KAJIAN ISLAM DAN KARYA PENA

KAJIAN ISLAM YANG MEMUAT HAL-HAL BERKAITAN TENTANG PENGETAHUAN ISLAM BAIK SADURAN ATAU KARYA ASLI. BAIK HAL AKIDAH, MUAMALAT, FIKIH ATAUPUN TASKIYATUN NUFS (PENYUCIAN HATI)

JUGA KARYA PENA UMUM BERUPA PUISI CERPEN DAN KARANGAN ATAU ILMU PENGETAHUAN UMUM DAN PENELITIAN ILMIAH

Senin, 17 Agustus 2015

MUTIARA KEHIDUPAN

MENIKAH ADALAH MUTIARA KEHIDUPAN

Segala puji hanya milik Allah Tuhan Semesta Alam, semoga shalawat serta salam tetap dicurahkan kepada Rasulullah Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Salam, keluarganya, dan para sahabatnya serta umatnya hingga akhir zamman. Amma Ba’du.
Setelah sekian tahun mengalami penjombloan, penulis akhirnya diberikan karunia besar berupa mutiara cantik dan bersinar terang yang menerangi kehidupan penulis, yaitu seorang istri yang (insyaa Allah) shalihah. Allah berfirman dalam QS. An-Nur: 32
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ -٣٢-
Artinya:
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan Memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.
Ayat tersebut bila ditafsirkan secara singkat:
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang saleh di antara budak-budak laki-laki kalian dan budak-budak perempuan kalian. Jika mereka miskin, Allah akan Memberi mereka kecukupan dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.
Wa angkihū (dan nikahkanlah), yakni kawinkanlah.
Al-ayāmā mingkum (orang-orang yang masih sendirian di antara kalian), yakni anak-anak perempuan atau saudara-saudara perempuan kalian. Ada yang berpendapat, anak-anak kalian atau saudara-saudara perempuan kalian yang belum mempunyai pasangan.
Wash shālihīna min ‘ibādikum (dan orang-orang yang saleh di antara budak-budak laki-laki kalian), yakni dan nikahkanlah hamba-hamba laki-laki kalian yang saleh.
Wa imā-ikum iy yakūnū (dan budak-budak perempuan kalian. Jika mereka), yakni jika orang-orang merdeka itu.
Fuqarā-a yughnīhimullāhu miη fadl-lih (miskin, Allah akan Memberi mereka kecukupan dengan Karunia-Nya), yakni dengan Rezeki-Nya.
Wallāhu wāsi‘un (dan Allah Maha Luas) Rezeki-Nya, baik bagi orang-orang merdeka ataupun bagi para budak.
‘Alīm (lagi Maha Mengetahui) untuk memberi mereka rezeki.
Berdasarkan Firman Allah di atas anjuran untuk menikah sangatlah kuat khususnya bagi para pemuda/i yang memiliki nafsu yang kurang bisa dikontrol. Allah mengharamkan zina sebagaimana dalam FirmanNya dalam QS. Al-Isra’: 32,
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً -٣٢-
Artinya:
Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.
Para ulama mengatakan bahwa, sesuatu yang didekati saja dilarang adalah sesuatu yang memiliki larangan yang kuat dan tegas, memiliki konsekuensi dosa yang besar dan adzab yang pedih.
Allah adalah Tuhan Yang Maha Adil, ada keseimbangan dan fitrah yang menancap pada diri manusia. Manusia telah diciptakan memiliki nafsu sebagaimana hewan yang berkembang biak, karena secara fisik manusia disetting oleh Allah tinggal di dunia sebagaimana makhluk hidup yang tinggal di dunia yaitu hewan dan tumbuh-tumbuhan serta apapun yang hanya Allah yang mengetahuinya. Semua yang hidup di dunia telah disetting untuk berkembang biak melalui proses perkawinan antar lawan jenis sesama mereka.
Karena pentingnya perkembangbiakan inilah, maka Allah hadirkan nafsu pada diri manusia. Mustahil bila nafsu manusia dimatikan akan berdampak positif bagi mereka, kecuali memang pada saatnya nafsu itu mati (pada masa yang sangat tua). Sehingga nafsu merupakan fitrah manusia yang normal dan wajar, bahkan apabila manusia tidak memiliki nafsu birahi maka yang terjadi akan terputus generasi dan keturunan manusia.
Manusia secara hakiki bukanlah hewan, hati dan akal merupakan dua modal yang sangat berharga untuk menerima hidayah Iman dan Islam. Keduanya ini sudah merupakan takdir yang ditetapkan Allah kepada manusia, bahwa mereka harus tinggal di bumi untuk melaksanakan ketetapan Allah beribadah dan sebagai khalifah. Sedangkan hewan tidak memiliki beban untuk melaksanakan ketetapan Allah berupa syariat, maka konsekuensi syurga dan neraka tidak ada pada mereka. Menurut Tafsir Ibnu Katsir pada surat An-Naba ayat terakhir bahwa setelah seluruh hewan mengalami qishash (pembalasan atas perlakuan terhadap sesama hewan di dunia), mereka semuanya dijadikan tanah. Di saat itulah orang-orang kafir mengatakan,
إِنَّا أَنذَرْنَاكُمْ عَذَاباً قَرِيباً يَوْمَ يَنظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنتُ تُرَاباً -٤٠-
Artinya: Sesungguhnya Kami telah Memperingatkan kepadamu (orang kafir) azab yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata, “Alangkah baiknya seandainya dahulu aku jadi tanah.”
Mereka memohon kepada Allah seandainya mereka dijadikan seperti hewan saja, namun hal itu tidak bisa dilakukan, karena ketetapan sudah menjadi hukum hakiki Allah Ta’ala dan tidak bisa dirubah.
Apabila manusia yang mengemban syariat Islam ini dijadikan liar sebagaimana hewan hidup, maka manusia akan kacau balau. Syariat tidak berfungsi, perintah dan larangan pun tidak mampu membuat manusia sebagai khalifah di bumi. Apabila zina diperbolehkan, maka bagaimana keturunan manusia akan mampu dilacak dan bagaimana manusia akan mampu mengemban syariat sementara dia hidup dengan cara yang liar dan tidak disiplin.
Lihatah bagaimana contoh orang-orang Timur maupun Barat yang terkenal dengan budaya bebasnya. Bilamana sang anak lelaki maupun perempuan ditanya, “Siapa sesungguhnya ayahmu?” maka banyak di antara mereka yang tidak mengetahui siapa bapaknya, mereka hanya mengetahui ibunya. Padahal secara syariat Islam, bapak adalah sosok yang bertanggung jawab atas nafkahnya, atas kewaliannya, dan atas hak warisnya. Dengan kekuatan fisiknya peran seorang bapak sangatlah penting untuk tetap diakui, sedangkan bila sang bapak tidak jelas statusnya, dari sperma yang mana sang anak lahir menyebabkan terlantarnya sang anak. Ibunya yang wanita, telah ditakdirkan bersifat lemah fisik dan psikologinya, melahirkan dan memiliki fungsi dan tugas yang lainnya. Tentu sang anak sangat terlantar, bagaimana kehidupan mereka yang nyaman dan bahagia hanya bualan media semata.
Sudah dijelaskan dalam paparan di atas bahwasanya nafsu manusia itu wajar, namun dengan pertimbangan yang sangat syar’i Allah pun telah menetapkan hukum bahwa nafsu harus diatur, tidak boleh liar dan sembarangan diumbar. Allah melarang sesuatu (zina) maka Allah memberikan jalan keluar dan kemudahan atas larangan itu, yaitu menikah. Maka barang siapa yang menyatakan bahwa dirinya tidak akan menikah dia sudah menyalahi fitrah sebagai manusia dan dia telah keluar dari ajaran Rasulullah Muhammad Shallalahu ‘alaihi wa Sallam yaitu ajaran Islam yang fitrah. Sebagaimana pernyataan Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri terhadap orang yang menyatakan dirinya tidak akan menikah, maka Rasulullah bersabda, “Aku pun juga menikahi wanita, dan barang siapa yang tidak senang dengan sunnahku maka mereka bukan bagian dari golonganku.[1]
Tersesatlah orang yang menyatakan bahwa menikah itu hina, sehiangga mereka mengkebiri dirinya dan menutup diri untuk tidak menikah. Sudah kita lihat betapa banyak pelanggaran yang mereka lakukan (dari kalangan orang Nasrani khususnya para pendeta) secara tersembunyi yang akhirnya bocor di media, bagaimana dengan kebejatan vatikan terhadap anak-anak wanita di bawah umur, suster-suster dan pelanggaran seksual yang lainnya. Mereka punya fitrah untuk kawin, namun mereka mencoba untuk melawannya sedangkan mereka tidak mampu melawan fitrah atau ketetapan Allah, akhirnya mereka sendirilah yang hina dan mati kehormatannya.
Hinalah orang yang menjunjung adanya seks bebas, menjunjung penyimpangan seksual dan yang mengatakan bahwa seksual merupakan suatu yang harus diapresiasi secara bebas karena itu Hak Asasi Manusia. Sudah seringkali kita lihat fenomena yang menyedihkan tatkala Hak Asasi Manusia yang mereka dengungkan itu diumbar hingga ke masalah yang intim, bagaimana akhirnya kehidupan mereka. Mereka hidup liar bagai hewan yang berakal, mereka memiliki tujuan hanya untuk hidup dan tidak tahu lagi untuk apa kecuali untuk memuaskan hasrat mereka. Mereka galau, gamang, bimbang, bahkan mereka sudah hilang kehormatannya di mata sesama manusia, apalagi di mata Allah.
Maka menikah adalah solusi, solusi bagi Kaum Muslimin terlebih lagi yang mengaku mukmin. Tidak dibenarkan seorang menginginkan hidup membujang kecuali sesuatu yang sangat mendesak. Para ulama yang tidak menikah pun karena mereka cinta terhadap ilmu dan untuk kemaslahatan umat, perilaku mereka bukan untuk dicontoh dan ditiru karena mereka tentu memiliki alasan tersendiri. Bahkan ada seorang ulama di jaman salaf ash-shalih yang sangat ‘alim namun tidak menikah, oleh seorang Imam Besar dikomentari, “Dia hampir-hampir menjadi manusia sempurna dalam masalah keilmuannya, namun satu cacat yang nampak atas kami yaitu dia tidak menikah.” Allahu a’lam bhish shawwab.





[1] HR. al-Bukhari, dalam kitab: Nikah, bab: Anjuran untuk Menikah, ( no. 5063 ) dan Muslim dalam syarah-nya, dalam kitab: Nikah, bab: Disunahkan Menikah Bagi Orang yang Memiliki Keinginan dan Memiliki Kemampuan dan Menyibukkan Diri dengan Puasa Bagi yang Tidak Mampu (no. 3389 ).
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami

Senin, 18 Mei 2015

MAKNA TAWAKAL

Tiada menyesal tatkala sudah berikhtiar maksimal ternyata gagal, itulah tawakal.
Terus mengharap kebaikan yang kekal, padahal tiada ikhtiar yang benar, itulah para pengkhayal
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami

Rabu, 17 Desember 2014

Makna Produktifitas Dalam Islam

Makna Produktifitas Sumber Daya Manusia
Ditinjau dari Sudut Pandang Syariah dan Konvensional
Arnanda Aji Saputra
Dosen Stie Indocakti Kota Malang. Jl. Ijen Nomor... Malang
Alamat E-Mail & Telepon: paranggaruda@gmail.com; 085649509998

Abstrak
Produksi merupakan kegiatan yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa bagi manusia. Karena itu diperlukan kegiatan produksi guna menambah nilai barang dan jasa agar didapatkan output yang bermutu. Output yang bermutu tinggi tidak terlepas dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang mendukungnya. Kualitas SDM yang dimaksud terletak pada produktivitas mereka sebagai penggerak organisasi/perusahaan. Bukan hanya teori manajemen konvensional saja yang mengakui adanya pengaruh antara produktivitas SDM dengan mutu hasil produksi namun Teori Ekonomi yang berbasis Syariah juga mengakuinya. Kedua teori ekonomi tersebut terdapat persamaan dan perbedaan dalam memandang keterkaitan antara produktivitas SDM dengan mutu hasil produksi. Perbedaan dan persamaan pandangan antara Teori Ekonomi Konvensional dan Syariah terhadap produktivitas SDM terletak pada tujuan dasar dari produktivitas SDM itu sendiri.

Kata kunci:  produksi, produktivitas, SDM, syariah, konvensional, mutu, organisasi.

Produksi merupakan kegiatan yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa bagi manusia. Selain itu produksi juga penting dalam menambah nilai guna barang dan jasa untuk kemaslahatan manusia. Dalam perusahaan, kegiatan produksi dituntut untuk menghasilkan output yang berkualitas yaitu hasil produksi yang bermutu tinggi ditinjau dari segi manfaat dan estetikanya (Ekotama, 2011).  
Agar dalam proses produksi mampu menghasilkan output yang bermutu tinggi, haruslah pelaku-pelaku pada lin produksi memahami tentang arti dan makna produksi secara umum maupun khusus. Secara umum produksi dapat diartikan sebagai kegiatan untuk menciptakan atau menambah kegunaan barang atau jasa (Assauri, 2004). Proses menciptakan dan menambah kegunaan barang dan jasa dalam produksi tidak mungkin terwujud tanpa adanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang terkait dalam proses produksi suatu barang dan jasa tersebut. Wahyuni (2010) menyatakan bahwa peranan sumber daya manusia adalah sebagai partner strategis perusahaan, artinya bahwa semua lini produksi tidak dapat berjalan tanpa didukung oleh sumber daya manusia yang memadai, baik ditinjau dari sisi kualitas maupun kuantitas.
Lini produksi bertanggung jawab untuk menentukan kualitas produksi untuk memenuhi kepuasan pelanggan. Guna mendapatkan kualitas produksi yang demikian, diperlukan SDM yang memiliki produktivitas tinggi. Ada beberapa pengertian produktivitas menurut beberapa pakar manajemen. Di antaranya dikemukakan oleh Sedarmayanti (2009) yang berpendapat bahwa produktivitas merupakan keinginan (the will) dan upaya (effort) manusia untuk selalu meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan di segala bidang. Pendapat yang dikemukakan oleh Sedarmayanti (2009) ini masih bersifat umum.
Ada pendapat lain yang mengemukakan tentang arti produktivitas dengan makna yang lebih khusus sebagaimana dikemukakan oleh Yuniarsih (2009) bahwa produktivitas kerja menunjukan tingkat kemampuan pegawai dalam mencapai hasil (output), terutama dilihat dari sisi kuantitasnya. Adapun menurut Nawawi (dalam Yuniarsih, 2009) produktivitas adalah perbandingan antara kualitas hasil yang diperoleh (output) dengan jumlah sumber daya yang dipergunakan sebagai masukan. Ini merupakan pandangan para pakar manajemen konvensional dalam memandang konsep produktivitas.
Sedangkan menurut pakar Ekonomi Syariah, produktivitas merupakan suatu hal yang penting untuk menghasilkan sebuah karya yang bermanfaat bagi umat manusia. Tidak terbatas dengan hal yang dapat dijual, akan tetapi dapat menambah nilai guna dan manfaat bagi kehidupan secara umum, khususnya yang dapat mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala (Qardhawi, 1997).
Perbedaan pengertian produktivitas pada para pakar ekonomi didasarkan atas konsep dasar yang diyakini, pengamatan dan penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat sekitar, serta pendapat-pendapat yang pernah dibaca oleh mereka. Khususnya terhadap faktor konsep dasar yang diyakini, sangat mempengaruhi bagaimana pakar manajemen dalam mengemukakan makna produktivitas dan berpengaruh pula pada praktisi untuk mengaplikasikan makna produktivitas yang ada.
Makna produktivitas yang diyakini berdampak pada aplikasi pada kehidupan sehari-hari dan aktivitas ekonomi yang dijalankan oleh tiap individu. Bila makna produktivitas hanya berkutat pada dimensi keuntungan, maka semua aktivitas kerja dan efisiensi dalam menggunakan sumber daya manusia dimaksudkan dengan tujuan memperoleh keuntungan saja. Apabila produktivitas hanya diperuntukkan mendapatkan popularitas, maka semua aktivitas kerja dan efisiensi yang terkait dengan kerja juga terfokus untuk mendapatkan simpatisan. Dan apabila produktivitas dipergunakan untuk kemaslahatan masyarakat maka semua aktivitas kerja dan efisiensi yang dilakukan juga akan terfokus pada kesejahteraan stake holders yang terkait dengan perusahaan/organisasi.
Warna produktivitas juga seringkali dibedakan oleh pengikut madzab-madzhab ekonomi. Madzhab ekonomi yang memberikan warna pada makna produktivitas sangat banyak, akan tetapi bila diklasifikasikan lebih luas terdapat 3 (tiga) madzhab besar yang bisa dikatakan sebagai sistem ekonomi dunia, yaitu: Sistem Ekonomi Sosialis, Sistem Ekonomi Kapitalis, dan Sistem Ekonomi Syariah. Dari tiga madzhab utama (yang membentuk sistem ekonomi dunia) hanya dua yang saat ini saling bersaing, sedangkan Sistem Ekonomi Sosialis sudah tidak lagi dipakai secara penuh kecuali di wilayah Korea Utara.
Makna produktivitas pada Sistem Ekonomi Kapitalis telah banyak dibahas oleh para pakar ekonomi konvensional, karena secara umum sistem ekonomi dunia khususnya Indonesia saat ini menggunakan Sistem Ekonomi Kapitalis. Sedangkan Ekonomi Syariah, merupakan Sistem Ekonomi yang kembali muncul setelah redup di tahun 1924 bersamaan dengan runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani (Perwataatmaja, 2008). Bangkitnya kembali sistem Ekonomi Syariah ditandai dengan munculnya banyak lembaga-lembaga Syariah di dunia, baik di wilayah Asia, Eropa dan Amerika. Salah satu lembaga yang tumbuh berkembang dengan pesat adalah lembaga perbankan Syariah (Malik, 2011).
Perbankan Syariah tumbuh pesat seiring dengan kesadaran Kaum Muslimin akan pentingnya penerapan Syariah Islam dan semakin banyaknya kemudahan, kesejahteraan serta keuntungan yang didapatkan dengan mengakses lembaga keuangan syariah khsusunya perbankan (Malik, 2011). Walaupun saat ini perkembangan Ekonomi Syariah masih sebatas lembaga keuangan tertentu dan beberapa perbankan yang diakui, namun telah membantu meningkatkan produktivitas masyarakat khususnya Kaum Muslimin (Haqque, 2010).
Perbankan syariah pada umumnya membantu meningkatkan produktivitas masyarakat dengan cara memberikan pinjaman modal sesuai Syariah Islam, baik dengan cara musyarakah berbentuk mudharabah atau ghardul hasan bagi mereka yang tidak mampu. Sebagaimana telah diterapkan pada perbankan Syariah di sebagian besar wilayah Sumatera Barat (Kenedi, 2013). Upaya perbankan Syariah dalam membantu masyarakat meningkatkan produktivitas melalui pinjaman berupa modal usaha bisa dikatakan bahwa dalam Syariat Islam pun juga memperhatikan produktivitas SDM dan mengaplikasikannya dalam tindakan melalui sebuah kelembagaan formal. Lembaga yang bergerak di bidang syariah sebagaimana perbankan syariah, tentu SDM yang bergerak di dalamnya juga memiliki produktivitas sesuai pandangan syariah Islam.
Secara historis, memang di zaman Rasulullah Muhammad ibn Abdillah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar As-Siddiq belum ada lembaga-lembaga khusus yang menangani perekonomian dan manajemen Syariah, sehingga belum dapat ditelaah secara aplikatif dan teknis bagaimana Islam memberikan perhatian penuh terhadap produktivitas SDM. Hanya saja ada beberapa hadits dari Rasulullah yang memiliki substansi-substansi khusus yang di dalamnya memperhatikan tentang produktifitas SDM (Misanam, 2009). Sedangkan aplikasi kelembagaannya telah muncul saat Khalifah Umar ibn Khaththab ditandai dengan dibentuknya Baitul Maal yang merupakan sistem kelembagaan keuangan Islam tertua di dunia (Qahaf, 2008).

Makna dan Fungsi Produksi di Dalam Ekonomi Konvensional dan Syariah
Produktivitas tidak bisa lepas dengan makna dan fungsi produksi, sebab produktivitas dapat dilihat tatkala ada dua unsur yaitu hasil produksi dan SDM yang mengelola produksi. Secara umum produksi dapat diartikan sebagai kegiatan untuk menciptakan atau menambah kegunaan barang atau jasa (Assauri, 2004), namun pendapat beberapa ahli ekonomi konvensional dan syariah mengartikan produksi lebih mendalam dan aplikatif.
Menurut Miller (2000), produksi adalah sebagai penggunaan atau sumber daya yang mengubah suatu komoditi menjadi komoditi lain yang sama. Miller (2000) menekankan kepada perubahan komoditi atas sumber daya. Sedangkan menurut Sugiyanto (2000) bahwa produksi adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk mendapat sejumlah input yaitu secara akuntansi sama dengan jumlah uang keluar yang dicatat. Pendapat Sugianto ini menekankan kepada sudut pandang akuntansi dengan sumber daya yang lebih spesifik yaitu berupa uang. Sehingga sudut pandang produksi antara Manajemen, Akuntansi dan Ilmu ekonomi berbasis modal lainnya masing-masing berbeda-beda pengertian dan maknanya. Terlebih melihat dari sudut pandang ekonomi konvensional dan syariah.
Menurut tinjauan syariah Islam, yang dimaksud produksi adalah pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan penggabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas (Qalahji, 2000). Sehingga dalam Syariah Islam, makna produksi dikemukakan secara fair sesuai dengan sifatnya, artinya produksi merupakan penambahan nilai barang dan jasa terhadap materi. Sedangkan sifat materi duniawi bersifat fana dan masing-masing tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus ada unsur lain yang mendukungnya. Untuk itulah ada pernyataan “penggabungan unsur-unsur produksi” dan “dalam waktu yang terbatas”.
Beberapa ahli Ekonomi Syariah memberikan definisi yang berbeda mengenai pengertian produksi, meskipun substansinya sama. Ada devinisi yang lengkap dan ada pula devinisi yang lebih ringkas, namun kesemuanya mengarah kepada ciri khas prespektif perekonomian dalam Islam yaitu aktivitas produksi yang mengarah kepada dunia dan akherat. Penjabarannya dalam bidang produksi yaitu, bahwa barang dan jasa yang diciptakan manusia adalah hal yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di akherat kelak. Oleh sebab itu dunia merupakan awal daripada kehidupan selanjutnya, maka aktivitas produksi pun mengarah kepada peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Allah sebagai penguasa alam.
Sebagaimana dikemukakan oleh Karf (1992, dalam Misanam 2009) yang mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki suatu sistem perekonommian tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas pada SDM, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Sedangkan Rahman (1995, dalam Misanam 2009) lebih menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan produksi (distribusi produksi secaraa merata). Sedangkan menurut menurut Siddiqi (1992, dalam Misanam 2009) adalah penyediaan barang dan jasa dengan memperhatikan nilai-nilai keadilan dan kebijakan atau manfaat (mashlahah) bagi masyarakat.
Guna mencapai produksi yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat, harus diketahui apa fungsi produksi yang dijalankan. Oleh sebab itu dalam konsep Ekonomi Islam juga diperhatikan fungsi produksi sebagaimana ekonomi konvensional. Hanya perbedaannya terletak pada bagaimana sudut pandang kedua sistem ekonomi tersebut dalam memberikan makna pada fungsi produksi itu sendiri kemudian diwujudkan dalam aplikasi pada kehidupan nyata.

Fungsi dan Tujuan Produksi dalam Mewujudkan Produktivitas (Tinjauan Konvensional dan Syariah)
Secara umum fungsi produksi adalah suatu bagian fungsi pada perusahaan yang bertugas untuk mengatur kegiatan-kegiatan yang diperlukan bagi terselenggaranya proses produksi (Amirullah, 2002). Dengan mengatur kegiatan itu maka diharapkan proses produksi akan berjalan lancar dan hasil produksi pun akan bermutu tinggi sehingga dapat diterima oleh konsumen. Menurut Amirullah (2002) untuk mewujudkan fungsi produksi diperlukan SDM yang memiliki ketrampilan tidak seragam, hal ini dimaksudkan agar dapat melakukan proses kerja secara seimbang dalam menerapkan fungsi produksi yang diperlukan.
Berbeda lagi dengan yang dikemukakan oleh Ahman, (2007) bahwa fungsi produksi adalah hubungan fungsional atau sebab dan akibat antara input dan output. Ahman menuturkan fungsi produksi dalam pancangan matematika ekonomi yang berdasarkan teoritis. Sehingga mengarah kepada dua variabel utama yaitu input dan output yang keduanya dinyatakan sebagai sebab dan akibat dan di antara keduanya ada keterkaitan.
Apapun pendapatnya terkait fungsi produksi, tidak terlepas dari dua hal yaitu input dan output. Input merupakan unsur masukan, dalam hal ini dikatakan sebagai sumber daya baik sumber daya alam maupun SDM. Sedangkan output adalah keluaran yang dihasilkan dari proses produksi tersebut. Maka terkait dengan pembahasan produktivitas sumber daya yang menjadi unsur utama sebagai inputnya adalah SDM, sedangkan outputnya adalah kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan. Oleh sebab itu Amirullah (2002) mengemukakan suatu bagian fungsi yang di dalamnya terkumpul SDM dengan beberapa kemampuan yang berbeda.
Bagian fungsi produksi antara satu organisasi dengan yang lain begitu juga dengan perusahaan berbeda-beda, tergantung tujuan macam dan tujuan produksinya. Sedangkan macam dan tujuan produksi terikat dengan visi dan misi perusahaan/organisasi yang dibentuk, namun secara umum pada sistem ekonomi konvensional tujuan produksi adalah untuk mendapatkan keuntungan guna mempertahankan kehidupan perusahaan atau organisasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Amirullah (2002) bahwa tugas utama dari bagian produksi dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan perusahaan secara umum adalah berusaha mencapai biaya produksi yang rendah, mutu produk yang tinggi, tanggapan yang cepat atas permintaan, dan fleksibilitas untuk membuat beragam barang yang sesuai dengan selera dan spesifikasi pelanggan.
Adapun tujuan produksi itu dibentuk bermacam-macam motif, akan tetapi tujuannya tetap sama dalam ekonomi konvensional yaitu mempertahankan keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh sebab itu tujuan perusahaan dalam memproduksi barang sama antara perusahaan barang seperti elektronik, otomotif, bahan pangan dengan perusahaan jasa seperti pegadaian, bank, dan bentuk usaha jasa lainnya yaitu memperoleh keuntungan. Tujuan produksi ini juga tidak membedakan apakah perusahaan yang bergerak berdasarkan konvensional maupun syariat Islam, akan tetapi tampak perbedaannya setelah menyelami makna dari tujuan produksi secara spesifik.
Tujuan produksi secara spesifik dapat dirujuk kepada lima hal, sebagaimana dinyatakan oleh Griffin (2006) bahwa lima hal tersebut adalah: (1) Sumber daya fisik (physical resources); (2) Tenaga kerja; (3) Modal (capital); (4) Kewirausahaan/keahlian (entrepreneurship); dan (5) Sumber daya informasi (information resources). Kelima hal inilah yang biasanya disebut sebagai faktor-faktor produksi.
Adapun fungsi produksi dalam Islam secara umum adalah sama dengan ekonomi konvensional, yaitu menekankan hubungan fungsional atau sebab dan akibat antara input dan output, namun ada penekanan yang perlu diperhatikan. Penekanan tersebut terletak pada etika dan prinsip produksi yang mengarah kepada syariat Islam (Karim, 2007). Adapun etika merupakan suatu hal yang cukup penting pada bagian dari fungsi produksi dalam melakukan proses produksi. Etika dalam Islam mencangkup hal yang luas dan seragam yang didasarkan pada nilai-nilai Al-Qur’an dan atas apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits serta dinamakan dengan akhlak.  
Sedangkan prinsip produksi bila ditinjau dari sisi Syariat Islam tidak terlepas dari fungsi diterapkannya ekonomi syariah Islam secara umum, yaitu: (1) Kesejahteraan Ekonomi dalam kerangka norma moral Islam; (2) Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid, berdasarkan keadilan dan persaudaraan yang universal; (3) Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata; (4) Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial (Nasution, 2008).
Guna mewujudkan dan menerapkan fungsi dan tujuan produksi diperlukan SDM yang berkualitas. Dalam syariat Islam, SDM yang profesional bukanlah yang memiliki skill di bidangnya saja namun juga memahami dan mengetahui serta mampu menerapkan syariat Islam yang berkaitan dengan bisnis khususnya produksi. Penerapan syariat Islam secara keseluruhan (kaffah) merupakan aplikasi dari Firman Allah, (artinya) ”... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…. (Al-Qur’an, Surat Al-Maa’idah: 3). Sehingga dalam Syariat Islam SDM yang berkualitas adalah yang menggunakan kemampuan dan keterampilannya sejalan dengan tujuan Syariat Islam yang tertera dalam Firman Allah (artinya) ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Al-Qur’an, Surat Adz-Dzariyaat: 56).
Dalam pandangan Syariat Islam, produktivitas SDM tidak hanya dilihat dari kemampuan pegawai khususnya dalam hal skill sebagaimana dalam sudut pandang konvensional, namun lebih luas kemampuan pegawai di sini adalah pengetahuan mereka tentang Syariat Islam dan pengaplikasiannya. Semakin seorang pegawai mampu menerapkan syariat Islam dalam fungsi dan tujuan produksi maka dia semakin profesional dalam pekerjaannya dan produktivitasnya semakin tinggi (Metwally, 1995), sebab dalam sisi syariat Islam, produktivitas sangat ditekankan dalam Al-Qur’an maupun hadits dan diaplikasikan oleh para sahabat dalam Atsar. Oleh sebab itu peranan SDM sangat penting untuk dijabarkan dan dipertegas dalam menjalankan fungsi dan tujuan produksi guna meraih produktivitas yang tinggi.
Makna Sumber Daya Manusia
Telah disinggung tentang produksi, fungsi, dan proses produksi yang kesemuanya menunjang kualitas hasil produksi, namun ketiga komponen tersebut tidak dapat mewujudkan produktivitas riil tatkala tidak ada satu komponen penting yaitu SDM khususnya yang berkualitas.
SDM dikatakan sebagai komponen penting dalam mewujudkan produktivitas karena memiliki keterkaitan yang erat. Sebab tatkala SDM memiliki kualitas yang bagus maka produktivitas akan meningkat, dan sebaliknya apabila SDM memiliki kualitas yang buruk maka produktivitas pun akan menurun. Sebagaimana dikatakan oleh Danim (2003) bahwa dengan SDM yang berkualitas produktivitas kerja karyawan akan meningkat, kualitas dan kuantitas produksi semakin baik, karena technical skill, human skill dan managerial skill karyawan yang semakin membaik. Sebab itu pembahasan mengenai makna SDM adalah penting sebelum membahas produktivitasnya.
Menurut Wikipedia Indonesia (2014) makna SDM adalah potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. Wikipedia menekankan SDM kepada suatu potensi yang dimiliki manusia. Dengan potensi itulah manusia dapat melakukan berbagai aktivitas ekonomi termasuk produksi yang hasilnya dapat dirasakan oleh stake holders.
Sedangkan menurut Papayungan (1995) SDM adalah seluruh kemampuan atau potensi penduduk yang berada di dalam suatu wilayah tertentu beserta karakteristik atau ciri demografis, sosial maupun ekonominya yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan. Jadi tatkala kita membahas SDM berarti juga membahas penduduk dengan segala potensi atau kemampuannya. Potensi manusia menyangkut dua aspek yaitu aspek kuantitas dan kualitas. Papayungan (1995) memfokuskan makna SDM pada potensi manusia di suatu wilayah tertentu. Sehingga tatkala potensi pada manusia dikaitkan dengan suatu wilayah, akan mengarah kepada aktivitas pembangunan dan pengembangan pada suatu wilayah tersebut. Sehingga SDM terkait erat dengan aktivitas pembangunan dan pengembangan wilayah di suatu tempat/negara.
Di sisi lain Marimin (2004) mengatakan bahwa sumber daya manusia merupakan salah satu aset organisasi yang menjadi tulang punggung suatu organisasi dalam menjalankan aktivitasnya dan sangat berpengaruh terhadap kinerja dan kemajuan organisasi. Marimin (2004) mengkhususkan pembahasan SDM pada suatu organisasi, maka potensi ini pun dikaitkan antara potensi pada diri manusia dengan kekuatan seuatu organisasi.
Tatkala dihubungkan dengan masalah produksi, yaitu terkait dengan perusahaan. Maka Sinurat (2008) mengungkapkan secara detail tentang makna SDM dengan mengambil urgensinya terhadap peroduksi dan fungsi-fungsinya yang tampak pada aktivitas produksi pada perusahaan tersebut. Sinurat (2008) mengatakan, “Sumber Daya Manusia (SDM) adalah satu-satunya sumber daya perusahaan yang memiliki kekuasaan untuk merencanakan dan mengendalikan sumber daya yang lain dalam organisasi. Sumber daya manusia adalah satu-satunya sumber daya yang memiliki kekuasaan untuk merencanakan dan mengendalikan kegiatannya sendiri.” Makna ‘mengendalikan sumber daya yang lain” adalah Sumber Daya Alam yang kemudian diubah menjadi unsur produksi melalui kegiatan produksi. Sehingga dapat ditarik benang merah bahwa Sumber Daya Manusia bermakna luas sesuai dengan fokus permasalahan, selain itu memiliki peran yang sangat besar untuk menggerakkan aktivitas kehidupan baik dalam kehidupan organisasi laba maupun nirlaba seperti perusahaan.
Makna Sumber Daya Manusia (SDM) dalam Terminologi Islam
Secara sekilas, istilah SDM sama dengan istilah dalam manajemen konvensional, akan tetapi yang membedakan adalah peranan SDM dalam kaidah dan tanggung jawab sosial. Karena SDM merupakan unsur terpenting dan pasti ada di setiap lini organisasi maupun perusahaan, maka SDM mendapatkan perhatian dari setiap manager baik lini maupun pusat (Jaribah, 2010).
Dalam pandangan ekonomi konvensional, SDM merupakan sebuah unsur yang harus diperhatikan untuk ‘menunjang’ pendapatan dan kestabilan organisasi (Qardhawi, 1997). Semakin SDM diperhatikan, diurus, dan dipenuhi hak-hak mereka dengan manajemen yang baik maka akan semakin stabil keadaan organisasi yang ada. Namun sebaliknya, bila SDM tidak diperhatikan dengan baik akan menimbulkan letupan yang dapat menghancurkan organisasi maupun perusahaan, sehingga SDM diibaratkan pedang yang harus dirawat dengan baik. SDM akan menyelamatkan organisasi maupun menghancurkannya tergantung bagaimana memperhatikan mereka, sehingga ibarat pedang bagaimana memakainya (Jaribah, 2010).
Ekonomi Islam memandang SDM dari sisi syariat, yaitu dari sisi amanah yang harus dijalankan untuk mencari keridhoan Allah (Karim, 2007). Sehingga tujuan didirikannya organisasi tidak hanya semata-mata untuk mencari keuntungan belaka, akan tetapi bagaimana mensejahterakan SDM yang ada di sekitar organisasi tersebut. Memaksimalkan penghasilan tidak difokuskan kepada individu maupun golongan terlebih dahulu, namun lebih difokuskan terhadap pemerataan kesejahteraan SDM di sekitar organisasi/perusahaan.
Qahaf (2008) menyatakan bahwa kinerja SDM yang baik adalah untuk kesejahteraan SDM itu sendiri, tidak peduli apakah pendapatan yang dihasilkan mengalami peningkatan ataukah tetap sama. Sehingga bila upaya dalam memperhatikan kualitas SDM secara maksimal, maka perhatian terhadap kualitas SDM itu kembali kepada kesejahteraan mereka, bukan semata-mata untuk individu ataupun kalangan tertentu. Sebagaimana Umar ibn Khaththab dalam Jaribah (2010) menyatakan bahwa apapun yang sedikit namun halal dan berkah itu lebih baik daripada banyak akan tetapi melalaikan. Sehingga pernyataan Umar ibn Khaththab ini menggambarkan tidak dibenarkannya pendayagunaan kualitas SDM untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan aturan syariat yang ada.
Dari pendapat para pakar ekonomi konvensional dan Ekonomi Syariat didapatkan perbedaan bahwa ekonomi konvensional menitikberatkan pada penghasilan dan SDM sebagai alat untuk meraup penghasilan, namun bila ekonomi syariah lebih menitikberatkan pada kewajiban untuk kesejahteraan sosial sehingga SDM sebagai obyek daripada kinerja SDM itu sendiri. Walaupun terdapat perbedaan titik berat di antara kedua sistem ekonomi dalam memandang kualitas SDM, akan tetapi ada satu titik temu yang sama antara keduanya yaitu peningkatan kualitas mutu SDM merupakan sebuah keharusan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Sehingga pimpinan organisasi baik manager maupun lini harus mengupayakan terwujudnya peningkatan kualitas SDM bila ingin tujuan organisasi tercapai.
Fungsi SDM Bagi Kelangsungan Produksi Menurut Pandangan Konvensional dan Islam
Tatkala membahas tentang produksi, maka ada dua unsur yang tidak dapat dipisahkan yaitu SDA dan SDM. Keduanya saling melengkapi untuk menghasilkan suatu produk yang berkualitas serta mengarahkan organisasi pada tujuan yang ingin dicapai.
Menurut Griffin (2005), dilakukan agar perusahaan dapat memperoleh SDA yang terlatih dan dapat memaksimalkan pengolahan Sumber Daya Alam bila difokuskan dalam produksi barang pada sebuah perusahaan dan menghasilkan produk jasa yang berkualitas bila difokuskan pada organisasi/perusahaan jasa. Sehingga pemanfaatan SDM menjadi faktor penentu keberhasilan pelaksanaan organisasi yang efektif, meningkatkan profit yang siginifikan serta mempertahankan keeksisan organisasi di tengah kancah persaingan yang ketat.
Mutu kualitas SDM harus terus ditingkatkan agar mampu berkompetensi untuk eksis dalam kancah kompetensi persaingan yang ketat, sehingga tetap menghasilkan produk yang berkualitas dengan profit yang tinggi. Peningkatan mutu dan kualitas SDM harus dilakukan dengan berbagai cara yang kreatif sesuai dengan tujuan Visi, Misi dan Tujuan Organisasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Spencer and spencer (1993) bahwa peningkatan mutu dan kualitas SDM untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan meningkatkan kualitas produksi adalah dengan memperhatikan lima karakteristik kompetensi, yaitu: (1) motif; (2) sifat dasar; (3) konsep diri; (4) pengetahuan; dan (5) keterampilan.
Berbeda dengan pandangan konvensional, Syariah Islam mengharuskan peningkatan mutu SDM diarahkan bukan hanya kepada peningkatan produksi yang berkualitas, akan tetapi produksi yang bermanfaat dan yang maslahat bagi umat manusia (Jaribah, 2010). Cara meningkatkan kualitasnya pun harus sesuai dengan tujuan syariat Islam, bukan sesuai dengan profit semata. Sehingga pendapat Grifin (2005) dan Spancer (1993) dalam ekonomi Islam harus ditinjau dahulu dari tiga kaidah-kaidah/asas, yaitu: (1) akidah/keyakinan; (2) ilmu; dan (3) amal.
Kaidah akidah bertitik tolak pada keyakinan pada wahyu, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, apakah cara peningkatan mutu SDM dan dalam rangka meningkatkan kualitas dan tujuan produksi tidak bertentangan dengan larangan agama Islam. Sehingga bila cara meningkatkan kualitas SDM terdapat unsur yang dilarang oleh agama harus dihindari, seperti pelatihan yang di dalamnya terdapat unsur pemaksaan, ikhtilat (bercampur baur bukan mahram) dan yang lainnya. Pandangan akidah menitikberatkan pada keyakinan yang kuat terhadap Allah Yang Memiliki Hukum, sehingga walaupun sesuatu itu bersifat menguntungkan akan tetapi mengandung unsur yang dilarang dalam agama maka hal itu tidak dapat dilaksanakan. 
 Sedangkan kaidah ilmu didasarkan pada cara teknis, apakah memang mengandung unsur maslahat bagi perusahaan, organisasi serta lingkungan sekitar dan masyarakat ataukah belum. Bila belum, dapat ditambahkan unsur teknis yang lebih bermanfaat bagi mereka, namun jika yang ada justru berdampak negatif maka harus dihilangkan. Kaidah ilmu mencangkup ilmu umum, baik itu ilmu syariah maupun ilmu umum yang menunjang selama tidak ada larangan yang tercantum dalam nash syariah.
Kaidah amal dititikberatkan pada proses peningkatan mutu SDM, artinya bahwa perusahaan atau organisasi melakukan kegiatan pelatihan dan pengembangan bukanlah semata-mata untuk kepentingan organisasi, akan tetapi lebih dari itu adalah memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat kepada manusia secara umum. Memberikan ilmu yang bermanfaat untuk kepentingan dan maslahat umum dan organisasi/perusahaan memiliki nilai ibadah di sisi Allah. Maka semakin ikhlas seseorang memberikan pelatihan dan semakin semangat peserta pelatihan mengikuti program yang diagendakan dengan niat untuk mensejahterakan perusahaan/organisasi dan masyarakat, maka semakin besar nilai ibadah dan semakin besar pula barakah yang didapatkan perusahaan dari hasil peningkatan mutu SDM tersebut. Sehingga kualitas produksi yang meningkat bukanlah semata-mata karena unsur SDM akan tetapi ada unsur keridhoan Ilahi kemudian juga terdapat unsur semangat dan keikhlasan dari SDM (pekerja) untuk melakukan yang terbaik bagi perusahaannya.
Dari tiga asas/kadiah tersebut memberikan sumbangsih bagi tiap unsur SDM untuk selalu berkarya, meningkatkan kemampuan/skill, serta memberikan yang terbaik bagi perusahaan atau organisasi serta lingkungan sekitar. Dengan demikian secara otomatis akan menghasilkan produksi yang unggul baik dalam kualitas maupun kuantitasnya dan mampu bersaing dengan kualitas persaingan yang baik dan sehat di tengah kancah persaingan yang ketat.   
Makna Produktivitas
Berbeda dengan produksi yang hanya menekankan pada kegiatan peningkatan nilai dan kualitas barang, makna produktivitas lebih mendalam dan memiliki dimensi khusus. Menurut Husein (2002) produktivitas adalah perbandingan antara hasil yang dicapai (output) dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan (input).
Produktivitas memiliki dua dimensi, yaitu: (1) efektivitas yang mengarah kepada pencapaian target berkaitan dengan kuaitas, kuantitas dan waktu; dan (2) efisiensi yang berkaitan dengan upaya membandingkan input dengan realisasi penggunaannya atau bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan (Husein, 2002). Pendapat yang demikian itu menunjukkan bahwa produktivitas mencakup sejumlah persoalan yang terkait dengan kegiatan manajemen dan teknis operasional.
Produktivitas dapat dinyatakan terkait dengan kegiatan manajemen, karena kegiatan manajemen dapat mengarahkan hasil produksi untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan secara efektif dan efisien. Sebagaimana fungsi dan makna dari manajemen yaitu proses merencana, mengorganisasi, mengarahkan, mengkoordinasikan serta mengawasi kegiatan mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif, diperlukan SDM yang ulet dan profesional. Sehingga sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Siagian (2001) dan Mulyasa (2008) bahwa produktivitas juga tidak dapat dikepaskan dari kualitas mutu SDM itu sendiri, baik dalam urusan manajemen perusahaan ataupun organisasi secara umum maupun khusus.
Sedangkan efisiensi yang berkaitan dengan bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan berhubungan dengan proses produksi dalam menghasilkan produk yang berkualitas dan disenangi masyarakat. Bila terkait dengan dimensi syariah Islam produktivitas mengarah kepada bagaimana mebuat produk dengan meningkatkan nilai guna dan maslahat pada manusia secara umum, baik itu pekerja, konsumen, maupun masyarakat di lingkungan organisasi/perusahaan, serta siapa saja yang terkait langsung atau tidak terhadap organisasi/perusahaan (Jaribah: 2010).
Peran Produktivitas dalam Memberikan Nilai Kualitas Produksi
Dalam ekonomi konvensional, pada dasarnya tujuan utama dari suatu perusahaan bisnis adalah untuk menghasilkan keuntungan ataupun profit yang sebanyak-banyaknya. Untuk meningkatkan keuntungan atau profit perusahaan, Ide ataupun usulan yang paling sederhana dan paling pertama muncul adalah meningkatkan Produktivitas.
Menurut Sedarmayanti (2009) Manajemen Perusahaan harus mampu menemukan cara untuk menyeimbangkan peningkatan Kualitas dan Produktivitas. Terlalu menekankan peningkatan Produktivitas akan mengorbankan Kualitas yang mungkin pada akhirnya juga akan menurunkan Output Produksi. Sedangkan terlalu menekankan peningkatan Kualitas dengan mengorbankan Produktivitas juga akan menimbulkan Biaya Operasional yang tinggi. Oleh karena itu, Peningkatan Kualitas dan Produktivitas harus dilakukan secara bersamaan tanpa mengorbankan salah satunya. Sehingga meningkatkan Kualitas dan Produktivitas secara bersamaan, perusahaan akan menikmati keuntungan seperti Harga Pokok Produksi yang lebih rendah, Mengurangi biaya pekerjaan ulang (rework cost), meningkatkan kepuasan pelanggan (Customer Satisfaction) dan tentunya meraih Profit (Laba) yang lebih besar
Sedangkan menurut Utami (2002) dalam jurnalnya bahwa produktivitas penting untuk menggabarkan kinerja ekonomis dari suatu perusahaan. Kinerja ekonomis itu sendiri merujuk kepada kinerja operasional dan kinerja keuangan. Kinerja operasional dinilai berdasarkan proses sesungguhnya, sedangkan kinerja keuangan dinilai berdasarkan aliran keluar dan masuknya dana. Keduanya ini menjadi salah satu indikator kualitas suatu perusahaan yang juga menentukan kualitas produk dan juga merek suatu barang. Sehingga Utami (2002) mengkaitkan pentingnya produktivitas secara tidak langsung dengan kualitas produksi.
Pendapat lain yang mendukung adanya hubungan antara produktivitas dengan kualitas produksi juga dinyatakan oleh Erlina (2006) dalam penelitiannya terhadap produktivitas petani ikan serta kualitas yang dihasilkan pada budidaya ikan dan udang di Jepara. Produktivitas para petani ikan pun juga mempengaruhi kualitas sarana dan prasarana berkembangnya pertumbuhan benih sehingga menghasilkan produk (ikan) yang berkualitas.
Di dalam pandangan Syariah Islam pun, diakuinya hubungan antara produktivitas dengan kualitas produk yang dihasilkan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Syafi’i (2012) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kualitas produk pelayanan jasa dan mengungguli pesaing harus dipilih karyawan yang memiliki produktivitas dan dedikasi tinggi. Salah satu bentuknya adalah produktif dalam inisiasi dan komunikasi kepada pelanggan serta stake holder stake holder yang terkait dengan bidang jasa dan pelayanan.
Ekonomi Syariah tidak semuanya menolak teori dari ekonomi konvensional, sebagaimana konsep Big-Q yang mana banyak ulama Islam mengakuinya. Big-Q merupakan konsep produksi baik operasi maupun inovasi, teori ini banyak pula dimunculkan dalam pembelajaran teori ekonomi syariah. Big-Q adalah konsep yang berusaha meraih hasil terbaik pada pelayanan jasa/barang dengan menyeimbangkan unsur manusia dan proses produksi agar dihasilkan produk yang baik. Saat ini dikenal dengan nama Total Quality.
Menurut Iqbal (2012) konsep Big-Q atau Total Quality terkait erat dengan perintah Allah yang tertuang dalam Al-Qur’an pada Surah Taubah ayat 105, yang artinya “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. Pernyataan Iqbal (2012) ini mendukung pernyataan Syafi’i bahwa dalam Ekonomi Syariah diakui adanya hubungan yang erat antara produktivitas dengan kualitas produk dan pelayanan.
Kesimpulan
Sehingga ekonomi Syariah tidak semuanya menolak teori, konsep serta paham Ekonomi Konvensional khususnya terkait dalam makna produktivitas SDM. Namun secara landasan filosofi dan sebagian praktik di lapangan keduanya memiliki perbedaan bahkan ada yang mencapai prinsip.
Di dalam Ekonomi Konvensional produktivitas SDM bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk atau pelayanan yang dihasilkan oleh pekerja dengan tujuan utama untuk meningkatkan keuntungan atau profit yang ada. Seandainya ada unsur kesejahteraan karyawan yang harus diupayakan dan lingkungan yang harus dijaga, maka keduanya pun diupayakan untuk meningkatkan kualitas SDM yang digunakan untuk meningkatkan atau minimal mempertahankan keuntungan.
Sedangkan Ekonomi Syariah, memiliki pandangan bahwa produktivitas SDM harus diupayakan untuk meningkatkan benefit/manfaat dan kesejahteraan seluruh karyawan dan siapapun yang terlibat dalam organisasi (stake holders). Seandainya terdapat peningkatan keuntungan yang pesat maka keuntungan tersebut diupayakan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Di sisi lain, produktifitas SDM juga bermanfaat untuk menambah nilai ibadah dan kebaikan disisi Allah, Tuhan Semesta Alam. Sehingga perbedaan yang nampak dari makna produktivitas antara Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Syariah terletak pada tujuan dari produktivitas itu sendiri.

Daftar Rujukan
Ahman, H.E. dkk. 2007. Ilmu Ekonomi Dalam PPIS. Universitas Terbuka: Jakarta.
Al Qur’an Al-Karim.
Amirullah,. 2002. Perilaku Konsumen. Penerbit. Graha Ilmu: Yogyakarta.
Assauri, S. 2004. Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Revisi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta.
Danim, S. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Pustaka Setia: Bandung.
Ekotama. 2011. Mengantisipasi Kerugian Perusahaan dan Instansi. Elex Media: Jakarta.
Erlina, A. 2006. Kualitas Perairan di Sekitar BBPBAP Jepara Ditinjau dari Aspek Produktivitas Primer Sebagai Landasan Operasional Pengembangan Budidaya Udang dan Ikan. Tesis Magister Manajemen Sumber Daya Pantai. Universitas Diponegoro Semarang.
Griffin, J.E. 2004. Textbook of Endocrine Physiologi. Oxford University Press: USA.
_________ . 2005. Business Essentials. NJ Pearson Prentice Hall: English.
Haqque, A. (2010). “Islamic Banking in Malaysia: A Study of Attitudinal Differences of Malaysian Customers”. European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences. Issue: 18. p: 7-13.
Husein, Umar. 2002. Metode Riset Bisnis. Gramedia: Jakarta.
Iqbal, Muhaimin. 2012. Membangun Jiwa Entrepreneur. Republika: Jakarta.
Jaribah. 2010. Al-Fiqh Al-Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar Ibnu Al-Khaththab. (Terj) Fiqih Ekonomi Umar bin Khaththab”. Asmuni, S.Z. Khalifa: Jakarta.
Karim, A. 2007. Ekonomi Mikro Islami. Grafindo: Jakarta. 
Kenedi, Jon. (2013). “Analisis Praktek Manajemen Sdm Perbankan Syariah Milik Pemerintah Di Sumatera Barat”. Jurnal Ekonomi STIE Haji Agus Salim Bukittinggi. Vol. 14, No. 2. p: 15-34.    
Malik, A. (2011). “An Analysis of Islamic Banking and Finance in West: From Lagging to Leading”. Asian Social Science Published by Canadian Center of Science and Education, Vol. 7, No. 1. p: 179-185.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo: Jakarta.
Metwally. 1995. Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta: Bangkit Daya Insana.
Miller, R. 2000, Teori Ekonomi Intermediate. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Misanam, M., dkk. 2009. Ekonomi Islam. Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Mulyasa, E. 2008. Standar kompetensi dan Sertifikasi Guru. Roesdakarya: Bandung.
Nasution, A.S. 2008. Ekonomi Islam (Sebuah Tinjauan). Universitas Al-Azhar: Medan.
Papayungan.1995.Pengembangan dan Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia Menuju Masyarakat Industrial Pancasila.Bandung: Mizan.
Perwataatmaja, K. A & Byarwati, A. 2008. Jejak Rekam Ekonomi Islam; Refleksi Peristiwa Ekonomi dan Pemikiran Para Ahli Sepanjang Sejarah Kekhalifahan. Cicero Publishing: Jakarta.
Qahaf, M. 2008. Manajemen Wakaf Produktif. Al-Kautsar: Jakarta.
Qalahji, M.R. 2000. Mabahis Fi Aliqtishod Al-Islamiy Min Ushuli Alfiqhiya. Beirut: Dar An-Nafes.
Qardhawi, Y. 1997. Norma Dan Etika Ekonomi Islam. Terj: Arifin, Zainal & Husin, Dahlia, Jakarta: Gema Insani.
____ . 1997. Pengantar Kajian Islam. Terj: Abdul Halim. Al-Kautsar: Jakarta.
Sedarmayanti. 2009.   Tata Kerja Dan Produktivitas Kerja. Gramedia: Jakarta.
Sedarmayanti. 2009. Tata Kerja dan Produktivitas Kerja. Mandar Maju: Bandung.
Siagian, S.P. 2001. Sistem Informasi Manajemen. Bumi Aksara: Jakarta.
Sinurat, S.P. 2008. Langkah Tepat Melakukan Rekrutmen dan Seleksi. Erlangga: Jakarta.
Sugianto, dkk. 2000. Ekonomi Mikro. Salemba Empat: Jakarta.
Syafi’i,M & Antonio. 2012. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Utami, C.W. (2002) “Peningkatan Nilai Perusahaan Melalui Perbaikan Produktivitas dan Kualitas Pada Sektor Jasa Sebuah Analisis Konseptual”. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan. 4, (1), 56-64.
Wahyuni, U.D. (2010). “Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Berbasiskan Kearifan Lokal pada Aspek Budaya dan Motivasi Sebagai Unsur dalam Hubungan Industrial. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis. Vol 1. No 1. p: 11-26.
Wikipedia Indonesia. (2014, 25 Januari). Sumber daya manusia. Diperoleh 4 Februari 2014, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Sumber_daya_manusia.
Yuniarsih, T. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Alfabeta: Bandung.


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami