KAJIAN ISLAM DAN KARYA PENA

KAJIAN ISLAM YANG MEMUAT HAL-HAL BERKAITAN TENTANG PENGETAHUAN ISLAM BAIK SADURAN ATAU KARYA ASLI. BAIK HAL AKIDAH, MUAMALAT, FIKIH ATAUPUN TASKIYATUN NUFS (PENYUCIAN HATI)

JUGA KARYA PENA UMUM BERUPA PUISI CERPEN DAN KARANGAN ATAU ILMU PENGETAHUAN UMUM DAN PENELITIAN ILMIAH

Selasa, 20 Agustus 2013

DUNIA MISKIN DAN DUNIA KAYA

DUNIA MISKIN DAN DUNIA KAYA

Segala puji bagi Allah Ta’ala Tuhan semesta Alam. DariNyalah semua apa yang ada di langit dan bumi berputar. DariNyalah semua apa yang ada di alam ini memiliki hukum-hukum agar semua berjalan secara seimbang dan teratur. Semoga shalawat serta salam tetap tercurah kepada Rasulullah Muhammad dan kepada keluraga beliau, para sahabat beliau serta umat beliau hingga akhir zamman. Amma ba’d.
Dunia dan kekayaan, merupakan dua hal yang saling berpasangan. Sebagaimana istri dan suami mereka selalu lekat seperti perangko dengan amplop POS. Kekayaan baru bisa dipisahkan dari dunia tatkala terjadinya kiamat, karena sesudah kiamat alam pun diganti dengan suatu hal yang benar-benar baru bagi manusia.
Dunia, merupakan sebuah alam yang hina, akan tetapi mau atau tidak manusia harus mampir padanya sebaga ujian bagi mereka. Dunia tidak selamanya memiliki ikon buruk tatkala dijadikan senjata untuk meraih akherat. Tapi bila tidak hati-hati terhadapnya, dunia akan menjadi ranjau yang sangat fatal bagi kehidupan abadi setelah hari kiamat nanti. Sehingga perumpamaan dunia bagaikan jembatan bagi umat manusia untuk menuju kampung halamannya. Nabi Isa ‘alaihi sallam menyatakan “Dunia itu bagaikan jembatan, maka janganlah sekali-kali berhenti lama di tengahnya dan janganlah kalian membangun sesuatu yang tak berguna karena jembatan itu akan putus serta mencelakakan penyebrangnya[1].
Ibnul Jauzi[2] juga menyatakan, “Wahai manusia, engkau membutuhkan bagian dunia, tetapi terhadap akhirat engkau lebih membutuhkannya. Jika engkau memulainya dengan dunia, maka engkau telah mengabaikan akhirat, sedangkan duniamu ada dalam titik bahaya. Dan jika engkau memulainya dengan akhirat, maka engkau memperoleh duniamu, karena itu lakukanlah dengan baik.[3]
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan Nabi Besar penutup para nabi telah mendapatkan tawaran yang sangat menggiurkan dari Allah Ta’ala. Ia menawarkan pilihan kepada NabiNya Shalallahu ‘alaihi wa sallam kenabian dan kekayaan yang besar serta kerajaan baginya atau kenabian tetapi menjadi rakyat jelata? Maka Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun memilih yang kedua[4].
Begitupula dengan para sahabatnya yang tidak menjadikan dunia sebagai prioritas. Dunia hanyalah sarana kehidupan. Dunia akan menjadi buruk dan menjadi bumerang kekalahan apabila dijadikan sebagai landasan nilai dan pandangan utama. Dunia akan membinasakan apabila dijadikan alasan sebuah kesibukan hingga melupakan kewajiban akherat. Dunia pun akan menjadikan dirinya musnah apabila yang dilirik hanyalah kemewahan yang ada pada dirinya.
Begitupula dengan kemewahan. Kemewahan merupakan sebuah hiasan dunia yang mempesona pandangan, memikat hati serta menarik pendengaran. Kemewahan ini merupakan sarana pemborosan bagi kekayaan. Kemewahan berasal dari kekayaan yang ditumpuk dan diwujudkan sebagai perhiasan yang sangat indah. Sedangkan kekayaan sendiri memiliki dua kemungkinan, menjadikan pelakunya selamat atau binasa. Kemewahan merupakan titik awal kebinasaan, sedangkan kesederhanaan dan kedermawanan dalam kekayaan merupakan titik awal kemuliaan.
Kekayaan sangatlah perlu bagi umat ini, akan tetapi kekayaan yang tidak memperdaya. Bagaimanakah bila Umat Islam tidak kaya, maka biaya besar pembangunan kesejahteraan tidak akan dapat direalisasikan. Bagaimanakah kalau tidak ada orang kaya pada umat ini, maka pertempuran pun menghasilkan persenjataan yang timpang dengan musuh. Bagaimana bila umat Islam ini tidak kaya, maka budak-budak dan tawanan perang tetap akan tersita di bagian musuh. Akan tetapi kekayaan itu menjadi sirna dalam fungsinya bila dipegang oleh tangan orang-orang yang tamak.
Bagaimana kita mendengar kisah Abu Bakar As-Siddiq yang banyak memerdekakan budak, termasuk Bilal ibn Rabbah? bagaimana kita dengar Abdurrahman ibn Auf yang menyetorkan banyak harta untuk kemaslahatan kaum muslimin? bagaimana juga dengan sahabat Abu Dzar dan yang lainnya tatkala mereka menyerahkan kebunnya untuk Allah dan RasulNya? Akan tetapi kekayaan bagi mereka bukanlah genggaman hati, karena hakekatnya adalah milik Allah. Bagaimana Mush’ab ibn Umair yang dahulu kaya-raya kemudian ia hijrah dengan pakaian compang-camping karena kekayaannya disita oleh Kaum Kuffar? kemudian Mush’ab pun wafat ditebas lehernya oleh orang Kafir Quraisy pada perang Uhud, hingga para sahabat yang hidup pada zaman keemasan Islam merasa sedih atas mantan orang kaya “Mush’ab ibn Umair” yang tak pernah lagi merasakan kekayaan dunia semenjak beliau hijrah hingga wafatnya. Dan Abdurrahman ibn ‘Auf yang meninggalkan harta kekayaannya yang sangat banyak di Kota Mekkah dalam rangka hijrah sebagai bentuk ketaatan Beliau terhadap Allah dan RasulNya. Maka Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa apa yang dilakukan oleh Abdurrahman adalah perniagaan yang besar yang tak akan pernah merugikannya.
Tetapi dahulu adalah dahulu, memang benar bahwa خيرالنّاس (sebaik-baik manusia) adalah pada jaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Beliau, kemudian setelahnya dan setelahnya. Kini, harta kekayaan itu sudah berubah dari sisi pandangannya, paradigmanya dan juga perlakuannya. Begitupula dengan dunia, pasangan serasi antara dunia dan kekayaan melahirkan kemewahan dan foya-foya pada diri umat ini hingga kekayaan dan dunia itu pun memperdaya mereka.
Aduhai, betapa sekarang manusia khususnya pada umat ini sibuk oleh dirinya sendiri. Apa yang disibukkan kalau bukan menumpuk kekayaan dan kemewahan? dunia menjadi tujuan dan acuan sebagian besar dari manusia saat ini. Hingga mereka jarang menyebut asma Allah dalam pergaulannya, dalam pembicaraannya dalam pembahasannya. Mereka lebih banyak membahas bagaimana membangun dunia dan mendapatkan harta. Inilah awal dari ACUH yang sangat dahsyat dampaknya bagi kehidupan manusia. Mereka tak peduli akan saudaranya, tetangganya, dan bahkan generasi mudanya yang penting mendapatkan kesenangan dan kepuasan bagi diri dan keluarganya saja serta siapa yang disenanginya.
ACUH, merupakan hal yang sangat berbahaya. Memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap pembangunan akhlak dan karakter generasi muda dan juga maslahat ke depannya. Dari empat huruf “A C U H”, yang dimiliki para orang tua menjadikan anak-anak mereka pun ikut tertular. Empat huruf itu bagaikan penyakit Tha’un (wabah penyakit mematikan) yang siap merenggut ‘nyawa’ kepedulian terhadap sesama manusia, bahkan lebih dahsyat darinya. Sikap ini boleh jadi tidak menyadarkan seseorang bahwa seseorang itu punya penyakit acuh, akan tetapi justru dia merasa bahwa orang lainlah yang memiliki sifat itu. Dia merasa bahwa dirinya sudah peduli dan orang lainlah yang acuh. Hal itu tidak lain karena dia memberikan patokan penilaian terhadap dirinya sendiri. Apabila dirinya tidak diberi sesuatu tentang dunia, maka dia marah. Dan apabila dirinya diberi bahagian dunia yang memuaskan nafsunya, maka dia pun memuji-muji orang yang memberinya secara berlebihan.
Sikap acuh ini sangat dikhawatirkan akan berdampak kepada perilaku sang anak nantinya. Dan hal ini merupakan sebuah pencitraan yang sangat terang dan jelas bagaimana acuhnya orang tua akan berdampak pada bagaimana anak juga akan bersikap acuh kepada orang tuanya dan juga kepada lingkungannya. Seringkali orang tua menyalahkan anak bila anaknya bersikap acuh, dan tidak mau disalahkan atas apa bila diingatkan akan ke-acuhan-nya. Walau tidak semuanya, akan tetapi sikap acuh ini biasanya terjadi kepada kalangan menengah ke atas.
Dunia yang menipu mereka telah menjadikan mereka bermegah-megah. Pola hidup mereka juga berbeda dengan tatkala mereka berada di desa (mayoritas orang tua hidup kecilnya di desa). Seakan mereka lupa bahwa apa yang menyebabkan mereka kaya adalah rahmat Allah, akan tetapi mereka justru disibukkan dengan kekayaannya itu tanpa mempedulikan siapa yang memberinya kekayaan. Walaupun tidak semua orang, akan tetapi mayoritas manusia bila diberikan kondisi yang semakin kaya, maka mereka semakin disibukkan dengan kekayaannya tersebut. Sebagai contoh orang yang dahulu hanya memiliki mobil Suzuki Charry tahun 90 an berbeda saat sekarang memiliki Alphard atau Land Cruisser atau Camry. Dahulu mereka hanya sekedar menyucinya seminggu sekali, bahkan sebulan sekali saja ndak pernah dia cuci. Sekarang hampir setiap hari sebelum berangkat kerja dia menyuruh pembantunya mencuci mobil itu. Tatkala ada noda sedikit saja, emosinya meledak-ledak. Tatkala pembantunya pulang kampung, hatinya gusar bukan main dan dia hampir setiap subuh mendahulukan menyuci mobilnya daripada persiapan jama’ah di masjid[5].
Tatkala ada kesibukan yang mencangkup kemaslahatan bersama, dia melihatnya terlebih dulu apakah urusan yang mereka tangani menguntungkan baginya dan keluarganya ataukah tidak. Kemudian melihat, apakah ia harus terjun langsung ataukah cukup dengan uang saja ataukah perlu pembantu untuk mengurusnya. Rasa gengsi juga mulai menyelimuti dirinya. Kalau bukan kejadian luar biasa, seperti tetangga sekarat atau meninggal maka muka pun tak tampak. Hal ini sangat berbeda dengan kehidupan kalangan fakir dan miskin. Walaupun tidak semua (INGAT!!!) tidak semua, mayoritas kalangan fakir dan miskin lebih mempedulikan tetangganya dan lebih memperhatikan apa yang ada di sekitar lingkungannya daripada orang yang diberikan kekayaan.
Pengamatan kami di dua tempat saat Sanggar Baca Ciliwung sudah didirikan dan diresmikan sangat berbeda dengan Sanggar Bethek. Di ciliwung mayoritas adik-adik dan orang tuanya adalah kalangan menengah ke atas, sedangkan di Bethek mayoritas kalangan menengah ke bawah. Hal ini tampak saat merayakan peringatan kemerdekaan di dua tempat dalam waktu yang berbeda selang satu tahun.
Pada tahun kami mengadakan peringatan kemerdekaan di tahun 2011, tepatnya memang bulan Juli-Agustus 2011 banyak masyarakat yang membantu program kami. Memang untuk biaya mereka tidak sanggup dalam memenuhinya, akan tetapi untuk peralatan dan tenaga, mereka siap bila diperlukan. Kami akan ceritakan bagaimana kisah tatkala kami mempersiapkan acara hari kemerdekaan di dua tempat.
A.      Peringatan Hari Kemerdekaan di Sanggar Baca D. Musthofa
Terjadi pada tahun 2011, tepatnya akhir Bulan Juli atau awal Bulan Agustus beberapa pekan setelah Festival Mimpi Anak Negeri. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada artikel sebelumnya, bahwa pembuatan panggung dan dekorasinya akhirnya dikerjakan oleh Sang Seniman hebat yang tak tampak di permukaan panggung dunia.Setelah para kakak mendesain dengan desain yang sederhana akan tetapi memakan waktu berjam-jam dalam membuatnya, maka sang ‘seniman kampung’ membuat dekorasi apik dengan memakan waktu hanya kurang dari satu jam saja. Ini merupakan kepedulian yang luar biasa dari masyarakat terhadap acara bersama, sekali lagi kami tekankan ‘tidak semua’.
Begitu juga gerak jalan, mereka sadar bahwa acara yang (telah) akan kami wujudkan ini merupakan ajang peringatan kenegaraan dan ‘pesta rakyat’ kecil-kecilan. “Jalan Sehat Impian” mungkin itulah judul yang kami sematkan pada acara tersebut. Acara ini sangat sederhana konsepnya, tapi memerlukan biaya yang tidak sedikit. Mengingat konsep acara ini berupa jalan sehat, kemudian pembagian door price kemudian “SELESAI”. Nah, loh? biaya apa yang besar? Tentu door price nya. bagaimana tidak? dana Komunitas Kadiksuh saat itu hanya beberapa ratus ribu saja dan tidak lebih dari satu jutaan, akan tetapi door price juga tidak mungkin kacang atom walaupun namanya cukup keren tapi tak sekeren kenyataannya.
Lantas kami menghadap pimpinan masyarakat baik RT maupun ketua pemuda dan beberapa tokoh. Mereka sangat memudahkan kami, panggung ada, konsep jelas dan sederhana, jadwal okelah, lalu door price? mereka menyatakan, “Gampang, nanti saya mintakan dan saya yang kumpulkan,” ujar ketua pemuda dan ketua RT juga meng-iyakan. Okelah kami hanya menawarkan konsep kemudian menawarkan tenaga berupa pasukan kakak untuk mengkondisikan adik-adiknya. Weleh? pasukan kakak? mana kakaknya biasanya yang bisa hanya beberapa dan mayoritas ber-SMS “Afwan ada acara?” Tapi untuk yang ini jelas kami tidak berkenan memfloorkan di hadapan masyarakat sekitar sanggar, walau mereka sudah memahami tentang kondisi sang Pasukan Kakak.
H-3 Alhamdulillah para kakak yang semangat telah mendesain konsep dengan baik, spanduk jadi, desainer putri saat itu dijabat oleh seorang kakak perempuan elegan berjilbab besar yang menjadi garda depan dalam mendesain beberapa spanduk acara-acara Kadiksuh, saat itu sedang aktif kerja di Kabupaten Pasuruan sehingga desainer putra dari Kediri unjuk kebolehan. Untuk kupon? Jadi deh, dan ini merupakan sebuah kerja keras yang luar biasa. Konsep yang digagas oleh ketua dan penasehat telah beres dan ini merupakan suatu hal yang sangat elegan untuk kesederhanaan konsep acara. Tinggal satu yang dikhawatirkan, door price, kami melihat hanya sedikit. Hanya kami tidak ingin berkomentar, karena tentu saja itu bukan bagian kami, tapi kami tetap menawarkan kepada para tokoh masyarakat, “Apakah perlu bantuan untuk door price.” Selalu saja dijawab, “Kalian tidak usah khawatir, insya Allah beres.”
H-1 kami pun melakukan pengecekan menyeluruh dan juga pemantapan konsep serta berkunjung ke rumah tokoh masyarakat. Betapa terkejutnya kami setelah mendapatkan setumpuk harta yang sangat banyak. Apa ini hasil rampasan perang??? ataukah?? ternyata diketahui bahwa para tokoh mayarakat mengerahkan anak buahnya untuk mencoba meminta ijin mengambil barang-barang yang tak laku terjual pada para bosnya (mayoritas kan penyablon sehingga kenal dengan beberapa orang anggota bos besar toko-toko sepanjang jalan utama di Bethek). Dan Alhamdulillah bosnya tidak keberatan bahkan diberikan semua apa yang harus dikuras, seperti topi, jam tangan, handuk, beberapa sabun dan macem-macem lainnya. Masya Allah kami tenang setenang orang yang tidur di bawah rindangnya pohon beringin.
Hari ‘H’, ketua Komunitas sudah hadir saat itu dan telah mempersiapkan semuanya. Hanya ada beberapa yang menelatkan diri. Abisnya acara orang Indonesia itu suka “nanti-nantian”, belum yang dinanti alasannya macem-macem, yang disuruh ibunya, mandinya antri padahal mungkin masih sibuk ber-make up, dll. Tapi akhirnya beberapa kakak dengan menembus jalan bertemu dengan para rombongan. Hanya beberapa kakak saja ternyata yang hadir, beberapa di antaranya tetap saja sebagaimana biasa dengan kata-kata khasnya “Afwan”. Tapi secara dzahir kita harus menerima mereka, karena memang secara zahir yang ditampilkan dalam perkataan, mereka sedang berhalangan. Dan menerima alasan mereka adalah bentuk adab seorang Muslim.
Ini bukan pertempuran, bukan pula sebuah kewajiban tetapi sebuah kepedulian sosial dan kepedulian masyarakat. Dakwah harus melakukan pendekatan ndak secara serta-merta, langsung songsong kanan dan kiri. Mentang-mentang sudah mantab ilmunya dalam liqo’ langsung mengatakan “afwan’ ini halal dan ini haram? doeeeeng, siapa eloe. Tapi walau demikian kita harus menegakkan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Hanya caranya bro/sis, sekali lagi CARANYA. Kalau caranya dirasa bener kok masih diperkarakan, dan dhujat. Alaaah, paling banter juga diberi jabatan “aliran keras” atau “bakal teroris” belum liat orang jaman dulu dibantai abis-abisan? belum liat di Siria, Palestina, Rohingnya, dan yang terbaru di Mesir banyak orang yang disiksa sampek ndak tahu apakah hari ini dia bisa bernafas atau tidak? Kita? belum sampai segitunya, dan insya Allah tidak sampai segitunya. Kalau toh sampai segitunya, berdoalah minta keikhlasan aja untuk siap-siap menyongsong syahid/syahidah fi sabilillah. Ada dua pilihan manusia ini tatkala ia di dunia, apa itu?? Kalau ndak mati ya hidup. Gitu aja loh, gmpang kan? Hanya masalahnya Bro/Sis, bagaimana kita beramal dalam hidup dan mempersiapkan kematian. Itu yang menjadi masalah.
Kembali ke laptop. Alhamdulillah acara jalan sehat lancar dan pelaksanaannya pun juga demikian. Bahkan beberapa di antara mereka puas dengan hadiahnya. Setelah acara selesai, kakak-kakaknya mengadakan musyawarah kecil-kecilan di markas yang kali itu berbentuk warung miliki seorang kakak yang cukup cerdas dalam analisa perekonomian konvensional. Saat itu direncanakan kejutan-kejutan di acara berikutnya, musyawarah berlangsung hangat dan penuh dengan ide-ide segar. Alhmdulillah, ternyata bantuan dan uluran tangan masyarakat juga sangat diperlukan. Walau di satu sisi ada kekurangan, akan tetapi kepedulian masih tersematkan dalam hati-hati mereka. Allahu a’lam.
B.      Peringatan Hari Kemerdekaan di Sanggar Ciliwung
Tepatnya pada Bulan Juli 2012. Dimana Sanggar Baca Ciliwung telah diresmikan, maka sang ketua sanggar ingin sekali membuat acara kemerdekaan. Karena Bulan Agustus sudah masuk Bulan Ramadhan, maka diadakanlah pada Bulan Juli.
Ide ini berawal dari tantangan Ketua RW setempat yang memanggil sang ketua sanggar. Menurut beliau Kadiksuh merupakan sebuah lembaga sosial yang menarik dan patut dicoba diupayakan untuk bebuat sebuah acara yang meriah dalam rangka menyambut kemerdekaan. Sanggup ataukah tidak? Maka kami pun menyanggupi dengan syarat adanya partisipasi masyarakat, kalau toh mereka tidak mau berpartisipasi dalam pelaksanaan, konsep ataupun kegiatan bukankah mayoritas mereka berduit? Apalah artinya seratus dua ratus ribu dibandingkan pajak mobil mereka dan PBB mereka yang berharga jutaan, walau INGAT sekali lagi “Tidak Semua”. Maka kami pun mencoba berembug kembali kepada tokoh masyarakat setempat.
Di luar dugaan, mereka sungguh kaya akan tetapi mana kekayaan itu dan mana fungsinya? Tokoh masyarakat menyatakan bahwa biaya dan lain-lain Kadiksuh yang menanggung. Beliau juga memaparkan kalau masyarakat setempat sangat sulit untuk bersatu dan sulit juga dimintai dana untuk kegiatan kemasyarakatan. Jangankan itu, seorang pengusaha yang memiliki usaha toko makanan khas Malang memakai sebagian jalan umum untuk lalu lalang para tamunya. Omsetnya sudah jutaan, tapi jalan pun sudah berlubang-lubang. Dan bila ditarik untuk biaya pembangunan jalan tidak bersedia alasannya itu adalah kewajiban pemerintah. Apalagi masalah acara kadiksuh? Dan tahun kemarin saja tidak ada lomba yang diadakan dan juga tidak ada acara kecuali terpisah-pisah dan tidak terkoordinir. Subhanallah.
Kami pun menyatakan, “Batalkan saja kalau demikian.” Tapi sang ketua sanggar sudah terlanjur menyanggupi dan beberapa kakak pun menilai bahwa ini adalah kesempatan Kadiksuh Ciliwung unjuk gigi di hadapan masyarakat dan masyarakat juga akan melihat bagaimana peran Kadiksuh di wilayah itu. Akhirnya mau atau tidak mau kami mendesain acara sederhana untuk lomba anak-anak sekitar warga setempat.
Dana kami kumpulkan dari uang kas dan urunan para kakak asuh. Peralatan dan sebagainya, kami yang sediakan. Bangkiak sudah ada yang menyumbang dari salah satu Fakultas di Univ Brawijaya. Begitupula dengan yang lain seperti tampar, dan semua peralatan adalah dari kami. Heran, dan SUPER HERAN, masyarakat tidak mengeluarkan dana satu pun dan tidak melirik satu pun. Padahal adik-adik sudah banyak yang bilang ke orang tua mereka dan pamflet sudah disebar. Yah sudahlah Bro/Sis, kami hanya bisa mempersiapkan apa yang perlu dipersiapkan.
H-1, kami pun mencoba mempersiapkan semuanya. Lapangan lomba, kami persiapkan dengan sebaik-baiknya, kami desain dengan desain yang pas untuk kegiatan lomba sederhana di hari ulang tahun kemerdekaan RI. Subhanallah, tak ada satupun orang tua adik-adik yang membantu. Jangankan membantu, nyamperin “Gimana Mas/Mbak udah selesai?” itu pun TIDAK. Pendaftaran sudah dibuka, sebagian para orang tua hanya menanyakan, “Lomba apa Mas/Mbak? anak saya mau daftar!” Sungguh keinstanan sudah merasuk ke dalam diri mereka. Dan hedonimse serta ACUH sekali lagi ACUH sudah masuk ke dalam diri mereka. Sekali lagi TIDAK SEMUA tapi mayoritas.
Hari H. Kami pun mendapati orang-orang tua SEPI SENYAP di lapangan. Kecuali hanya beberapa. Hanya adik-adik asuh saja yang bermain riang gembira, orang tua mereka? mungkin berkata, “Itu urusan anak.” Memang urusan anak-anak mereka tidak menjadi bagian dari urusan mereka?
Itulah yang menjadi kendala saat ini, dimana anak (khususnya kendala orang kaya) adalah bagian biologis dari kehidupan orang tua, akan tetapi bukan bagian dari tugas orang tua untuk mendidik dan menyenangkannya kecuali masa-masa bayinya. Urusan kebutuhan mereka adalah uang, urusan fasilitas mereka dalah barang dan urusan kegiatan mereka adalah pembantu yang belum tentu memiliki rasa kasih sayang, urusan pendidikan mereka adalah sekolah dan guru Les, serta urusan agama mereka adalah Guru Ngaji dan Pak Ustad panggilan. Urusan senang-senang adalah lembaga outbond termasuk dalam hal ini Kadiksuh sebagai korban ke-ACUH-an mereka.
Sedangkan orang tua? tugasnya bisnis, memenuhi kebutuhan keluarga dengan uang dan fasilitas, TITIK. Kalau anak sudah berhasil orang tua membanggakan, “Ini loh anakku! hahaha. Sudah kerja di sana dan sini. Sudah punya penghasilan sekian dan sekian”. Tapi kalau anaknya ancur, maka orang tua tak jarang yang menyatakan, “Ini guru sekolahnya gak bener”, “guru lesnya ndak pinter”, “Guru ngajinya Ekstrim”, “Lembaga Outbonnya ndak beres, masak anak saya masih stress?” Paradigma orang tua yang ada di tengah perkotaan dan memiliki harta yang banyak tidak digunakan untuk mendidik anak dengan sebenarnya. Tidak pula untuk memaknai kehidupan, untuk apa kekayaan itu. Tidak juga untuk pendekatan diri kepada Allah, Tuhan Alam Semesta, juga tidak untuk pendekatan diri kepada psikologi anak dan pendidikan anak-anak mereka.
Akhirnya serba pembantu, serba guru dalam menangani anak-anak orang kaya. Orang tua berangkat pagi pulang malam, belum kalau udah ada yang teler keblasuk ke jalan Setan, na’udzubillah. Sang ibu? berangkat pagi, pulang sore malam capek tidur nyenyak. Sodara hanya ada sedikit, karena “SUSAH BUAT ANAK LAGI.” Ada yang menyatakan “Program KB adalah program yang tepat.” dan lain-lain. Maka bagaimana solusinya? Kenapa tanya penulis? kenapa tidak tanya Al-Qur’an dan Riwayat Hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam? Kenapa tidak tanyak kepada para ulama?
Masjid hanya untuk ajang rehabilitasi orang stress. Kalau sehat dan kuat tak mau sholat jamaah dan ngaji. Tapi kalau sudah hampir sinting baru menanyakan, “Kajian mana yang baik?” “Ustad mana yang menyejukkan hati?”
Ah, mungkin ini paradigma penulis saja. Yah, mungkin. Tapi kami menuliskan ini bukan asal tulis, karena telah banyak apa yang kami amati. Tidak percaya??? silahkan renungkan dan silahkan terjun kepada masyarakat. Atau minimal jadi guru les privat, atau lembaga pengasuh anak-anak kecil atau kalau mau sekalian jadi pembantu di rumahnya orang-orang kaya. Bagaimanakah mereka secara mayoritas?
Sekali lagi TIDAK SEMUA
Wassalamu’alaikum warahmatullah wa barokatuh.
27 Dzulqo’dah 1433 / 13 Oktober 2012.
@nd.






[1] Pernyataan ini terdpat dalam Kitab Mukhtasar Minhajjil Qashiddin karya Ibnu Qudammah.
[2] Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Syamsuddin Muhammad Abu Bakr bin Ayyub bin Sa’d
bin Huraiz bin Makk Zainuddin az-Zur’i ad-Dimasyqi dan dikenal dengan nama Ibnu Qayyim al
Jauziyah. Wafat 13 Rajab tahun 751H. Rujukan: http://abuamincepu.wordpress.com/2009/04/25/953/.
[3] Fadhaa-iludz Dzikr, hal. 19, karya Ibnul Jauzi.
[4] Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasaa’I dan Bukhari. Dalam kisah menangisnya Abu Bakar tatkala Rasulullah menyatakan ada seorang hamba yang disuruh memilih, maka hamba itu memilih menjadi hamba ataukah raja. Maka ia memilih menjadi hamba biasa. Lalu menangislah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
[5] Pernah menceritakan seorang ustad dalam ceramah agamanya. Saat ini banyak orang yang lebih mendahulukan mencuci motornya daripada shalatnya. Dan pagi-pagi saat subuh lebih suka ngopi dan mencandai burungnya daripada menyegerakan sholat. Na’udzubillah.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah