Makna Produktifitas Sumber Daya Manusia
Ditinjau dari Sudut Pandang Syariah dan
Konvensional
Arnanda Aji Saputra
Dosen Stie Indocakti Kota Malang. Jl. Ijen Nomor... Malang
Abstrak
Produksi merupakan kegiatan
yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa bagi manusia.
Karena itu diperlukan kegiatan produksi guna menambah nilai barang dan jasa
agar didapatkan output yang bermutu. Output yang bermutu tinggi tidak terlepas
dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang mendukungnya. Kualitas SDM yang
dimaksud terletak pada produktivitas mereka sebagai penggerak
organisasi/perusahaan. Bukan hanya teori manajemen konvensional saja yang
mengakui adanya pengaruh antara produktivitas SDM dengan mutu hasil produksi
namun Teori Ekonomi yang berbasis Syariah juga mengakuinya. Kedua teori ekonomi
tersebut terdapat persamaan dan perbedaan dalam memandang keterkaitan antara
produktivitas SDM dengan mutu hasil produksi. Perbedaan dan persamaan pandangan
antara Teori Ekonomi Konvensional dan Syariah terhadap produktivitas SDM
terletak pada tujuan dasar dari produktivitas SDM itu sendiri.
Kata kunci: produksi, produktivitas, SDM, syariah, konvensional,
mutu, organisasi.
Produksi merupakan kegiatan yang sangat penting untuk memenuhi
kebutuhan barang dan jasa bagi manusia. Selain itu produksi juga penting dalam menambah
nilai guna barang dan jasa untuk kemaslahatan manusia. Dalam perusahaan, kegiatan produksi dituntut
untuk menghasilkan output yang berkualitas yaitu hasil produksi yang bermutu
tinggi ditinjau dari segi manfaat dan estetikanya (Ekotama, 2011).
Agar dalam proses produksi
mampu menghasilkan output yang bermutu tinggi, haruslah pelaku-pelaku
pada lin produksi memahami tentang arti dan makna produksi secara umum maupun
khusus. Secara umum produksi dapat diartikan sebagai
kegiatan untuk menciptakan atau menambah kegunaan barang atau jasa (Assauri,
2004). Proses menciptakan dan menambah kegunaan barang dan jasa dalam produksi
tidak mungkin terwujud tanpa adanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang terkait
dalam proses produksi suatu barang dan jasa tersebut. Wahyuni (2010) menyatakan
bahwa peranan sumber daya manusia adalah sebagai partner strategis perusahaan,
artinya bahwa semua lini produksi tidak dapat berjalan tanpa didukung oleh sumber daya manusia
yang memadai, baik ditinjau dari sisi kualitas maupun kuantitas.
Lini produksi bertanggung jawab untuk menentukan
kualitas produksi untuk memenuhi kepuasan pelanggan. Guna mendapatkan kualitas
produksi yang demikian, diperlukan SDM yang memiliki produktivitas tinggi. Ada beberapa pengertian produktivitas menurut
beberapa pakar manajemen. Di antaranya dikemukakan oleh Sedarmayanti (2009) yang
berpendapat bahwa produktivitas merupakan keinginan (the will) dan upaya
(effort) manusia untuk selalu meningkatkan kualitas kehidupan dan
penghidupan di segala bidang. Pendapat yang dikemukakan oleh Sedarmayanti
(2009) ini masih bersifat umum.
Ada pendapat lain yang mengemukakan tentang arti
produktivitas dengan makna yang lebih khusus sebagaimana dikemukakan oleh Yuniarsih
(2009) bahwa produktivitas kerja menunjukan tingkat kemampuan pegawai dalam
mencapai hasil (output), terutama dilihat dari sisi kuantitasnya. Adapun
menurut Nawawi (dalam Yuniarsih, 2009) produktivitas adalah perbandingan antara
kualitas hasil yang diperoleh (output) dengan jumlah sumber daya yang dipergunakan
sebagai masukan. Ini merupakan pandangan para pakar manajemen konvensional dalam
memandang konsep produktivitas.
Sedangkan menurut pakar Ekonomi Syariah,
produktivitas merupakan suatu hal yang penting untuk menghasilkan sebuah karya
yang bermanfaat bagi umat manusia. Tidak terbatas dengan hal yang dapat dijual,
akan tetapi dapat menambah nilai guna dan manfaat bagi kehidupan secara umum,
khususnya yang dapat mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala (Qardhawi,
1997).
Perbedaan pengertian produktivitas pada para pakar
ekonomi didasarkan atas konsep dasar yang diyakini, pengamatan dan penelitian yang
dilakukan terhadap masyarakat sekitar, serta pendapat-pendapat yang pernah
dibaca oleh mereka. Khususnya terhadap faktor konsep dasar yang diyakini,
sangat mempengaruhi bagaimana pakar manajemen dalam mengemukakan makna
produktivitas dan berpengaruh pula pada praktisi untuk mengaplikasikan makna
produktivitas yang ada.
Makna produktivitas yang diyakini berdampak pada
aplikasi pada kehidupan sehari-hari dan aktivitas ekonomi yang dijalankan oleh
tiap individu. Bila makna produktivitas hanya berkutat pada dimensi keuntungan,
maka semua aktivitas kerja dan efisiensi dalam menggunakan sumber daya manusia
dimaksudkan dengan tujuan memperoleh keuntungan saja. Apabila produktivitas
hanya diperuntukkan mendapatkan popularitas, maka semua aktivitas kerja dan efisiensi yang
terkait dengan kerja juga terfokus untuk mendapatkan simpatisan. Dan apabila
produktivitas dipergunakan untuk kemaslahatan masyarakat maka semua aktivitas
kerja dan efisiensi yang dilakukan juga akan terfokus pada kesejahteraan stake
holders yang terkait dengan perusahaan/organisasi.
Warna produktivitas juga
seringkali dibedakan oleh pengikut madzab-madzhab ekonomi. Madzhab ekonomi yang
memberikan warna pada makna produktivitas sangat banyak, akan tetapi bila
diklasifikasikan lebih luas terdapat 3 (tiga) madzhab besar yang bisa dikatakan
sebagai sistem ekonomi dunia, yaitu: Sistem Ekonomi Sosialis, Sistem Ekonomi
Kapitalis, dan Sistem Ekonomi Syariah. Dari tiga madzhab utama (yang membentuk
sistem ekonomi dunia) hanya dua yang saat ini saling bersaing, sedangkan Sistem
Ekonomi Sosialis sudah tidak lagi dipakai secara penuh kecuali di wilayah Korea
Utara.
Makna produktivitas pada Sistem Ekonomi Kapitalis
telah banyak dibahas oleh para pakar ekonomi konvensional, karena secara umum
sistem ekonomi dunia khususnya Indonesia saat ini menggunakan Sistem Ekonomi
Kapitalis. Sedangkan Ekonomi Syariah, merupakan Sistem Ekonomi yang kembali muncul setelah
redup di tahun 1924 bersamaan dengan runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani (Perwataatmaja,
2008). Bangkitnya kembali sistem Ekonomi Syariah ditandai dengan munculnya
banyak lembaga-lembaga Syariah di dunia, baik di wilayah Asia, Eropa dan
Amerika. Salah satu lembaga yang tumbuh berkembang dengan pesat adalah lembaga
perbankan Syariah (Malik, 2011).
Perbankan Syariah tumbuh pesat seiring dengan
kesadaran Kaum Muslimin akan pentingnya penerapan Syariah Islam dan semakin
banyaknya kemudahan, kesejahteraan serta keuntungan yang didapatkan dengan mengakses
lembaga keuangan syariah khsusunya perbankan (Malik, 2011). Walaupun saat ini
perkembangan Ekonomi Syariah masih sebatas lembaga keuangan tertentu dan beberapa
perbankan yang diakui, namun telah membantu meningkatkan produktivitas masyarakat khususnya
Kaum Muslimin (Haqque, 2010).
Perbankan syariah pada umumnya membantu
meningkatkan produktivitas masyarakat dengan cara memberikan pinjaman modal sesuai
Syariah Islam, baik dengan cara musyarakah berbentuk mudharabah
atau ghardul hasan bagi mereka yang tidak mampu. Sebagaimana telah diterapkan
pada perbankan Syariah di sebagian besar wilayah Sumatera Barat (Kenedi, 2013).
Upaya perbankan Syariah dalam membantu masyarakat meningkatkan produktivitas
melalui pinjaman berupa modal usaha bisa dikatakan bahwa dalam Syariat Islam
pun juga memperhatikan produktivitas SDM dan mengaplikasikannya dalam tindakan
melalui sebuah kelembagaan formal. Lembaga yang bergerak di bidang syariah
sebagaimana perbankan syariah, tentu SDM yang bergerak di dalamnya juga
memiliki produktivitas sesuai pandangan syariah Islam.
Secara historis, memang di
zaman Rasulullah Muhammad ibn Abdillah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan
Abu Bakar As-Siddiq belum ada lembaga-lembaga khusus yang menangani
perekonomian dan manajemen Syariah, sehingga belum dapat ditelaah secara
aplikatif dan teknis bagaimana Islam memberikan perhatian penuh terhadap
produktivitas SDM. Hanya saja ada beberapa hadits dari Rasulullah yang memiliki
substansi-substansi khusus yang di dalamnya memperhatikan tentang produktifitas
SDM (Misanam, 2009). Sedangkan aplikasi kelembagaannya telah muncul saat
Khalifah Umar ibn Khaththab ditandai dengan dibentuknya Baitul Maal yang
merupakan sistem kelembagaan keuangan Islam tertua di dunia (Qahaf, 2008).
Makna dan Fungsi Produksi di Dalam Ekonomi Konvensional dan
Syariah
Produktivitas tidak bisa lepas dengan makna dan
fungsi produksi, sebab produktivitas dapat dilihat tatkala ada dua unsur yaitu
hasil produksi dan SDM yang mengelola produksi. Secara umum produksi dapat diartikan
sebagai kegiatan untuk menciptakan atau menambah kegunaan barang atau jasa
(Assauri, 2004), namun pendapat beberapa ahli ekonomi konvensional dan syariah mengartikan produksi lebih mendalam dan
aplikatif.
Menurut Miller (2000), produksi adalah sebagai penggunaan atau sumber daya
yang mengubah suatu komoditi menjadi komoditi lain yang sama. Miller (2000) menekankan kepada perubahan
komoditi atas sumber daya. Sedangkan menurut Sugiyanto (2000) bahwa
produksi adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk mendapat
sejumlah input yaitu secara akuntansi sama dengan jumlah uang keluar yang
dicatat. Pendapat Sugianto ini menekankan kepada sudut
pandang akuntansi dengan sumber daya yang lebih spesifik yaitu berupa uang. Sehingga
sudut pandang produksi antara Manajemen, Akuntansi dan Ilmu ekonomi berbasis
modal lainnya masing-masing berbeda-beda pengertian dan maknanya. Terlebih
melihat dari sudut pandang ekonomi konvensional dan syariah.
Menurut tinjauan syariah Islam, yang dimaksud
produksi adalah pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan
penggabungan unsur-unsur produksi yang
terbingkai dalam waktu yang terbatas (Qalahji, 2000). Sehingga dalam Syariah Islam, makna
produksi dikemukakan secara fair sesuai dengan sifatnya, artinya
produksi merupakan penambahan nilai barang dan jasa terhadap materi. Sedangkan
sifat materi duniawi bersifat fana dan masing-masing tidak dapat berdiri
sendiri melainkan harus ada unsur lain yang mendukungnya. Untuk itulah ada pernyataan
“penggabungan unsur-unsur produksi” dan “dalam waktu yang terbatas”.
Beberapa ahli Ekonomi Syariah memberikan definisi yang
berbeda mengenai pengertian produksi, meskipun substansinya sama. Ada devinisi yang lengkap dan ada pula devinisi
yang lebih ringkas, namun kesemuanya mengarah kepada ciri khas prespektif
perekonomian dalam Islam yaitu aktivitas produksi yang mengarah kepada dunia
dan akherat. Penjabarannya dalam bidang produksi yaitu, bahwa barang dan jasa
yang diciptakan manusia adalah hal yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di
akherat kelak. Oleh sebab itu dunia merupakan awal daripada kehidupan
selanjutnya, maka aktivitas produksi pun mengarah kepada peraturan-peraturan
yang ditetapkan oleh Allah sebagai penguasa alam.
Sebagaimana dikemukakan oleh Karf (1992, dalam Misanam 2009) yang mendefinisikan kegiatan produksi dalam
perspektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki suatu sistem perekonommian tidak hanya kondisi fisik
materialnya, tetapi juga moralitas pada SDM, sebagai sarana untuk mencapai tujuan
hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu kebahagiaan dunia dan
akhirat. Sedangkan Rahman (1995, dalam Misanam 2009) lebih menekankan pentingnya keadilan dan
kemerataan produksi (distribusi produksi secaraa merata). Sedangkan menurut menurut Siddiqi (1992, dalam Misanam 2009) adalah penyediaan barang
dan jasa dengan memperhatikan nilai-nilai keadilan dan kebijakan atau manfaat (mashlahah)
bagi masyarakat.
Guna mencapai produksi yang berkualitas dan
bermanfaat bagi masyarakat, harus diketahui apa fungsi produksi yang
dijalankan. Oleh sebab itu dalam konsep Ekonomi Islam juga diperhatikan fungsi
produksi sebagaimana ekonomi konvensional. Hanya perbedaannya terletak pada
bagaimana sudut pandang kedua sistem ekonomi tersebut dalam memberikan makna
pada fungsi produksi itu sendiri kemudian diwujudkan dalam aplikasi pada
kehidupan nyata.
Fungsi dan Tujuan Produksi dalam Mewujudkan Produktivitas
(Tinjauan Konvensional dan Syariah)
Secara umum fungsi produksi adalah suatu bagian
fungsi pada perusahaan yang bertugas untuk mengatur kegiatan-kegiatan yang
diperlukan bagi terselenggaranya proses produksi (Amirullah, 2002). Dengan
mengatur kegiatan itu maka diharapkan proses produksi akan berjalan lancar dan
hasil produksi pun akan bermutu tinggi sehingga dapat diterima oleh konsumen. Menurut
Amirullah (2002) untuk mewujudkan fungsi produksi diperlukan SDM yang memiliki
ketrampilan tidak seragam, hal ini dimaksudkan agar dapat melakukan proses
kerja secara seimbang dalam menerapkan fungsi produksi yang diperlukan.
Berbeda lagi dengan yang dikemukakan oleh Ahman,
(2007) bahwa fungsi produksi adalah hubungan fungsional atau sebab dan akibat
antara input dan output. Ahman menuturkan fungsi produksi dalam pancangan
matematika ekonomi yang berdasarkan teoritis. Sehingga mengarah kepada dua
variabel utama yaitu input dan output yang keduanya dinyatakan sebagai sebab dan akibat dan di antara keduanya ada keterkaitan.
Apapun pendapatnya terkait fungsi produksi, tidak
terlepas dari dua hal yaitu input dan output. Input merupakan unsur masukan,
dalam hal ini dikatakan sebagai sumber daya baik sumber daya alam maupun SDM. Sedangkan
output adalah keluaran yang dihasilkan dari proses produksi tersebut. Maka
terkait dengan pembahasan produktivitas sumber daya yang menjadi unsur utama
sebagai inputnya adalah SDM, sedangkan outputnya adalah kualitas dan kuantitas
produk yang dihasilkan. Oleh sebab itu Amirullah (2002) mengemukakan suatu
bagian fungsi yang di dalamnya terkumpul SDM dengan beberapa kemampuan yang
berbeda.
Bagian fungsi produksi antara satu organisasi
dengan yang lain begitu juga dengan perusahaan berbeda-beda, tergantung tujuan
macam dan tujuan produksinya. Sedangkan macam dan tujuan produksi terikat
dengan visi dan misi perusahaan/organisasi yang dibentuk, namun secara umum pada
sistem ekonomi konvensional tujuan produksi adalah untuk mendapatkan keuntungan
guna mempertahankan kehidupan perusahaan atau organisasi. Sebagaimana
dinyatakan oleh Amirullah (2002) bahwa tugas utama dari bagian produksi dalam
kaitannya dengan pencapaian tujuan perusahaan secara umum adalah berusaha mencapai
biaya produksi yang rendah, mutu produk yang tinggi, tanggapan yang cepat atas
permintaan, dan fleksibilitas untuk membuat beragam barang yang sesuai dengan
selera dan spesifikasi pelanggan.
Adapun tujuan produksi itu dibentuk bermacam-macam
motif, akan tetapi tujuannya tetap sama dalam ekonomi konvensional yaitu
mempertahankan keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh sebab itu tujuan
perusahaan dalam memproduksi barang sama antara perusahaan barang seperti
elektronik, otomotif, bahan pangan dengan perusahaan jasa seperti pegadaian,
bank, dan bentuk usaha jasa lainnya yaitu memperoleh keuntungan. Tujuan
produksi ini juga tidak membedakan apakah perusahaan yang bergerak berdasarkan
konvensional maupun syariat Islam, akan tetapi tampak perbedaannya setelah
menyelami makna dari tujuan produksi secara spesifik.
Tujuan produksi secara spesifik dapat dirujuk
kepada lima hal, sebagaimana dinyatakan oleh Griffin (2006) bahwa lima hal
tersebut adalah: (1) Sumber daya fisik (physical resources); (2) Tenaga
kerja; (3) Modal (capital); (4) Kewirausahaan/keahlian (entrepreneurship); dan (5) Sumber
daya informasi (information resources). Kelima hal inilah yang biasanya
disebut sebagai faktor-faktor produksi.
Adapun fungsi produksi dalam Islam secara umum
adalah sama dengan ekonomi konvensional, yaitu menekankan hubungan fungsional
atau sebab dan akibat antara input dan output, namun ada penekanan yang perlu
diperhatikan. Penekanan tersebut terletak pada etika dan prinsip produksi yang
mengarah kepada syariat Islam (Karim, 2007). Adapun etika merupakan suatu hal
yang cukup penting pada bagian dari fungsi produksi dalam melakukan proses
produksi. Etika dalam Islam mencangkup hal yang luas dan seragam yang
didasarkan pada nilai-nilai Al-Qur’an dan atas apa yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits serta dinamakan
dengan akhlak.
Sedangkan prinsip produksi bila ditinjau dari sisi
Syariat Islam tidak terlepas dari fungsi diterapkannya ekonomi syariah Islam
secara umum, yaitu: (1) Kesejahteraan Ekonomi dalam kerangka
norma moral Islam; (2) Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid,
berdasarkan keadilan dan persaudaraan yang universal; (3) Mencapai distribusi
pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata; (4) Menciptakan kebebasan
individu dalam konteks kesejahteraan sosial (Nasution, 2008).
Guna mewujudkan dan
menerapkan fungsi dan tujuan produksi diperlukan SDM yang berkualitas. Dalam
syariat Islam, SDM yang profesional bukanlah yang memiliki skill di bidangnya
saja namun juga memahami dan mengetahui serta mampu menerapkan syariat Islam
yang berkaitan dengan bisnis khususnya produksi. Penerapan syariat Islam secara
keseluruhan (kaffah) merupakan aplikasi dari Firman Allah, (artinya) ”... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu….” (Al-Qur’an,
Surat Al-Maa’idah: 3). Sehingga dalam Syariat Islam SDM yang berkualitas adalah
yang menggunakan kemampuan dan keterampilannya sejalan dengan tujuan Syariat
Islam yang tertera dalam Firman Allah (artinya) ”Dan aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Al-Qur’an, Surat
Adz-Dzariyaat: 56).
Dalam pandangan Syariat Islam,
produktivitas SDM tidak hanya dilihat dari kemampuan pegawai khususnya dalam
hal skill sebagaimana dalam sudut pandang konvensional, namun lebih luas kemampuan
pegawai di sini adalah pengetahuan mereka tentang Syariat Islam dan
pengaplikasiannya. Semakin seorang pegawai mampu menerapkan syariat Islam dalam
fungsi dan tujuan produksi maka dia semakin profesional dalam pekerjaannya dan
produktivitasnya semakin tinggi (Metwally, 1995), sebab dalam sisi syariat
Islam, produktivitas sangat ditekankan dalam Al-Qur’an maupun hadits dan
diaplikasikan oleh para sahabat dalam Atsar. Oleh sebab itu peranan SDM sangat
penting untuk dijabarkan dan dipertegas dalam menjalankan fungsi dan tujuan
produksi guna meraih produktivitas yang tinggi.
Makna Sumber Daya Manusia
Telah disinggung tentang
produksi, fungsi, dan proses produksi yang kesemuanya menunjang kualitas hasil
produksi, namun ketiga komponen tersebut tidak dapat mewujudkan produktivitas
riil tatkala tidak ada satu komponen penting yaitu SDM khususnya yang
berkualitas.
SDM dikatakan sebagai komponen penting dalam mewujudkan
produktivitas karena memiliki keterkaitan yang erat. Sebab tatkala SDM memiliki
kualitas yang bagus maka produktivitas akan meningkat, dan sebaliknya apabila
SDM memiliki kualitas yang buruk maka produktivitas pun akan menurun. Sebagaimana
dikatakan oleh Danim (2003) bahwa dengan SDM yang berkualitas produktivitas
kerja karyawan akan meningkat, kualitas dan kuantitas produksi semakin baik, karena
technical skill, human skill dan managerial skill karyawan
yang semakin membaik. Sebab itu pembahasan mengenai makna SDM adalah penting
sebelum membahas produktivitasnya.
Menurut Wikipedia Indonesia (2014) makna SDM
adalah potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk
sosial yang adaptif dan
transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang
terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan
yang seimbang dan berkelanjutan. Wikipedia menekankan SDM kepada suatu potensi
yang dimiliki manusia. Dengan potensi itulah manusia dapat melakukan berbagai
aktivitas ekonomi termasuk produksi yang hasilnya dapat dirasakan oleh stake
holders.
Sedangkan menurut Papayungan (1995) SDM adalah
seluruh kemampuan atau potensi penduduk yang berada di dalam suatu wilayah
tertentu beserta karakteristik atau ciri demografis, sosial maupun ekonominya
yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan. Jadi tatkala kita membahas
SDM berarti juga membahas penduduk dengan segala potensi atau kemampuannya.
Potensi manusia menyangkut dua aspek yaitu aspek kuantitas dan kualitas.
Papayungan (1995) memfokuskan makna SDM pada potensi manusia di suatu wilayah
tertentu. Sehingga tatkala potensi pada manusia dikaitkan dengan suatu wilayah,
akan mengarah kepada aktivitas pembangunan dan pengembangan pada suatu wilayah
tersebut. Sehingga SDM terkait erat dengan aktivitas pembangunan dan
pengembangan wilayah di suatu tempat/negara.
Di sisi lain Marimin (2004) mengatakan bahwa sumber daya
manusia merupakan salah satu aset organisasi yang menjadi tulang punggung suatu
organisasi dalam menjalankan aktivitasnya dan sangat berpengaruh terhadap
kinerja dan kemajuan organisasi. Marimin (2004) mengkhususkan pembahasan SDM
pada suatu organisasi, maka potensi ini pun dikaitkan antara potensi pada diri
manusia dengan kekuatan seuatu organisasi.
Tatkala dihubungkan dengan masalah produksi, yaitu
terkait dengan perusahaan. Maka Sinurat (2008) mengungkapkan secara detail
tentang makna SDM dengan mengambil urgensinya terhadap peroduksi dan
fungsi-fungsinya yang tampak pada aktivitas produksi pada perusahaan tersebut. Sinurat
(2008) mengatakan, “Sumber Daya Manusia (SDM) adalah satu-satunya sumber daya
perusahaan yang memiliki kekuasaan untuk merencanakan dan mengendalikan sumber
daya yang lain dalam organisasi. Sumber daya manusia adalah satu-satunya sumber
daya yang memiliki kekuasaan untuk merencanakan dan mengendalikan kegiatannya
sendiri.” Makna ‘mengendalikan sumber daya yang lain” adalah Sumber Daya Alam
yang kemudian diubah menjadi unsur produksi melalui kegiatan produksi. Sehingga
dapat ditarik benang merah bahwa Sumber Daya Manusia bermakna luas sesuai
dengan fokus permasalahan, selain itu memiliki peran yang sangat besar untuk
menggerakkan aktivitas kehidupan baik dalam kehidupan organisasi laba maupun
nirlaba seperti perusahaan.
Makna Sumber Daya Manusia (SDM) dalam Terminologi Islam
Secara sekilas, istilah SDM
sama dengan istilah dalam manajemen konvensional, akan tetapi yang membedakan
adalah peranan SDM dalam kaidah dan tanggung jawab sosial. Karena SDM merupakan
unsur terpenting dan pasti ada di setiap lini organisasi maupun perusahaan,
maka SDM mendapatkan perhatian dari setiap manager baik lini maupun pusat (Jaribah,
2010).
Dalam pandangan ekonomi
konvensional, SDM merupakan sebuah unsur yang harus diperhatikan untuk ‘menunjang’
pendapatan dan kestabilan organisasi (Qardhawi, 1997). Semakin SDM
diperhatikan, diurus, dan dipenuhi hak-hak mereka dengan manajemen yang baik
maka akan semakin stabil keadaan organisasi yang ada. Namun sebaliknya, bila
SDM tidak diperhatikan dengan baik akan menimbulkan letupan yang dapat
menghancurkan organisasi maupun perusahaan, sehingga SDM diibaratkan pedang
yang harus dirawat dengan baik. SDM akan menyelamatkan organisasi maupun menghancurkannya
tergantung bagaimana memperhatikan mereka, sehingga ibarat pedang bagaimana
memakainya (Jaribah, 2010).
Ekonomi Islam memandang SDM
dari sisi syariat, yaitu dari sisi amanah yang harus dijalankan untuk mencari
keridhoan Allah (Karim, 2007). Sehingga tujuan didirikannya organisasi tidak
hanya semata-mata untuk mencari keuntungan belaka, akan tetapi bagaimana
mensejahterakan SDM yang ada di sekitar organisasi tersebut. Memaksimalkan
penghasilan tidak difokuskan kepada individu maupun golongan terlebih dahulu,
namun lebih difokuskan terhadap pemerataan kesejahteraan SDM di sekitar
organisasi/perusahaan.
Qahaf (2008) menyatakan bahwa
kinerja SDM yang baik adalah untuk kesejahteraan SDM itu sendiri, tidak peduli
apakah pendapatan yang dihasilkan mengalami peningkatan ataukah tetap sama. Sehingga
bila upaya dalam memperhatikan kualitas SDM secara maksimal, maka perhatian
terhadap kualitas SDM itu kembali kepada kesejahteraan mereka, bukan
semata-mata untuk individu ataupun kalangan tertentu. Sebagaimana Umar ibn
Khaththab dalam Jaribah (2010) menyatakan bahwa apapun yang sedikit namun halal
dan berkah itu lebih baik daripada banyak akan tetapi melalaikan. Sehingga
pernyataan Umar ibn Khaththab ini menggambarkan tidak dibenarkannya
pendayagunaan kualitas SDM untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa
memperhatikan aturan syariat yang ada.
Dari pendapat para pakar
ekonomi konvensional dan Ekonomi Syariat didapatkan perbedaan bahwa ekonomi
konvensional menitikberatkan pada penghasilan dan SDM sebagai alat untuk meraup
penghasilan, namun bila ekonomi syariah lebih menitikberatkan pada kewajiban
untuk kesejahteraan sosial sehingga SDM sebagai obyek daripada kinerja SDM itu
sendiri. Walaupun terdapat perbedaan titik berat di antara kedua sistem ekonomi
dalam memandang kualitas SDM, akan tetapi ada satu titik temu yang sama antara
keduanya yaitu peningkatan kualitas mutu SDM merupakan sebuah keharusan untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Sehingga pimpinan organisasi baik manager
maupun lini harus mengupayakan terwujudnya peningkatan kualitas SDM bila ingin
tujuan organisasi tercapai.
Fungsi SDM Bagi Kelangsungan Produksi Menurut
Pandangan Konvensional dan Islam
Tatkala membahas tentang
produksi, maka ada dua unsur yang tidak dapat dipisahkan yaitu SDA dan SDM.
Keduanya saling melengkapi untuk menghasilkan suatu produk yang berkualitas
serta mengarahkan organisasi pada tujuan yang ingin dicapai.
Menurut Griffin (2005), dilakukan agar perusahaan dapat
memperoleh SDA yang terlatih dan dapat memaksimalkan pengolahan Sumber Daya Alam
bila difokuskan dalam produksi barang pada sebuah perusahaan dan menghasilkan
produk jasa yang berkualitas bila difokuskan pada organisasi/perusahaan jasa. Sehingga
pemanfaatan SDM menjadi faktor penentu keberhasilan pelaksanaan organisasi yang
efektif, meningkatkan profit yang siginifikan serta mempertahankan keeksisan
organisasi di tengah kancah persaingan yang ketat.
Mutu kualitas SDM harus terus
ditingkatkan agar mampu berkompetensi untuk eksis dalam kancah kompetensi
persaingan yang ketat, sehingga tetap menghasilkan produk yang berkualitas
dengan profit yang tinggi. Peningkatan mutu dan kualitas SDM harus dilakukan
dengan berbagai cara yang kreatif sesuai dengan tujuan Visi, Misi dan Tujuan
Organisasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Spencer and spencer (1993) bahwa
peningkatan mutu dan kualitas SDM untuk menghasilkan produk yang berkualitas
dan meningkatkan kualitas produksi adalah dengan memperhatikan lima
karakteristik kompetensi, yaitu: (1) motif; (2) sifat dasar; (3) konsep diri;
(4) pengetahuan; dan (5) keterampilan.
Berbeda dengan pandangan
konvensional, Syariah Islam mengharuskan peningkatan mutu SDM diarahkan bukan
hanya kepada peningkatan produksi yang berkualitas, akan tetapi produksi yang
bermanfaat dan yang maslahat bagi umat manusia (Jaribah, 2010). Cara
meningkatkan kualitasnya pun harus sesuai dengan tujuan syariat Islam, bukan
sesuai dengan profit semata. Sehingga pendapat Grifin (2005) dan Spancer (1993)
dalam ekonomi Islam harus ditinjau dahulu dari tiga kaidah-kaidah/asas, yaitu:
(1) akidah/keyakinan; (2) ilmu; dan (3) amal.
Kaidah akidah bertitik tolak
pada keyakinan pada wahyu, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, apakah cara peningkatan
mutu SDM dan dalam rangka meningkatkan kualitas dan tujuan produksi tidak
bertentangan dengan larangan agama Islam. Sehingga bila cara meningkatkan
kualitas SDM terdapat unsur yang dilarang oleh agama harus dihindari, seperti
pelatihan yang di dalamnya terdapat unsur pemaksaan, ikhtilat (bercampur baur
bukan mahram) dan yang lainnya. Pandangan akidah menitikberatkan pada keyakinan
yang kuat terhadap Allah Yang Memiliki Hukum, sehingga walaupun sesuatu itu
bersifat menguntungkan akan tetapi mengandung unsur yang dilarang dalam agama
maka hal itu tidak dapat dilaksanakan.
Sedangkan kaidah ilmu didasarkan pada cara teknis,
apakah memang mengandung unsur maslahat bagi perusahaan, organisasi serta
lingkungan sekitar dan masyarakat ataukah belum. Bila belum, dapat ditambahkan
unsur teknis yang lebih bermanfaat bagi mereka, namun jika yang ada justru berdampak
negatif maka harus dihilangkan. Kaidah ilmu mencangkup ilmu umum, baik itu ilmu
syariah maupun ilmu umum yang menunjang selama tidak ada larangan yang
tercantum dalam nash syariah.
Kaidah amal dititikberatkan
pada proses peningkatan mutu SDM, artinya bahwa perusahaan atau organisasi
melakukan kegiatan pelatihan dan pengembangan bukanlah semata-mata untuk
kepentingan organisasi, akan tetapi lebih dari itu adalah memberikan ilmu
pengetahuan yang bermanfaat kepada manusia secara umum. Memberikan ilmu yang
bermanfaat untuk kepentingan dan maslahat umum dan organisasi/perusahaan
memiliki nilai ibadah di sisi Allah. Maka semakin ikhlas seseorang memberikan
pelatihan dan semakin semangat peserta pelatihan mengikuti program yang
diagendakan dengan niat untuk mensejahterakan perusahaan/organisasi dan
masyarakat, maka semakin besar nilai ibadah dan semakin besar pula barakah yang
didapatkan perusahaan dari hasil peningkatan mutu SDM tersebut. Sehingga
kualitas produksi yang meningkat bukanlah semata-mata karena unsur SDM akan
tetapi ada unsur keridhoan Ilahi kemudian juga terdapat unsur semangat dan
keikhlasan dari SDM (pekerja) untuk melakukan yang terbaik bagi perusahaannya.
Dari tiga asas/kadiah
tersebut memberikan sumbangsih bagi tiap unsur SDM untuk selalu berkarya,
meningkatkan kemampuan/skill, serta memberikan yang terbaik bagi perusahaan
atau organisasi serta lingkungan sekitar. Dengan demikian secara otomatis akan
menghasilkan produksi yang unggul baik dalam kualitas maupun kuantitasnya dan
mampu bersaing dengan kualitas persaingan yang baik dan sehat di tengah kancah
persaingan yang ketat.
Makna Produktivitas
Berbeda
dengan produksi yang hanya menekankan pada kegiatan peningkatan nilai dan
kualitas barang, makna produktivitas lebih mendalam dan memiliki dimensi
khusus. Menurut Husein (2002) produktivitas adalah perbandingan antara hasil
yang dicapai (output) dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan (input).
Produktivitas
memiliki dua dimensi, yaitu: (1) efektivitas yang mengarah kepada pencapaian
target berkaitan dengan kuaitas, kuantitas dan waktu; dan (2) efisiensi yang
berkaitan dengan upaya membandingkan input dengan realisasi penggunaannya atau
bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan (Husein, 2002). Pendapat yang
demikian itu menunjukkan bahwa produktivitas mencakup sejumlah persoalan yang
terkait dengan kegiatan manajemen dan teknis operasional.
Produktivitas
dapat dinyatakan terkait dengan kegiatan manajemen, karena kegiatan manajemen
dapat mengarahkan hasil produksi untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan
secara efektif dan efisien. Sebagaimana fungsi dan makna dari manajemen yaitu proses
merencana, mengorganisasi, mengarahkan, mengkoordinasikan serta mengawasi
kegiatan mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif, diperlukan SDM
yang ulet dan profesional. Sehingga sejalan dengan pendapat yang dikemukakan
Siagian (2001) dan Mulyasa (2008) bahwa produktivitas juga tidak dapat
dikepaskan dari kualitas mutu SDM itu sendiri, baik dalam urusan manajemen
perusahaan ataupun organisasi secara umum maupun khusus.
Sedangkan
efisiensi yang berkaitan dengan bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan berhubungan
dengan proses produksi dalam menghasilkan produk yang berkualitas dan disenangi
masyarakat. Bila terkait dengan dimensi syariah Islam produktivitas mengarah
kepada bagaimana mebuat produk dengan meningkatkan nilai guna dan maslahat pada
manusia secara umum, baik itu pekerja, konsumen, maupun masyarakat di
lingkungan organisasi/perusahaan, serta siapa saja yang terkait langsung atau
tidak terhadap organisasi/perusahaan (Jaribah: 2010).
Peran Produktivitas dalam Memberikan Nilai Kualitas Produksi
Dalam ekonomi konvensional,
pada dasarnya tujuan utama dari suatu perusahaan bisnis adalah untuk
menghasilkan keuntungan ataupun profit yang sebanyak-banyaknya. Untuk
meningkatkan keuntungan atau profit perusahaan, Ide ataupun usulan yang paling
sederhana dan paling pertama muncul adalah meningkatkan Produktivitas.
Menurut Sedarmayanti (2009) Manajemen
Perusahaan harus mampu menemukan cara untuk menyeimbangkan peningkatan Kualitas
dan Produktivitas. Terlalu menekankan peningkatan Produktivitas akan mengorbankan
Kualitas yang mungkin pada akhirnya juga akan menurunkan Output Produksi.
Sedangkan terlalu menekankan peningkatan Kualitas dengan mengorbankan
Produktivitas juga akan menimbulkan Biaya Operasional yang tinggi. Oleh karena
itu, Peningkatan Kualitas dan Produktivitas harus dilakukan secara bersamaan
tanpa mengorbankan salah satunya. Sehingga meningkatkan Kualitas dan
Produktivitas secara bersamaan, perusahaan akan menikmati keuntungan seperti
Harga Pokok Produksi yang lebih rendah, Mengurangi biaya pekerjaan ulang
(rework cost), meningkatkan kepuasan pelanggan (Customer Satisfaction) dan
tentunya meraih Profit (Laba) yang lebih besar
Sedangkan menurut Utami (2002)
dalam jurnalnya bahwa produktivitas penting untuk menggabarkan kinerja ekonomis
dari suatu perusahaan. Kinerja ekonomis itu sendiri merujuk kepada kinerja
operasional dan kinerja keuangan. Kinerja operasional dinilai berdasarkan
proses sesungguhnya, sedangkan kinerja keuangan dinilai berdasarkan aliran keluar
dan masuknya dana. Keduanya ini menjadi salah satu indikator kualitas suatu
perusahaan yang juga menentukan kualitas produk dan juga merek suatu barang.
Sehingga Utami (2002) mengkaitkan pentingnya produktivitas secara tidak
langsung dengan kualitas produksi.
Pendapat lain yang mendukung
adanya hubungan antara produktivitas dengan kualitas produksi juga dinyatakan
oleh Erlina (2006) dalam penelitiannya terhadap produktivitas petani ikan serta
kualitas yang dihasilkan pada budidaya ikan dan udang di Jepara. Produktivitas
para petani ikan pun juga mempengaruhi kualitas sarana dan prasarana
berkembangnya pertumbuhan benih sehingga menghasilkan produk (ikan) yang
berkualitas.
Di dalam pandangan Syariah
Islam pun, diakuinya hubungan antara produktivitas dengan kualitas produk yang
dihasilkan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Syafi’i (2012) menyatakan bahwa untuk
meningkatkan kualitas produk pelayanan jasa dan mengungguli pesaing harus
dipilih karyawan yang memiliki produktivitas dan dedikasi tinggi. Salah satu
bentuknya adalah produktif dalam inisiasi dan komunikasi kepada pelanggan serta
stake holder stake holder yang terkait dengan bidang jasa dan pelayanan.
Ekonomi Syariah tidak
semuanya menolak teori dari ekonomi konvensional, sebagaimana konsep Big-Q yang
mana banyak ulama Islam mengakuinya. Big-Q merupakan konsep produksi baik
operasi maupun inovasi, teori ini banyak pula dimunculkan dalam pembelajaran
teori ekonomi syariah. Big-Q adalah konsep yang berusaha meraih hasil terbaik
pada pelayanan jasa/barang dengan menyeimbangkan unsur manusia dan proses
produksi agar dihasilkan produk yang baik. Saat ini dikenal dengan nama Total
Quality.
Menurut Iqbal (2012) konsep
Big-Q atau Total Quality terkait erat dengan perintah Allah yang
tertuang dalam Al-Qur’an pada Surah Taubah ayat 105, yang artinya “Bekerjalah
kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan
yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan”. Pernyataan Iqbal (2012) ini mendukung pernyataan Syafi’i bahwa dalam
Ekonomi Syariah diakui adanya hubungan yang erat antara produktivitas dengan
kualitas produk dan pelayanan.
Kesimpulan
Sehingga ekonomi Syariah
tidak semuanya menolak teori, konsep serta paham Ekonomi Konvensional khususnya
terkait dalam makna produktivitas SDM. Namun secara landasan filosofi dan
sebagian praktik di lapangan keduanya memiliki perbedaan bahkan ada yang
mencapai prinsip.
Di dalam Ekonomi Konvensional
produktivitas SDM bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk atau pelayanan
yang dihasilkan oleh pekerja dengan tujuan utama untuk meningkatkan keuntungan
atau profit yang ada. Seandainya ada unsur kesejahteraan karyawan yang harus
diupayakan dan lingkungan yang harus dijaga, maka keduanya pun diupayakan untuk
meningkatkan kualitas SDM yang digunakan untuk meningkatkan atau minimal
mempertahankan keuntungan.
Sedangkan Ekonomi Syariah,
memiliki pandangan bahwa produktivitas SDM harus diupayakan untuk meningkatkan benefit/manfaat
dan kesejahteraan seluruh karyawan dan siapapun yang terlibat dalam organisasi
(stake holders). Seandainya terdapat peningkatan keuntungan yang pesat
maka keuntungan tersebut diupayakan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Di
sisi lain, produktifitas SDM juga bermanfaat untuk menambah nilai ibadah dan
kebaikan disisi Allah, Tuhan Semesta Alam. Sehingga perbedaan yang nampak dari
makna produktivitas antara Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Syariah terletak
pada tujuan dari produktivitas itu sendiri.
Daftar Rujukan
Ahman, H.E. dkk. 2007. Ilmu
Ekonomi Dalam PPIS. Universitas Terbuka: Jakarta.
Al Qur’an Al-Karim.
Amirullah,. 2002. Perilaku
Konsumen. Penerbit. Graha Ilmu: Yogyakarta.
Assauri, S. 2004. Manajemen Produksi dan Operasi.
Edisi Revisi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta.
Danim, S. 2003. Ekonomi
Sumber Daya Manusia. Pustaka Setia: Bandung.
Ekotama.
2011. Mengantisipasi Kerugian Perusahaan dan Instansi. Elex Media:
Jakarta.
Erlina,
A. 2006. Kualitas Perairan di Sekitar BBPBAP Jepara Ditinjau dari Aspek
Produktivitas Primer Sebagai Landasan Operasional Pengembangan Budidaya Udang
dan Ikan. Tesis Magister Manajemen Sumber Daya Pantai. Universitas
Diponegoro Semarang.
Griffin, J.E. 2004. Textbook
of Endocrine Physiologi. Oxford University Press: USA.
_________ .
2005. Business Essentials. NJ Pearson Prentice Hall: English.
Haqque, A. (2010). “Islamic Banking in
Malaysia: A Study of Attitudinal Differences of Malaysian Customers”. European
Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences. Issue: 18. p:
7-13.
Husein,
Umar. 2002. Metode Riset Bisnis. Gramedia: Jakarta.
Iqbal,
Muhaimin. 2012. Membangun Jiwa Entrepreneur. Republika: Jakarta.
Jaribah.
2010. Al-Fiqh Al-Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar Ibnu Al-Khaththab.
(Terj) Fiqih Ekonomi Umar bin Khaththab”. Asmuni, S.Z. Khalifa: Jakarta.
Karim, A. 2007. Ekonomi
Mikro Islami. Grafindo: Jakarta.
Kenedi, Jon. (2013). “Analisis Praktek
Manajemen Sdm Perbankan Syariah Milik Pemerintah Di Sumatera Barat”. Jurnal
Ekonomi STIE Haji Agus Salim Bukittinggi. Vol. 14, No. 2. p: 15-34.
Malik, A. (2011). “An Analysis of
Islamic Banking and Finance in West: From Lagging to Leading”. Asian Social
Science Published by Canadian Center of Science and Education, Vol. 7, No.
1. p: 179-185.
Marimin. 2004. Teknik
dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo: Jakarta.
Metwally. 1995. Teori dan
Model Ekonomi Islam. Jakarta: Bangkit Daya Insana.
Miller, R. 2000, Teori
Ekonomi Intermediate. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Misanam, M., dkk. 2009. Ekonomi Islam.
Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Mulyasa,
E. 2008. Standar kompetensi dan Sertifikasi Guru. Roesdakarya: Bandung.
Nasution, A.S. 2008. Ekonomi
Islam (Sebuah Tinjauan). Universitas Al-Azhar: Medan.
Papayungan.1995.Pengembangan
dan Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia Menuju Masyarakat Industrial Pancasila.Bandung:
Mizan.
Perwataatmaja, K. A & Byarwati, A.
2008. Jejak Rekam Ekonomi Islam; Refleksi Peristiwa Ekonomi dan Pemikiran
Para Ahli Sepanjang Sejarah Kekhalifahan. Cicero Publishing: Jakarta.
Qahaf, M. 2008. Manajemen Wakaf
Produktif. Al-Kautsar: Jakarta.
Qalahji, M.R. 2000. Mabahis Fi Aliqtishod Al-Islamiy
Min Ushuli Alfiqhiya. Beirut: Dar An-Nafes.
Qardhawi, Y. 1997. Norma
Dan Etika Ekonomi Islam. Terj: Arifin, Zainal & Husin, Dahlia,
Jakarta: Gema Insani.
____ . 1997. Pengantar Kajian Islam.
Terj: Abdul Halim. Al-Kautsar: Jakarta.
Sedarmayanti.
2009. Tata Kerja Dan Produktivitas
Kerja. Gramedia: Jakarta.
Sedarmayanti. 2009. Tata Kerja dan Produktivitas Kerja.
Mandar Maju: Bandung.
Siagian,
S.P. 2001. Sistem Informasi Manajemen. Bumi Aksara: Jakarta.
Sinurat, S.P. 2008. Langkah
Tepat Melakukan Rekrutmen dan Seleksi. Erlangga: Jakarta.
Sugianto, dkk. 2000. Ekonomi Mikro. Salemba Empat:
Jakarta.
Syafi’i,M
& Antonio. 2012. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani.
Utami,
C.W. (2002) “Peningkatan Nilai Perusahaan Melalui Perbaikan Produktivitas dan
Kualitas Pada Sektor Jasa Sebuah Analisis Konseptual”. Jurnal Manajemen
& Kewirausahaan. 4, (1), 56-64.
Wahyuni, U.D. (2010). “Perencanaan dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Berbasiskan Kearifan Lokal pada Aspek Budaya dan Motivasi Sebagai
Unsur dalam Hubungan Industrial”. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen
Bisnis. Vol 1. No 1. p: 11-26.
Yuniarsih, T. 2009. Manajemen
Sumber Daya Manusia. Alfabeta: Bandung.