DUNIA MISKIN DAN DUNIA KAYA
Segala puji bagi
Allah Ta’ala Tuhan semesta Alam. DariNyalah semua apa yang ada di langit
dan bumi berputar. DariNyalah semua apa yang ada di alam ini memiliki
hukum-hukum agar semua berjalan secara seimbang dan teratur. Semoga shalawat
serta salam tetap tercurah kepada Rasulullah Muhammad dan kepada keluraga
beliau, para sahabat beliau serta umat beliau hingga akhir zamman. Amma ba’d.
Dunia dan kekayaan,
merupakan dua hal yang saling berpasangan. Sebagaimana istri dan suami mereka
selalu lekat seperti perangko dengan
amplop POS. Kekayaan baru bisa dipisahkan dari dunia tatkala terjadinya kiamat, karena sesudah kiamat alam pun diganti dengan suatu hal
yang benar-benar baru bagi manusia.
Dunia, merupakan sebuah alam
yang hina, akan tetapi mau atau tidak manusia harus mampir padanya sebaga ujian
bagi mereka. Dunia tidak selamanya
memiliki ikon buruk tatkala dijadikan senjata untuk meraih akherat. Tapi
bila tidak hati-hati terhadapnya, dunia
akan menjadi ranjau yang sangat fatal bagi kehidupan abadi setelah hari
kiamat nanti. Sehingga perumpamaan dunia bagaikan jembatan bagi umat manusia untuk
menuju kampung halamannya. Nabi Isa ‘alaihi sallam
menyatakan “Dunia itu bagaikan
jembatan, maka janganlah sekali-kali berhenti lama di tengahnya dan janganlah kalian membangun sesuatu yang tak berguna karena jembatan itu akan putus serta
mencelakakan penyebrangnya[1]”.
Ibnul Jauzi[2] juga
menyatakan, “Wahai manusia, engkau membutuhkan bagian dunia, tetapi terhadap
akhirat engkau lebih membutuhkannya. Jika engkau memulainya dengan dunia, maka
engkau telah mengabaikan akhirat, sedangkan duniamu ada dalam titik bahaya. Dan
jika engkau memulainya dengan akhirat, maka engkau memperoleh duniamu, karena
itu lakukanlah dengan baik.[3]”
Rasulullah Shallahu
‘alaihi wa sallam yang merupakan Nabi Besar penutup para nabi telah
mendapatkan tawaran yang sangat menggiurkan dari Allah Ta’ala. Ia
menawarkan pilihan kepada NabiNya Shalallahu ‘alaihi wa sallam kenabian
dan kekayaan yang besar serta kerajaan baginya atau kenabian tetapi menjadi
rakyat jelata? Maka Rasulullah Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam pun memilih yang
kedua[4].
Begitupula dengan para
sahabatnya yang tidak menjadikan dunia sebagai prioritas. Dunia hanyalah sarana kehidupan. Dunia akan menjadi buruk dan menjadi bumerang kekalahan apabila dijadikan sebagai landasan nilai
dan pandangan utama. Dunia akan membinasakan apabila dijadikan alasan sebuah
kesibukan hingga melupakan kewajiban akherat. Dunia pun akan menjadikan dirinya
musnah apabila yang dilirik hanyalah kemewahan yang ada pada dirinya.
Begitupula dengan kemewahan.
Kemewahan merupakan sebuah hiasan dunia yang mempesona pandangan, memikat hati
serta menarik pendengaran. Kemewahan ini merupakan sarana pemborosan bagi
kekayaan. Kemewahan berasal dari kekayaan yang ditumpuk dan diwujudkan sebagai
perhiasan yang sangat indah. Sedangkan kekayaan sendiri memiliki dua
kemungkinan, menjadikan pelakunya selamat atau binasa. Kemewahan merupakan
titik awal kebinasaan, sedangkan kesederhanaan dan kedermawanan dalam kekayaan merupakan
titik awal kemuliaan.
Kekayaan sangatlah perlu
bagi umat ini, akan tetapi kekayaan yang tidak memperdaya. Bagaimanakah bila
Umat Islam tidak kaya, maka biaya besar pembangunan kesejahteraan tidak akan dapat direalisasikan. Bagaimanakah kalau tidak ada orang
kaya pada umat ini, maka pertempuran pun menghasilkan persenjataan yang timpang
dengan musuh. Bagaimana bila umat Islam ini tidak kaya, maka budak-budak dan
tawanan perang tetap akan tersita di bagian musuh. Akan tetapi kekayaan itu
menjadi sirna dalam fungsinya bila dipegang oleh tangan orang-orang yang tamak.
Bagaimana kita mendengar
kisah Abu Bakar As-Siddiq yang banyak memerdekakan budak, termasuk Bilal ibn
Rabbah? bagaimana kita dengar Abdurrahman ibn Auf yang menyetorkan banyak harta
untuk kemaslahatan kaum muslimin? bagaimana juga dengan sahabat Abu Dzar dan
yang lainnya tatkala mereka menyerahkan kebunnya untuk Allah dan RasulNya? Akan
tetapi kekayaan bagi mereka bukanlah genggaman hati, karena hakekatnya adalah
milik Allah. Bagaimana Mush’ab ibn Umair yang dahulu kaya-raya kemudian ia
hijrah dengan pakaian compang-camping karena kekayaannya disita oleh Kaum
Kuffar? kemudian Mush’ab pun wafat ditebas lehernya oleh orang Kafir Quraisy
pada perang Uhud, hingga para
sahabat yang hidup pada zaman keemasan Islam merasa sedih atas mantan orang
kaya “Mush’ab ibn Umair” yang tak pernah lagi merasakan kekayaan dunia semenjak
beliau hijrah hingga wafatnya. Dan Abdurrahman ibn ‘Auf yang
meninggalkan harta kekayaannya yang sangat banyak di Kota Mekkah dalam rangka hijrah sebagai bentuk ketaatan Beliau
terhadap Allah dan RasulNya. Maka Rasulullah Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda bahwa apa yang dilakukan oleh Abdurrahman adalah
perniagaan yang besar yang tak akan pernah merugikannya.
Tetapi dahulu adalah dahulu,
memang benar bahwa خيرالنّاس
(sebaik-baik manusia) adalah pada jaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat Beliau, kemudian setelahnya dan setelahnya. Kini,
harta kekayaan itu sudah berubah dari sisi pandangannya, paradigmanya dan juga
perlakuannya. Begitupula dengan dunia, pasangan serasi antara dunia dan
kekayaan melahirkan kemewahan dan foya-foya pada diri umat ini hingga kekayaan
dan dunia itu pun memperdaya mereka.
Aduhai, betapa sekarang
manusia khususnya pada umat ini sibuk oleh dirinya sendiri. Apa yang disibukkan
kalau bukan menumpuk kekayaan dan kemewahan? dunia menjadi tujuan dan acuan
sebagian besar dari manusia saat ini. Hingga mereka jarang menyebut asma Allah
dalam pergaulannya, dalam pembicaraannya dalam pembahasannya. Mereka lebih
banyak membahas bagaimana membangun dunia dan mendapatkan harta. Inilah awal
dari ACUH yang sangat dahsyat dampaknya bagi kehidupan manusia. Mereka tak
peduli akan saudaranya, tetangganya, dan bahkan generasi mudanya yang penting
mendapatkan kesenangan dan kepuasan bagi diri dan keluarganya saja serta siapa
yang disenanginya.
ACUH, merupakan hal yang
sangat berbahaya. Memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap pembangunan akhlak
dan karakter generasi muda dan juga maslahat ke depannya. Dari empat huruf “A C U H”, yang dimiliki para orang tua
menjadikan anak-anak mereka pun ikut
tertular. Empat huruf itu bagaikan
penyakit Tha’un (wabah penyakit mematikan) yang siap merenggut ‘nyawa’ kepedulian
terhadap sesama manusia, bahkan lebih dahsyat darinya. Sikap ini boleh jadi
tidak menyadarkan seseorang bahwa seseorang itu punya penyakit acuh, akan
tetapi justru dia merasa bahwa orang lainlah yang memiliki sifat itu. Dia
merasa bahwa dirinya sudah peduli dan orang lainlah yang acuh. Hal itu tidak
lain karena dia memberikan patokan penilaian terhadap dirinya sendiri. Apabila
dirinya tidak diberi sesuatu tentang dunia, maka dia marah. Dan apabila
dirinya diberi
bahagian dunia yang memuaskan nafsunya,
maka dia pun memuji-muji orang
yang memberinya secara berlebihan.
Sikap acuh ini sangat
dikhawatirkan akan berdampak kepada perilaku sang anak nantinya. Dan hal ini
merupakan sebuah pencitraan yang sangat terang dan jelas bagaimana acuhnya
orang tua akan berdampak pada bagaimana anak juga akan bersikap acuh kepada
orang tuanya dan juga kepada lingkungannya. Seringkali orang tua menyalahkan
anak bila anaknya bersikap acuh, dan tidak mau disalahkan atas apa bila
diingatkan akan ke-acuhan-nya. Walau tidak semuanya, akan tetapi sikap acuh ini
biasanya terjadi kepada kalangan menengah ke atas.
Dunia yang menipu mereka
telah menjadikan mereka bermegah-megah. Pola hidup mereka juga berbeda dengan
tatkala mereka berada di desa (mayoritas orang tua hidup kecilnya di desa). Seakan
mereka lupa bahwa apa yang menyebabkan mereka kaya adalah rahmat Allah, akan
tetapi mereka justru disibukkan dengan kekayaannya itu tanpa mempedulikan siapa yang memberinya kekayaan. Walaupun tidak
semua orang, akan tetapi mayoritas
manusia bila
diberikan kondisi yang semakin kaya, maka mereka semakin
disibukkan dengan kekayaannya tersebut. Sebagai contoh orang yang dahulu hanya
memiliki mobil Suzuki Charry tahun 90 an berbeda saat sekarang memiliki Alphard
atau Land Cruisser atau Camry. Dahulu mereka hanya sekedar menyucinya seminggu
sekali, bahkan sebulan sekali saja ndak pernah dia cuci. Sekarang hampir setiap
hari sebelum berangkat kerja dia menyuruh pembantunya mencuci mobil itu.
Tatkala ada noda sedikit saja, emosinya meledak-ledak. Tatkala pembantunya
pulang kampung, hatinya gusar bukan main dan dia hampir setiap subuh
mendahulukan menyuci mobilnya daripada persiapan jama’ah di masjid[5].
Tatkala ada kesibukan yang
mencangkup kemaslahatan bersama, dia melihatnya terlebih dulu apakah urusan
yang mereka tangani menguntungkan baginya dan keluarganya ataukah tidak. Kemudian
melihat, apakah ia harus terjun langsung ataukah cukup dengan uang saja ataukah
perlu pembantu untuk mengurusnya. Rasa gengsi juga mulai menyelimuti dirinya. Kalau
bukan kejadian luar biasa, seperti tetangga sekarat atau meninggal maka muka
pun tak tampak. Hal ini sangat berbeda dengan kehidupan kalangan fakir dan
miskin. Walaupun tidak semua (INGAT!!!) tidak semua, mayoritas kalangan
fakir dan miskin lebih mempedulikan tetangganya dan lebih memperhatikan apa
yang ada di sekitar lingkungannya daripada orang yang diberikan kekayaan.
Pengamatan kami
di dua tempat saat Sanggar Baca Ciliwung sudah didirikan dan diresmikan sangat
berbeda dengan Sanggar Bethek. Di ciliwung mayoritas adik-adik dan orang tuanya
adalah kalangan menengah ke atas, sedangkan di Bethek mayoritas kalangan
menengah ke bawah. Hal ini tampak saat merayakan peringatan kemerdekaan di dua
tempat dalam waktu yang berbeda selang satu tahun.
Pada tahun kami mengadakan
peringatan kemerdekaan di tahun 2011, tepatnya memang bulan Juli-Agustus 2011
banyak masyarakat yang membantu program kami. Memang untuk biaya mereka tidak
sanggup dalam memenuhinya, akan tetapi untuk peralatan dan tenaga, mereka siap
bila diperlukan. Kami akan ceritakan bagaimana kisah tatkala kami mempersiapkan
acara hari kemerdekaan di dua tempat.
A. Peringatan Hari Kemerdekaan di Sanggar Baca D. Musthofa
Terjadi pada
tahun 2011, tepatnya akhir Bulan Juli atau awal Bulan Agustus beberapa pekan
setelah Festival Mimpi Anak Negeri. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada
artikel sebelumnya, bahwa pembuatan panggung dan dekorasinya akhirnya
dikerjakan oleh Sang Seniman hebat yang tak tampak di permukaan panggung dunia.Setelah
para kakak mendesain dengan desain yang sederhana akan tetapi memakan waktu
berjam-jam dalam membuatnya, maka sang ‘seniman kampung’ membuat dekorasi apik
dengan memakan waktu hanya kurang dari satu jam saja. Ini merupakan kepedulian
yang luar biasa dari masyarakat terhadap acara bersama, sekali lagi kami
tekankan ‘tidak semua’.
Begitu juga gerak
jalan, mereka sadar bahwa acara yang (telah) akan kami wujudkan ini merupakan
ajang peringatan kenegaraan dan ‘pesta rakyat’ kecil-kecilan. “Jalan Sehat Impian”
mungkin itulah judul yang kami sematkan pada acara tersebut. Acara ini sangat
sederhana konsepnya, tapi memerlukan biaya yang tidak sedikit. Mengingat konsep
acara ini berupa jalan sehat, kemudian pembagian door price kemudian
“SELESAI”. Nah, loh? biaya apa yang besar? Tentu door price nya. bagaimana
tidak? dana Komunitas Kadiksuh saat itu hanya beberapa ratus ribu saja dan
tidak lebih dari satu jutaan, akan tetapi door price juga tidak mungkin
kacang atom walaupun namanya cukup keren tapi tak sekeren kenyataannya.
Lantas kami
menghadap pimpinan masyarakat baik RT maupun ketua pemuda dan beberapa tokoh.
Mereka sangat memudahkan kami, panggung ada, konsep jelas dan sederhana, jadwal
okelah, lalu door price? mereka menyatakan, “Gampang, nanti saya
mintakan dan saya yang kumpulkan,” ujar ketua pemuda dan ketua RT juga
meng-iyakan. Okelah kami hanya menawarkan konsep kemudian menawarkan tenaga
berupa pasukan kakak untuk mengkondisikan adik-adiknya. Weleh? pasukan kakak?
mana kakaknya biasanya yang bisa hanya beberapa dan mayoritas ber-SMS “Afwan
ada acara?” Tapi untuk yang ini jelas kami tidak berkenan memfloorkan di hadapan
masyarakat sekitar sanggar, walau mereka sudah memahami tentang kondisi sang
Pasukan Kakak.
H-3 Alhamdulillah
para kakak yang semangat telah mendesain konsep dengan baik, spanduk jadi,
desainer putri saat itu dijabat oleh seorang kakak perempuan elegan berjilbab
besar yang menjadi garda depan dalam mendesain beberapa spanduk
acara-acara Kadiksuh, saat itu sedang aktif kerja di Kabupaten Pasuruan
sehingga desainer putra dari Kediri unjuk kebolehan. Untuk kupon? Jadi deh, dan
ini merupakan sebuah kerja keras yang luar biasa. Konsep yang digagas oleh
ketua dan penasehat telah beres dan ini merupakan suatu hal yang sangat elegan
untuk kesederhanaan konsep acara. Tinggal satu yang dikhawatirkan, door
price, kami melihat hanya sedikit. Hanya kami tidak ingin berkomentar,
karena tentu saja itu bukan bagian kami, tapi kami tetap menawarkan kepada para
tokoh masyarakat, “Apakah perlu bantuan untuk door price.” Selalu saja
dijawab, “Kalian tidak usah khawatir, insya Allah beres.”
H-1 kami pun
melakukan pengecekan menyeluruh dan juga pemantapan konsep serta berkunjung ke
rumah tokoh masyarakat. Betapa terkejutnya kami setelah mendapatkan setumpuk
harta yang sangat banyak. Apa ini hasil rampasan perang??? ataukah?? ternyata
diketahui bahwa para tokoh mayarakat mengerahkan anak buahnya untuk mencoba
meminta ijin mengambil barang-barang yang tak laku terjual pada para bosnya
(mayoritas kan penyablon sehingga kenal dengan beberapa orang anggota bos besar
toko-toko sepanjang jalan utama di Bethek). Dan Alhamdulillah bosnya
tidak keberatan bahkan diberikan semua apa yang harus dikuras, seperti topi,
jam tangan, handuk, beberapa sabun dan macem-macem lainnya. Masya Allah kami
tenang setenang orang yang tidur di bawah rindangnya pohon beringin.
Hari ‘H’, ketua
Komunitas sudah hadir saat itu dan telah mempersiapkan semuanya. Hanya ada
beberapa yang menelatkan diri. Abisnya acara orang Indonesia itu suka
“nanti-nantian”, belum yang dinanti alasannya macem-macem, yang disuruh ibunya,
mandinya antri padahal mungkin masih sibuk ber-make up, dll. Tapi akhirnya
beberapa kakak dengan menembus jalan bertemu dengan para rombongan. Hanya
beberapa kakak saja ternyata yang hadir, beberapa di antaranya tetap saja sebagaimana
biasa dengan kata-kata khasnya “Afwan”. Tapi secara dzahir kita harus menerima
mereka, karena memang secara zahir yang ditampilkan dalam perkataan, mereka sedang
berhalangan. Dan menerima alasan mereka adalah bentuk adab seorang Muslim.
Ini bukan
pertempuran, bukan pula sebuah kewajiban tetapi sebuah kepedulian sosial dan
kepedulian masyarakat. Dakwah harus melakukan pendekatan ndak secara
serta-merta, langsung songsong kanan dan kiri. Mentang-mentang sudah mantab
ilmunya dalam liqo’ langsung mengatakan “afwan’ ini halal dan ini
haram? doeeeeng, siapa eloe. Tapi walau demikian kita harus menegakkan yang
benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Hanya caranya bro/sis, sekali
lagi CARANYA. Kalau caranya dirasa bener kok masih diperkarakan, dan
dhujat. Alaaah, paling banter juga diberi jabatan “aliran keras” atau “bakal
teroris” belum liat orang jaman dulu dibantai abis-abisan? belum liat di
Siria, Palestina, Rohingnya, dan yang terbaru di Mesir banyak orang yang
disiksa sampek ndak tahu apakah hari ini dia bisa bernafas atau tidak? Kita?
belum sampai segitunya, dan insya Allah tidak sampai segitunya. Kalau toh
sampai segitunya, berdoalah minta keikhlasan aja untuk siap-siap menyongsong syahid/syahidah
fi sabilillah. Ada dua pilihan manusia ini tatkala ia di dunia, apa itu??
Kalau ndak mati ya hidup. Gitu aja loh, gmpang kan? Hanya masalahnya Bro/Sis,
bagaimana kita beramal dalam hidup dan mempersiapkan kematian. Itu yang menjadi
masalah.
Kembali ke
laptop. Alhamdulillah acara jalan sehat lancar dan pelaksanaannya pun
juga demikian. Bahkan beberapa di antara mereka puas dengan hadiahnya. Setelah
acara selesai, kakak-kakaknya mengadakan musyawarah kecil-kecilan di markas
yang kali itu berbentuk warung miliki seorang kakak yang cukup cerdas dalam
analisa perekonomian konvensional. Saat itu direncanakan kejutan-kejutan di
acara berikutnya, musyawarah berlangsung hangat dan penuh dengan ide-ide segar.
Alhmdulillah, ternyata bantuan dan uluran tangan masyarakat juga sangat
diperlukan. Walau di satu sisi ada kekurangan, akan tetapi kepedulian masih
tersematkan dalam hati-hati mereka. Allahu a’lam.
B. Peringatan Hari Kemerdekaan di Sanggar Ciliwung
Tepatnya pada
Bulan Juli 2012. Dimana Sanggar Baca Ciliwung telah diresmikan, maka sang ketua
sanggar ingin sekali membuat acara kemerdekaan. Karena Bulan Agustus sudah masuk
Bulan Ramadhan, maka diadakanlah pada Bulan Juli.
Ide ini berawal
dari tantangan Ketua RW setempat yang memanggil sang ketua sanggar. Menurut
beliau Kadiksuh merupakan sebuah lembaga sosial yang menarik dan patut dicoba diupayakan
untuk bebuat sebuah acara yang meriah dalam rangka menyambut kemerdekaan.
Sanggup ataukah tidak? Maka kami pun menyanggupi dengan syarat adanya partisipasi
masyarakat, kalau toh mereka tidak mau berpartisipasi dalam pelaksanaan, konsep
ataupun kegiatan bukankah mayoritas mereka berduit? Apalah artinya seratus dua
ratus ribu dibandingkan pajak mobil mereka dan PBB mereka yang berharga jutaan,
walau INGAT sekali lagi “Tidak Semua”. Maka kami pun mencoba berembug
kembali kepada tokoh masyarakat setempat.
Di luar dugaan,
mereka sungguh kaya akan tetapi mana kekayaan itu dan mana fungsinya? Tokoh
masyarakat menyatakan bahwa biaya dan lain-lain Kadiksuh yang menanggung. Beliau
juga memaparkan kalau masyarakat setempat sangat sulit untuk bersatu dan sulit
juga dimintai dana untuk kegiatan kemasyarakatan. Jangankan itu, seorang
pengusaha yang memiliki usaha toko makanan khas Malang memakai sebagian jalan
umum untuk lalu lalang para tamunya. Omsetnya sudah jutaan, tapi jalan pun
sudah berlubang-lubang. Dan bila ditarik untuk biaya pembangunan jalan tidak
bersedia alasannya itu adalah kewajiban pemerintah. Apalagi masalah acara
kadiksuh? Dan tahun kemarin saja tidak ada lomba yang diadakan dan juga tidak
ada acara kecuali terpisah-pisah dan tidak terkoordinir. Subhanallah.
Kami pun
menyatakan, “Batalkan saja kalau demikian.” Tapi sang ketua sanggar sudah
terlanjur menyanggupi dan beberapa kakak pun menilai bahwa ini adalah
kesempatan Kadiksuh Ciliwung unjuk gigi di hadapan masyarakat dan masyarakat
juga akan melihat bagaimana peran Kadiksuh di wilayah itu. Akhirnya mau atau
tidak mau kami mendesain acara sederhana untuk lomba anak-anak sekitar warga
setempat.
Dana kami
kumpulkan dari uang kas dan urunan para kakak asuh. Peralatan dan sebagainya,
kami yang sediakan. Bangkiak sudah ada yang menyumbang dari salah satu Fakultas
di Univ Brawijaya. Begitupula dengan yang lain seperti tampar, dan semua
peralatan adalah dari kami. Heran, dan SUPER HERAN, masyarakat tidak
mengeluarkan dana satu pun dan tidak melirik satu pun. Padahal adik-adik sudah
banyak yang bilang ke orang tua mereka dan pamflet sudah disebar. Yah sudahlah
Bro/Sis, kami hanya bisa mempersiapkan apa yang perlu dipersiapkan.
H-1, kami pun
mencoba mempersiapkan semuanya. Lapangan lomba, kami persiapkan dengan sebaik-baiknya,
kami desain dengan desain yang pas untuk kegiatan lomba sederhana di hari ulang
tahun kemerdekaan RI. Subhanallah, tak ada satupun orang tua adik-adik
yang membantu. Jangankan membantu, nyamperin “Gimana Mas/Mbak udah
selesai?” itu pun TIDAK. Pendaftaran sudah dibuka, sebagian para orang tua
hanya menanyakan, “Lomba apa Mas/Mbak? anak saya mau daftar!” Sungguh
keinstanan sudah merasuk ke dalam diri mereka. Dan hedonimse serta ACUH
sekali lagi ACUH sudah masuk ke dalam diri
mereka. Sekali
lagi TIDAK SEMUA tapi mayoritas.
Hari H. Kami pun
mendapati orang-orang tua SEPI SENYAP di lapangan. Kecuali hanya beberapa.
Hanya adik-adik asuh saja yang bermain riang gembira, orang tua mereka? mungkin
berkata, “Itu urusan anak.” Memang urusan anak-anak mereka tidak menjadi bagian
dari urusan mereka?
Itulah yang
menjadi kendala saat ini, dimana anak (khususnya kendala orang kaya) adalah
bagian biologis dari kehidupan orang tua, akan tetapi bukan bagian dari tugas
orang tua untuk mendidik dan menyenangkannya kecuali masa-masa bayinya. Urusan
kebutuhan mereka adalah uang, urusan fasilitas mereka dalah barang dan urusan
kegiatan mereka adalah pembantu yang belum tentu memiliki rasa kasih sayang,
urusan pendidikan mereka adalah sekolah dan guru Les, serta urusan agama mereka
adalah Guru Ngaji dan Pak Ustad panggilan. Urusan senang-senang adalah lembaga
outbond termasuk dalam hal ini Kadiksuh sebagai korban ke-ACUH-an mereka.
Sedangkan orang
tua? tugasnya bisnis, memenuhi kebutuhan keluarga dengan uang dan fasilitas,
TITIK. Kalau anak sudah berhasil orang tua membanggakan, “Ini loh anakku! hahaha.
Sudah kerja di sana dan sini. Sudah punya penghasilan sekian dan sekian”. Tapi
kalau anaknya ancur, maka orang tua tak jarang yang menyatakan, “Ini
guru sekolahnya gak bener”, “guru lesnya ndak pinter”, “Guru ngajinya Ekstrim”,
“Lembaga Outbonnya ndak beres, masak anak saya masih stress?” Paradigma orang
tua yang ada di tengah perkotaan dan memiliki harta yang banyak tidak digunakan
untuk mendidik anak dengan sebenarnya. Tidak pula untuk memaknai kehidupan,
untuk apa kekayaan itu. Tidak juga untuk pendekatan diri kepada Allah, Tuhan
Alam Semesta, juga tidak untuk pendekatan diri kepada psikologi anak dan
pendidikan anak-anak mereka.
Akhirnya serba
pembantu, serba guru dalam menangani anak-anak orang kaya. Orang tua berangkat
pagi pulang malam, belum kalau udah ada yang teler keblasuk ke jalan
Setan, na’udzubillah. Sang ibu? berangkat pagi, pulang sore malam capek
tidur nyenyak. Sodara hanya ada sedikit, karena “SUSAH BUAT ANAK LAGI.” Ada
yang menyatakan “Program KB adalah program yang tepat.” dan lain-lain. Maka
bagaimana solusinya? Kenapa tanya penulis? kenapa tidak tanya Al-Qur’an dan
Riwayat Hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam? Kenapa tidak tanyak
kepada para ulama?
Masjid hanya
untuk ajang rehabilitasi orang stress. Kalau sehat dan kuat tak mau sholat
jamaah dan ngaji. Tapi kalau sudah hampir sinting baru menanyakan, “Kajian mana
yang baik?” “Ustad mana yang menyejukkan hati?”
Ah, mungkin ini
paradigma penulis saja. Yah, mungkin. Tapi kami menuliskan ini bukan asal
tulis, karena telah banyak apa yang kami amati. Tidak percaya??? silahkan
renungkan dan silahkan terjun kepada masyarakat. Atau minimal jadi guru les
privat, atau lembaga pengasuh anak-anak kecil atau kalau mau sekalian jadi
pembantu di rumahnya orang-orang kaya. Bagaimanakah mereka secara mayoritas?
Sekali lagi TIDAK
SEMUA
Wassalamu’alaikum
warahmatullah wa barokatuh.
27 Dzulqo’dah 1433 / 13
Oktober 2012.
@nd.
[1]
Pernyataan ini terdpat dalam Kitab Mukhtasar Minhajjil Qashiddin karya Ibnu
Qudammah.
[2] Nama
lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Syamsuddin Muhammad Abu Bakr bin Ayyub bin Sa’d
bin Huraiz bin Makk Zainuddin az-Zur’i ad-Dimasyqi dan
dikenal dengan nama Ibnu Qayyim al
Jauziyah. Wafat 13
Rajab tahun 751H. Rujukan: http://abuamincepu.wordpress.com/2009/04/25/953/.
[3] Fadhaa-iludz Dzikr, hal. 19, karya Ibnul
Jauzi.
[4]
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasaa’I dan Bukhari. Dalam kisah
menangisnya Abu Bakar tatkala Rasulullah menyatakan ada seorang hamba yang
disuruh memilih, maka hamba itu memilih menjadi hamba ataukah raja. Maka ia
memilih menjadi hamba biasa. Lalu menangislah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
[5]
Pernah menceritakan seorang ustad dalam ceramah agamanya. Saat ini banyak orang
yang lebih mendahulukan mencuci motornya daripada shalatnya. Dan pagi-pagi saat
subuh lebih suka ngopi dan mencandai burungnya daripada menyegerakan sholat.
Na’udzubillah.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah