ANTARA
KEINGKARAN SUNNAH DAN KEMUNDURAN UMMAH
Segala puji bagi Allah Ta’ala
yang Maha Memahami dan Maha Bijaksana. Semoga shalawat serta salam tetap
tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajarkan ajaran Agama Islam secara lengkap, amanah dan
sesuai dengan amanah Allah Ta’ala. Semoga shalawat juga tetap tercurah
kepada ahlul baitnya, para sahabatnya serta ummatnya yang taat kepada sunnah
NabiNya hingga akhir zamman. Amma ba’d.
Rasulullah Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku tinggalkan dua
perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan
tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah
keduanya sampai keduanya mendatangiku di Haudh[1].
Sunnah dalam istilah syariat merupakan petunjuk
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang berupa perbuatan
ataupun ucapan. Sedangkan dalam fiqih adalah sesuatu amalan yang
dikerjakan mendapat pahala dan ditinggalkan mendapat kerugian walau tidak
berdosa. Akan tetapi pembahasan kami kali ini difokuskan kepada makna ‘SUNNAH” dalam arti syariat Islam.
Petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam merupakan sebaik-baik petunjuk yang
harus ditaati. Dan apa yang Beliau Shalallahu ‘alaih wa sallam sampaikan merupakan sesuatu
yang baik. Beliau telah memegang amanah ini dan telah menyampaikan, serta Allah
telah menyempurnakan agama ini melalui tugas kerasulan Beliau Shalllahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman, “...Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...”[2].
Melalui Jabir ibn Abdullah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Sesungguhnya sebenar-benar
ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad Shallallâhu 'alaihi wa Sallam sementara seburuk-buruk
perkara adalah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan itu
adalah bid'ah[3]
dan setiap bid'ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan itu berada di
neraka.”[4].
Ini merupakan sebuah hadits yang sangat penting
diperhatikan dalam mengamalkan suatu amalan ibadah dan pentingnya mengikuti
petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa sallam.
Siapa orang yang mengaku beriman, maka
dia akan mengakui bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tak kan pernah dusta.
Bukankah dalam Islam telah dinyatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
memiliki sifat amanah dan tabligh? Beliau
memiliki sifat memegang tugas yang mulia dan melaksanakan tugas itu, selain
itu Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah tabligh,
artinya menyampaikan sesuatu yang memang diharuskan disampaikan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan apa yang memang
Allah Ta’ala perintahkan untuk disampaikan sebagai bentuk kasih
sayangNya agar umat ini mengetahui dan memahami.
Sunnah merupakan hal penting untuk
diperhatikan, karena banyak orang yang menolak sunnah dengan menetapkan “HANYA
AL-QUR’AN” sudah cukup. Maka, banyak para ulama menanyakan kepada kelompok yang
seperti ini. Apakah kamu melakukan Sholat? Lalu apa dasar sholat subuh 2
rakaat, dhuhur; ashar dan Isya’ 4 rakaat dan maghrib 3 rakaat? Adapula
segolongan yang tidak puas dengan apa yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan, lalu mereka
membuat-buat sendiri tata cara beribadah dan tata cara pengabdian kepada Allah Ta’ala kemudian menjadi bingunglah orang itu tentang agamanya
sendiri, maka tiada lain Sunnah adalah sebuah rujukan penting bagi semua kaum
muslimin.
Begitu pentingnya petunjuk
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam atas tata cara beribadah pada agama Islam ini,
hingga para ulama menyatakan bahwa Sunnah bagaikan perahu Nabi Nuh di
tengah-tengah badai kehidupan. Bahkan Imam Malik menyatakan, “Barang siapa
melakukan satu bid'ah dalam Islam yang ia menyangkanya sebagai kebaikan,
maka sesungguhnya ia telah menuduh bahwa Muhamad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam telah berkhianat tidak menyampaikan amanat risalah. Begitupula Ibnul
Qoyyim al-Jauziyyah menyatakan, “Pelaku bid'ah itu sama dengan menuduh Tuhanya
belum menyempurnakan agama sebelum wafatnya Nabi saw, berarti Dia berbohong padahal
Dia telah berfirman: " Hari ini telah aku sempurnakan untuk kalian
agama kalian...", atau menuduh bahwa Rasulullah saw tidak
menyampaikan."[5]
Kenyataannya, bagaimana di masyarakat? Syariat ini terasa
masih kurang nyaman bagi mereka. Sholat 5 waktu dengan rawatibnya, sholat
tahajud dengan witirnya, puasa Ramadhan dengan Syawwalnya, haji dengan umrohnya
masih saja kurang cukup. Sholat 5 waktu dengan rawatibnya masih nambah dengan
yoga, reiki, dll; Sholat tahajud dengan witirnya, masih nambah dengan bertapa
dan memohon pada kuburan kyai-kyai yang hakekatnya para penghuni kubur itu
sudah tak dapat berbuat apapun, puasa Ramadhan dengan Syawwalnya, eh masih
ditambah puasa mutih, ngebleng, dll; Haji dengan Umrohnya, eh masih ditambah ke
Gunung Dieng dan muter-muter di salah satu kompleks candi di sana. Innalillahi
wa innailaihi roji’un.
Masih terngiang di telinga saat melihat siaran salah satu
stasiun TV swasta pada malam Rabu dengan pembicara seorang ulama yang hanif.
Beliau menyitir ayat Al-Qur’an,
“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan,
dan (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan
meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan
angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan
(apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa
mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata):
"Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah
kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur" (Yunus: 22).
Kemudian ulama tersebut menyatakan, “Orang-orang kafir Quraisy melakukan
kesyirikan saat senang, dan langsung mengesakanNya tatkala susah dan terdesak.
Kalau kaum kita, senang ataupun susah syirik yang dibawa.” Na’udzubillah.
Syirik merupakan keingkaran atas sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam
yang terbesar.
Di sisi yang lain, tampak orang-orang bangga dengan peribadatan-peribadatan
yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkannya. Walau
demikian masyarakat meyakini bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar dan
akan menyampaikan kepada ridho Allah Ta’ala. Para ulama rahimahullah
ta’ala ajma’in menyatakan bahwa syarat diterimanya amalan itu hanya ada 2,
yaitu ikhlas dan mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam.
Dalil dari pernyataan ini banyak sekali, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, maupun
pernyataan para sahabat radhiyallahu ‘anhumma ajma’in[6]. Ikhlas
adalah mengharapkan balasan amal hanya kepada Allah Ta’ala saja dan
tidak ada satupun sangkut paut terhadap makhlukNya. Sedangkan mengikuti Sunnah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah sesuai dengan petunjuknya
dalam menjalankan amalan-amalan ibadah khusus.
Adapun yang menyatakan adanya bid’ah hasanah[7] maka
sebagaimana telah dijelaskan oleh ulama tersohor yaitu Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah
bahwa mereka telah menuduh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyampaikan, maka ini bentuk fitnah yang besar terhadap Beliau Shalallahu ‘alaihi
wa sallam. Memang benar tatakala Umar ibn Khaththab menyatakan “inilah
sebaik-baik bid’ah”, namun hal itu terkait dengan shalat tarawih
yang konteksnya sangat berbeda dengan manusia masa kini dalam menafsirkan bid’ah.
Konteksnya terletak pada jaman Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam tatakala tiba Bulan Ramadhan di suatu tahun, beliau shalat
dengan khusyu’. Tiba-tiba ada satu, dua orang sahabat mengikuti beliau sholat
dan beliau tahu ada yang mengikutinya lalu mengeraskan bacaannya. Keesokan
harinya sahabat yang mengikuti sholat bertambah banyak, hingga mencapai hari
ketiga atau keempat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar
dari masjid selepas isya’. Lalu esok paginya Beliau menerangkan dengan
bersabda, “Sesungguhnya aku khawatir sholat ini diwajibkan atas kamu”[8].
Lalu demi mendapatkan keutamaan pada Bulan Ramadhan, selepas (sholat) Isya’
para sahabat banyak yang melakukan sholat terawih dan witir sendiri-sendiri di
masjid ataupun berkelompok-kelompok hingga sampai jaman kepemimpinan Umar ibn
Khaththab. Demi melihat persatuan Kaum Muslimin, maka Umar ibn Khaththab radhiyallahu
‘anhu pun memerintahkan agar sholat terawih disatukan dan dipimpin oleh
seorang imam bernama Ubay ibn Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Kemudian beliau
berkata, “sebaik-baik bid’ah adalah ini”[9]
Apa yang dimaksud Umar ibn Khaththab bukanlah suatu yang baru
dan belum pernah diajarkan nabi sama sekali. Bid’ah dalam konteks itu adalah,
jaman Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah dinyatakan
kebolehannya dan telah dilaksanakan secara berjamaah dengan bacaan jahr
(keras), hanya saja karena Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam merasa ‘takut
shalat itu diwajibkan Allah’ atas umatnya maka beliau tidak melanjutkannya.
Sampai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat, maka wahyu
terputus dan ketakutan akan kewajiban itu menjadi hilang. Maka Umar ibn
Khaththab menghidupkan sunnah yang sempat terhenti karena alasan yang syar’I
dari Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pemahaman kata
bid’ah hasanah yang benar.
Mengapa kami menjelaskan tentang bid’ah ini panjang
lebar, adalah karena untuk memahami problematika di masyarakat dengan dampak
yang ada. Permasalahannya bid’ah atau ajaran dalam konteks peribadatan
yang diada-adakan ini telah merambah ke berbagai kehidupan masyarakat hingga
pelosok dan juga di masyarakat tengah-tengah perkotaan. Bukankah ajaran agama
Nasrani rusak karena tambahan-tambahan para pendetanya atas ajaran Rasulullah Isa
‘alaihissalam hingga Allah menyesatkan mereka? Bukankah Yahudi pun
ajaran agamanya rusak karena tambahan dan pengurangan yang dilakukan oleh ulama
busuk Bani Israil terhadap ajaran Rasulullah Musa ‘alaihisallam, hingga
Allah pun murka atas mereka? Begitupula segelintir orang yang menambah-nambah
ajaran agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wa sallam hingga bila tidak ada orang yang memperjuangkan sunnah akan
lenyaplah kebaikan ajaran agama ini.
Adapun di tengah-tengah masyarakat khususnya perkampungan
dimana adik-adik asuh kami tinggal, nuansa bid’ah itu bukan saja menjadi
pandangan sehari-hari akan tetapi menjadi corak yang dapat menghancurkan sosial
kehidupan masyarakat. Kok BISA??? kami akan menyatakan bukan atas nama golongan
dan atas nama partai manapun, akan tetapi kami menyatakan ini dari hasil
pengamatan, penelitian dan pengalaman kami semasa berdampingan dengan adik-adik
kami di Kadiksuh Bethek.
Bukankah telah kami ceritakan sebab-sebab tamu kami dari
Pakistan merasa ‘risih’ dan terganggu dengan suara-suara keras yang
dikumandangkan selain adzan dan iqomah? bukankah telah kami ceritakan
sebab-sebab adik-adik kami tertekan karena ulah sebagian orang yang mersasa
benar dalam melakukan dzikkir dengan kerasnya dan sangat lama? dan masih banyak
lagi hingga warga pun rela menutup masjid dengan terpal karena ulah orang yang
seharusnya memahami agama akan tetapi justru menekan masyarakat? Kini apa
hubungannya antara keingkaran sunnah itu dengan kemunduran ummah?
Ada dua sisi yang akan kami paparkan di sini, pertama sisi
pendidikan dan kedua sisi sosial.
A. Kerugian Ingkar
Sunnah dari Sisi Pendidikan Adik-Adik Kadiksuh
Nah, dari sisi pendidikan kami mulai dari bagaimana sang anak
harusnya tumbuh dengan baik di bawah bimbingan para ulama yang mengamalkan
ajaran agama ini dengan sebenar-benarnya untuk membentuk karakter positif dalam
kehidupan nyata dalam dunia anak-nak, hal ini penting sebagai bekal kehidupan
dewasa mereka kelak.
Sekali lagi bid’ah berada dalam konteks ibadah
khususnya ibadah maghdo (khusus) yang telah ditentukan tata caranya. Berdzikir
merupakan ibadah magdho (khusus) yang Rasulullah telah mengajarkannya,
termasuk bersolawat dan memuji Allah Ta’ala tidak sembarangan mengarang
sendiri lirik dan sya’irnya. Dan tidak diperkenankan mengada-adakan dalam keutamaan
dan waktu pelaksanaan kecuali sudah diterangkan dalam sunnah Rasulullah Shalallahu
‘aalihi wa sallam. Akan tetapi karena “kebodohan” maka mereka mengikuti
dengan tunduk dan patuh pada para pencari popularitas hingga mereka
sambut tujuan dan niatan mereka itu[10].
Hanya saja jaman modern ini adalah jaman dimana informasi telah tersebar luas, seakan
sulit menerima bila alasannya adalah belum sampai ilmu pada mereka. Seorang
ustad pernah menyampaikan kepada kami bahwa, mereka (para pengikut ingkar
sunnah) itu bukan tidak tahu, tetapi tidak mau tahu (tidak mau berpikir atau
belajar).
A.1 Awal Mula
Sekulerisme Agama
Kembali kepada pembahasan awal. Dengan adanya bid’ah yang
dilestarikan maka pendidikan agama pada anak-anak pun sebatas peribadatan dan
ritual. Sibuk dengan dirinya sendiri dan melalaikan hak-hak orang lain. Hingga
pada puncaknya, mereka memisahkan antara urusan kerja dan urusan agama. Mengapa
demikian?
Kita langsung masuk saja pada kenyataan yang ada. Takmir
masjid pada wilayah sanggar Bethek membiarkan kepada adik-adik kami untuk
melakukan dzikir yang tidak pernah diajarkan Rasulullah. Dzikir itu ada banyak,
bahkan ada yang tersusun dalam salah satu kitab kuning yang dirujuk guru
ngajinya. Mereka yang masih imut-imut harus menghafalkan berbait-bait sya’ir
yang artinya saja mereka tak faham. Mereka disibukkan atas apa yang tidak perlu,
dan mereka disibukkan dengan ilmu-ilmu yang justru tidak diterima amalan mereka
karena tidak sesuai sunnah nabiNya. Mereka mempelajari sya’ir-sya’ir ini dengan
serius tanpa harus faham makna dan artinya. Jadi apa yang masuk kepada mereka
selain hanya dijadikan ritual semata?
Mereka diajarkan bait-bait sya’ir tanpa memahami apa tujuan
dan fungsi sya’ir itu dalam kehidupan sehari-harinya. Kalau toh mereka
diajarkan artinya, tidak semua sya’ir. Kalau toh mereka diberitahu artinya
mereka tidak memahami bagaimana cara mengaplikasikannya di lapangan. Berbeda
dengan hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang mudah dan praktis
untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan petunjuk yang
benar serta menambah pahala.
Kemudian yang harus dipertanyakan, apa aplikasi dari bidang
pendidikan agama untuk mereka apabila mereka ditekankan untuk menghafalkan apa
yang tidak diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam? apa
hubungannya antara ingkar sunnah itu dengan pemisahan antara sekolah/kerja dan
agama?
Mungkin tidak secara mutlak mereka memisahkan antara agama
dengan perilaku sehari-hari yang memiliki unsur dunia, tatkala mereka makan
juga masih mengucapkan basmallah (itu pun juga kalau diingatkan). Tetapi
secara sederhana demikian, bagi kakak-kakak yang sering atau pernah terjun ke sanggar
coba perhatikan apa yang mereka lakukan tatkala menunggu iqomah dikumandangkan?
banyak di antara mereka mendengungkan pujian-pujian dengan suara keras, hingga
Sarmad Akber[11] pun heran
dengan apa yang mereka kumandangkan.
Suatu saat setelah adzan berkumandang di Mushola Darul
Musthofa, seperti biasa pujian dilantunkan dengan keras. Saat itu tamu kami
dari Pakistan, Sarmad Akber bertanya kepada kami, “Apa yang mereka lakukan?”
Kami menjawab, “Itu pujian” Ia menjawab, “Apakah itu Al-Qur’an?” Kami katakan,
“Bukan, tapi seperti asma’ul husna, doa, ataupun shalawat.” Ia pun berkata,
“Kalau di Pakistan seperti ini dilakukan orang-orang Nasrani. Kenapa
orang Islam di sini meniru orang Nasrani dan dengan suara keras lagi?”
Permsalahan lain yang muncul adalah, dzikir yang diajarkan
Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah berdampak pada
kehidupan, kata-katanya menyelamatkan, dan dapat dilantunkan dimana saja dalam
aktivitas apapun asalkan tidak dalam keadaan dan tempat yang dilarang[12].
Maka puji-pujian yang diajarkan oleh orang-orang yang mengada-adakan cara
ibadah dan dzikkir seringkali mensyaratkan hanya boleh dilakukan di tempat
tertentu semisal masjid, di waktu tertentu dan dengan cara tertentu. Memang
yang diajarkan kepada anak-anak berbeda dengan yang diajarkan kepada para suluk[13],
dan juga yang diajarkan kepada orang yang masih bermaqqam syari’at[14].
Akan tetapi ruh dari dzikkir itu sendiri telah menjadikan mereka memisahkan
antara mana yang ibadah dan mana yang urusan dunia.
Imbasnya pun juga ke arah pendidikan orang tua kepada
anaknya. Sebagaimana apa yang kami rasakan saat membina mereka, orang tua
mereka merasa bahwa apa yang kami lakukan adalah sebagian permainan. Kami
memberikan kepada mereka pengetahuan dengan gaya bermain untuk mempermudah
adik-adik kami memahami apa yang kami ajarkan. Kami menampilkan film-film
tentang anak-anak yang mendidik dan juga film Harun Yahya untuk menambah
kedekatan mereka kepada Allah Ta’ala. Begitupla kami kenalkan
orang-orang asing dan budaya mereka sebagai bentuk saling mengenal di antara
manusia, hanya saja apa tanggapan orang tua mereka? Mereka menganggap bahwa
kami hanya memberikan mereka permainan yang tak menambah nilai di sekolah
mereka, atau tak mengajarkan mereka Iqro’ dan membaca Al-Qur’an yang menambah
kecerdasan agama mereka.
Pernyataan ini pernah dinyatakan oleh beberapa warga kepada
kami. Kenapa kadiksuh itu hanya diajarkan main-main saja ndak pernah
belajar. Ada juga yang mengatakan, “Kenapa Kadiksuh tidak ada ngaji Iqro’?” Pernah
kami mengajarkan ngaji Iqro’ kepada adik-adik kami, tapi apa yang kami lakukan
membuat mereka bosan akhirnya kami pun melakukan variasi cara mengajar mereka. Ternyata,
tatkala melakukan variasi itu, tanggapan sebagian orang tua malah berbeda.
Pernah suatu saat mengajar Iqro’ kepada adik-adik asuh kami, belum
sampai mereka mampu membaca al-Qur’an dengan baik, tiba-tiba salah satu adik
kami berkata kepada kami, “Kak, ajari aku membaca kitab kuning. Karena aku
disuruh guru ngajiku membaca dan menghafalkan ini.” Saya lihat itu kitab kuning
dengan bahasa ‘Arab Gundul’ yang membahas tentang fikih dan beberapa
aturan-aturan dalam Islam dan juga ada beberapa sya’ir. Kami pun tersenyum dan
menoleh kepada adik yang masih duduk di kelas 1 SMP (Kelas 7 saat itu), lalu
kami tanyakan, “Kamu sudah bisa membaca Al-Qur’an?”, dia menjawab, “Sudah tapi
belum khatam.” Dan setelah kami lihat pun sang adik masih belum pas masalah
tajwidnya, terpotong-potong dan banyak yang harus dibenahin. Kami
tanyakan lagi, “Dek, paham dengan apa yang kamu baca dari Al-Qur’an?” Adek
menjawab, “Ndak Kak.” Kami pun berujar, “Lebih baik ayuk kita baca artinya
Al-Qur’an dan kita belajar dari Al-Qur’an dahulu baru nanti yang lainnya.” Maka
kami pun berinisiatif membacakan Surat Ar-Rahman beserta artinya kepada mereka.
Bisakah kalian (wahai para pembaca) memikirkan, kemunduran
apa yang terjadi dalam pendidikan pada sub-bab ini?
A.2 Menumbuhkan Sikap
Acuh Kepada Sesama Dimulai dari Kesalahan Pendidikan Sejak Dini
Kami tak perlu membahas lebih detail akan hal ini karena
telah digambarkan tentang apa yang dilakukan warga saat menunggu waktu iqomah
dikumandangkan. Padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi was allam telah
mengabarkan pada salah satu hadits dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Doa antara
adzan dan qomat itu tidak akan ditolak.”[15]
Maka hal terbaik yang dilakukan seorang hamba tatkala menunggu iqomah
dikumandangkan adalah berdoa memohon kepada Allah Ta’ala atas
hajat-hajatnya dengan suara pelan serta merendah dan tidak berteriak
keras-keras mengganggu tetangganya.
Apa yang dilakukan para azatid mereka yang justru mengajarkan
anak-anak mengumandangkan pujian saat-saat tertentu selain takbiran (2 hari
raya), adzan dan iqomah jutsru menjadikan mereka bersikap acuh. Betapa tidak, loudspeaker
itu memiliki suara keras yang dapat mengganggu orang tidur bagi yang tidur,
sakit pun merasa tak bisa nyaman beristirahat dan ada hajat pun tidak dapat
tenang menyelesaikannya. Walaupun itu lantunan Al-Qur’an akan tetapi bila
dengan suara keras adalah tindakan yang tidak pada tempatnya. Bahkan Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang para sahabatnya berteriak-teriak
dalam berdzikir. Diriwayatkan,
“Ketika kami sedang bersama Rasulullah. dalam suatu
perjalanan, mulailah orang-orang mengeraskan suara mereka dalam membaca takbir
lalu bersabdalah Beliau: Wahai manusia, rendahkanlah suara kalian! Karena
sesungguhnya kalian tidak sedang memohon kepada yang tuli maupun yang gaib
bahkan kamu sekalian sedang memohon kepada Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha
Dekat Yang selalu bersama kalian.”[16]
Rasulullah melarang para sahabatnya berteriak keras-keras sebagai Adab
Kepada Allah Ta’ala kemudian adab kepada mansusia. Adab kepada
Allah, karena Dia Maha Mendengar dan Maha Dekat IlmuNya atas kita. Kemudian
adab kepada manusia karena manusia juga memiliki hak untuk melakukan aktivitas yang
lainnya.
Maka pengingkaran terhadap sunnah dengan manambahkan apa yang
tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
merupakan suatu yang besar dan berat dampaknya walaupun terlihat sepele
sekalipun. Maka, bagaimanakah adik-adik kita bisa peduli kepada sesamanya
apabila dari kecil sudah diajarkan untuk memikirkan dirinya sendiri tanpa
memandang hak-hak Allah dan manusia yang lainnya?
B. Kerugian Ingkar
Sunnah pada Sosial Masyarakat
Apa yang terjadi pada bagian ini lebih dahsyat lagi, karena
biasanya yang berpengaruh dalam bidang sosial adalah yang memang berskala
besar. Apakah pernah tahu tentang kematian di tanah kelahiran kita?
Jelaslah banyak yang meninggal, banyak pula yang lahir. Fakta
saja di negeri kita, apakah orang kesusahan karena ditinggal keluarganya atau
kekasihnya mendapatkan keringanan atas kesusahannya? TIDAK!! justru
tetangga-tetangganya memberatkannya dengan acara “Pesta Kematian”. Pesta
kematian yang dikemas dengan acara doa dan tahlilan selama 1-7, 40, 100, 1000
hari adalah sebuah keniscayaan yang pahit di tengah rahmatialil ‘alamin.
Ini adalah fitnah besar yang menimpa umat ini. Belum lagi sedih hilang, sang
keluarga harus berhutang untuk membiayai dana “pesta kematian”.
Salah seorang ibu dari adik asuh pernah mengatakan, “Biyen
waktu Bapakku gak onok iku entek mek 7 juta[17]
(Dahulu saat ayah saya meninggal itu hanya menghabiskan biaya 7 juta). Uang
tujuh juta yang harusnya dibagikan kepada ahli warisnya, atau untuk keperluan
lainnya harus diserahkan kepada orang yang tidak berhak karena “pesta kematian”[18].
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat kepada Anas ibn
Malik bahwa harta yang paling banyak diserahkan kepada bukan ahli waris adalah
1/3 dari seluruh harta yang dimiliki[19].
Sekarang tatakala orang miskin hanya memiliki uang Rp 1 juta, akan tetapi
ternyata biaya kenduri kematian menelan hingga Rp 7 juta maka bagaimana ahli
waris dapat menerimanya? Padahal waris bukanlah perkara main-main dalam Islam.
Belum lagi kalau memang dia sudah tidak memiliki uang sama
sekali. Sudah harta waris tidak dapat dibagi ke ahli waris sebagaimana syariat
Islam, orang-orang yang kesusahan harus berhutang banyak dalam menjamu
orang-orang yang melakukan “pesta kematian”. Bukan hanya seratus atau dua ratus
ribu, akan tetapi satu hingga dua juta bahkan lebih dari itu. Hutang di Bank???
atau Koperasi??? owh, mana mungkin mereka mau mencairkan dana untuk itu. Hutang
dimana? tetangga? tahu sendiri tetangga di perkotaan kini pelit-pelit. So??? Bank
Thihtil/rentenir. itu solusinya.
Innalillahi wa innailaihi roji’un, kasihan pelaku ingkar sunnah sudah jatuh
tertimpa tangga, dilarang pun banyak dari mereka yang tidak mau dan membantah.
Menuduh saudaranya ‘WAHABI SESAT’ dan lain sebagainya, padahal itu untuk
kebaikan mereka. Mereka merasa bahwa dengan masuk sumur dimakan buaya akan
masuk surga. Betapa tidak?! mereka sudah kesusahan, tak mendapat harta waris,
terlilit hutang berbunga tinggi, belum lagi harus menanggung dosa besar karena
hutang di dalam praktik riba yang dosanya sama dengan berzina dengan 28 wanita[20].
Eh, kan itu yang kreditur Bank Thithil nya yang riba dan kena dosa, apa
yang pinjam juga berdosa? Coba lihat hadits,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat
orang yang makan riba, pemberi makan riba, dua saksi transaksi riba, dan pencatat
transaksinya.”[21]
Sehingga apakah hal ini merupakan masalah sepele dan merupakan kemajuan
masyarakat? Begitu kok dakwah tauhid dikatakan SESAT itu akal mereka ditaruh di
mana???
Mungkin sebagian pembaca berkomentar, “Ah, apa yang ditulis oleh
penulis artikel ini hanyalah gambaran picik dari pembenci kebaikan. Bukankah
tahlilan, shalawatan, dan dzikir-dzikir pujian yang dikeraskan itu adalah
syi’ar Islam yang dibawa para sunan dan tiada lain adalah mendapatkan niat yang
baik?” Maka kami jawab, “Silahkan anda berhujjah/berargumen seperti itu, akan
tetapi mana dalil bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa sallam melakukan
demikian?” Mana yang lebih didahulukan, perkataan para sunan atau Rasulullah Shalallahu
‘alahi wa sallam?
Menanggapi hal ini para ulama memiliki motto/qaidah
BERAPA BANYAK ORANG YANG NIATNYA BAIK, AKAN TETAPI DIA
MENDAPAT KERUGIAN KARENA TIADANYA ILMU PADA DIRINYA?
Maka, marilah kita memohon kepada Allah Ta’ala untuk
tetap menggenggam Islam sampai kematian kita. Diteguhkan dengan sunnah dan
dijauhkan dengan segala sarana yang dapat menjauhkan dari sunnah itu. Semoga
kita diistikomahkan dan diwafatkan dengan Husnul Khotimah. Aamiin.
Allahu a’lam bish shawwab, wa Allahu al-Musta’an
Malang, 4 Dzulqo’idah 1433 / 20 September 2012.
[1] Sahih dan diriwayatkan oleh Imam Malik
dalam Kitab Al-Muwaththa’ serta Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
[2] Al-Maa’idah: 3
[3]
Amalan ibadah yang diada-adakan tanpa adanya petunjuk dari Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam.
[4] H.R An-Nasaa’I, sanad Sahih
[5]
Dr. Abdul Aziz bin Fauzan al-Fauzan. 1430/2009. Kulla bid’atin Dholaalah,
(terjemah), Setiap yang Bid’ah Adalah Sesat. Islam House.com
[6]
Lihat penjelasan lengkapnya d situs http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/2899-dua-syarat-diterimanya-ibadah.html.
Insya Allah situs ini terpercaya dan sahih ilmunya.
[7]
Adalah suatu tambahan-tambahan dalam pelaksanaan ibadah guna semakin
mendekatkan diri kepada Allah. Menurut sebagian orang tambahan ini adalah boleh
dilakukan karena tujuannya yang baik yaitu mendekatkan diri pada Allah Ta’ala.
[8]
Hadits ini dirujuk dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban hingga kepada
perawi Jabir ibn Abdullah radhiyallahu ‘anhu.
[9]
Dirujuk dari artikel dalam situs http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/3787-umar-dan-imam-syafii-berbicara-tentang-bidah-hasanah.html.
Dan kami menyatakan kesahihan artikel ini, insya Allah.
[10]
Para pencari popularitas itulah yang disebut “AHLI BID’AH” karena mereka
hakekatnya menambah-nambahi bacaan dzikir, shalawat dan pujian yang tidak ada
ajarannya dan banyak mengarang hadits palsu demi agar dirinya terkenal di
kalangan masyarakat. Sedangkan masyarakat yang mengikutinya, tidak bisa
dikatakan “Ahli Bid’ah” karena ada beberapa faktor yang menghalanginya,
salah satunya kebodohan yang belum sampai ilmu kepadanya.
[11]
Nama tamu yang mengajar di Kadiksuh dari Pakistan tahun 2012.
[12]
seperti di tempat kakus dan sedang buang hajat.
[13]
orang yang melakukan ritual untuk sampai kepada Allah menurut sufi
[14] Maqam
paling rendah dalam sufi. Mengingat sufi adalah aliran yang juga menyalahi
sunnah yang banyak diajarkan pada masyarakat di Indonesia.
[15]
Riwayat Nasa'i
[16]
Hadis riwayat Abu Musa dituliskan dalam H.R Shahih Muslim No.4873
[17]
nominal ini bukan jumlah pasti tapi perkiraan,
[18]
Kami tidak mengatakan tahlilan, karena tahlil pada dasarnya adalah memuji Allah
bukan untuk hal yang ‘MUNKAR”
[19]
Rujuk di kitab fiqih tentang Fara’id (Ilmu bagi waris)
[21]
HR. Turmudzi, Ibnu Majah dan disahihkan
Al-Albani
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah