KAJIAN ISLAM DAN KARYA PENA

KAJIAN ISLAM YANG MEMUAT HAL-HAL BERKAITAN TENTANG PENGETAHUAN ISLAM BAIK SADURAN ATAU KARYA ASLI. BAIK HAL AKIDAH, MUAMALAT, FIKIH ATAUPUN TASKIYATUN NUFS (PENYUCIAN HATI)

JUGA KARYA PENA UMUM BERUPA PUISI CERPEN DAN KARANGAN ATAU ILMU PENGETAHUAN UMUM DAN PENELITIAN ILMIAH

Senin, 26 Agustus 2013

Bunda yang Kucinta Bukanlah Ibu yang Melahirkanku

BUNDA YANG KUCINTA BUKANLAH IBU YANG MELAHIRKANKU

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Semoga shalawat serta salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, nabi penyempurna syariat atas syariat-syariat sebelumnya. Syariat yang penuh hikmah dan kasih sayang, berasal dari Ar-Rahman yang Maha Tinggi. Amma ba’d.
Syariat ini diciptakan dan diturunkan oleh Allah bukan untuk memberatkan manusia. Sebagaimana Allah berfirman, “...Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.[1]. Setelah menerangkan tentang syariat berwudhu, Allah menyatakan bahwa Ia tidak hendak menyulitkan manusia dengan syariat itu, akan tetapi hendak memberikan kebaikan bagi manusia agar mereka taat dan menjalankan perintah Allah dengan landasan rasa syukur padaNya. Karena di balik syarat wudhu tersimpan kebaikan yang luar biasa bagi kesegaran jasmani dan rohani atas orang-orang yang beriman.  
Begitupula dalam kehidupan manusia, Allah menciptakan kita dengan mengilhamkan rasa kasih sayang. Rasa kasih itu, bagai embun penyejuk dahaga dan obat penawar rasa pahit. Segala Pujian Bagi Allah Yang Maha Memahami dan Maha Mengasihi, maka kita harus bersyukur memiliki Tuhan yang demikian baik dan kasihnya.
Salah satu ketentuan/syariat Allah yang diwajibkan bagi manusia adalah berbakti kepada kedua orang tua[2]. Karena keduanya telah merawat kita dan memberi nafkah kita hingga hampir-hampir mengorbankan segalanya.

Keadilan Islam tidak sampai di situ, orang tua juga dituntut untuk merawat anak dengan baik. Bahkan suatu dosa besar bila orang tua benci terhadap karunia Allah berupa kelahiran anak sehingga para orang tua itu membunuhnya, baik saat masih dalam kandungan ataupun dengan cara lebih keji dari itu[3]. Termasuk merawat anak adalah tanggung jawab orang tua, dan tiadalah Allah memberikan suatu beban melainkan hamba-hambaNya pasti bisa melaksanakannya[4]. Sebagaimana pernyataan Allah bahwa apabila kita miskin, Allah[5] yang akan memberi rezki. Dan tatkala orang tua itu pun lepas tanggung jawab kepada anaknya, tak pelak anak menjadi durhaka kepada kedua orang tuanya. Sehingga lingkaran dosa yang rumit terjalin antara anak dan kedua orang tua bagai benang kusut yang sulit terurai, kecuali dengan satu tindakan yaitu “DIPUTUS dengan TAUBAT dan Kesadaran.” Hanya di Tangan Allah segala macam hidayah[6].  
Permasalahan kedurhakaan orang tua kepada anak yang berimbas kepada kedurhakaan anak kepada orang tua, banyak dialami pada umat ini. Tidak perlu jauh-jauh melihat masa lampau, seperti kisah konon[7] Malin Kundang yang durhaka kepada Ibunya karena sang ibu membiarkan anaknya bermandikan dunia. Atau kisah konon Si Sangkuriang yang durhaka menikahi ibunya sendiri gara-gara sang ibu tidak memperhatikan siapa orang yang dia nikahi. Itu cerita batil[8] yang tak layak diperdengarkan kepada anak-anak kita dan tak layak kita mengambil pelajaran darinya kecuali hanya hikmah kecil yang terkandung di dalamnya.

Sekali lagi tidak usah jauh-jauh melihat, coba lihat diri kita dan sekitar kita. Akankah semua itu bisa diambil hikmah? Jangan-jangan, setelah tunjuk sana dan sini, diri kita sendirilah yang lebih layak untuk ditunjuk oleh jari ini.
Baiklah, kini perkenankan kami akan menceritakan kisah pilu yang terjadi pada diri seorang warga di sekitar sanggar baca yang dikelola oleh Komunitas Kadiksuh. Marilah kita simak, semoga dapat diambil manfaat dari tulisan ini.
KISAH I: IBU TUA YANG BUTA
Hari itu tepatnya Hari Kamis, kami lupa tanggal berapa kejadian itu terjadi. Akan tetapi hampir setiap Hari Kamis saat-saat jadwal kami mengajar adik-adik asuh di sanggar baca yang sederhana. Sanggar baca yang sarat dengan keindahan pola sosial dan interaksi masyarakatnya, keramah tamahan warganya dan kesejukan persaudaraanya. Namun semua itu terasa pudar, tatkala problematika sosial muncul di tengah-tengah mereka.
Sekali lagi hari itu hari Kamis, tepat pukul 16:00 WIB kami pun menenteng tas berisi buku tulis adik-adik asuh kami, LCD dan juga Laptop. Sudah tersedia materi tentang “Indahnya Kisah Air pada Para Nabi.” Kisah yang unik, akan tetapi entah kenapa anak-anak sekitar sanggar itu tidak mau dengan kisah yang dilisankan. Mereka sibuk dengan sinetron dan suka dengan hal-hal yang berbau elektronik[9]. Padahal dengar-dengar dari ibu, ayah, kakek, nenek dan pinisepuh, bahwa jaman dahulu anak-anak itu duduk tenang dan senang sekali bila ada orang yang mau bercerita tentang suatu kisah. Kalau saat ini, TV yang mereka pilih menjadi guru mereka, begitupula dengan Hape yang mereka pilih sebagai teman karib mereka. Sehingga kami pun mencoba melakukan variasi, bercerita tentang kisah para nabi dengan media elektonik.
Hanya saja, Allah murka dengan gambar[10], apalagi utusanNya dibentuk dalam gambar. Maka bagaimana lagi, LCD dan laptop hanya sebatas ‘membantu’ menarik hati mereka dengan gambar-gambar alam dan baris-baris tulisan yang mereka pun tak lagi tertarik dengan tulisan-tulisan itu. Andai mereka diputarkan sebuah film, mereka pasti banyak berkumpul, tapi tidak dengan bercerita atau membaca. Hingga para ustad pun mengakui pernyataan kami, bahwa itulah memang saat ini[11]. Ah sudahlah, itu bukanlah pembahasan kita kali ini. Akan tetapi kami akan membahasnya di lain waktu beserta penyebab dan solusinya, insya Allah Ta’ala.
Tatkala kami akan menghidupkan LCD dan Laptop beserta perangkat pendukungnya, kami membutuhkan kabel panjang dengan colokan ganda. Biasanya kami meminjam di ibunya Dek Nora, akan tetapi saat itu entah kenapa kabel tidak lagi berfungsi. Akhirnya kami menemui Pak RT, tetapi yang menyambut kami adalah anak angkat beliau bernama Dek Diah. Setelah kami utarakan niat kami untuk meminjam kabel yang kami maksud, Dek Diah mengatakan bahwa keluarganya tidak punya kabel colok ganda yang ‘nganggur’. Setelah itu kami dirujuk kepada sebuah rumah kecil yang cukup reyot, tiga baris setelah rumah Pak RT.
Yah, cukup reyot, kecil dan pengap. Di dalamnya ada seorang ibu tua, duduk sendiri, diam tanpa suara. Ia menatap lurus ke depan seolah-olah memandang sesuatu yang jauh di sana. Dek Diah pun mengantar kami menuju kepadanya. Setelah mengucap permisi, maka sang ibu mempersilahkan kami masuk. “Nuwun sewu Bu, punopo panjenengan kagungan kabel gulung? (permisi bu, apakah Anda memiliki kabel gulung?)” Sang ibu menjawab, “Ooh, njih nak. Monggo dipun rantos rumiyin, kulo pendhetaken (Ooh, iya Nak, silahkan dinanti dahulu akan saya ambilkan). Kemudian ibu tua itu pun berdiri dan meraba-raba tembok, jalan tertatih sambil mencarinya dari pintu ke pintu. Subhanallah, sang ibu tua itu ternyata BUTA.
Kami lantas menawarkan diri, “Bu, nuwun sewu, kados pundi menawi kula mawon ingkang mendhetaken kabelipun? dhateng pundi kebelipun dipun simpen? (Bu, permisi, bagaimana kalau saya saja yang mengambil kabelnya? dimana kabelnya ibu simpan?” Dijawab oleh ibu itu, “Sampun Nak, kulo mawon. Wonten mriki mawon kok. (Sudah Nak, saya saja. Di sini saja kok).” Masya Allah, akhirnya sang ibu menemukan kabelnya dan diserahkannya kepada kami. Kami pun tertegun. Kemudian kami kembali ke sanggar dan mengajar seperti biasa.
KISAH 2: NENEK YANG GALAK
Kisah ini masih ada hubungannya dengan kisah pertama. Akan tetapi waktunya berbeda. Marilah kita mundur sejenak dari peristiwa saat kami meminjam kabel pada ibu tua yang buta.
Kami tidak ingat, hari apakah itu. Akan tetapi kami ingat bahwa saat itu adalah sore hari dimana besok adek-adek libur sekolah. Saat itu sanggar sedang ramai dikunjungi anak-anak. Yah, satu  tahun sebelum peristiwa kami meminjam kabel kepada ibu tua yang buta.
Kakak-kakak juga telah berkumpul di sanggar bersama adik-adik tercinta. Tampak acara meriah digelar berkaitan dengan pembelajaran terpadu yang saat itu masih giat dilaksanakan. Menjelang malam, matahari pun mulai kembali ke peraduannya, adzan maghrib dikumandangkan. Tampak kebersamaan yang penuh keceriaan. Kakak-kakak beserta para adik shalat Maghrib bersama di Mushola Darul Mustofa. Mushola kebanggaan warga dan tokoh masyarakat setempat atas upaya mereka mendirikannya[12].
Setelah sholat Maghrib, kami pun bercengkerama dengan beberapa adik-adik yang masih ingin mengobrol bareng bersama kami. Ada yang bermain-main dan ada juga yang sudah undur diri untuk pulang. Tiba-tiba suasana menjadi gaduh, Dek Eni[13] dikabarkan menangis karena dipukul dan diperlakukan kasar oleh ibunya hanya karena melakukan kesalahan yang menurut kami hanya kesalahan kecil. Saat itu kami dengar bahwa dia melanggar ketentuan, “PULANG SEBELUM MAGHRIB.” Aturan ketat yang dibuat oleh orang tuanya[14]. Kami pun merasa bersalah, bagaimana pun kami lah yang menyebabkan dia terkena pukulan dan menangis seperti itu. Keringat dingin menyelimuti kami, tetapi akal sehat dan hati kami tetap tegar menghadapi masalah itu, karena kami memahami begitulah masyarakat setempat.
Adek-adek pun lebih gaduh, karena dikatakan bahwa Dek Eni saat ini dikurung di dalam kamar sempit, katanya tangisannya pun semakin menjadi. Saat itu kakak-kakak perempuan sudah pulang semua, yang tersisa hanya kakak laki-laki, jumlahnya pun hanya beberapa orang saja. Kami saling pandang dalam kehampaan. Setelah kami berdiskusi untuk mencoba mencari solusi, kami memutuskan menunjuk 2 orang perwakilan untuk menuju ke rumah Dek Eni. Kalau toh memang orang tuanya bisa dilobi, maka kami akan mencoba untuk menenangkan orang tuanya yang dongkol walau resikonya kami yang bakal ‘disemprot’. Kalau toh memang tidak bisa, kami mencoba menenangkan Dek Eni.
Akhirnya 2 orang kakak laki-laki pun menuju ke rumah Dik Eni dengan ditemani Dik Eliana dan beberapa adik yang lainnya. Dek Eliana pun menunjukkan dimana tempat Dik Eni ‘ditahan’. Setelah kami ketuk pintunya, lalu kami buka perlahan. Tampak ia menangis seseunggukan dengan suara yang pilu. Saat itu kedua orang tuanya tidak ada. Dik Eni pun berdiri menyambut kami dan dia memeluk kami, kami pun balas memeluknya[15]. Kami tenangkan dia dengan kata-kata yang menyejukkan, walau (entah) dia mendengar atau tidak apa yang kami katakan. Karena begitu terguncang psikologinya saat itu.
Setelah dia sudah mulai tenang, dan tangisannya pun sudah mulai reda. Tiba-tiba ada teriakan keras yang menuju kepada kami. Teriakan itu dari seorang nenek-nenek “JARNO AE KAK, LAPO DIKONOKNO. CEK KAPOK AREK IKU! (Biar saja Kak, kenapa dibegitukan? biar kapok dia!)”[16] “LEK SAMPEAN KONOKNO TAMBAH MANJA ENGKUK AREK IKU! (Kalau kamu perlakukan seperti itu, bertambah manja nanti anak itu!)” Entah racauan apa lagi yang tertuju pada kami, kami pun merasa bersalah, tetapi kami tetap DIAM. Walau demikian kami juga mengelus dada, kenapa anak yang masih belum memahami hakekat kehidupan dimana mereka masih senang-senangnya bermain dengan teman-temannya diperlakukan dengan aturan seketat itu? Sedangkan kalau dia melakukan kesalahan dan memang harus marah, harusnya juga ada di antara orang tuanya yang menasehatinya dengan membangkitkan motivasinya, bukan ditekan sedemikian rupa sampai hilang rasa percaya dirinya.
Kami setuju dengan aturan ketat pada anak-anak, disiplin memang perlu ditanamkan, akan tetapi tidak dengan cara yang kaku dan polos. Terlebih besoknya adalah hari libur sekolah, dimana anak-anak lain pun juga dibiarkan bermain. Tidak ada solusi lain, akhirnya kami pun berpamitan kepada Dek Eni, dan kami tenangkan untuk terakhir kali. Kami berpesan kepadanya taati orang tua dan tenanglah! Dek Eni pun mengangguk dengan air mata berderai, kami pun kembali ke sanggar. Lalu kami tanyakan kepada Dek Eliana, siapa orang tua itu? Dia menjawab, “Itu Neneknya Kak.” “Owh” Kami hanya bisa menahan pilu saat itu.
KISAH 3: DETIK-DETIK HARI ARAFAH
Kisah ini juga masih terkait dengan kisah 1 & 2. Kali ini kita lebih maju dari kisah pertama. Beberapa pekan setelah kami meminjam kabel kepada nenek tua yang buta, kami pun disibukkan dengan persiapan menyambut hari Raya Ied Adha. Sebagaimana biasa, Pak RT meminta kami untuk menyebarkan proposal qurban milik warga sekitar Mushola Darul Mustofa. Mengingat pada tahun sebelumnya, kami telah mengirimkan banyak daging dari beberapa masjid ke warga sekitar Mushola/Sanggar Baca Darul Musthofa dan Pak RT merasa senang sekali, alhamdulillah. Maka pada tahun 1433 H (Tepatnya tahun 2012 M), kami pun sangat senang apabila dapat membantu mengupayakan daging qurban untuk warga kembali. Ada beberapa takmir masjid yang merupakan relasi kami, memiliki jumlah hewan kurban yang cukup banyak sehingga memadai untuk diberikan kepada warga sekitar Mushola/Sanggar Baca Darul Mustofa.
Malam hari, sebelum jamaah haji di Mekkah melaksanakan wukuf di Arafah. Pada malam itu pula kami datang ke rumah Pak RT. Saat itu, beliau sedang duduk di beranda rumahnya. Suasana cukup sepi, karena warga sudah banyak yang terlelap, atau minimal menonton TV tanpa ada aktivtas di luar rumahnya. Hanya kami dan Pak RT, membicarakan terkait proposal dan masjid-masjid yang akan kami kontak. Selesai membahas pembahasan pokok, Pak RT ingin mengajak ngobrol lebih jauh. Akhirnya kami pun ngobrol ngalor-ngidul[17] terkait dengan warganya. Kami pun mencoba mendengarkan ‘curhat’ beliau. Sebagai pemimpin, beliau memang memikul tugas berat, mulai tanggung jawabnya hingga harus menahan berbagai emosi terkait tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepadanya. Kami pun memahami, bahwa beberapa permasalahan tidak terkait dengan Ketua RT, akan tetapi masyarakat tetap menuduhnya ini dan itu.
Pembicaraan mengarah kepada generasi muda warga sekitar Mushola/Sanggar Baca Darul Musthofa[18]. Keresahan Pak RT bukan tanpa alasan, karena secara fakta yang tampak oleh kami, bahwa generasi muda yang tumbuh saat ini telah bercerai berai dalam kelompok-kelompok. Padahal dahulu mereka bersatu padu membangun kampungnya. Belum lagi permasalahan-permasalahan pemudi-pemudinya[19].
Keresahan Pak RT hingga berujung pada mode yang dipakai adik-adik, himbauan beliau atas pendidikan dan perhatian orang tua kepada mereka. Keresahan itu menjadi-jadi tatkala himbauan beliau tidak dilaksanakan oleh sebagian besar warganya dan hanya dianggap sebagai angin lalu. Entah mengapa, akankah para orang tua itu mengatakan, “Anakku sudah besar dan dewasa?”. Allahu a’lam, yang jelas Pak RT pun memiliki asumsi tersendiri yang kami dengar dari lisan beliau.
Beliau berasumsi, bahwa generasi muda di wilayahnya tumbuh tidak sebagaimana yang diharapkan karena kurang perhatian orang tuanya kepada anak-anakya. Bahkan ada pula orang tua yang lepas tangan dalam merawat anaknya yang lahir dari rahimnya. Itu bukan saja dialami adik-adik saat generasi sekarang ini[20], akan tetapi generasi sebelumnya pun sudah ada yang melakukan ‘lari dari tanggung jawab.”
Pak RT mengisahkan, bahwa Ibu W[21] tumbuh dan dibesarkan oleh orang lain. “W niku rumiyin diemong kalih Bu Fulanah. Njih dados anak apek (W itu dahulu diasuh oleh Bu Fulanah. Ya dijadikan anak asuh).” Kami pun terperanjat, “Leres Pak RT? Dados ingkang sepuh niku sanes mbahipun Eni? (Benar begitu Pak RT? Jadi yang tua itu bukan neneknya Eni?)” Pak RT menjawab, “Sanes Mas, Mbahe Eni niku asline niku loh! (Bukan Mas, Neneknya Eni itu sebenarnya tu loh).” Beliau menunjuk salah satu rumah kecil yang reyot, dimana rumah tersebut dihuni oleh ibu tua yang buta.
Ha, Punapa Pak RT? Ingkang mboten saget ningali niku? (Ha, apa Pak RT? yang tidak bisa melihat itu?)” Pak RT pun tersenyum sambil berkata, “Njih Mas, Niku asline ibune W. Taksih Mbah kalih Eni (Iya Mas, itu sebenarnya ibunya W. Masih neneknya Eni).” “Sekedap Pak, Mbah niku kan tinggal piyambak? mboten wonten ingkang nunggoni? (Sebentar Pak, Mbah itu kan tinggal sendiri dan tidak ada yang menemani?)” Pak RT menegaskan dengan nada tinggi, “Njih Mas, lah njih niku. Untung-untung taksih disambangi kadang-kadang, lek sak niki wes blas ketingale niku. (Iya Mas, lah iya itu. Masih untung kadang-kadang dijenguk, kalau sekarang ini kelihatannya sudah tidak sama sekali)[22]. “Berarti, Eni niku mboten ngertos menawi niku Mbahe? (Jadi, Eni itu tidak tahu kalau itu Neneknya?).” Pak RT, “Njih mboten ngertos kulo Mas (Ya tidak tahu saya Mas.)”. “Leres Pak RT? dados ingkang tinggal dateng ndaleme Bu W niku sanes Mbahe Eni, nanging Mbah angkat mawon? (Benar Pak RT? jadi yang tinggal di rumahnya Bu W itu bukan neneknya Eni, akan tetapi nenek angkat saja?” Pak RT, “Njih Mas, Lah njih niku (ya Mas, lah ya itu).” “Lah kok, ingkang dirawat malah ibu angkat, ingkang ibu piyambak malah disingkiraken ngoten? (Lah kok, yang dirawat malah ibu angkat dan ibunya sendiri malah disingkirkan begitu?)”...Innalillahi wa innailaihi roji’un.
REFLEKSI KEHIDUPAN
Perbincangan itu seakan membuatku tak percaya. Apakah ini termasuk gunjingan yang mengandung hikmah atau dosa, kami tak tahu[23]. Akan tetapi, kami benar-benar menemukan suatu hal yang baru, bahwa anak yang durhaka tidak semata-mata sombong atau karena benci terhadap kedua orang tuanya. Boleh jadi anak yang durhaka terjadi karena dia kurang kasih sayang yang semstinya. Sebagaimana kisah yang kami tulis di atas, bahwa kasih dan cintanya Bu W kepada ibu angkatnya lebih besar daripada kasih dan cintanya kepada ibu kandungnya sendiri. Ibu yang telah melahirkannya, ibu yang telah menggendongnya dalam kandungan selama sembilan bulan, akhirnya dibalas dengan sayatan yang tajam. Bagaimana tidak?! sang ibu kandung ditelantarkan di rumah kecil yang reyot, tinggal sendiri, kebutuhannya pun terkadang diberi oleh tetangga-tetangganya. Sementara ibu angkatnya ditempatkan pada posisi luar biasa, dimasukkan dalam rumahnya yang cukup bersahaja[24], turut merawat anak-anaknya, makan bersama dan dipenuhi kebutuhan hidupnya secara lengkap oleh anak angkatnya.
Ibu kandung hanya mendapatkan balasan “jenguk sementara” dan “uang sekedarnya” dari sang anak. Sedang ibu angkatnya mendapatkan “perawatan intensif” dan “tunjangan VIP”. Musibah apa yang lebih menyakitkan dari itu wahai kakak?
Maha Suci Allah, yang telah menurunkan ayat-ayatNya dengan penuh kebenaran dan hikmah. Roda kehidupan terus berputar, sementara yang di atas akan turun ke bawah begitupula sebaliknya. Kedurhakaan orang tua kepada anak, pada suatu saat pun akan berubah sebaliknya. Anak yang durhaka kepada orang tuanya, hingga cucunya sekalipun tidak mengakui bahwa itu adalah nenek yang mencintainya, walau tak terlisan dengan kata-kata.
Aduhai, akankah manusia-manusia akhir zamman ini masih ragu dengan kekayaan Allah Ta’ala dan juga dengan Kemahadermawanannya? Sampai-sampai anakpun dititip-titipkan ke orang lain yang akibatnya mereka menjadi bumerang atas kedurhakaannya. Ambillah hikmah dari kisah ini wahai calon AYAH dan BUNDA. Allahu al-Musta’an.

Malang, 14 Dzulhijjah 1433 / 20 oktober 2012





[1] Diambil dari Firman Allah, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ -٦-  
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S Al-Maa’idah: 6)

[2] Dipetik dari Al-Qur’an, Surah Luqman 14:
   وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ -١٤-
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.              
[3] Dirujuk dari Al-Qur’an, Surah Al-Maa’idah: 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ -٦-
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).

[4] Dirujuk dari Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah: 286
“...لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا” Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

[5] Lihat No 3. Dalam hal ini Allah berfirman dengan kata ‘nahnu/Kami” yang artinya sebuah kata kehormatan dalam bahasa Arab.

[6] Durhakan bukan saja anak terhadap orang tua, akan tetapi juga sebaliknya. Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa seorang ayah mengadukan anaknya kepada Umar ibn Khaththab tentang kedurhakaan anaknya. Setelah Umar selesai menasehati anak itu, sang anak berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, tidaklah seorang anak, mempunyai hak yang harus ditunaikan orang tua?” “ya,” jawab Khalifah. “Apakah itu?” Tanya anak itu. Khalifah menjawab, “Ayah wajib memilihkan ibu yang baik buat anak-anaknya, memberi nama yang baik dan mengajarinya Al-Qur’an.” Lantas sang anak menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, tidak satupun dari 3 perkara itu yang ditunaikan ayahku. Ibuku Majusi, namaku Ja’lan (kecoak) dan aku tidak pernah diajarkan Al-Qur’an. Maka Amirul Mukminin Umar ibn Khathab pun langsung berbalik menasehati ayahnya dengan nada marah.

[7] Kisah yang tidak jelas kebenarannya
[8] Dalam Islam, cerita yang bersumber dari kedustaan adalah BATIL.

[9] Seperti lebih suka main game, melihat film kartun serta SMS dengan temannya.

[10] Dikutip dari hadits nabi dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
“Semua tukang gambar (makhluk bernyawa) itu di neraka. Allah memberi jiwa/ruh kepada setiap gambar (makhluk hidup) yang pernah ia gambar (ketika di dunia), maka gambar-gambar tersebut akan menyiksanya di neraka Jahannam.” Kemudian, setelah menyampaikan hadits Rasulullah, Ibnu Abbas menasehatkan: “Jika kamu memang terpaksa melakukan hal itu (bekerja sebagai tukang gambar), maka buatlah gambar pohon dan benda-benda yang tidak memiliki jiwa/ruh.” (HR. Muslim no. 5506, kitab Al-Libas waz Zinah, bab Tahrimu Tashwiri Shuratil Hayawan).
Dinyatakan juga dari Ibunda Aisyah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia yang paling keras siksaan yang diterimanya pada hari kiamat nanti adalah mereka yang menandingi (membuat sesuatu yang menyerupai) ciptaan Allah. (HR. Al-Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 5494).

[11] Ada seorang ustad yang berkata kepada kami (saat di kajian umum), “...Saya mengsi pada anak-anak SMA. Kini mereka bagai anak yang sudah hampir hilang akhlaknya. Tatkala ada orang berbicara mereka ada yang bermain HP, mengobrol, bahkan tidur-tiduran. Hingga saya keraskan suara saya dan saya tegasi mereka. Subhanallah.”
[12] Perjuangan dan upaya keras dalam mendirikannya, telah diceritakan singkat pada serial sebelumnya.

[13] Nama samara. Kami samarkan karena berkaitan dengan khormatan diri dan keluarganya.

[14] Pernyataan ini menurut sebagian adik-adik yang saat itu mendengar curhat dalam tangisnya. Akan tetapi yang sebenarnya hanya Allah yang Maha Tahu.
[15] Saat itu usia Dek Eni masih tergolong kecil dan belum baligh. Bila disetarakan dengan pendidikan formal, usianya menginjak kelas 5. Sehingga kami masih dapat melakukan pendekatan persuasif dengan sentuhan fisik dalam kondisi-kondisi tertentu.

[16] Kata-kata aslinya sendiri kami lupa, akan tetapi kurang lebihnya demikian.
[17] Ungkapan dalam Bahasa Jawa yang artinya ngobrol ke sana kemari.

[18] Pembahasan khusus insya Allah akan kami tulis dalam artikel berjudul “JAGALAH KEHORMATANMU WAHAI ADIK-ADIKKU”
[19] Pemasalahan ini akan dibahas pada episode mendatang, insya Allah.
[20] Yaitu generasi dimana putera/I mereka merupakan adik-adik asuh kami.
[21]  yang notabene merupakan ibunya Dik Eni.

[22] Perkataan ini tidak dalam bentuk aslinya, karena penulis sudah lupa dan tidak merekam perkataan ini. Akan tetapi maknanya benar adanya. Allahu a’lam
[23] Semoga Allah mengampuni kami.
[24] Mengingat Bu W adalah PNS yang memiliki rumah cukup baik, walau masih dalam taraf pembangunan
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah