KAJIAN ISLAM DAN KARYA PENA

KAJIAN ISLAM YANG MEMUAT HAL-HAL BERKAITAN TENTANG PENGETAHUAN ISLAM BAIK SADURAN ATAU KARYA ASLI. BAIK HAL AKIDAH, MUAMALAT, FIKIH ATAUPUN TASKIYATUN NUFS (PENYUCIAN HATI)

JUGA KARYA PENA UMUM BERUPA PUISI CERPEN DAN KARANGAN ATAU ILMU PENGETAHUAN UMUM DAN PENELITIAN ILMIAH

Kamis, 08 Agustus 2013

ANTARA KEINGKARAN SUNNAH DAN KEMUNDURAN UMMAH

ANTARA KEINGKARAN SUNNAH DAN KEMUNDURAN UMMAH

Segala puji bagi Allah Ta’ala yang Maha Memahami dan Maha Bijaksana. Semoga shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajarkan ajaran Agama Islam secara lengkap, amanah dan sesuai dengan amanah Allah Ta’ala. Semoga shalawat juga tetap tercurah kepada ahlul baitnya, para sahabatnya serta ummatnya yang taat kepada sunnah NabiNya hingga akhir zamman. Amma ba’d.
Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di Haudh[1].
Sunnah dalam istilah syariat merupakan petunjuk Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang berupa perbuatan ataupun ucapan. Sedangkan dalam fiqih adalah sesuatu amalan yang dikerjakan mendapat pahala dan ditinggalkan mendapat kerugian walau tidak berdosa. Akan tetapi pembahasan kami kali ini difokuskan kepada makna ‘SUNNAH” dalam arti syariat Islam.
Petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sebaik-baik petunjuk yang harus ditaati. Dan apa yang Beliau Shalallahu ‘alaih wa sallam sampaikan merupakan sesuatu yang baik. Beliau telah memegang amanah ini dan telah menyampaikan, serta Allah telah menyempurnakan agama ini melalui tugas kerasulan Beliau Shalllahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman, “...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...[2]. Melalui Jabir ibn Abdullah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallâhu 'alaihi wa Sallam sementara seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan itu adalah bid'ah[3] dan setiap bid'ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan itu berada di neraka.”[4].
Ini merupakan sebuah hadits yang sangat penting diperhatikan dalam mengamalkan suatu amalan ibadah dan pentingnya mengikuti petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa sallam.
Siapa orang yang mengaku beriman, maka dia akan mengakui bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tak kan pernah dusta. Bukankah dalam Islam telah dinyatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sifat amanah dan tabligh? Beliau memiliki sifat memegang tugas yang mulia dan melaksanakan tugas itu, selain itu Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah tabligh, artinya menyampaikan sesuatu yang memang diharuskan disampaikan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan apa yang memang Allah Ta’ala perintahkan untuk disampaikan sebagai bentuk kasih sayangNya agar umat ini mengetahui dan memahami.
Sunnah merupakan hal penting untuk diperhatikan, karena banyak orang yang menolak sunnah dengan menetapkan “HANYA AL-QUR’AN” sudah cukup. Maka, banyak para ulama menanyakan kepada kelompok yang seperti ini. Apakah kamu melakukan Sholat? Lalu apa dasar sholat subuh 2 rakaat, dhuhur; ashar dan Isya’ 4 rakaat dan maghrib 3 rakaat? Adapula segolongan yang tidak puas dengan apa yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan, lalu mereka membuat-buat sendiri tata cara beribadah dan tata cara pengabdian kepada Allah Ta’ala kemudian menjadi bingunglah orang itu tentang agamanya sendiri, maka tiada lain Sunnah adalah sebuah rujukan penting bagi semua kaum muslimin.
Begitu pentingnya petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam atas tata cara beribadah pada agama Islam ini, hingga para ulama menyatakan bahwa Sunnah bagaikan perahu Nabi Nuh di tengah-tengah badai kehidupan. Bahkan Imam Malik menyatakan, “Barang siapa melakukan satu bid'ah dalam Islam yang ia menyangkanya sebagai kebaikan, maka sesungguhnya ia telah menuduh bahwa Muhamad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berkhianat tidak menyampaikan amanat risalah. Begitupula Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah menyatakan, “Pelaku bid'ah itu sama dengan menuduh Tuhanya belum menyempurnakan agama sebelum wafatnya Nabi saw, berarti Dia berbohong padahal Dia telah berfirman: " Hari ini telah aku sempurnakan untuk kalian agama kalian...", atau menuduh bahwa Rasulullah saw tidak menyampaikan."[5]
Kenyataannya, bagaimana di masyarakat? Syariat ini terasa masih kurang nyaman bagi mereka. Sholat 5 waktu dengan rawatibnya, sholat tahajud dengan witirnya, puasa Ramadhan dengan Syawwalnya, haji dengan umrohnya masih saja kurang cukup. Sholat 5 waktu dengan rawatibnya masih nambah dengan yoga, reiki, dll; Sholat tahajud dengan witirnya, masih nambah dengan bertapa dan memohon pada kuburan kyai-kyai yang hakekatnya para penghuni kubur itu sudah tak dapat berbuat apapun, puasa Ramadhan dengan Syawwalnya, eh masih ditambah puasa mutih, ngebleng, dll; Haji dengan Umrohnya, eh masih ditambah ke Gunung Dieng dan muter-muter di salah satu kompleks candi di sana. Innalillahi wa innailaihi roji’un.
Masih terngiang di telinga saat melihat siaran salah satu stasiun TV swasta pada malam Rabu dengan pembicara seorang ulama yang hanif. Beliau menyitir ayat Al-Qur’an,
“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, dan (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur" (Yunus: 22).  
Kemudian ulama tersebut menyatakan, “Orang-orang kafir Quraisy melakukan kesyirikan saat senang, dan langsung mengesakanNya tatkala susah dan terdesak. Kalau kaum kita, senang ataupun susah syirik yang dibawa.” Na’udzubillah. Syirik merupakan keingkaran atas sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang terbesar.
Di sisi yang lain, tampak orang-orang bangga dengan peribadatan-peribadatan yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkannya. Walau demikian masyarakat meyakini bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar dan akan menyampaikan kepada ridho Allah Ta’ala. Para ulama rahimahullah ta’ala ajma’in menyatakan bahwa syarat diterimanya amalan itu hanya ada 2, yaitu ikhlas dan mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam. Dalil dari pernyataan ini banyak sekali, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, maupun pernyataan para sahabat radhiyallahu ‘anhumma ajma’in[6]. Ikhlas adalah mengharapkan balasan amal hanya kepada Allah Ta’ala saja dan tidak ada satupun sangkut paut terhadap makhlukNya. Sedangkan mengikuti Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah sesuai dengan petunjuknya dalam menjalankan amalan-amalan ibadah khusus.
Adapun yang menyatakan adanya bid’ah hasanah[7] maka sebagaimana telah dijelaskan oleh ulama tersohor yaitu Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah bahwa mereka telah menuduh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan, maka ini bentuk fitnah yang besar terhadap Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Memang benar tatakala Umar ibn Khaththab menyatakan inilah sebaik-baik bid’ah, namun hal itu terkait dengan shalat tarawih yang konteksnya sangat berbeda dengan manusia masa kini dalam menafsirkan bid’ah.
Konteksnya terletak pada jaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tatakala tiba Bulan Ramadhan di suatu tahun, beliau shalat dengan khusyu’. Tiba-tiba ada satu, dua orang sahabat mengikuti beliau sholat dan beliau tahu ada yang mengikutinya lalu mengeraskan bacaannya. Keesokan harinya sahabat yang mengikuti sholat bertambah banyak, hingga mencapai hari ketiga atau keempat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar dari masjid selepas isya’. Lalu esok paginya Beliau menerangkan dengan bersabda, “Sesungguhnya aku khawatir sholat ini diwajibkan atas kamu”[8]. Lalu demi mendapatkan keutamaan pada Bulan Ramadhan, selepas (sholat) Isya’ para sahabat banyak yang melakukan sholat terawih dan witir sendiri-sendiri di masjid ataupun berkelompok-kelompok hingga sampai jaman kepemimpinan Umar ibn Khaththab. Demi melihat persatuan Kaum Muslimin, maka Umar ibn Khaththab radhiyallahu ‘anhu pun memerintahkan agar sholat terawih disatukan dan dipimpin oleh seorang imam bernama Ubay ibn Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Kemudian beliau berkata, “sebaik-baik bid’ah adalah ini”[9]
Apa yang dimaksud Umar ibn Khaththab bukanlah suatu yang baru dan belum pernah diajarkan nabi sama sekali. Bid’ah dalam konteks itu adalah, jaman Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah dinyatakan kebolehannya dan telah dilaksanakan secara berjamaah dengan bacaan jahr (keras), hanya saja karena Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam merasa ‘takut shalat itu diwajibkan Allah’ atas umatnya maka beliau tidak melanjutkannya. Sampai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat, maka wahyu terputus dan ketakutan akan kewajiban itu menjadi hilang. Maka Umar ibn Khaththab menghidupkan sunnah yang sempat terhenti karena alasan yang syar’I dari Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pemahaman kata bid’ah hasanah yang benar.
Mengapa kami menjelaskan tentang bid’ah ini panjang lebar, adalah karena untuk memahami problematika di masyarakat dengan dampak yang ada. Permasalahannya bid’ah atau ajaran dalam konteks peribadatan yang diada-adakan ini telah merambah ke berbagai kehidupan masyarakat hingga pelosok dan juga di masyarakat tengah-tengah perkotaan. Bukankah ajaran agama Nasrani rusak karena tambahan-tambahan para pendetanya atas ajaran Rasulullah Isa ‘alaihissalam hingga Allah menyesatkan mereka? Bukankah Yahudi pun ajaran agamanya rusak karena tambahan dan pengurangan yang dilakukan oleh ulama busuk Bani Israil terhadap ajaran Rasulullah Musa ‘alaihisallam, hingga Allah pun murka atas mereka? Begitupula segelintir orang yang menambah-nambah ajaran agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam hingga bila tidak ada orang yang memperjuangkan sunnah akan lenyaplah kebaikan ajaran agama ini.
Adapun di tengah-tengah masyarakat khususnya perkampungan dimana adik-adik asuh kami tinggal, nuansa bid’ah itu bukan saja menjadi pandangan sehari-hari akan tetapi menjadi corak yang dapat menghancurkan sosial kehidupan masyarakat. Kok BISA??? kami akan menyatakan bukan atas nama golongan dan atas nama partai manapun, akan tetapi kami menyatakan ini dari hasil pengamatan, penelitian dan pengalaman kami semasa berdampingan dengan adik-adik kami di Kadiksuh Bethek.
Bukankah telah kami ceritakan sebab-sebab tamu kami dari Pakistan merasa ‘risih’ dan terganggu dengan suara-suara keras yang dikumandangkan selain adzan dan iqomah? bukankah telah kami ceritakan sebab-sebab adik-adik kami tertekan karena ulah sebagian orang yang mersasa benar dalam melakukan dzikkir dengan kerasnya dan sangat lama? dan masih banyak lagi hingga warga pun rela menutup masjid dengan terpal karena ulah orang yang seharusnya memahami agama akan tetapi justru menekan masyarakat? Kini apa hubungannya antara keingkaran sunnah itu dengan kemunduran ummah?
Ada dua sisi yang akan kami paparkan di sini, pertama sisi pendidikan dan kedua sisi sosial.
A.      Kerugian Ingkar Sunnah dari Sisi Pendidikan Adik-Adik Kadiksuh
Nah, dari sisi pendidikan kami mulai dari bagaimana sang anak harusnya tumbuh dengan baik di bawah bimbingan para ulama yang mengamalkan ajaran agama ini dengan sebenar-benarnya untuk membentuk karakter positif dalam kehidupan nyata dalam dunia anak-nak, hal ini penting sebagai bekal kehidupan dewasa mereka kelak.
Sekali lagi bid’ah berada dalam konteks ibadah khususnya ibadah maghdo (khusus) yang telah ditentukan tata caranya. Berdzikir merupakan ibadah magdho (khusus) yang Rasulullah telah mengajarkannya, termasuk bersolawat dan memuji Allah Ta’ala tidak sembarangan mengarang sendiri lirik dan sya’irnya. Dan tidak diperkenankan mengada-adakan dalam keutamaan dan waktu pelaksanaan kecuali sudah diterangkan dalam sunnah Rasulullah Shalallahu ‘aalihi wa sallam. Akan tetapi karena “kebodohan” maka mereka mengikuti dengan tunduk dan patuh pada para pencari popularitas hingga mereka sambut tujuan dan niatan mereka itu[10]. Hanya saja jaman modern ini adalah jaman dimana informasi telah tersebar luas, seakan sulit menerima bila alasannya adalah belum sampai ilmu pada mereka. Seorang ustad pernah menyampaikan kepada kami bahwa, mereka (para pengikut ingkar sunnah) itu bukan tidak tahu, tetapi tidak mau tahu (tidak mau berpikir atau belajar).
A.1    Awal Mula Sekulerisme Agama
Kembali kepada pembahasan awal. Dengan adanya bid’ah yang dilestarikan maka pendidikan agama pada anak-anak pun sebatas peribadatan dan ritual. Sibuk dengan dirinya sendiri dan melalaikan hak-hak orang lain. Hingga pada puncaknya, mereka memisahkan antara urusan kerja dan urusan agama. Mengapa demikian?
Kita langsung masuk saja pada kenyataan yang ada. Takmir masjid pada wilayah sanggar Bethek membiarkan kepada adik-adik kami untuk melakukan dzikir yang tidak pernah diajarkan Rasulullah. Dzikir itu ada banyak, bahkan ada yang tersusun dalam salah satu kitab kuning yang dirujuk guru ngajinya. Mereka yang masih imut-imut harus menghafalkan berbait-bait sya’ir yang artinya saja mereka tak faham. Mereka disibukkan atas apa yang tidak perlu, dan mereka disibukkan dengan ilmu-ilmu yang justru tidak diterima amalan mereka karena tidak sesuai sunnah nabiNya. Mereka mempelajari sya’ir-sya’ir ini dengan serius tanpa harus faham makna dan artinya. Jadi apa yang masuk kepada mereka selain hanya dijadikan ritual semata?
Mereka diajarkan bait-bait sya’ir tanpa memahami apa tujuan dan fungsi sya’ir itu dalam kehidupan sehari-harinya. Kalau toh mereka diajarkan artinya, tidak semua sya’ir. Kalau toh mereka diberitahu artinya mereka tidak memahami bagaimana cara mengaplikasikannya di lapangan. Berbeda dengan hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang mudah dan praktis untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan petunjuk yang benar serta menambah pahala.   
Kemudian yang harus dipertanyakan, apa aplikasi dari bidang pendidikan agama untuk mereka apabila mereka ditekankan untuk menghafalkan apa yang tidak diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam? apa hubungannya antara ingkar sunnah itu dengan pemisahan antara sekolah/kerja dan agama?
Mungkin tidak secara mutlak mereka memisahkan antara agama dengan perilaku sehari-hari yang memiliki unsur dunia, tatkala mereka makan juga masih mengucapkan basmallah (itu pun juga kalau diingatkan). Tetapi secara sederhana demikian, bagi kakak-kakak yang sering atau pernah terjun ke sanggar coba perhatikan apa yang mereka lakukan tatkala menunggu iqomah dikumandangkan? banyak di antara mereka mendengungkan pujian-pujian dengan suara keras, hingga Sarmad Akber[11] pun heran dengan apa yang mereka kumandangkan.
Suatu saat setelah adzan berkumandang di Mushola Darul Musthofa, seperti biasa pujian dilantunkan dengan keras. Saat itu tamu kami dari Pakistan, Sarmad Akber bertanya kepada kami, “Apa yang mereka lakukan?” Kami menjawab, “Itu pujian” Ia menjawab, “Apakah itu Al-Qur’an?” Kami katakan, “Bukan, tapi seperti asma’ul husna, doa, ataupun shalawat.” Ia pun berkata, “Kalau di Pakistan seperti ini dilakukan orang-orang Nasrani. Kenapa orang Islam di sini meniru orang Nasrani dan dengan suara keras lagi?
Permsalahan lain yang muncul adalah, dzikir yang diajarkan Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah berdampak pada kehidupan, kata-katanya menyelamatkan, dan dapat dilantunkan dimana saja dalam aktivitas apapun asalkan tidak dalam keadaan dan tempat yang dilarang[12]. Maka puji-pujian yang diajarkan oleh orang-orang yang mengada-adakan cara ibadah dan dzikkir seringkali mensyaratkan hanya boleh dilakukan di tempat tertentu semisal masjid, di waktu tertentu dan dengan cara tertentu. Memang yang diajarkan kepada anak-anak berbeda dengan yang diajarkan kepada para suluk[13], dan juga yang diajarkan kepada orang yang masih bermaqqam syari’at[14]. Akan tetapi ruh dari dzikkir itu sendiri telah menjadikan mereka memisahkan antara mana yang ibadah dan mana yang urusan dunia.
Imbasnya pun juga ke arah pendidikan orang tua kepada anaknya. Sebagaimana apa yang kami rasakan saat membina mereka, orang tua mereka merasa bahwa apa yang kami lakukan adalah sebagian permainan. Kami memberikan kepada mereka pengetahuan dengan gaya bermain untuk mempermudah adik-adik kami memahami apa yang kami ajarkan. Kami menampilkan film-film tentang anak-anak yang mendidik dan juga film Harun Yahya untuk menambah kedekatan mereka kepada Allah Ta’ala. Begitupla kami kenalkan orang-orang asing dan budaya mereka sebagai bentuk saling mengenal di antara manusia, hanya saja apa tanggapan orang tua mereka? Mereka menganggap bahwa kami hanya memberikan mereka permainan yang tak menambah nilai di sekolah mereka, atau tak mengajarkan mereka Iqro’ dan membaca Al-Qur’an yang menambah kecerdasan agama mereka.  
Pernyataan ini pernah dinyatakan oleh beberapa warga kepada kami. Kenapa kadiksuh itu hanya diajarkan main-main saja ndak pernah belajar. Ada juga yang mengatakan, “Kenapa Kadiksuh tidak ada ngaji Iqro’?” Pernah kami mengajarkan ngaji Iqro’ kepada adik-adik kami, tapi apa yang kami lakukan membuat mereka bosan akhirnya kami pun melakukan variasi cara mengajar mereka. Ternyata, tatkala melakukan variasi itu, tanggapan sebagian orang tua malah berbeda.
Pernah suatu saat mengajar Iqro’ kepada adik-adik asuh kami, belum sampai mereka mampu membaca al-Qur’an dengan baik, tiba-tiba salah satu adik kami berkata kepada kami, “Kak, ajari aku membaca kitab kuning. Karena aku disuruh guru ngajiku membaca dan menghafalkan ini.” Saya lihat itu kitab kuning dengan bahasa ‘Arab Gundul’ yang membahas tentang fikih dan beberapa aturan-aturan dalam Islam dan juga ada beberapa sya’ir. Kami pun tersenyum dan menoleh kepada adik yang masih duduk di kelas 1 SMP (Kelas 7 saat itu), lalu kami tanyakan, “Kamu sudah bisa membaca Al-Qur’an?”, dia menjawab, “Sudah tapi belum khatam.” Dan setelah kami lihat pun sang adik masih belum pas masalah tajwidnya, terpotong-potong dan banyak yang harus dibenahin. Kami tanyakan lagi, “Dek, paham dengan apa yang kamu baca dari Al-Qur’an?” Adek menjawab, “Ndak Kak.” Kami pun berujar, “Lebih baik ayuk kita baca artinya Al-Qur’an dan kita belajar dari Al-Qur’an dahulu baru nanti yang lainnya.” Maka kami pun berinisiatif membacakan Surat Ar-Rahman beserta artinya kepada mereka.
Bisakah kalian (wahai para pembaca) memikirkan, kemunduran apa yang terjadi dalam pendidikan pada sub-bab ini?
A.2    Menumbuhkan Sikap Acuh Kepada Sesama Dimulai dari Kesalahan Pendidikan Sejak Dini
Kami tak perlu membahas lebih detail akan hal ini karena telah digambarkan tentang apa yang dilakukan warga saat menunggu waktu iqomah dikumandangkan. Padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi was allam telah mengabarkan pada salah satu hadits dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Doa antara adzan dan qomat itu tidak akan ditolak.”[15] Maka hal terbaik yang dilakukan seorang hamba tatkala menunggu iqomah dikumandangkan adalah berdoa memohon kepada Allah Ta’ala atas hajat-hajatnya dengan suara pelan serta merendah dan tidak berteriak keras-keras mengganggu tetangganya.
Apa yang dilakukan para azatid mereka yang justru mengajarkan anak-anak mengumandangkan pujian saat-saat tertentu selain takbiran (2 hari raya), adzan dan iqomah jutsru menjadikan mereka bersikap acuh. Betapa tidak, loudspeaker itu memiliki suara keras yang dapat mengganggu orang tidur bagi yang tidur, sakit pun merasa tak bisa nyaman beristirahat dan ada hajat pun tidak dapat tenang menyelesaikannya. Walaupun itu lantunan Al-Qur’an akan tetapi bila dengan suara keras adalah tindakan yang tidak pada tempatnya. Bahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang para sahabatnya berteriak-teriak dalam berdzikir. Diriwayatkan,
“Ketika kami sedang bersama Rasulullah. dalam suatu perjalanan, mulailah orang-orang mengeraskan suara mereka dalam membaca takbir lalu bersabdalah Beliau: Wahai manusia, rendahkanlah suara kalian! Karena sesungguhnya kalian tidak sedang memohon kepada yang tuli maupun yang gaib bahkan kamu sekalian sedang memohon kepada Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat Yang selalu bersama kalian.”[16]
Rasulullah melarang para sahabatnya berteriak keras-keras sebagai Adab Kepada Allah Ta’ala kemudian adab kepada mansusia. Adab kepada Allah, karena Dia Maha Mendengar dan Maha Dekat IlmuNya atas kita. Kemudian adab kepada manusia karena manusia juga memiliki hak untuk melakukan aktivitas yang lainnya.
Maka pengingkaran terhadap sunnah dengan manambahkan apa yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam merupakan suatu yang besar dan berat dampaknya walaupun terlihat sepele sekalipun. Maka, bagaimanakah adik-adik kita bisa peduli kepada sesamanya apabila dari kecil sudah diajarkan untuk memikirkan dirinya sendiri tanpa memandang hak-hak Allah dan manusia yang lainnya?
B.      Kerugian Ingkar Sunnah pada Sosial Masyarakat
Apa yang terjadi pada bagian ini lebih dahsyat lagi, karena biasanya yang berpengaruh dalam bidang sosial adalah yang memang berskala besar. Apakah pernah tahu tentang kematian di tanah kelahiran kita?
Jelaslah banyak yang meninggal, banyak pula yang lahir. Fakta saja di negeri kita, apakah orang kesusahan karena ditinggal keluarganya atau kekasihnya mendapatkan keringanan atas kesusahannya? TIDAK!! justru tetangga-tetangganya memberatkannya dengan acara “Pesta Kematian”. Pesta kematian yang dikemas dengan acara doa dan tahlilan selama 1-7, 40, 100, 1000 hari adalah sebuah keniscayaan yang pahit di tengah rahmatialil ‘alamin. Ini adalah fitnah besar yang menimpa umat ini. Belum lagi sedih hilang, sang keluarga harus berhutang untuk membiayai dana “pesta kematian”.
Salah seorang ibu dari adik asuh pernah mengatakan, “Biyen waktu Bapakku gak onok iku entek mek 7 juta[17] (Dahulu saat ayah saya meninggal itu hanya menghabiskan biaya 7 juta). Uang tujuh juta yang harusnya dibagikan kepada ahli warisnya, atau untuk keperluan lainnya harus diserahkan kepada orang yang tidak berhak karena “pesta kematian”[18]. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat kepada Anas ibn Malik bahwa harta yang paling banyak diserahkan kepada bukan ahli waris adalah 1/3 dari seluruh harta yang dimiliki[19]. Sekarang tatakala orang miskin hanya memiliki uang Rp 1 juta, akan tetapi ternyata biaya kenduri kematian menelan hingga Rp 7 juta maka bagaimana ahli waris dapat menerimanya? Padahal waris bukanlah perkara main-main dalam Islam.
Belum lagi kalau memang dia sudah tidak memiliki uang sama sekali. Sudah harta waris tidak dapat dibagi ke ahli waris sebagaimana syariat Islam, orang-orang yang kesusahan harus berhutang banyak dalam menjamu orang-orang yang melakukan “pesta kematian”. Bukan hanya seratus atau dua ratus ribu, akan tetapi satu hingga dua juta bahkan lebih dari itu. Hutang di Bank??? atau Koperasi??? owh, mana mungkin mereka mau mencairkan dana untuk itu. Hutang dimana? tetangga? tahu sendiri tetangga di perkotaan kini pelit-pelit. So??? Bank Thihtil/rentenir. itu solusinya.
Innalillahi wa innailaihi roji’un, kasihan pelaku ingkar sunnah sudah jatuh tertimpa tangga, dilarang pun banyak dari mereka yang tidak mau dan membantah. Menuduh saudaranya ‘WAHABI SESAT’ dan lain sebagainya, padahal itu untuk kebaikan mereka. Mereka merasa bahwa dengan masuk sumur dimakan buaya akan masuk surga. Betapa tidak?! mereka sudah kesusahan, tak mendapat harta waris, terlilit hutang berbunga tinggi, belum lagi harus menanggung dosa besar karena hutang di dalam praktik riba yang dosanya sama dengan berzina dengan 28 wanita[20]. Eh, kan itu yang kreditur Bank Thithil nya yang riba dan kena dosa, apa yang pinjam juga berdosa? Coba lihat hadits,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang makan riba, pemberi makan riba, dua saksi transaksi riba, dan pencatat transaksinya.”[21]
Sehingga apakah hal ini merupakan masalah sepele dan merupakan kemajuan masyarakat? Begitu kok dakwah tauhid dikatakan SESAT itu akal mereka ditaruh di mana???
Mungkin sebagian pembaca berkomentar, “Ah, apa yang ditulis oleh penulis artikel ini hanyalah gambaran picik dari pembenci kebaikan. Bukankah tahlilan, shalawatan, dan dzikir-dzikir pujian yang dikeraskan itu adalah syi’ar Islam yang dibawa para sunan dan tiada lain adalah mendapatkan niat yang baik?” Maka kami jawab, “Silahkan anda berhujjah/berargumen seperti itu, akan tetapi mana dalil bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa sallam melakukan demikian?” Mana yang lebih didahulukan, perkataan para sunan atau Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa sallam?
Menanggapi hal ini para ulama memiliki motto/qaidah
BERAPA BANYAK ORANG YANG NIATNYA BAIK, AKAN TETAPI DIA MENDAPAT KERUGIAN KARENA TIADANYA ILMU PADA DIRINYA?
Maka, marilah kita memohon kepada Allah Ta’ala untuk tetap menggenggam Islam sampai kematian kita. Diteguhkan dengan sunnah dan dijauhkan dengan segala sarana yang dapat menjauhkan dari sunnah itu. Semoga kita diistikomahkan dan diwafatkan dengan Husnul Khotimah. Aamiin.

Allahu a’lam bish shawwab, wa Allahu al-Musta’an
Malang, 4 Dzulqo’idah 1433 / 20 September 2012.


[1] Sahih dan diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitab Al-Muwaththa’ serta Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
[2] Al-Maa’idah: 3
[3] Amalan ibadah yang diada-adakan tanpa adanya petunjuk dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
[4] H.R An-Nasaa’I, sanad Sahih
[5] Dr. Abdul Aziz bin Fauzan al-Fauzan. 1430/2009. Kulla bid’atin Dholaalah, (terjemah), Setiap yang Bid’ah Adalah Sesat. Islam House.com

[6] Lihat penjelasan lengkapnya d situs http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/2899-dua-syarat-diterimanya-ibadah.html. Insya Allah situs ini terpercaya dan sahih ilmunya.
[7] Adalah suatu tambahan-tambahan dalam pelaksanaan ibadah guna semakin mendekatkan diri kepada Allah. Menurut sebagian orang tambahan ini adalah boleh dilakukan karena tujuannya yang baik yaitu mendekatkan diri pada Allah Ta’ala.
[8] Hadits ini dirujuk dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban hingga kepada perawi Jabir ibn Abdullah radhiyallahu ‘anhu.
[9] Dirujuk dari artikel dalam situs http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/3787-umar-dan-imam-syafii-berbicara-tentang-bidah-hasanah.html. Dan kami menyatakan kesahihan artikel ini, insya Allah.
[10] Para pencari popularitas itulah yang disebut “AHLI BID’AH” karena mereka hakekatnya menambah-nambahi bacaan dzikir, shalawat dan pujian yang tidak ada ajarannya dan banyak mengarang hadits palsu demi agar dirinya terkenal di kalangan masyarakat. Sedangkan masyarakat yang mengikutinya, tidak bisa dikatakan “Ahli Bid’ah” karena ada beberapa faktor yang menghalanginya, salah satunya kebodohan yang belum sampai ilmu kepadanya.
[11] Nama tamu yang mengajar di Kadiksuh dari Pakistan tahun 2012.
[12] seperti di tempat kakus dan sedang buang hajat.
[13] orang yang melakukan ritual untuk sampai kepada Allah menurut sufi
[14] Maqam paling rendah dalam sufi. Mengingat sufi adalah aliran yang juga menyalahi sunnah yang banyak diajarkan pada masyarakat di Indonesia.
[15] Riwayat Nasa'i
[16] Hadis riwayat Abu Musa dituliskan dalam H.R Shahih Muslim No.4873
[17] nominal ini bukan jumlah pasti tapi perkiraan,
[18] Kami tidak mengatakan tahlilan, karena tahlil pada dasarnya adalah memuji Allah bukan untuk hal yang ‘MUNKAR”
[19] Rujuk di kitab fiqih tentang Fara’id (Ilmu bagi waris)
[20]Sesungguhnya uang satu dirham yang didapat oleh seseorang dari riba itu lebih besar dosanya di sisi Allah dibanding 28 kali dosa zina yang dilakukan orang tersebut,” (HR. Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shamtu, 175, dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 5519).
[21]    HR. Turmudzi, Ibnu Majah dan disahihkan Al-Albani
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah