaruda@yahoo.com a.n Abdullah Arnando el-Aji Saputro.

Terima kasih, semoga artikel ini bermanfaat dan apabila ada kelebihan itu datangnya dari Allah, namun bila ada kesalahan datangnya dari diri saya pribadi dan bukan dari ustad, maupun pengarang kitab apalagi dari yang menyampaikan risalah ilmu agama shalallahu 'alaihi wasallam terlebih lagi bukan dari Yang Maha Mengetahui dan Maha Hikmah.
Akhirul Kallam. Alhamdulillah hamdan katsiro mubarokan fih, Allahumma shali 'ala Muhammadin wa 'ala alihi wa sahabihi ajma'in

Rujukan Kitab:
1. Al-Qur’anul Karim
2. Lidwa.com – Alamat situs hadist sembilan imam
3. Syaikh Abu Syuja’ al-Ashifani. Matn al-Ghaayah wat Taqrib. Terjemah: Faiz el-Muttaqiem berjudul Fiqih Islam Tradisi. Ampel Mulia: Surabaya.
4. Kajian Mulazammah Pagi. An-Nur Jagalan. Pengampu Materi Ustad Abdullah Shalih Hadhromi.

Rabu, 9 Muharram 1432 / 15 Desember 2010.
@nd






Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah