BUNDA YANG KUCINTA BUKANLAH IBU YANG MELAHIRKANKU
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Semoga shalawat
serta salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
nabi penyempurna syariat atas syariat-syariat sebelumnya. Syariat yang penuh
hikmah dan kasih sayang, berasal dari Ar-Rahman yang Maha Tinggi. Amma ba’d.
Syariat ini diciptakan dan diturunkan oleh Allah bukan untuk
memberatkan manusia. Sebagaimana Allah berfirman, “...Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”[1].
Setelah menerangkan tentang syariat berwudhu, Allah menyatakan bahwa Ia tidak
hendak menyulitkan manusia dengan syariat itu, akan tetapi hendak memberikan
kebaikan bagi manusia agar mereka taat dan menjalankan perintah Allah dengan
landasan rasa syukur padaNya. Karena di balik syarat wudhu tersimpan kebaikan
yang luar biasa bagi kesegaran jasmani dan rohani atas orang-orang yang beriman.
Begitupula dalam kehidupan manusia, Allah menciptakan kita
dengan mengilhamkan rasa kasih sayang. Rasa kasih itu, bagai embun penyejuk
dahaga dan obat penawar rasa pahit. Segala Pujian Bagi Allah Yang Maha Memahami
dan Maha Mengasihi, maka kita harus bersyukur memiliki Tuhan yang demikian baik
dan kasihnya.
Salah satu ketentuan/syariat Allah yang diwajibkan bagi
manusia adalah berbakti kepada kedua orang tua[2].
Karena keduanya telah merawat kita dan memberi nafkah kita hingga hampir-hampir
mengorbankan segalanya.
Keadilan Islam tidak sampai di situ, orang tua juga dituntut
untuk merawat anak dengan baik. Bahkan suatu dosa besar bila orang tua benci
terhadap karunia Allah berupa kelahiran anak sehingga para orang tua itu
membunuhnya, baik saat masih dalam kandungan ataupun dengan cara lebih keji
dari itu[3].
Termasuk merawat anak adalah tanggung jawab orang tua, dan tiadalah Allah
memberikan suatu beban melainkan hamba-hambaNya pasti bisa melaksanakannya[4].
Sebagaimana pernyataan Allah bahwa apabila kita miskin, Allah[5] yang akan memberi rezki. Dan tatkala orang tua itu pun lepas tanggung
jawab kepada anaknya, tak pelak anak menjadi durhaka kepada kedua orang tuanya.
Sehingga lingkaran dosa yang rumit terjalin antara anak dan kedua orang tua
bagai benang kusut yang sulit terurai, kecuali dengan satu tindakan yaitu “DIPUTUS
dengan TAUBAT dan Kesadaran.” Hanya di Tangan Allah segala macam hidayah[6].
Permasalahan kedurhakaan orang tua kepada anak yang berimbas
kepada kedurhakaan anak kepada orang tua, banyak dialami pada umat ini. Tidak
perlu jauh-jauh melihat masa lampau, seperti kisah konon[7]
Malin Kundang yang durhaka kepada Ibunya karena sang ibu membiarkan anaknya
bermandikan dunia. Atau kisah konon Si Sangkuriang yang durhaka menikahi ibunya
sendiri gara-gara sang ibu tidak memperhatikan siapa orang yang dia nikahi. Itu
cerita batil[8] yang tak layak
diperdengarkan kepada anak-anak kita dan tak layak kita mengambil pelajaran
darinya kecuali hanya hikmah kecil yang terkandung di dalamnya.
Sekali lagi tidak usah jauh-jauh melihat, coba lihat diri
kita dan sekitar kita. Akankah semua itu bisa diambil hikmah? Jangan-jangan,
setelah tunjuk sana dan sini, diri kita sendirilah yang lebih layak untuk
ditunjuk oleh jari ini.
Baiklah, kini perkenankan kami akan menceritakan kisah pilu yang
terjadi pada diri seorang warga di sekitar sanggar baca yang dikelola oleh
Komunitas Kadiksuh. Marilah kita simak, semoga dapat diambil manfaat dari
tulisan ini.
KISAH I: IBU TUA YANG BUTA
Hari itu tepatnya Hari Kamis, kami lupa tanggal berapa
kejadian itu terjadi. Akan tetapi hampir setiap Hari Kamis saat-saat jadwal
kami mengajar adik-adik asuh di sanggar baca yang sederhana. Sanggar baca yang
sarat dengan keindahan pola sosial dan interaksi masyarakatnya, keramah tamahan
warganya dan kesejukan persaudaraanya. Namun semua itu terasa pudar, tatkala problematika
sosial muncul di tengah-tengah mereka.
Sekali lagi hari itu hari Kamis, tepat pukul 16:00 WIB kami
pun menenteng tas berisi buku tulis adik-adik asuh kami, LCD dan juga Laptop. Sudah
tersedia materi tentang “Indahnya Kisah Air pada Para Nabi.” Kisah yang unik,
akan tetapi entah kenapa anak-anak sekitar sanggar itu tidak mau dengan kisah
yang dilisankan. Mereka sibuk dengan sinetron dan suka dengan hal-hal yang
berbau elektronik[9]. Padahal
dengar-dengar dari ibu, ayah, kakek, nenek dan pinisepuh, bahwa jaman dahulu
anak-anak itu duduk tenang dan senang sekali bila ada orang yang mau bercerita
tentang suatu kisah. Kalau saat ini, TV yang mereka pilih menjadi guru mereka,
begitupula dengan Hape yang mereka pilih sebagai teman karib mereka. Sehingga
kami pun mencoba melakukan variasi, bercerita tentang kisah para nabi dengan
media elektonik.
Hanya saja, Allah murka dengan gambar[10],
apalagi utusanNya dibentuk dalam gambar. Maka bagaimana lagi, LCD dan laptop
hanya sebatas ‘membantu’ menarik hati mereka dengan gambar-gambar alam dan
baris-baris tulisan yang mereka pun tak lagi tertarik dengan tulisan-tulisan
itu. Andai mereka diputarkan sebuah film, mereka pasti banyak berkumpul, tapi
tidak dengan bercerita atau membaca. Hingga para ustad pun mengakui pernyataan
kami, bahwa itulah memang saat ini[11].
Ah sudahlah, itu bukanlah pembahasan kita kali ini. Akan tetapi kami akan
membahasnya di lain waktu beserta penyebab dan solusinya, insya Allah Ta’ala.
Tatkala kami akan menghidupkan LCD dan Laptop beserta
perangkat pendukungnya, kami membutuhkan kabel panjang dengan colokan ganda.
Biasanya kami meminjam di ibunya Dek Nora, akan tetapi saat itu entah kenapa
kabel tidak lagi berfungsi. Akhirnya kami menemui Pak RT, tetapi yang menyambut
kami adalah anak angkat beliau bernama Dek Diah. Setelah kami utarakan niat
kami untuk meminjam kabel yang kami maksud, Dek Diah mengatakan bahwa
keluarganya tidak punya kabel colok ganda yang ‘nganggur’. Setelah itu kami
dirujuk kepada sebuah rumah kecil yang cukup reyot, tiga baris setelah rumah
Pak RT.
Yah, cukup reyot, kecil dan pengap. Di dalamnya ada seorang
ibu tua, duduk sendiri, diam tanpa suara. Ia menatap lurus ke depan seolah-olah
memandang sesuatu yang jauh di sana. Dek Diah pun mengantar kami menuju
kepadanya. Setelah mengucap permisi, maka sang ibu mempersilahkan kami masuk. “Nuwun
sewu Bu, punopo panjenengan kagungan kabel gulung? (permisi bu, apakah Anda
memiliki kabel gulung?)” Sang ibu menjawab, “Ooh, njih nak. Monggo dipun
rantos rumiyin, kulo pendhetaken (Ooh, iya Nak, silahkan dinanti dahulu akan
saya ambilkan). Kemudian ibu tua itu pun berdiri dan meraba-raba tembok, jalan
tertatih sambil mencarinya dari pintu ke pintu. Subhanallah, sang ibu tua
itu ternyata BUTA.
Kami lantas menawarkan diri, “Bu, nuwun sewu, kados pundi
menawi kula mawon ingkang mendhetaken kabelipun? dhateng pundi kebelipun dipun
simpen? (Bu, permisi, bagaimana kalau saya saja yang mengambil kabelnya?
dimana kabelnya ibu simpan?” Dijawab oleh ibu itu, “Sampun Nak, kulo mawon.
Wonten mriki mawon kok. (Sudah Nak, saya saja. Di sini saja kok).” Masya
Allah, akhirnya sang ibu menemukan kabelnya dan diserahkannya kepada kami.
Kami pun tertegun. Kemudian kami kembali ke sanggar dan mengajar seperti biasa.
KISAH 2: NENEK YANG GALAK
Kisah ini masih ada hubungannya dengan kisah pertama. Akan
tetapi waktunya berbeda. Marilah kita mundur sejenak dari peristiwa saat kami meminjam
kabel pada ibu tua yang buta.
Kami tidak ingat, hari apakah itu. Akan tetapi kami ingat
bahwa saat itu adalah sore hari dimana besok adek-adek libur sekolah. Saat itu
sanggar sedang ramai dikunjungi anak-anak. Yah, satu tahun sebelum peristiwa kami meminjam kabel
kepada ibu tua yang buta.
Kakak-kakak juga telah berkumpul di sanggar bersama adik-adik
tercinta. Tampak acara meriah digelar berkaitan dengan pembelajaran terpadu
yang saat itu masih giat dilaksanakan. Menjelang malam, matahari pun mulai
kembali ke peraduannya, adzan maghrib dikumandangkan. Tampak kebersamaan yang
penuh keceriaan. Kakak-kakak beserta para adik shalat Maghrib bersama di
Mushola Darul Mustofa. Mushola kebanggaan warga dan tokoh masyarakat setempat
atas upaya mereka mendirikannya[12].
Setelah sholat Maghrib, kami pun bercengkerama dengan
beberapa adik-adik yang masih ingin mengobrol bareng bersama kami. Ada yang
bermain-main dan ada juga yang sudah undur diri untuk pulang. Tiba-tiba suasana
menjadi gaduh, Dek Eni[13]
dikabarkan menangis karena dipukul dan diperlakukan kasar oleh ibunya hanya
karena melakukan kesalahan yang menurut kami hanya kesalahan kecil. Saat itu
kami dengar bahwa dia melanggar ketentuan, “PULANG SEBELUM MAGHRIB.” Aturan
ketat yang dibuat oleh orang tuanya[14].
Kami pun merasa bersalah, bagaimana pun kami lah yang menyebabkan dia terkena
pukulan dan menangis seperti itu. Keringat dingin menyelimuti kami, tetapi akal
sehat dan hati kami tetap tegar menghadapi masalah itu, karena kami memahami
begitulah masyarakat setempat.
Adek-adek pun lebih gaduh, karena dikatakan bahwa Dek Eni
saat ini dikurung di dalam kamar sempit, katanya tangisannya pun semakin
menjadi. Saat itu kakak-kakak perempuan sudah pulang semua, yang tersisa hanya
kakak laki-laki, jumlahnya pun hanya beberapa orang saja. Kami saling pandang
dalam kehampaan. Setelah kami berdiskusi untuk mencoba mencari solusi, kami
memutuskan menunjuk 2 orang perwakilan untuk menuju ke rumah Dek Eni. Kalau toh
memang orang tuanya bisa dilobi, maka kami akan mencoba untuk menenangkan orang
tuanya yang dongkol walau resikonya kami yang bakal ‘disemprot’. Kalau toh
memang tidak bisa, kami mencoba menenangkan Dek Eni.
Akhirnya 2 orang kakak laki-laki pun menuju ke rumah Dik Eni
dengan ditemani Dik Eliana dan beberapa adik yang lainnya. Dek Eliana pun
menunjukkan dimana tempat Dik Eni ‘ditahan’. Setelah kami ketuk pintunya, lalu
kami buka perlahan. Tampak ia menangis seseunggukan dengan suara yang pilu. Saat
itu kedua orang tuanya tidak ada. Dik Eni pun berdiri menyambut kami dan dia
memeluk kami, kami pun balas memeluknya[15].
Kami tenangkan dia dengan kata-kata yang menyejukkan, walau (entah) dia mendengar
atau tidak apa yang kami katakan. Karena begitu terguncang psikologinya saat
itu.
Setelah dia sudah mulai tenang, dan tangisannya pun sudah
mulai reda. Tiba-tiba ada teriakan keras yang menuju kepada kami. Teriakan itu
dari seorang nenek-nenek “JARNO AE KAK, LAPO DIKONOKNO. CEK KAPOK AREK IKU!
(Biar saja Kak, kenapa dibegitukan? biar kapok dia!)”[16]
“LEK SAMPEAN KONOKNO TAMBAH MANJA ENGKUK AREK IKU! (Kalau kamu perlakukan
seperti itu, bertambah manja nanti anak itu!)” Entah racauan apa lagi yang
tertuju pada kami, kami pun merasa bersalah, tetapi kami tetap DIAM. Walau
demikian kami juga mengelus dada, kenapa anak yang masih belum memahami hakekat
kehidupan dimana mereka masih senang-senangnya bermain dengan teman-temannya
diperlakukan dengan aturan seketat itu? Sedangkan kalau dia melakukan kesalahan
dan memang harus marah, harusnya juga ada di antara orang tuanya yang
menasehatinya dengan membangkitkan motivasinya, bukan ditekan sedemikian rupa
sampai hilang rasa percaya dirinya.
Kami setuju dengan aturan ketat pada anak-anak, disiplin memang
perlu ditanamkan, akan tetapi tidak dengan cara yang kaku dan polos. Terlebih
besoknya adalah hari libur sekolah, dimana anak-anak lain pun juga dibiarkan
bermain. Tidak ada solusi lain, akhirnya kami pun berpamitan kepada Dek Eni,
dan kami tenangkan untuk terakhir kali. Kami berpesan kepadanya taati orang tua
dan tenanglah! Dek Eni pun mengangguk dengan air mata berderai, kami pun
kembali ke sanggar. Lalu kami tanyakan kepada Dek Eliana, siapa orang tua itu?
Dia menjawab, “Itu Neneknya Kak.” “Owh” Kami hanya bisa menahan pilu saat itu.
KISAH 3: DETIK-DETIK HARI ARAFAH
Kisah ini juga masih terkait dengan kisah 1 & 2. Kali ini
kita lebih maju dari kisah pertama. Beberapa pekan setelah kami meminjam kabel
kepada nenek tua yang buta, kami pun disibukkan dengan persiapan menyambut hari
Raya Ied Adha. Sebagaimana biasa, Pak RT meminta kami untuk menyebarkan proposal
qurban milik warga sekitar Mushola Darul Mustofa. Mengingat pada tahun
sebelumnya, kami telah mengirimkan banyak daging dari beberapa masjid ke warga
sekitar Mushola/Sanggar Baca Darul Musthofa dan Pak RT merasa senang sekali, alhamdulillah.
Maka pada tahun 1433 H (Tepatnya tahun 2012 M), kami pun sangat senang apabila
dapat membantu mengupayakan daging qurban untuk warga kembali. Ada beberapa takmir
masjid yang merupakan relasi kami, memiliki jumlah hewan kurban yang cukup
banyak sehingga memadai untuk diberikan kepada warga sekitar Mushola/Sanggar
Baca Darul Mustofa.
Malam hari, sebelum jamaah haji di Mekkah melaksanakan wukuf
di Arafah. Pada malam itu pula kami datang ke rumah Pak RT. Saat itu, beliau
sedang duduk di beranda rumahnya. Suasana cukup sepi, karena warga sudah banyak
yang terlelap, atau minimal menonton TV tanpa ada aktivtas di luar rumahnya. Hanya
kami dan Pak RT, membicarakan terkait proposal dan masjid-masjid yang akan kami
kontak. Selesai membahas pembahasan pokok, Pak RT ingin mengajak ngobrol lebih
jauh. Akhirnya kami pun ngobrol ngalor-ngidul[17]
terkait dengan warganya. Kami pun mencoba mendengarkan ‘curhat’ beliau. Sebagai
pemimpin, beliau memang memikul tugas berat, mulai tanggung jawabnya hingga
harus menahan berbagai emosi terkait tuduhan-tuduhan yang dilontarkan
kepadanya. Kami pun memahami, bahwa beberapa permasalahan tidak terkait dengan
Ketua RT, akan tetapi masyarakat tetap menuduhnya ini dan itu.
Pembicaraan mengarah kepada generasi muda warga sekitar
Mushola/Sanggar Baca Darul Musthofa[18].
Keresahan Pak RT bukan tanpa alasan, karena secara fakta yang tampak oleh kami,
bahwa generasi muda yang tumbuh saat ini telah bercerai berai dalam
kelompok-kelompok. Padahal dahulu mereka bersatu padu membangun kampungnya. Belum
lagi permasalahan-permasalahan pemudi-pemudinya[19].
Keresahan Pak RT hingga berujung pada mode yang dipakai
adik-adik, himbauan beliau atas pendidikan dan perhatian orang tua kepada
mereka. Keresahan itu menjadi-jadi tatkala himbauan beliau tidak dilaksanakan
oleh sebagian besar warganya dan hanya dianggap sebagai angin lalu. Entah
mengapa, akankah para orang tua itu mengatakan, “Anakku sudah besar dan
dewasa?”. Allahu a’lam, yang jelas Pak RT pun memiliki asumsi tersendiri
yang kami dengar dari lisan beliau.
Beliau berasumsi, bahwa generasi muda di wilayahnya tumbuh
tidak sebagaimana yang diharapkan karena kurang perhatian orang tuanya kepada
anak-anakya. Bahkan ada pula orang tua yang lepas tangan dalam merawat anaknya
yang lahir dari rahimnya. Itu bukan saja dialami adik-adik saat generasi
sekarang ini[20], akan tetapi
generasi sebelumnya pun sudah ada yang melakukan ‘lari dari tanggung jawab.”
Pak RT mengisahkan, bahwa Ibu W[21]
tumbuh dan dibesarkan oleh orang lain. “W niku rumiyin diemong kalih Bu
Fulanah. Njih dados anak apek (W itu dahulu diasuh oleh Bu Fulanah. Ya dijadikan
anak asuh).” Kami pun terperanjat, “Leres Pak RT? Dados ingkang sepuh niku
sanes mbahipun Eni? (Benar begitu Pak RT? Jadi yang tua itu bukan neneknya
Eni?)” Pak RT menjawab, “Sanes Mas, Mbahe Eni niku asline niku loh!
(Bukan Mas, Neneknya Eni itu sebenarnya tu loh).” Beliau menunjuk salah satu
rumah kecil yang reyot, dimana rumah tersebut dihuni oleh ibu tua yang buta.
“Ha, Punapa Pak RT? Ingkang mboten saget ningali niku?
(Ha, apa Pak RT? yang tidak bisa melihat itu?)” Pak RT pun tersenyum sambil
berkata, “Njih Mas, Niku asline ibune W. Taksih Mbah kalih Eni (Iya Mas,
itu sebenarnya ibunya W. Masih neneknya Eni).” “Sekedap Pak, Mbah niku kan
tinggal piyambak? mboten wonten ingkang nunggoni? (Sebentar Pak, Mbah itu
kan tinggal sendiri dan tidak ada yang menemani?)” Pak RT menegaskan dengan
nada tinggi, “Njih Mas, lah njih niku. Untung-untung taksih disambangi
kadang-kadang, lek sak niki wes blas ketingale niku. (Iya Mas, lah iya itu.
Masih untung kadang-kadang dijenguk, kalau sekarang ini kelihatannya sudah
tidak sama sekali)[22].
“Berarti, Eni niku mboten ngertos menawi niku Mbahe? (Jadi, Eni itu
tidak tahu kalau itu Neneknya?).” Pak RT, “Njih mboten ngertos kulo Mas
(Ya tidak tahu saya Mas.)”. “Leres Pak RT? dados ingkang tinggal dateng
ndaleme Bu W niku sanes Mbahe Eni, nanging Mbah angkat mawon? (Benar Pak
RT? jadi yang tinggal di rumahnya Bu W itu bukan neneknya Eni, akan tetapi
nenek angkat saja?” Pak RT, “Njih Mas, Lah njih niku (ya Mas, lah ya
itu).” “Lah kok, ingkang dirawat malah ibu angkat, ingkang ibu piyambak
malah disingkiraken ngoten? (Lah kok, yang dirawat malah ibu angkat dan
ibunya sendiri malah disingkirkan begitu?)”...Innalillahi wa innailaihi
roji’un.
REFLEKSI KEHIDUPAN
Perbincangan itu seakan membuatku tak percaya. Apakah ini
termasuk gunjingan yang mengandung hikmah atau dosa, kami tak tahu[23].
Akan tetapi, kami benar-benar menemukan suatu hal yang baru, bahwa anak yang
durhaka tidak semata-mata sombong atau karena benci terhadap kedua orang
tuanya. Boleh jadi anak yang durhaka terjadi karena dia kurang kasih sayang
yang semstinya. Sebagaimana kisah yang kami tulis di atas, bahwa kasih dan
cintanya Bu W kepada ibu angkatnya lebih besar daripada kasih dan cintanya
kepada ibu kandungnya sendiri. Ibu yang telah melahirkannya, ibu yang telah
menggendongnya dalam kandungan selama sembilan bulan, akhirnya dibalas dengan
sayatan yang tajam. Bagaimana tidak?! sang ibu kandung ditelantarkan di rumah
kecil yang reyot, tinggal sendiri, kebutuhannya pun terkadang diberi oleh
tetangga-tetangganya. Sementara ibu angkatnya ditempatkan pada posisi luar
biasa, dimasukkan dalam rumahnya yang cukup bersahaja[24],
turut merawat anak-anaknya, makan bersama dan dipenuhi kebutuhan hidupnya
secara lengkap oleh anak angkatnya.
Ibu kandung hanya mendapatkan balasan “jenguk sementara” dan
“uang sekedarnya” dari sang anak. Sedang ibu angkatnya mendapatkan “perawatan
intensif” dan “tunjangan VIP”. Musibah apa yang lebih menyakitkan dari itu
wahai kakak?
Maha Suci Allah, yang telah menurunkan ayat-ayatNya dengan
penuh kebenaran dan hikmah. Roda kehidupan terus berputar, sementara yang di
atas akan turun ke bawah begitupula sebaliknya. Kedurhakaan orang tua kepada
anak, pada suatu saat pun akan berubah sebaliknya. Anak yang durhaka kepada
orang tuanya, hingga cucunya sekalipun tidak mengakui bahwa itu adalah nenek
yang mencintainya, walau tak terlisan dengan kata-kata.
Aduhai, akankah manusia-manusia akhir zamman ini masih ragu
dengan kekayaan Allah Ta’ala dan juga dengan Kemahadermawanannya?
Sampai-sampai anakpun dititip-titipkan ke orang lain yang akibatnya mereka
menjadi bumerang atas kedurhakaannya. Ambillah hikmah dari kisah ini wahai
calon AYAH dan BUNDA. Allahu al-Musta’an.
Malang, 14 Dzulhijjah 1433 / 20 oktober 2012
[1] Diambil dari Firman
Allah, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ وَإِن
كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً
طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ اللّهُ
لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ
نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ -٦-
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah
yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S Al-Maa’idah: 6)
[2] Dipetik dari Al-Qur’an,
Surah Luqman 14:
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى
وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ
الْمَصِيرُ -١٤-
Dan Kami perintahkan
kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.
[3] Dirujuk dari Al-Qur’an,
Surah Al-Maa’idah: 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ
وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ
أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ
تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ
وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ -٦-
Katakanlah: "Marilah
kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu
bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami
akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu
yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
[4] Dirujuk dari Al-Qur’an,
Surat Al-Baqarah: 286
“...لاَ
يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا” Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.
[5] Lihat No 3. Dalam hal
ini Allah berfirman dengan kata ‘nahnu/Kami” yang artinya sebuah kata
kehormatan dalam bahasa Arab.
[6] Durhakan bukan saja anak
terhadap orang tua, akan tetapi juga sebaliknya. Dalam sebuah atsar disebutkan
bahwa seorang ayah mengadukan anaknya kepada Umar ibn Khaththab tentang
kedurhakaan anaknya. Setelah Umar selesai menasehati anak itu, sang anak berkata,
“Wahai Amirul Mu’minin, tidaklah seorang anak, mempunyai hak yang harus ditunaikan
orang tua?” “ya,” jawab Khalifah. “Apakah itu?” Tanya anak itu. Khalifah menjawab,
“Ayah wajib memilihkan ibu yang baik buat anak-anaknya, memberi nama yang baik
dan mengajarinya Al-Qur’an.” Lantas sang anak menjawab, “Wahai Amirul Mukminin,
tidak satupun dari 3 perkara itu yang ditunaikan ayahku. Ibuku Majusi, namaku
Ja’lan (kecoak) dan aku tidak pernah diajarkan Al-Qur’an. Maka Amirul Mukminin
Umar ibn Khathab pun langsung berbalik menasehati ayahnya dengan nada marah.
[7] Kisah yang tidak jelas
kebenarannya
[8] Dalam Islam, cerita yang
bersumber dari kedustaan adalah BATIL.
[9] Seperti lebih suka main
game, melihat film kartun serta SMS dengan temannya.
[10] Dikutip dari hadits nabi
dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
“Semua tukang gambar (makhluk
bernyawa) itu di neraka. Allah memberi jiwa/ruh kepada setiap gambar (makhluk
hidup) yang pernah ia gambar (ketika di dunia), maka gambar-gambar tersebut
akan menyiksanya di neraka Jahannam.” Kemudian, setelah menyampaikan hadits
Rasulullah, Ibnu Abbas menasehatkan: “Jika kamu memang terpaksa melakukan hal
itu (bekerja sebagai tukang gambar), maka buatlah gambar pohon dan benda-benda
yang tidak memiliki jiwa/ruh.” (HR. Muslim no. 5506, kitab Al-Libas waz Zinah,
bab Tahrimu Tashwiri Shuratil Hayawan).
Dinyatakan juga dari Ibunda
Aisyah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia
yang paling keras siksaan yang diterimanya pada hari kiamat nanti adalah mereka
yang menandingi (membuat sesuatu yang menyerupai) ciptaan Allah. (HR.
Al-Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 5494).
[11] Ada seorang ustad yang
berkata kepada kami (saat di kajian umum), “...Saya mengsi pada anak-anak SMA.
Kini mereka bagai anak yang sudah hampir hilang akhlaknya. Tatkala ada orang
berbicara mereka ada yang bermain HP, mengobrol, bahkan tidur-tiduran. Hingga
saya keraskan suara saya dan saya tegasi mereka. Subhanallah.”
[12] Perjuangan dan upaya
keras dalam mendirikannya, telah diceritakan singkat pada serial sebelumnya.
[13] Nama samara. Kami
samarkan karena berkaitan dengan khormatan diri dan keluarganya.
[14] Pernyataan ini menurut sebagian adik-adik
yang saat itu mendengar curhat dalam tangisnya. Akan tetapi yang sebenarnya
hanya Allah yang Maha Tahu.
[15]
Saat itu usia Dek Eni masih tergolong kecil dan belum baligh. Bila disetarakan
dengan pendidikan formal, usianya menginjak kelas 5. Sehingga kami masih dapat
melakukan pendekatan persuasif dengan sentuhan fisik dalam kondisi-kondisi
tertentu.
[16]
Kata-kata aslinya sendiri kami lupa, akan tetapi kurang lebihnya demikian.
[17]
Ungkapan dalam Bahasa Jawa yang artinya ngobrol ke sana kemari.
[18]
Pembahasan khusus insya Allah akan kami tulis dalam artikel berjudul “JAGALAH
KEHORMATANMU WAHAI ADIK-ADIKKU”
[19]
Pemasalahan ini akan dibahas pada episode mendatang, insya Allah.
[20]
Yaitu generasi dimana putera/I mereka merupakan adik-adik asuh kami.
[21] yang notabene merupakan ibunya Dik Eni.
[22]
Perkataan ini tidak dalam bentuk aslinya, karena penulis sudah lupa dan tidak
merekam perkataan ini. Akan tetapi maknanya benar adanya. Allahu a’lam
[23]
Semoga Allah mengampuni kami.
[24]
Mengingat Bu W adalah PNS yang memiliki rumah cukup baik, walau masih dalam
taraf pembangunan
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah