KAJIAN ISLAM DAN KARYA PENA

KAJIAN ISLAM YANG MEMUAT HAL-HAL BERKAITAN TENTANG PENGETAHUAN ISLAM BAIK SADURAN ATAU KARYA ASLI. BAIK HAL AKIDAH, MUAMALAT, FIKIH ATAUPUN TASKIYATUN NUFS (PENYUCIAN HATI)

JUGA KARYA PENA UMUM BERUPA PUISI CERPEN DAN KARANGAN ATAU ILMU PENGETAHUAN UMUM DAN PENELITIAN ILMIAH

Jumat, 30 Agustus 2013

SALAH SATU MUSUH ORANG BERTAKWA


SALAH SATU MUSUH ORANG BERTAKWA

Alhamdulillah, Segala Puji Bagi Allah. Semoga shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad beserta keluarganya, para sahabatnya serta umatnya yang setia mengikuti beliau dengan menegakkan sunnahnya hingga akhir zamman. Amma ba’d.
Artikel ini saya angkat setelah mendengar seorang khatib dalam khutbah Jumah menerangkan tentang salah satu ayat Al-Qur’an yang menyentuh hati. Pembahasan ini saya rasa penting mengingat saat ini semakin marak kecintaan kita kepada selain Allah padahal kita adalah orang-orang yang beriman.
Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوّاً لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya, “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S Ath-Thaghabun: 14).
Surat Ath-Thaghabun, ayat-ayatnya hampir seluruhnya adalah ayat Makkiyah kecuali ayat ini. Karena ayat ini memiliki ciri khas dengan panggilan, “Wahai orang-orang yang beriman.” Ini salah satu ciri surah ataupun ayat Madaniyah.
Menurut ashbabul nuzulnya (riwayat turunnya suatu surah/ayat) yang disampaikan oleh beberapa ulama ahli tafsir termasuk juga Ibnu Katsir, ayat ini berkenaan dengan seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau termasuk salah satu sahabat yang baik keimanannya, hingga pada akhirnya Rasulullah Shalallau ‘alaihi wa sallam menyerukan perintah berjihad fi sabilillah. Sahabat ini begitu bersemangatnya hingga belau pun melakukan berbagai persiapan untuk bertempur di jalanNya. Akan tetapi tatkala hendak berangkat, istri dan anak-anaknya menangis merengek-rengek seraya berkata, “Hendak kemana kamu?” Akhirnya, sang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam itu pun luluh dan berniat mengurungkan diri untuk bergabung dengan tentara perang. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai peringatan.
Adapun tafsir lain yang semakna akan tetapi dalam kasus yang berbeda, disampaikan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. Beliau menyatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan orang-orang beriman yang tinggal di Makkah. Mereka sudah berniat untuk hijrah ke Madinah bersama Rasulullah dan para sahabatnya, akan tetapi karena anak-anak dan istri mereka merengek-rengek serta menahan mereka maka niat untuk hijrah itu pun urung dilaksanakan. Hingga dalam jangka waktu yang lama, mereka pun akhirnya hijrah. Pada saat mereka hijrah dan sampai di Madinah, para sahabat telah banyak faham tentang syariat Islam. Syariat Islam telah berkembang semakin sempurna. Para sahabat yang terlambat berhijrah karena ditahan anak dan istri menyesal, lalu mereka memarahi anak-anak dan istri-istri mereka serta membencinya. Menanggapi hal ini, Allah menurunkan FirmanNya, “dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Para ulama menyatakan, bahwa makna tafsir keduanya benar, yang satu makna secara khusus pada seorang sahabat nabi dan yang lainnya adalah makna secara umum kepada seluruh orang yang enggan berhijrah karena menuruti kemauan dari anak-anak dan istri mereka.
Dalam FirmanNya, Allah berfirman dengan kata مِنْ hal ini merupakan sebuah ungkapan dengan makna ‘sebagian dari mereka’. Sehingga tidak semua anak-anak dan istri-istri menjadi musuh bagi para suami atau ayah. Ada pula dalam kenyataannya seorang istri justru lebih taat dari suaminya dan suaminya yang menghalangi ketakwaan istrinya. Begitu pula yang terjadi pada ayah terhadap anaknya. Akan tetapi, memang tidak jarang istri dan anak-anak menjadi ‘musuh’ bagi sang suami atau sang ayah.
Pertanyaannya, kapan seorang istri atau anak itu dapat dikatakan menjadi musuh bagi suami atau ayah?
Jawabannya adalah saat mereka menghambat kita sebagai suami atau ayah itu untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Sebagaimana contoh ashbabu an-nuzul (sebab turunnya ayat/surat dalam Al-Qur’an) ayat di atas, bahwa mereka menghambat niat baik para suami dan ayah untuk berperang dan/atau berhijrah karena Allah.
Saat ini kita lihat semakin banyak fenomena maraknya anak-anak dan istri yang menyeret suaminya ke lembah kenistaan. Padahal sebelumnya suami atau ayah itu adalah orang yang shalih. Inilah salah satu bentuk ujian untuk kita yang sebabnya berasal dari anggota keluarga kita sendiri. Jarang atau sering, akan tetapi hal ini tentu dapat terjadi di dalam anggota keluarga. Apakah suaminya yang bertakwa dihambat istri dan/atau anaknya, ataukah istrinya yang bertakwa dihambat suami dan/atau anaknya, ataukah anak yang bertakwa dihambat oleh ayah dan/atau ibunya. Semuanya adalah ujian yang disampaikan kepada kita sebagai langkah untuk membuktikan “manakah yang terbaik amal-amal kita.” Serta menguji kita tentang cara bersikap dalam menghadapi sebuah problematika sosial. Seorang suami yang menjadi pemimpin diuji ketegasannya, seorang istri yang harusnya setia diuji ketaatannya kepada suaminya tatkala menasehati sang suami yang salah. Begitu anak-anak diuji perilaku baktinya kepada orang tua bagaimana ia bisa bersikap tatkala orang tua melakukan kesalahan. Ini tidak mudah dan memerlukan akidah, fikih, adab, serta akhlak yang benar sesuai tuntunan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya serta mereka yang mengikutinya.
Akidah adalah keyakinan yang merupakan landasan utama dalam beragama serta patokan dalam melakukan persetujuan atau penolakan atas suatu perintah/larangan orang lain. Fikih, adalah hukum-hukum yang mengatur kita untuk melakukan sikap terbaik saat melakukan ammar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan yang diajarkan dalam Islam. Adab, adalah tata cara kita menampilkan sesuatu secara lahiriyah sebagai tonggak menunjukkan kebenaran dan kebaikan. Sedangkan akhlak, adalah murni dan bersihnya hati dari keburukan-keburukan yang fatal serta bentuk kelembutan hati tatkala melakukan ammar ma’ruf nahi munkar di saat kita dihadapkan pada penghalang-penghalang keimanan.
Maka untuk menghindari potensi istri-istri dan anak-anak kita menjadi musuh bagi ketakwaan kita padaNya perlu tindakan prefentif (pencegahan) yang bisa kita lakukan. Yakni:
1.       Pra rumah tangga: Hendaklah kita memilih istri adalah orang yang bertakwa, shalihah dan juga qona’ah (menerima pemberian Allah dan berusaha untuk mencari yang lebih baik tanpa menuntut dan mengeluh). Telah dinyatakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa wanita dinikahi karena 4 hal, yakni: kecantikannya, keturunannya/nasabnya, hartanya dan agamanya. Maka Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kita untuk memprioritaskan wanita yang baik agamanya untuk keselamatan diri kita di dunia dan akherat.
2.       Pasca Rumah Tangga:
a.  Mengajarkan kepada anak dan istri tentang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mendekatkan mereka dengan Islam dan ilmu (agama Islam).
b.  Memerintahkan untuk bertakwa: Menurut para ulama baik Ibnu Abbas, Fudhail ibnu ‘Iyadh, Ibnu Rajab, hingga para ulama muta’akhirin menyatakan bahwa takwa tidak terlepas dari 3 hal, yakni: menjalankan perintah Allah, meninggalkan larangan Allah, dan menjauhi yang syubhat (hal-hal yang samar dan tidak dijelaskan rinci dalam agama). Karena dalam hadits yang disampaikan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin dinyatakan bahwa siapa yang meninggalkan syubhat maka dia telah selamat.
c.  Memerintahkan mereka untuk selalu berdzikir kepada Allah Ta’ala. Karena berdzikir merupakan benteng yang kokoh dari kejaran setan. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits dan juga atsar sahabat bahwa dzikir merupakan perlindungan bagi hati dari godaan setan serta penyejuk hati dan sarana untuk mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala.
Akhirnya itulah yang bisa saya sampaikan dalam kajian ilmu yang singkat ini. Apabila ada kebenaran di dalamnya maka itu adalah hikmah yang besar yang diberikan Allah kepada kita dan juga apa yang telah disampaikan RasulNya sebagai penyampai kabar gembira dan ilmu yang indah, serta taman syurga bagi kita di dunia. Dan apabila ada kesalahannya, itu karena dari diri penulis sendiri dan dari godaan setan yang terkutuk, Allah dan RasulNya terlepas dari kesalahan-kesalahan yang ada.
Allahu al-musta’an

Malang, 13 Rabi’ul Awwal 1434 / 25 Januari 2013.
@nd.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah