بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
GURITA RIBA YANG MENGGELORA
(BAGIAN PERTAMA)
Segala Puji Bagi Allah yang
telah menurunkan aturan-aturan kehidupan bagi manusia. Aturan-aturan yang penuh
kebaikan dan kesejahteraan. Yang sesuai dengan AsmaNya Ar-Rahman dan Ar-Rahim,
Yang Maha Pengasih dan juga Maha Penyayang. Semoga shalawat serta salam tetap
tercurah kepada Sang Utusan Ilahi, Muhammad ibn Abdillah beserta keluarganya,
para sahabatnya, serta tak lupa kepada ummatnya yang memegang teguh sunnahnya
hingga akhir zamman. Amma ba’d.
Permasalahan pelik yang
menimpa masyarakat secara umum saat ini adalah kemerosotan pengetahuan tentang
agama yang diridhoi Allah Ta’ala. Baik dari segi aqidah (keyakinan) yang
benar hingga syariah yang diridhoi Allah. Sebagai gambaran singkat, Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa di akhir zamman nanti orang sudah tidak
mempedulikan halal dan haram yang ditetapkan Allah Ta’ala[1].
Intinya “YANG PENTING NYAMAN.”
Hingga saat ini masih ada
saja ditemui orang yang mengatakan, “wong cari yang haram saja susah
apalagi cari yang halal?” Pernyataan manusia yang tak faham akan
rahmat Allah, selalu saja menjadi dalil untuk melegitimasi tindakan bodohnya. Padahal
apa yang dihalalkan itu banyak dan apa yang diharamkan itu hanya sedikit.
Sementara di tengah-tengahnya ada hal-hal yang samar dan alangkah baiknya untuk
meninggalkannya daripada terkena dosa dan kesalahan[2].
Sebuah prinsip yang tidak
dapat dipungkiri, bahwa seorang Muslim memperhatikan apa yang kita makan.
Karena di dalam makanan itu terdapat banyak unsur yang menyebabkan kita menjadi
hambaNya yang shalih atau menjadi hambaNya yang ingkar. Di dalam makanan itu
ada keridhoan Allah, ada keberkahan Allah dan ada kasih sayang Allah.
Perintah untuk memakan
makanan yang baik bukan hanya untuk umat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam saja, akan tetapi umat-umat terdahulu pun diperintahkan demikian[3]. Hanya saja
umat-umat terdahulu telah lenyap dan ingkar, hingga Allah pun menyisakan umat
Muhammad Shalallahu ‘alaih wa sallam.
Halal dan haramnya makanan,
bukan saja ditentukan dari dzat makanan itu sendiri. Sebagaimana, darah, babi
dan bangkai[4].
Akan tetapi keharaman dzat makanan itu juga berasal dari ‘cara mendapatkan
makanan tersebut’ selain itu ‘fungsi makanan tersebut’. Apabila
makanan tersebut halal (misal daging sapi), akan tetapi bila makanan tersebut
difungsikan untuk qurban terhadap penunggu Gunung, maka makanan itu haram
dimakan seorang muslim. Begitu juga makanan itu didapatkan dari mencuri, hasil
menipu, hasil perdukunan, dan juga RIBA.
RIBA merupakan polemik
tersendiri di akhir zaman ini. Betapa tidak, transaksi haram ini diklaim
sebagai hal yang HALAL dan berkah saat ini. Dimana-mana riba selalu saja
dibahas dari sisi keuntungannya. Riba berasal dari kata Ar-Riba yang
memiliki arti tambahan atau pertumbuhan[5]. Secara syariat Ar-Riba
adalah bermakna tambahan khusus yang dimiliki
salah satu dari dua pihak yang terlibat tanpa ada imbalan tertentu dalam bab
hutang&piutang[6]. Secara sederhanannya riba
adalah suatu tambahan dari pembayaran hutang yang sudah ditetapkan sebelum
transaksi hutang itu terjadi.
Nah, sekarang bagaimana dengan bunga hutang? Menurut
Wirdyaningsih[7],
bahwa bunga hutang (apapun jenisnya dan diterapkan di lembaga manapun) termasuk
dalam kategori riba. Beliau menjabarkan 3 point penting yang dapat membuktikan
bahwa bunga berekuivalensi terhadap riba, yaitu:
1.
Bunga adalah tambahan terhadap uang
yang disimpan pada lembaga keuangan atau uang yang dipinjamkan.
2.
Besarnya bunga yang harus dibayar
ditetapkan di muka (terdapat akad tambahan pembayaran utang) tanpa memedulikan
apakah lembaga keuangan penerima simpanan atau pinjaman berhasil dalam usahanya
ataukah tidak.
3. Perhitungan bunga utang ditentukan
berdasarkan persentase yang artinya bila pinjaman yang tidak dibayarkan selama
beberapa tahun akan berlipat ganda jumlahnya, hal ini seimbang juga dengan
bunga simpanan (deposito dan sebagainya), apabila tidak diambil dalam beberapa
tahun maka simpanannya akan bertambah.
Mungkin terlalu ilmiah apabila dibahas lebih lanjut hingga
mendetail dan diuraikan secara sistematis dengan bahasa yang baku. Akan tetapi
kami hanyalah menuliskan ringkasnya saja, karena ingin sedikit
menjelaskan tentang bagaimana korelasi antara bunga pinjaman dengan riba.
Sesuatu yang haram, tentu memiliki konsekuensi berupa
DOSA. Dimana dosa itu merupakan sebuah catatan buruk yang akan menyeret
pelakunya kepada ‘ancaman hukuman”. Semakin besar dosa seseorang, ancaman hukuman
pun semakin dekat kepadanya. Bahkan dosa dapat menurunkan adzab di dunia[8]. Urusan diampuni atau tidak (apabila
mati belum sempat taubat) itu mutlak urusan Allah Ta’ala, akan
tetapi sebagai makhluk yang lemah dan diberikan kemampuan untuk berikhtiar maka
adalah bijak bila kita berusaha semaksimal mungkin menghindarinya. Oleh sebab itu mari kita
berusaha meninggalkan sekuat mungkin hal-hal yang berbau dosa
termasuk RIBA.
Apa kaitan riba dengan dosa?
Ternyata riba memiliki dosa yang berat di sisi Allah.
Tak tanggung-tanggung, riba juga memiliki konsekuensi besar di dunia yang insya
Allah akan sedikit kami paparkan ayat-ayat khauniyyah (ayat-ayat kejadian) pada
warga masyarakat di sekitar sanggar baca kami. Kini, akan sedikit kami paparkan
terlebih dahulu tentang besarnya dosa riba secara
tekstual yang terkandung dalam Al-Qur’an, Sunnah, Atsar, dan Ijma’ para ulama.
A. DOSA RIBA,
DOSA BESAR DI SISI SANG PENCIPTA
Allah Ta’ala secara
Rubbubiyyah (hakekat ketuhanan) merupakan Al-Maalik (Raja/Penguasa), Al-Kholiq
(Pencipta) dan Al-Mudzabbir (Pengatur) segala apa yang ada di alam semesta.
Sehingga Dia menetapkan sebuah aturan-aturan yang harus dilakukan oleh semua
makhlukNya, termasuk manusia untuk tunduk beribadah hanya kepadaNya dan inilah
makna UluhiyyahNya. Secara Uluhiyyah[9],
Allah telah menetapkan transaksi RIBA sebagai transaksi HARAM yang memiliki
konsekuensi dosa. Begitu besar dosa riba, hingga Allah memberikan keterangan
kepada manusia melalui Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Begitu besar dosa riba, hingga banyak sekali ancaman Allah dan RasulNya
terhadap pelaku transaksi riba beserta saksi-saksi dan siapapun yang
membantunya.
Berikut akan dipaparkan
sedikit nash/dalil yang menggambarkan betapa
pentingnya menghindari riba sejauh mungkin khususnya di akhir zamman ini.
Karena banyaknya transaksi riba saat ini dengan berbagai wujudnya. Termasuk
salah satunya adalah bunga pinjaman yang ditawarkan kepada masyarakat. Bagai
menawarkan sesuatu yang manis padahal sebenarnya itu adalah hal yang sangat
kotor.
Dalil Al-Qur’an:
Sebenarnya ada banyak dalil Al-Qur’an yang melarang
tentang riba. Akan tetapi, kami cantumkan dalil yang berisi larangan tegas sekaligus konsekuensinya
saja.
a. Allah berfirman, “الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ
اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ -٢٧٥-,
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.” (Q.S Al-Baqarah: 275).
b. “فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ
بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ
لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ -٢٧٩-“ Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Q.S
Al-Baqarah: 279).
c. “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ
تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
-١٣٠-“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S Ali-Imran:
130).
d. إِن يَنصُرْكُمُ اللّهُ فَلاَ غَالِبَ
لَكُمْ وَإِن يَخْذُلْكُمْ فَمَن ذَا الَّذِي يَنصُرُكُم مِّن بَعْدِهِ وَعَلَى اللّهِ
فَلْيَتَوَكِّلِ الْمُؤْمِنُونَ -١٦٠- وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ” أَن يَغُلَّ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ
تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ -١٦١-“ Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang
dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Dalil Al-Hadits Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam
a. Jabir Radliyallaahu
'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat
pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya.
Beliau bersabda: "Mereka itu sama." (HR Muslim).
b. Apabila
perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri maka mereka
(penghuninya) sudah menghalalkan atas mereka sendiri siksaan Allah. (HR.
Ath-Thabrani dan Al Hakim).
c. Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “دِرْهَمُ رِبًا
يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ
زَنْيَةً “Satu dirham yang
dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih
besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.”
(HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul
Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih).
d. Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “الرِبَا ثَلاَثَةٌ
وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ
أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ” “Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan
adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.
Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan
saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya).
Keduanya sudah cukup menjadi
sebuah pusaka penerang bagi manusia agar berhati-hati dalam melangkah di dalam
kehidupannya. Termasuk salah satunya adalah PERINTAH TEGAS meninggalkan riba.
Realitas di Masyarakat
Riba yang dosanya cukup
dahsyat dari perzinaan sekalipun, saat ini tidak menimbulkan efek ‘takut’ pada
masyarakat bahkan khawatir pun seakan juga tidak. Bukan saja tidak menimbulkan
efek takut, alih-alih riba ini dikembangkan dengan suburnya. Dengan propaganda
media dan dengan menanamkan saling ketergantungan antara masyarakat dan lembaga
keuangan berbau riba, seakan merubah sesuatu yang buruk menjadi tampak baik. “Tahi
kucing serasa cokelat” mungkin itu ungkapan yang pas untuk praktik riba
saat ini.
Bukan hanya di kalangan
menengah ke atas, menengah ke bawah pun praktik riba ini tak kalah dahsyatnya. Lembaga
keuangan yang bergerak memang tidak seprofesional Lembaga Keuangan Formal dalam
memberikan kredit, akan tetapi bunga yang diancamkan kepada nasabah pun tak
kalah mencekik. Lembaha keuangan untuk masyarakat menengah ke bawah memang
biasanya tak berbadan hukum sehingga dikatakan lembaga keuangan informal. Lembaga keuangan informal
yang bergerak untuk memberikan kredit riba di masyarakat disebut lintah
darat, bisa juga disebut rentenir atau yang terkenal adalah Bank
Thithil.
Meminjam di Bank Thihtil
tak serumit meminjam di bank-bank besar dan formal. Cukup ngomong baik-baik ke
sang kreditur dan janji mengembalikan, uang pun cair. Tapi jangan salah, uang
yang dipinjamkan kepada nasabah harus kembali dengan pengembalian yang sangat
mencekik. Bunganya pun aduhai dan luar biasa berlipat. Alih-alih tak takut
dosa, mereka justru mengeruk keuntungan dari hujjah (alasan) yang sangat lemah yaitu “Karena masyarakat
membutuhkan”.
Entah bisa dibilang kurang
cerdas atau Oon, yang jelas mayoritas masyarakat pun juga mau dijajah oleh Si
Lintah Darat alias Bank Thihtil ini. Mereka tak tanggung-tanggung dalam
meminjam ke Bank Thihtil, mulai dari meminjam untuk kebutuhan SPP atau
uang jajan anaknya hingga membeli panci pun kredit ke Bank
Thithil, BUSUK memang pengelola Bank Thithil. Bahkan untuk urusan membeli
jilbab juga hutang ke mereka, bayangkan urusan menutup aurat
yang dianjurkan agama dinodai oleh pengelola Bank Thithil.
Bagaimana di wilayah sekitar
sanggar baca Kadiksuh?
Maka marilah kita dalami
tentang hal ini pada episode mendatang, karena sangat penting untuk membahas
permasalahan tentang jeratan rentenir berjenis Bank
Thithil ini.
Permasalahan kemiskinan masyarakat khususnya yang
berada di sekitar
sanggar tidak lain karena gaya hidup serta ketergantungan mereka kepada kreditur
apapun itu bentuknya. Baik Koperasi, perbankan formal, Bank Thithil atau
yang lainnya.
Semoga Allah memudahkan kami
untuk menulis episode demi episode yang mengurai tentang pengalaman kami selama
terjun di masyarakat khususnya sekitar sanggar baca Darul Musthofa.
Malang, 17 Dzulhijjah 1433 / 1 November 2012.
435:554
[1]
Diilhami dari sebuah hadits yang diriwayatkan melalui Jalan Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang satu masa kepada manusia, dimana pada masa itu
seseorang tidak lagi memperdulikan apa yang diambilnya, apakah dari yang halal
atau dari yang haram”. (HR. Bukhari dan Nasa’i dari Abu Hurairah).
[2]
Dirujuk dari Hadits:
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا
أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ
اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ
وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ
الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ
حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي
الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا
فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ [رواه البخاري ومسلم]
“Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia
berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya
terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh
orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah
menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara
syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana
penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang
dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah
bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia
haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia
baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh
tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “.
(Riwayat Bukhori dan Muslim.
Dikutip dari Hadits Arba’in Karya Imam Nawawi No. 6)
[3]
dirujuk dari Hadits:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً،
وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ
تَعَالَى : ,يَا
أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً - وَقاَلَ تَعَالَى : , يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ
طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ - ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ
أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ ياَ رَبِّ يَا رَبِّ
وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ
بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ .
[رواه مسلم]
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu dia berkata :
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya Allah ta’ala itu
baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan
orang beriman sebagaimana dia memerintahkan para rasul-Nya dengan firmannya :
Wahai Para Rasul makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah. Dan Dia berfirman : Wahai
orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan
kepada kalian. Kemudian beliau menyebutkan ada seseorang melakukan perjalan
jauh dalam keadaan kumal dan berdebu. Dia memanjatkan kedua tangannya ke langit
seraya berkata : Yaa
Robbku, Ya Robbku, padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram
dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu
keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan.
(Riwayat Muslim, dirujuk dari Arba’in karya
Imam Nawawi No. 10).
[4]
Rujuk Al-Qur’an Surah Al-Maa’idah: 3.
[5]
Shalah, A.S. dan Abdullah, A.M. 2008. Ma
La Yasa’ at_Tajira Jahluhu. Abu, U.B. (penerjemah). Fikih Ekonomi Keuangan
Islam. Darul Haq. Hal 339.
[6]
Rujuk No 5.
[7] Wirdyaningsih.
2005. Bank dan Asuransi Islam di
Indonesia. Prenada Media:Jakarta.
[8]
Rujuk Al-Qur’an, Surah Al-Ankabut: 40 dan Al-Qur’an, Surat Al-An’am: 44.
[9]
Hak Allah untuk menetapkan aturan-aturan penghambaan kepada makhluk-makhlukNya
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah