بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
KESIBUKAN DUNIA
HAMPIR MENGAKHIRI
HIDUPNYA
Segala puji hanya milik Allah, semoga
shalawat serta salam tetap terlimpahkan kepada Sang utusan Allah, Muhammad ibn
Abdillah beserta keluarganya, seluruh sahabatnya, umatnya yang mengikuti
sunnahnya dan berusaha teguh di atas jalan yang diajarkannya. Amma ba’d.
CINTA boleh jadi komponen utama tuk
meraih hidup bahagia, akan tetapi salah memaknai maknanya boleh jadi akan
merobek sebuah jalinan kehidupan yang sejahtera. Cinta lawan jenis merupakan sunnatullah
yang ditetapkan oleh Allah kepada para hambaNya, oleh sebab itulah Allah
mensyariatkan menikah sebagai langkah penghalalan hubungan antara laki-laki dan
perempuan untuk menjalin cinta dan kasih sayang. Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ
فَقَدْ كَمَّلَ نِصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي
“Jika seseorang menikah,
maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada
Allah pada separuh yang lainnya.[1]”
Itulah salah satu upaya hamba yang beriman kepada Allah
dan hari akhir untuk menjalin cinta agar terbentuk keturunan yang kuat dan
bertaqwa.
Kata ‘menyempurnakan’ secara makna
berarti membuat sesuatu yang kekurangan atau
berlebih menjadi pas/tepat sesuai ukuran dan standar yang
ada. Ukuran dan standar dari sebuah agama adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Menikah
dikatakan menyempurnakan separuh agama, karena ada syariat yang tidak bisa
dilakukan secara ‘sendiri’ tanpa adanya aktivitas pernikahan. Bahkan bila
dilakukan sebelum adanya akad dalam pernikahan termasuk kategori dosa besar. Sebagaimana
perkataan, pandangan, rabaan bahkan jima’ akan berpahala setelah menikah tetapi
dosa bila dilakukan sebelumnya. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ «
أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ
فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“Hubungan badan antara
kalian (dengan isteri atau hamba sahaya kalian) adalah sedekah. Para sahabat
lantas ada yang bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai
Rasulullah, apakah dengan kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu
mendapatkan pahala?’ Beliau menjawab, ‘Bukankah jika kalian bersetubuh pada
yang haram, kalian mendapatkan dosa. Oleh karenanya jika kalian bersetubuh pada
yang halal, tentu kalian akan mendapatkan pahala[2]”
Oleh sebab itu, syariat Islam
telah memberikan solusi untuk menyempurnakannya, yaitu dengan menikah.
Guna mendapatkan kesempurnaan dalam agama, maka pernikahan
dilandasi juga karena agama. Sehingga kedua pasangan (suami & istri)
hendaknya juga memperhatikan masalah agamanya. Begitu pula sejak akan
berta’aruf, meminang/melamar hingga menikah harus dilihat berdasarkan agamanya.
Bila ada kekurangan dalam agamanya maka akan menimbulkan sebuah problematikan
rumah tangga yang pelik bahkan boleh jadi akan menyebabkan kandasnya bahtera
rumah tangga. Na’udzubillah. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasulullah
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
تُنْكَحُ
النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا،
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.)
dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya,
karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang
memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.[3]”
Sudah banyak bukti yang
memaparkan fakta rusaknya rumah tangga karena kedua pasangan suami-istri tidak
memahami permasalahan agama dalam hidupnya. Menikah hanya karena hawa nafsu
tanpa partimbangan agamanya.
Salah satu kisah yang akan kami paparkan, adalah kisah
yang benar-benar membuktikan hadits Rasulullah Muhammad ibn Abdillah Shalallahu
‘alaihi wa sallam yang terakhir kami tuliskan. Kisah yang memilukan dan
hampir menjadi penyebab kecelakaan besar seorang kepala rumah tangga beserta seluruh
keluarganya. Kisah nyata yang penulis dengar dengan sanad yang kuat. Dari Imam
Syathibi dari Pelaku, bahwa dia menuturkan:
A. Dia Seorang
Dokter
Seorang laki-laki muda berusia sekitar
35 tahun, dia seorang dokter yang telah memiliki ijin praktik. Dokter lulusan
universitas terkenal di kota Malang yang meluluskan banyak dokter profesional
setiap tahunnya. Laki-laki ini (menurut penuturan Imam Syathibi) telah diangkat
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan telah bekerja di rumah sakit sebuah
perusahaan besar dengan gaji yang besar pula.
Sang dokter menyunting seorang wanita
yang juga berprofesi seorang dokter spesialis. Dokter yang cerdas dan memiliki
kesibukan luar biasa. Seorang wanita yang menjadi istrinya juga telah diangkat
menjadi PNS dan bekerja di Rumah Sakit Syaiful Anwar Kota Malang. Ayah dari
istrinya (mertua) seorang yang kaya raya dan mendirikan klinik kesehatan di
salah satu wilayah Kota Malang. Klinik kesehatan itu dipercayakan kepada Sang
Dokter muda untuk dikelola, sedangkan istrinya sibuk dengan pekerjaannya. Sehingga
Sang Dokter muda berpenghasilan bersih 8 juta per bulan bahkan lebih dari hasil
kerjanya di Rumah Sakit perusahaan serta klinik mertuanya.
B. Kesibukan
yang Luar Biasa
Semua orang mengatakan ‘wajar’ bila
kerja dokter memang sangat sibuk melayani para pasien, akan tetapi syariat
Islam mengatakan “TIDAK WAJAR” terhadap aktivitas kehidupan yang didominasi
oleh kegiatan yang bersifat sunnah atau bahkan mubah melebihi hal yang wajib.
Seorang istri memang boleh untuk
melayani orang lain agar beban hidupnya berkurang, khususnya masalah kesehatan
yang cukup penting bagi seorang muslim. Hanya saja, di sisi lain kewajiban
melayani suami dan mendidik anak-anak merupakan sebuah hal yang WAJIB dan tidak
dapat dinomorduakan.
Sang suami cukup sibuk dengan
pekerjaannya untuk bekerja di rumah sakit perusahaan serta mengelola klinik
mertuanya. Sedangkan sang istri sudah sibuk dengan rumah sakit daerahnya,
dimana pasien telah berdatangan dari berbagai penjuru. Tugas dokter spesialis terhadap
pasiennya juga cukup tinggi. Mulai dari memeriksa hingga mengawasi pasien yang
masuk hingga pasien itu keluar atau meninggal dunia, mengingat RSSA adalah
salah satu rumah sakit pendidikan di Kota Malang, sehingga sistemnya cukup
ketat untuk menangani hanya seorang pasien apalagi lebih dari itu.
Di tengah-tengah kesibukan mereka, Allah
memberikan mereka karunia seorang anak. Anak yang tumbuh dengan baik, sehat
jasmani dan ruhani akan tetapi kering dengan kasih sayang orang tuanya. Mungkin
pembantu yang menjadi tumpuannya, atau boleh jadi tetangganya yang mengasuh
atas landasan tangung jawab untuk meraih uang tanpa kasih sayang kecuali hanya
sedikit sekali karena merupakan fitrah manusia.
Sebab kesibukan kedua orang tuanya tentu
saja berimbas pada pendidikan anaknya. Kurangnya kasih sayang menyebabkan sang
anak itu melawan orang tuanya dan berani terhadap mereka. Orang tua yang cuek
karena kesibukannya, menambah kebandelan sang anak. Pasien lebih mereka
perhatikan daripada anaknya, entah karena apa.
C. Problematika
Sang Dokter
Wajar sebagai manusia tertekan dengan
masalah yang menimpanya, akan tetapi tidak wajar bila masalah itu membuatnya
frustasi sehingga melahirkan tindakan yang sangat fatal bagi diri dan orang
lain. Semua masalah ada jalan keluarnya, akan tetapi tidak semua orang
diberitahu jalan keluar itu oleh Allah Azza wa Jalla dalam waktu cepat.
Ilmu agama yang minimalis dan ditunjang
dengan kesibukan dunia yang sangat fantastis membuat dirinya dirundung tekanan
fisik dan psikis yang luar biasa. Belum lagi sang istri juga sibuk luar biasa
ditambah kebandelan anaknya yang sudah melampaui batas wajar anak-anak kecil. Mertua
yang memiliki klinik juga acuh terhadapnya, yang dipikirkan mungkin hanya
klinik-klinik dan klinik. Sedangkan klinik sendiri tidak bisa ditinggal begitu
saja, karena pasien datang sewaktu-waktu dan itu pun banyak dicari orang.
Kepadatan aktivitas luar biasa di sepanjang hari hidupnya.
D. Istri yang
Cerdas Namun Loba Dunia
Loba pengetahuan sangatlah bagus, tetapi
menjadi tercela bila yang diloba adalah pengetahuan yang tidak bermanfaat serta
dalam menuntutnya tidak memperhatikan kondisi sekitarnya. Semua hal di dunia
ini akan baik bila dilakukan dengan sedang-sedang saja, sesuai standar yang
ada, tidak terlalu kurang juga tidak berlebihan.
Sang istri yang sudah menduduki tingkat
spesialis sangat dibutuhkan dalam ilmu kedokteran untuk mengajar ilmunya. Dalam
dunia kedokteran di Indonesia, ada dua jalur pendidikan yang harus ditempuh
yaitu profesi [dengan titel profesi berupa Dokter (dr), Spesialis I (Sp) dan
Spesialis II (Sp II)] serta jalur akademik [dengan titel akademik Sarjana
Kedokteran (S.Ked), Magister Kedokteran (M.Ked) serta program Doktoral (DR/Ph.D).
Oleh sebab itu ilmu kedokteran dari sang istri harus disalurkan kepada generasi
selanjutnya dengan syarat harus kuliah kembali di Negeri Taiwan. Sang istri pun
menerimanya sehingga dia harus meninggalkan suaminya dan berangkat safar
sendirian tanpa mahram.
Sang suami merasa tertekan, tiada
perhatian dari istrinya, tiada pula kasih sayang. SIBUK, itulah kata indah sang
istri yang dilontarkan kepada suaminya. Indah bagi sang istri untuk bisa lepas
dari tanggung jawabnya mengurus suami dan anaknya, tapi pahit bagi suami yang
mendambakan kasih sayang istrinya. Sang
suami pun merengek kepada istrinya dan membujuknya untuk tidak mengambil
program pendidikannya di luar negeri karena klinik yang dikelolanya pun sudah
maju. Kalau untuk urusan uang mereka sudah lebih dari cukup, lantas apa lagi
yang dikejar?
Bukankah untuk menularkan ilmu ke
generasi berikutnya, ANAK adalah seseorang yang lebih utama untuk ditularkan? Karena
dia adalah dambaan hati dan dia benar-benar menjadi penerus nasab (garis
keturunan dari kedua orang tuanya)?
Istrinya pun susah untuk diajak
kompromi. Jalan satu-satunya menurut dia adalah melobi mertuanya, akan tetapi
justru sikap acuh mertuanya yang dia terima. Dia dianggap tidak produktif,
mengekang istrinya bahkan suami yang kurang bertanggung jawab. Padahal apa yang
sudah dilakukan suaminya?
Suami yang juga dokter itu
berpenghasilan 8 juta per bulan (walau mungkin jauh lebih kecil dibanding
istrinya). Membelikan istrinya mobil Avanza, padahal istrinya yang mungkin
gajinya di atas suaminya belum mampu membeli mobil. Suami itu juga sudah
memberikan nafkah yang layak kepada istrinya, sandang, pangan dan papan sudah
dia penuhi. Hanya, istrinya kurang bersyukur dan kurang memahami syariat. Kalau
pun tahu tentang syariat hanya sebatas pengetahuan saja.
Apakah hal itu bisa dikatakan loba
pengetahuan? Tidak, tapi loba dunia. Allahu a’lam.
E. Kisah Tragis Hampir
Saja Terjadi
Tekanan batin sudah menyesakkan dada,
fisik pun juga menanggung kelelahan. Ujian yang berat ditunjang dengan keimanan
yang sedikit dan pengetahuan agama yang minim, menyebabkan Sang Dokter
memutuskan jalan pintas, “PENSIUN” dari hidup.
Persiapan untuk berangkat ke dunia lain
pun sudah dipersiapkan. Rasa bimbang menyebabkan dia harus memantabkannya
dengan apa yang dia tahu, “SHOLAT” sebelum mati, itulah mungkin yang terbersit
di benaknya. Meminta keringanan hukuman saat dia harus bunuh diri. Atau meminta
maaf kepada Allah karena telah menyia-nyiakan hidupnya. Atau dia sholat karena
ingin menemukan jalan keluar terakhirnya, kalau tidak bertemu maka jalan
satu-satunya adalah BUNUH DIRI.
Sholat dengan sangat khusyuk, sholat
sambil menangis dan bermunajad, kemudian dia pun berdoa. Setelah itu dia
bersandar di tembok masjid sambil memegang peralatan pembasmi dirinya. Dia
tersedu begitu hebat dan lama, seorang ustad pun menghampirinya dan menanyakan
permsalahannya. Dia ceritakan semuanya, lantas ustad itu tersenyum. Sang ustad
berkata, “Bunuh diri tidak menyelesaikan masalah.” “Lantas?” Dokter pun
kebingungan, “Menikahlah lagi dengan wanita shalihah. Tuntutlah ilmu dulu di
masjid, di kajian-kajian ulama’ ahlusunnah wal jamaa’ah. Insya Allah engkau
akan lapang dan semoga dimudahkan untuk menikah kembali dengan wanita yang
shalihah.” Itulah solusi yang mengantarkannya kepada cahaya, kepada kelapangan
dada, kepada kelapangan jiwa, kepada kelapangan fikiran dan fisik.
Solusinya adalah ilmu agama, solusinya
adalah mengamalkannya, solusinya adalah mencari istri yang shalihah yang
memahami tentang tanggung jawab rumah tangga dan juga haknya. Mengetahui peran
istri dan juga haknya serta mengetahui bagaimana pentingnya anak sebagai
penerus generasi muda dan juga haknya.
Solusi bukanlah ilmu dunia yang tidak
menunjang akherat, bukanlah ilmu dunia yang tidak menunjang keindahan rumah
tangga, bukan pula HARTA banyak yang tidak dikeluarkan di jalan Allah.
Itulah secuplik kisah tentang pentingnya
mencari istri yang shalihah untuk kelangsungan pelayaran bahtera rumah tangga
dan kelangsungan kehidupan. Allah berfirman,
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.[4]”
Bagaimanapun keturunan yang kuat adalah dari pendidikan
yang baik dari kedua orang tuanya, dan keturunan yang lemah adalah keburukan
pendidikan dari kedua orang tuanya. Namun, Allah menetapkan apa yang Dia
tetapkan. Allahu al-Mustaa’an.
Semoga kisah ini dapat memberikan banyak
hikmah dan pelajaran.
Malang, 11 Jumadil Awwal 1435 / 12 Maret 2014
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah