KAJIAN ISLAM DAN KARYA PENA

KAJIAN ISLAM YANG MEMUAT HAL-HAL BERKAITAN TENTANG PENGETAHUAN ISLAM BAIK SADURAN ATAU KARYA ASLI. BAIK HAL AKIDAH, MUAMALAT, FIKIH ATAUPUN TASKIYATUN NUFS (PENYUCIAN HATI)

JUGA KARYA PENA UMUM BERUPA PUISI CERPEN DAN KARANGAN ATAU ILMU PENGETAHUAN UMUM DAN PENELITIAN ILMIAH

Rabu, 19 Juni 2013

DAMPAK ADAB TOKOH AGAMA

بسم الله الرحمن الرحيم
DAMPAK ADAB DARI TOKOH AGAMA


Segala Puji Bagi Allah, Tuhan Semesta Alam yang tiada sekutu bagiNya. Dia Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Semoga shalawat serta salam tetap tercurah kepada Sang Utusan Allah, Nabi Besar Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam beserta seluruh keluarga Beliau dan para sahabat Beliau serta umat Beliau hingga akhir jaman. Amma ba’d.
Pentingnya menyampaikan kebenaran informasi ternyata bukan hanya isapan jempol semata. Begitupula Islam telah mengajarkan kepada kita untuk menyelidiki informasi yang masuk kepada kita. Begitu pentingnya menjaga diri untuk tidak bergosip ria, merupakan hal mutlak yang perlu untuk dijaga.
Tidak kalah pentingnya adalah menguasai ilmu agama dengan benar sebelum menyampaikan tindakan dan memberikan informasi kepada masyarakat, terlebih berfatwa tentang hukum agama. Bila tidak, maka mustahil ada sebuah ketentraman dalam situasi lingkungan masyarakat. Selalu ada konflik dan selalu ada permasalahan dalam satu kampung serta selalu pula ada tetangga yang menjadi ‘bumbu masakan siap olah’ untuk suatu kepentingan-kepentingan dunia. Su’udzon[1] kah pernyataan ini?[2]
Apakah bila jelas-jelas ayat-ayat Allah menerangkan tentang sesuatu mereka menyatakan “su’udzon”? Allah berfirman,
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[3], itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[4]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Ali-Imraan: 7).
Telah jelas bahwa memang ada sebagian manusia yang suka dengan ayat-ayat mutasyabbih hanya untuk mencari-cari ta’wilnya (penjelasannya), padahal tiada yang tahu kecuali Allah Ta’ala saja. Mereka mencari hikmah dan ta’wil karena ingin mendapatkan prestasi dalam pendidikannya, atau mungkin agar diakui karyanya, atau mungkin agar tampak ilmiah menurut prasangkanya dan yang paling berbahaya mereka mencari takwil ayat untuk membenarkan nafsu yang akan diturutinya. Tapi, semua itu tak lain adalah talbis iblis (jebakan Iblis) untuk menyesatkan manusia.
Pembahasan kali ini difokuskan kepada pentingnya ilmu sebelum menyampaikan dan sebelum bertindak. Ilmu yang paling penting untuk dimiliki manusia adalah ilmu agama, sebab ini merupakan landasan dasar yang menyelamatkan manusia di dunia maupun akherat. Tanpa ilmu yang benar dari sisi Allah dan atas apa yang disampaikan Rasulullah Shalallahu ‘alahi wasallam, maka tatanan kehidupan ini akan kacau. Bahkan bila bermasyarakat tidak akan tentram dan menentramkan.
Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan[5]. Ini adalah janji Allah Ta’ala yang jelas, tentu Allah meninggikan beberapa derajad atas orang yang berilmu bukan tanpa sebab dan tanpa alasan karena Ia Maha Mengetahui Hikmah. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang maka dia diberi pendalaman dalam ilmu agama. Sesungguhnya memperoleh ilmu hanya dengan belajar.[6]” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Barang siapa berjalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke syurga[7].
Hikmah Allah Ta’ala sangat luas, akan tetapi Ia juga memberikannya kepada sebagian manusia. Hanya saja manusia mendapatkan hikmah dengan porsi sedikit sekali dari hikmahNya yang sesungguhnya, hal ini tentu karena akal manusia tak akan pernah sampai pada ilmuNya Yang Maha Luas dan keterbatasan indera ini adalah sebagian dari ujianNya kepada manusia. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.[8]” Maka sedikit hikmah yang akan kami paparkan berdasarkan ayat-ayat KhauniyyahNya[9] untuk mendukung ayat-ayat Qhauliyyah[10]Nya berdasarkan pengalaman kami membina masyarakat di Komunitas Kadiksuh. Tentu ini adalah sedikit contoh dari kejadian yang sangat banyak di dunia, baik dari umat terdahulu, sekarang, maupun yang akan datang.
Tidak ada salahnya kami menceritakan atas apa yang kami lihat dan apa yang kami alami. Semua bukan semata karena mengumbar informasi, tapi lebih tepatnya apa yang bisa kita tarik hikmah dari semuanya dan upaya untuk memberikan sesuatu manfaat untuk ikhtiar dalam merubah sesuatu menjadi lebih baik lagi. Sekali lagi, bahwa perubahan itu ada di Tangan Allah akan tetapi usaha kita tetap mendapatkan nilai di sisiNya. Maka yang terpenting bukanlah masalah perubahan itu, tapi kebaikan apa yang telah kita lakukan hingga Allah ridho atas pintu syurga dan segala isinya untuk kita.
Terkadang, seseorang mengklaim bahwa ilmunya tinggi. Terkadang juga ia mengklaim telah belajar ke banyak guru terhadap suatu ilmu sehingga ia merasa bahwa ilmunya itu bermanfaat. Akan tetapi ternyata itu hanya di sisinya semata, bukan di sisi Allah kemudian di sisi orang lain. Atau terkadang dia memang memiliki banyak ilmu, akan tetapi ia mengamalkan secara serampangan di tengah-tengah masyarakat awam, sehingga malah memunculkan banyak probelmatika. Memang benar pernyataan para ulama bahwa ilmu tanpa adab dalam menuntutnya tidak akan barokah, salah satu adabnya adalah memahami ilmu itu dan mengamalkannya dengan baik[11]. Bahkan imam ahli hadits sekaliber Imam Ahmad, ahli fiqih sekaliber Imam Syafi’I dan yang lainnya, mereka terlebih dahulu menerapkan ilmu Al-Qur’an dan hadits dalam kehidupan mereka baru mereka memasukannya dalam kitabnya. Sebagimana Musnad Imam Ahmad, yang beliau tidak memasukannya kecuali beliau telah mengamalkan ilmunya. Bahkan pernah ada salah seorang ulama shalih terdahulu, membeli budak kemudian memerdekakannya baru beliau berani ceramah mengenai “Keutamaan Memerdekakan Budak”[12].
Tanpa adab dan tanpa pengamalan yang baik, ilmu itu menjadi hambar bahkan tidak menjadi barokah tetapi malah menjadi masalah. Biasanya masyarakat awam mempelajari ilmu agama setengah-setengah. Mereka belum memahami dasar-dasar agama akan tetapi telah mempelajari hal yang jauh melampaui kemampuan mereka. Sebagai contoh, mereka belum mantab dalam mendalami ilmu aqidah dasar, khususnya tentang makna Laa ilaha ilallah, akan tetapi mereka sudah memberikan suatu komentar tentang hukum ziarah para wali dan tata cara meminta-minta kepada para wali tersebut di depan kuburnya[13]. Begitupula mereka belum mempelajari ushul fiqih, akan tetapi sudah mempelajari tentang perbedaan madzhab.
Tata cara belajar yang dipaksakan masyarakat pada pondok modern maupun Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) saat ini, ataupun di pondok tradisional yang mengatasnamakan ahlussunnah seringkali membanggakan organisasi tertentu, sehingga terkadang setelah mereka keluar dari pondok mereka menjadi orang yang merasa dirinya cerdas dan paling benar. Lebih ronis mereka memiliki sikap ekstrim yang berlebihan kepada organisasi dan golongannya. Mereka, kelompoknya, dan siapa yang mau mengikuti ajaran fiqihnya sajalah yang masuk syurga atau paling tidak merasa sepadan dengan derajad agamanya.
Seringkali pula tatkala anak lulusan pondok melihat dunia luar, mereka kaget atas perbedaan yang luar biasa besar pada umat Islam ini. Terlebih ada banyak organisasi yang berdiri di Indonesia ini yang menambah daftar kebingungan mereka. Kasus ini wajar sebagai anak yang baru keluar dari kondisi kondusif kemudian terjun di medan laga, yaitu kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu di sinilah peranan pendidikan yang paripurna tentang dasar-dasar Islam, luas dan menanamkan pendewasaan dari para ustad kepada para santrinya selama di madrasah, guna membekali anak didiknya agar bermanfaat bagi para lulusan pondok pesantren dalam menghadapi problematika masyarakat. Apakah mereka memaklumi perbedaan yang ada serta tetap mengkuti sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam ataukah mereka intoleransi atas perbedaan yang ada dengan menuruti hawa nafsu mereka? Itu menjadi salah satu tanggung jawab dari para orang tua dan para guru/ustad. Allahu a’lam.
Di sisi lain, masyarakat awam tidak mau peduli dengan masalah agama. Mereka mengakui bahwa dirinya bodoh akan tetapi mereka tetap tak peduli dengan kebodohan itu, seakan hidup hanyalah kenyamanan dan mati adalah istirahat total untuk selamanya. Sewaktu mengadakan penelitian formal di Sanggar Kadiksuh, Bethek, kami mendapati seseorang mengatakan, “Kayak awak-awak ngene iki ya sakjane nul puthul nang agama...tapi yo fer-feran ya wis ayo lah....” (Seperti kita ini, sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang agama...tapi ya jujur-jujuran saja lah). Ironis! lalu kemanakah tokoh agama? ustad? kyai? atau lulusan pondok pesantren?
Inilah yang akan kita bahas:
Kami telah menuliskan bagaimana lulusan pondok pesantren untuk saat ini, tatkala mereka kurang diberikan teori tentang adab dan tata cara menuntut ilmu oleh para gurunya. Begitu pula dengan Adab dan tata cara bergaul serta mengatasi perbedaan umat, dan juga dasar-dasar agama yang mantab sesuai Al-Qur’an dan Sunnah. Di sisi lain masyarakat awam yang tidak peduli akan bagaimana ilmu agama, sehingga mereka tak mau belajar atau tak mau sekedar datang saja ke majelis para ulama. Dua hal yang bertentangan ini biasanya terdapat GAP yang besar. Bahkan saya katakan “SANGAT BESAR” mungkin mengandung majas hiperbola, yah, tapi inilah kondisi di masyarakat. Kami tidak tahu di wilayah lain, karena kami sudah lama berkecimpung dalam kehidupan masyarakat kampung di Bethek. Sedangkan Ciliwung insya Allah akan kami bahas kedepan.
GAP yang besar memang benar-benar tampak, tatkala kedua belah fihak[14] berinteraksi sosial. Bukan hanya sekedar interaksi sosial, akan tetapi mereka terlibat dalam kegiatan masyarakat. Di satu sisi, masyarakat awam melakukan tindakan dengan landasan hawa nafsu mereka disertai kebodohan atas agama Islam. Sedangkan di sisi lain, para lulusan santri yang dianggap faham agama oleh masyarakat mengatasi problematika penyimpangan masyarakat ini dengan keras tanpa mempedulikan ilmu yang mereka miliki. Sayangnya, sewaktu acara itu dinyatakan mubah/boleh oleh agama Islam, katakanlah lomba 17 Agustus[15] beberapa tokoh agama yang dianggap memahami agama tidak menghadiri pelaksanaan acara tersebut. Sehingga bila dapat saya kemukakan sebuah perumpamaan adalah “Gembala itu tidur sewaktu kuda memakan rumput, akan tetapi sewaktu kuda-kuda itu hampir masuk batas larangan ia terbangun dengan tergopoh-gopoh lalu mencambuknya hingga kuda itupun kesakitan dan tak mau lagi digembalakannya.
Perumpamaan itu boleh dikata bahwa, tatkala masyarakat melakukan sebuah kegiatan yang dibolehkan syariat, para tokoh agama tidak turut serta di dalamnya dan membaur dengan masyarakat dan menampakkan senyumnya. Sehingga hal ini tiada kedekatan hati antara masyarakat dan ulama. Boleh jadi saat masyarakat bermain itu, para tokoh agama ikut serta dengan menunjukkan akhlak mereka yang santun, atau boleh jadi dalam acara yang mubah itu terdapat satu atau dua larangan dalam Islam, sehingga dia bisa menasehati masyarakat dan memberikan solusi praktis kepada mereka. Akan tetapi dalam pelaksanaan yang sebenarnya, tatkala masyarakat itu membuat suatu acara yang mubah para tokoh agama tak peduli, mereka seakan hanya peduli pada acara keagamaan sebagaimana Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi dan semisalnya padahal acara-acara itu pun juga tak pernah diadakan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian, tatkala masyarakat itu sudah merasa bebas dan tatkala setan telah menggoda mereka untuk melanggar batas, baru tokoh agama turun tangan dengan membawa ‘cambuk besar’ atas mereka sehingga mereka terkejut dan lari tunggang langgang. Kuda saja kesakitan dan menjadi tidak patuh terhadap penunggangnya bila dicambuk habis-habisan, apalagi manusia yang memiliki hati.
Pernyataan kami didasarkan atas ayat-ayat Khauniyyah (kejadian) Allah yang telah terjadi di masyarakat. Setelah melakukan penelitian didapatkan rekaman yang sangat memiriskan hati. Sikap intoleransi pada tokoh agama justru dapat memicu munculnya sekulerisme dan liberalisme, hingga terpecahlah agama ini dan manusia tidak mengenal agamanya lagi. Salah seorang tokoh pemuda di sekitar sanggar Kadiksuh Bethek mengatakan tentang tokoh agama di wilayah setempat, “Maksude kene iku yo lek kegiatan warga yo ayuk ngguyub, lek kegiatan Islam yo ayuk ngguyub...Wayahe kegiatan agama gelem teka, wayahe kegiatane negara seolah-olah gak mau tau, kabeh padha...protes.” (Maksudnya kami ini yah, kalau kegiatan warga mari berkumpul bersama dan saling rukun, kalau kegiatan Islam ya mari rukun juga...nah ini, saatnya kegiatan agama mau datang, akan tetapi saat kegiatan negara seolah-olah tidak mau tahu, semua menjadi protes). Perkataan ini menjadikan hati terasa pedih, tampak terasa sekali bagaimana seorang awam yang berpikiran sebagaimana Musthofa Kemal Pasha, orang Yahudi yang mengaku masuk Islam tetapi akhirnya menghancurkan Islam dari dalam. Kemal menyatakan bahwa Agama dengan Negara itu TERPISAH, ironi. Yeah, akan tetapi ini hanyalah perkataan orang awam, bagaimana kalau ia berkuasa? Selebihnya, ia berkata demikian karena sangat anti terhadap perilaku takmir di mushola dekat dengan sanggat Bethek. Masya Allah.
Peristiwa yang memilukan:
 Saya tidak tahu, apakah ini bisa dikatakan peristiwa memilukan ataukah menggelikan. Tapi hati kami mengatakan ini adalah IRONIS. Tepatnya beberapa saat sebelum sanggar kami dibangun di Bethek[16], terdapat sebuah peristiwa yang unik yang mungkin hanya di wilayah situ saja di dunia ini yang ada. Allahu a’lam.
Kisah pertama: Tokoh warga yaitu Ketua RT bersama ketua pemuda, memiliki niat dan ide yang cukup unik untuk mengarahkan masyarakat mereka agar menghormati Bulan Ramadhan. Mengingat masyarakat setempat sangat keras dan kurang mendapat perhatian agama, mereka minum hingga mabuk, judi bahkan juga melakukan zina dan pengantarnya. Suatu saat, tokoh pemuda (katakanlah Pak P) mendapati sekumpulan pemuda sedang minum-minuman keras kemudian Pak P berinisiatif memberikan pelajaran kepada mereka dengan memasukkan mereka ke dalam rumahnya. Pak P melakukan perjanjian dengan para pemuda itu, perjanjian itu menyatakan bahwa bila mereka ingin minum sepuasnya hingga mabuk silahkan akan tetapi di rumahnya Pak P dan hanya pada hari itu. Sedangkan hari selanjutnya, mereka diharuskan menahan diri dulu selama Bulan Ramadhan dan diwajibkan bagi mereka untuk menghadiri terawih di Musholla, kalau tidak konsekuensinya mereka akan diusir dari kampung mereka.
Perjanjian pun berjalan, dan sesuai perjanjian para pemuda menghentikan minumnya bahkan judi dan zinannya[17] . Akan tetapi takmir sangat tidak senang bila shalat terawih yang ia imami didatangi para pemuda yang suka mabuk dan sholat di belakangnya. Lalu takmir pun mengadakan protes dan perjanjian pun batal seketika itu juga, maka Bulan Ramadhan tak lain sama seperti bulan yang lainnya di wilayah tersebut. Pak P mengatakan, “Rumiyin niki lek teraweh kuebek...” (Dahulu di sini bila sholat terawih penuh). Didukung juga oleh keterangan Pak Ketua RT setempat, “Loh, lek teng mriki teraweh ngantos emper Mas.” (Loh, kalau di sini sholat terawih sampai belakang masjid Mas). Lalu Pak P pun menyatakan alasannya, “Akhire arek-arek sing tas waras dipluinthes...Akhire, saiki arek-arek sing ngombe-ngombe, sing nogel-nogel tak juuarno wis..” (Akhirnya anak-anak yang baru saja sembuh itu didzalimi. Akhirnya, sekarang anak-anak itu yang minum ya minum, yang judi ya judi. Saya biarkan sudah).
Para tokoh agama seharusnyalah dihormati, akan tetapi saat ini tokoh agam tidak mendapatkan sebuah kelayakan untuk dihormati. Ada dua faktor menurut kami, yaitu faktor eksternal yang dilakukan musuh-musuh Islam dalam menghembuskan paham-paham sesat dan sesuai dengan hawa nafsu. Ada juga faktor internal yaitu sikap dan perilaku tokoh agama itu sendiri, mereka menganggap dirinya alim akan tetapi masyarakat itu menganggapnya jauh dari kebijaksanaan. Pak P menyatakan, “Masalahne...digolekna makmum ya gak isa nyetirrr, awake...awake ngarepe tapi awake nuruti buntute gak gelem...ya konflik...” (Masalahnya dicarikan makmum tidak bisa membina dirinya sendiri. Dirinya itu sebenarnya panutan akan tetapi disuruh untuk menuruti ekornya – maksudnya membina masyarakat – ndak mau...ya konflik)
Peristiwa yang tadi menyebabkan Pak P dan Ketua RT sepakat bahwa, “Sing ngertii agama mlakune gak karuan, lah lapoo eh. Sing gak ngerti agama ngono sik karuan, lah iki sing ngerti agama...patut digugu tah??? Lah iki sing ngerti agama turu kabeh kok patut digugu...” (Yang tahu agama berjalannya saja tidak karuan, lah berbuat apa saja itu hah?! Yang tidak faham agama kalau seperti itu masih bisa ditoleransi, lah ini yang tahu tentang agama...pantas dijadikan panutan tah? Lah ini yang tahu agama tidur semua kok pantas jadi panutan?...). Laa hawla wa laa quwwata ilaa billah, astaghfirullah hal adzim.
Kisah kedua: Pernah suatu saat warga mengadakan sebuah acara pentas seni untuk memperingati 17 Agustus. Mereka mengadakan sebuah acara pentas seni dan musik di lapangan depan mushola yang saat ini di sebelahnya mushola itu juga terdapat sanggar baca kami. Tentu menurut Islam, acara yang demikian ini memang hal yang sangat dekat dengan larangan Allah[18]. Akan tetapi untuk menegakkan syariat Allah, diperlukan ‘ulama. Menurut Syaikh Hamd ibn Ibrahim dalam kitabnya “101 Adab Penuntut Ilmu”, ulama bukan hanya orang yang mengetahui tentang ilmu saja, akan tetapi orang yang memiliki adab dalam menuntut ilmu dan juga mengamalkannya dengan bijaksana. Ulama ialah orang yang tahu bagaimana ia harus bersikap sebagaimana para ulama terdahulu bersikap kepada orang yang mengganggunya. Bukankah Allah berfirman,
Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.[19]
Ini terkait dengan balasan, bagaimana dengan dakwah? Maka Allah berfirman,
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.[20]
Inilah agama Islam yang indah yang penuh mutiara bagi orang berilmu maupun orang awam. Maka, hanya orang yang kurang memahami atau kurang sabar saja yang mencetuskan akhlak yang buruk dalam penilaian syariat.
 Demi mengetahui acara tersebut takmir merasa geram, hal yang dilarang agama dilakukan di depan mushola tempat peribadatan. Maka dengan serta merta beliau pun turun dan menemui tokoh pemuda, lalu beliau menyampaikan rasa keberatan dengan apa yang dilakukan masyarakat Bethek. Beliau pun menyarankan agar pentas dan lomba dipindah tempat. Akhirnya masyarakat pun berunding dan berdiskusi, akan tetapi tidak dicapai kesepakatan. Darah muda adalah bergolak sedangkan takmir pun bersikeras agar dipindah ke tempat lain. Akhirnya Pak P sebagai ketua pemuda berinisiatif untuk membawa terpal yang besar sekali dan menutup mushola dengan terpal itu. “Langsung aku...tutupen...ayooo!!! tutupen Rek!! Langgar iki cek gak kethok tutupen!! nggawea ndek kene!...Akhire lare-lare ngamuk Mas, ngantos nggih, ngantos dilaporno...dilaporaken....Sak iki ya, yakapa arek-arek dilebakna mushala...kula jawabane penak wisan...bah mabuk nang ngarepe langgar bah ndak sing penting gak nang njerone langgar...njih kula ngotennn... (Langsung saya – berkata – “Kita tutup saja ayoo!!! tutup saja Rek[21]!! buatlah di sini!! langgar ini agar tidak terlihat tutup saja!! buat di sini!! Akhirnya anak-anak marah Mas, sampai dilaporkan. Sekarang ya, bagaimana anak-anak itu dimasukkan mushola, kalau saya menjawab enak saja sudah...biar mabuk di depannya mushola atau tidak yang penting tidak mabuk di dalam mushola, yah saya jadinya begitu saja). Astaghfirullah hal ‘adzim.
Akhirnya mushola itu pun ditutup sebagaimana Ka’bah ditutup dengan Kiswah dari sutra, kalau mushola itu ditutup dengan terpal. Akhirnya warga mengadakan pentas di depan mushola yang sudah ditutup akan tetapi khusus untuk lomba diadakan di lapangan lain yang medannya cukup berbahaya. Sampai-sampai ada yang terperosok dan hampir masuk ke dalam sungai yang alirannya cukup deras saat itu. Maka konflik ini sempat memuncak hingga akhirnya takmir pun dihantam oleh pemuda setempat. Pengeroyokan pun hampir saja terjadi bila tidak ada kaum tua dan tokoh masyarakat yang turun tangan untuk meredamnya.
Kisah Ketiga:
Kisah ini yang sangat memiriskan. Suatu hari, kami bekerja bakti membersihkan sanggar dilanjutkan dengan menghias sanggar. Adik-adik asuh kami pun mengusulkan agar sanggar dihias dengan kain flanel yang kemudian di dalamnya dimasukkan dakron putih, sehingga seperti bangun tiga dimensi yang membentuk huruf demi huruf yang bertuliskan “KDS WE LOVE YOU.” Sementara untuk membuatnya adek-adek berkumpul di dalam musholla seperlu menggunting dan menjahit kain flanel untuk dibentuk menjadi sebuah bangun tiga dimensi.
Tiba-tiba datang seorang ibu dengan menggendong anaknya yang berusia 2 tahun. Anak itu juga adik dari adik-adik asuh kami. Sang ibu meminta agar kami bekerja di beranda musholla karena di dalam bisa “berbahaya”. Melihat hal ini, kami memandang bahwa beranda musholla tak kondusif untuk dijadikan lahan bagi adik-adik dalam membuat karya, mengingat lantai dingin dan tak berkarpet saat itu. Bahan-bahan pun sudah terkumpul di musholla, serta kondisi angin dan debu yang tebal menyebabkan sangat rentan adik-adik terkena penyakit. Kami pun menyatakan bahwa insya Allah tak apa-apa.
Kegiatan itu pun berlangsung hingga sekira pukul 14:00, tiba-tiba adik asuh usia 2 tahun ‘pipis’ di musholla, saat itu ibunya lupa untuk mengenakan Pampres padanya. Kami pun menenangkan semua yang ada dalam musholla dan kami katakan bahwa ini najis yang tidak berat. Maka kami meminta seciduk air kemudian menuangkannya di bekas kencing adik itu. Lalu kami meminta kain untuk menyerap air yang membasahi karpet musholla[22]. Mencuci karpet musholla saat itu adalah tidak mungkin karena pertimbangan waktu dan keadaan, selain itu najis tersebut adalah najis mukaffafah[23], sehingga cukuplah seciduk air untuk membersihkan bagian yang terkena najis[24]. Lagipula air kencing itu tidak terlalu banyak karena sebagian besar sudah terserap oleh kain di celananya. Demi melihat semua yang khawatir, kami pun menenangkan mereka dan mengatakan bahwa insya Allah apa yang kami lakukan sudah membuat karpet suci. Setelah sholat ashar, kami pun pulang dan adik-adik kami minta untuk istirahat dan meneruskan keesokan harinya.
Akan tetapi namanya juga anak-anak, ada salah seorang yang cerita bahwa musholla telah terkena najis berupa kencingnya adik Fulan yang pipis di dalam musholla. Berita ini tersiar hingga plosok kampung. Awalnya kami tidak mengetahui adanya suatu penyebaran informasi ini, karena kami telah berpesan hal itu tidak perlu dibicarakan kepada orang lain, jangan disebarkan dan insya Allah telah disucikan oleh Allah melalui apa yang kami lakukan. Akan tetapi penyebaran berita ini ternyata telah kami ketahui tatkala kami akan mengadakan acara pertemuan PERSAHABATAN II.
PERSAHABATAN II, merupakan acara dimana adik-adik Ciliwung akan kami pertemukan di Sanggar Darul Musthofa Bethek. Tatkala itu, selain bertemu mereka juga harus menunjukkan pertunjukkkan terbaik oleh masing-masing wilayah sanggar baca. Hal ini untuk memicu semangat bersaing yang membangun. Demi mewujudkan rasa keadilan, maka kami mencoba untuk membagikan hadiah berdasarkan obyektifitas yang ada, yaitu bukan hanya bagusnya tampillan akan tetapi bagaimana mereka mempersiapkan penampilan mereka dan proses selama latihan.
Kembali ke permasalahan. Sehari sebelum acara Persahabatan II kami harus memasang spanduk yang telah kami cetak. Spanduk itu untuk memeriahkan acara dan menghias sanggar menjadi lebih baik. Betapa terkejutnya kami tatkala sanggar sudah berubah total, karpet bagian barat yang mash basah terkena bocoran air hujan tiba-tiba bersih mengkilap. Belum lagi almari takmir yang tadinya terletak di tempat yang satu bergeser di tempat yang lainnya. Kami pun mengira adik-adik mungkin yang membersihkan sanggar ini, tapi anehnya lemari bergeser dan itu bukan hak kami sebagai pengelola sanggar untuk memindah-mindah apa yang bukan milik kami. Kami pun akhirnya memasang spanduk itu dengan penuh tanda tanya. Tiba-tiba seorang adik yang juga ketua sanggar baca Darul Musthofa datang dan memberitahukan bahwa ketua Takmir telah membersihkan semuanya.
Betapa kagetnya kami, karena seharusnya yang membersihkan itu semua adalah kami karena itu adalah wilayah sanggar baca yang kami bersama adik-adik kami kelola. Akan tetapi karena keterbatasan waktu, dimana kami juga sibuk. Di sisi lain, keterbatasan tenaga bagaimana mungkin kami mengangkat karpet basah yang begitu berat dan barang-barang takmir pun bukan menjad hak kami. Adapun para pembina pernah kami undang untuk kerja bakti membersihkan sanggar, akan tetapi sedikit sekali kakak pembina yang bisa datang, selain itu inventaris masjid juga bukan menjadi hak kami untuk membersihkannya bahkan sekedar memindahnya. Sebagaimana Al-Qur’an yang telah usang dan penuh sobekan-sobekan, seharusnyalah itu dibakar agar tidak dibuang seenaknya di tempat sampah. Akan tetapi kami takut terjadi suatu perkara yang besar yang masyarakat salah faham.
Di tengah-tengah kegiatan kami memasang spanduk dan menata tempat untuk acara esok harinya serta ada beberapa adik-adik yang meneruskan pekerjaan flanelnya, tiba-tiba datang ketua takmir dengan tergopoh-gopoh. Beliau langsung turun dan mendamprat kami dengan kata-kata keras dan menyatakan bahwa kami tak bertanggung jawab atas najis yang ada di musholla. Kami pun dibuat bingung, “najis”? mungkin karena kami jarang membersihkan sanggar dan musholla hingga menurut mereka menjadi najis, lagipula memang tenaga dan waktu kami yang terbatas hingga merapikan saja butuh dua minggu. Apabila dikerjakan mulai pagi sampai sore insya Allah bisa beres, akan tetapi waktu kami untuk membersihkan sanggar hanya hari Ahad setelah kajian ilmu yaitu sekitar pukul 10:00 s.d ba’dan dhuhur sekira jam 14:00 WIB. Itu pun tidak banyak kakak yang datang, dua atau tiga paling banyak lima itu pun sangat jarang sekali.
 Maklum, kami tahu kesibukan mereka dan dalam urusan kerja bakti membersihkan sanggar memang kami tekankan kakak yang laki-laki karena harus mengangkat yang berat dan menata buku-buku yang sangat banyak. Kakak perempuan pun bila kami undang datang bagai gelombang, syang atu datang dan yang lain pulang. Tapi kami sabar menghadapi dampratan takmir ini. Kami hanya diam dan sesekali menyahut untuk mengulang kata-kata takmir yang dirasa penting untuk menyenangkan hatinya. Bahwa kata-kata penting itu diperhatikan, akan tetapi kami yakin bahwa beliau tak faham bagaimana kondisi kami sebenarnya, kecuali Ketua RT dan Tokoh Pemuda. Demi memendam rasa takut yang luar biasa, adek-adek pun satu demi satu beringsut pergi meninggalkan kami dan sanggar pun sepi dari anak-anak.
Pukul 16:30 selesailah kemarahannya dan beliau pamit undur diri. Alhamdulillah, lalu kami pergi menemui Ketua RT untuk mengkonvirmasi hal ini, ternyata ketua takmir sudah di depan rumah Ketua RT saat itu. Tapi Pak Ketua RT sedang pergi untuk mencari nafkah, sehingga kami terlibat pembicaraan panjang kembali dengan ketua takmir. Pembicaraan selesai beberapa saat sebelum adzan maghrib dikumandangkan. Pembicaraan dengan ketua takmir itu intinya adalah: (1) Ketua takmir tidak setuju dengan sanggar baca yang ada di samping musholla, dan itu sudah dinyatakan dari awal pembangunan sanggar; (2) Ketua takmir menyesalkan najis yang terjatuh di dalam musholla berupa kencing anak kecil; (3) Takmir menyesalkan tiadanya kerja bakti untuk pembersihan sanggar dan mushollah yang menjadikan jamaah nyaman; (4) Ketua Takmir merasa tersinggung karena tiadanya koordinasi dengan takmir dalam urusan agama, sedangkan Ketua RT adalah urusan masyarakat. Sehingga apabila acara kami berada di Mushola harusnya melapor kepada Ketua Takmir.
Mengingat takmir di Sanggar Darul Musthofa ada beberapa orang, akan tetapi yang dirasa aktif menggerakkan hanya dua saja. Ketua takmir yang beliau ditunjuk menjadi imam utama bila beliau ada di lokasi dan takmir anggota yang beliau ditunjuk sebagai imam pengganti imam utama bila ketua takmir tak berada di tempat. Kami mengira bahwa pembicaraan takmir tersebut adalah sebuah kesepakatan seluruh takmir sehingga kami pun merasa bahwa posisi kami terjepit. Akan tetapi kami menyerahkan pada Allah saja, andai mereka mengusir kami insya Allah masih ada Ciliwung sebagai markas kami dan kami bertekad insya Allah kami masih akan berkunjung dan sedikit banyak memberikan ilmu kepada adik-adik kami semampu kami. Itulah tekad kami, akan tetapi semua di Tangan Allah Ta’ala.
Kami pun sholat maghrib bersama warga di Musholla Darul Musthofa, saat itu yang menjadi imam adalah ketua takmir selaku imam utama. Setelah selesai sholat maghrib kami pun telah merampungkan pemasangan spanduk dan hendak pulang. Kami pun akan mengambil tas yang kami titipkan di rumah Dek Eliana yang terletak persis di depan sanggar. Mengingat Dek Eliana adalah ketua sanggar baca Darul Musthofa – Bethek – yang dia sangat aktif menggerakkan teman-temannya untuk mau les pada kami. Demi melihat sesuatu yang kami tak tega untuk meninggalkan rumah Dek Eliana, akhirnya kami pun masuk rumahnya. Terlihat ia menangis terisak-isak. Kami pun mendekatinya dan duduk di sebelahnya, mengingat dia belum bisa dikatakan baligh secara syariat, karena belum datang bulan dan usia belum genap 15 tahun[25]. Demi menenangkannya, serta secara syariat yang kami yakini bahwa larangan menyentuh perempuan bukan mahram jatuh saat seorang wanita itu sudah menginjak masa baligh[26], maka kami duduk di sebelahnya dan kami rangkul dia serta kami dengarkan perkataannya yang tidak jelas karena isak tangisnya.
Di sampingnya lagi ada ibunya yang juga mendengarkannya, karena tidak jelas dalam berbiacara maka kami tanyakan permasalahannya setelah ia puas dalam menangisnya. Akhirnya saat itu Ibunya turut membantu menjelaskan apa yang terjadi. Beliau berkata bahwa puterinya dimarahi oleh nenek-nenek dengan menunjuk-nunjuk wajahnya dan dengan kata yang keras dan menyakitkan setelah sholat maghrib. Dikatakan juga bahwa beberapa jamaah putri memarahinya dan mengatakan kepada Dek Eliana di depan wajahnya bahwa ia tak becus dalam menjaga adiknya, hingga kencing di musholla. Ironisnya, nenek-nenek yang juga merupakan salah satu jamaah puteri itu melontarkan kata-kata kotor yang sangat menyakitkan pada anak kecil. Ia pun sakit hati dan pulang dengan amarah yang meledak, karena tak bisa meluapkan emosinya dengan tindakan dan perkataan maka ia pun menangis sejadi-jadinya.
Demi menenangkannya kemudian kami katakan, bahwa kami pun juga terkena marah ketua takmir karena najis, lalu kami yang kebingungan bertanya, “Dik, apa hubungannya antara najis dengan kamu ndak becus menjaga adikmu?” ibunya bilang bahwa masalah ini adalah masalah yang datang pada beberapa hari yang lalu dimana adiknya kencing di musholla dan sekarang menjadi perkara besar. Perkara ini dihembuskan beberapa orang lalu melaporkannya kepada ketua takmir. Baru saat inilah kami tahu permasalahannya.
Kami pun kaget, ternyata masalah sepele yang terjadi hari ahad itu sampai mengenai hati seorang anak kecil yang masih usia SMP serta menyalahkan tindakan anak kecil yang masih tak tahu apapun kecuali belajar bicara dan berjalan. Masya Allah, inikah perkaranya?
Setelah lama kami mendengar keterangan ibunya, Dek Eliana pun berusaha menahan tangis lalu berbicara banyak kepada kami. Ia pun berbicara panjang lebar tentang masalah yang ada dan perasaannya yang sakit kala itu. Salah satunya ia mengatakan bahwa ia sudah banyak melakukan untuk sanggar, akan tetapi ia selalu saja disalahkan dalam segala hal yang berkaitan dengan sanggar. Ia sangat capek merasakan olok-olokan warga yang terus ditujukan padanya. Dan ada banyak sekali yang ia katakan, setelah itu kami memberikan motivasi yang dapat mendukungnya. Kami faham, motivasi yang kami berikan tidak ada apa-apanya bagi mereka, karena mereka mengetahui betul terhadap lingkungan setempat dan mereka tinggal di sana dan tak akan bisa berpindah kecuali Allah menghendaki. Sedangkan kami hanyalah orang yang mampir untuk melakukan yang kami mampu. Andai terjadi apa-apa kami bisa mengundurkan diri di wilayah situ, akan tetapi tidak untuk Dek Eliana dan yang lainnya. Akhirnya kami katakan, bahwa ia akan mendapatkan hadiah utama yang saat ini masih dibungkuskan oleh Kakak-kakaknya yang lain. Mengingat ia adalah seorang pelopor yang kakak-kakak semua mengagumi ketangguhannya dan tanggung jawabnya.
Demi mendengar curahan hati keluarga Dek Eliana, kami pun harus mengambil langkah cepat dengan berkoordinasi kepada Ketua RT dan RW serta takmir yang ada. Tapi karena saat itu malam dan kami harus menemui juru biacara Komunitas Kadiksuh, maka kami tunda dulu untuk koordinasi dengan para tokoh masyarakat. Masalahnya, tempat belum kami tata dengan baik dan masih perlu suatu hal untuk dibenahi dan karpet harus digelar. Tapi karena adanya desas-desus acara mau dibatalkan oleh pihak warga yang benci dengan sanggar, kami harus pasang strategi khusus. Kami pun mengatakan kepada Dek Eliana dan Ibunya, bahwa kami harus ke rumah penasehat dan juru bicara Komunitas Kadiksuh malam ini juga. Sedangkan untuk menata karpet kami lakukan malam hari setelah dari rumah sang jubir Komunitas. Mereka pun setuju. Saya katakan bahwa jangan ada yang keluar untuk membantu kami, khususnya Dek Eliana yang telah mendapatkan dampratan luar biasa. Hal ini untuk mengistirahatkan badannya dan juga ruhaninnya yang cukup sakit akibat dampratan jamaah putri dengan perkataan sangat kasar, mengingat esok harinya dia harus tampil sebagai pembawa acara.
Akhirnya pukul 21:30 WIB kami pun datang ke sanggar lagi, hanya dua orang. Langkah kami pun dibuat sehalus mungkin, sedangkan sepeda motor kami parkir jauh dari pemukiman warga yang sedang tidur nyenyak. Akhirnya, kami pun beraksi dengan cepat, kami menggelar karpet dan tikar, menata buku lalu membereskan apa yang ada. Namanya juga anak-anak, ada beberapa adik yang belum tidur dan mereka pun datang ke sanggar dengan ceria mereka membantu kami. Melihat hal itu, kami tidak tega untuk mengusir mereka, akan tetapi suara mereka cukup keras hingga kami khawatir takmir datang untuk membatalkan acara sepihak mengingat undangan sudah kami sebar dan kami siapkan bagi adik-adik di Ciliwung. Mereka tak memahami apapun dan juga tak memahami bagaimana kondisi sebenarnya di Sanggar Baca Bethek, kami pikir tak perlu mereka ikut-ikut dan mereka harus tidak tahu mengenai hal ini.
Kami pun meminta kakak pembina dan adik-adik yang hadir saat itu agar tidak terlalu keras dalam berbicara karena bisa membangunkan adik-adik yang sedang tidur lainnya. Dengan bangunnya adik-adik yang lain, maka sanggar akan menjadi ramai oleh anak kecil dan orang dewasa pun menjadi terbangun karena keramaiannya.
Tetapi, tiba-tiba datanglah Pak Ketua RT menuju sanggar, tatkala itu kami sedang membersihkan sanggar dan menatanya. Kami pun menyambutnya dan menjelaskan tentang acara yang akan kami gelar. Akan tetapi beliau mungkin saat itu belum memahami permasalahan yang baru saja meledak. Beliau tampak lelah sekali sehabis mencari nafkah, tatkala itu waktu menunjukkan pukul 22:30. Kami akan konfirmasi malam itu tidak mungkin. Dugaan kami betul, ternyata Pak Ketua RT tidak membicarakan apapun terkait masalah yang muncul hari itu. Biasanya bila ada masalah terkait sanggar beliau langsung mengontak dan membicarakan dengan kami. Setelah Pak Ketua RT undur diri, kami pun melanjutkan aktivitas kami, setelah selesai kami pun mengontak salah seorang teman kami yang kami tugaskan untuk menjaga sanggar dan datang pada pukul 06:00 WIB keesokan harinya. Malam itu juga dia menyatakan, “insya Allah sanggup datang besok pukul 06:00 WIB”.
Esoknya, teman kami yang bertugas sebagai pengawas utama dan penghalau serta memberi informasi terkini terkait aktivitas sanggar pun datang tepat waktu. Kami merasa bahwa takmir akan bertindak untuk membatalkan acara yang sudah dirancang jauh hari, maka kami memohon kepada Allah kemudian berikhtiar agar tidak kecolongan. Kami sendri harus menjemput adik-adik Ciliwung dan mereka harus datang di sanggar pada pukul 08:00 WIB. Pada pukul 07:30 kami pun berangkat dari Sanggar Ciliwung, kemudian kami mengontak teman kami yang berjaga di Sanggar Bethek serta menanyakan tentang kondisi adik-adik terkini di Bethek. Ia menjelaskan, bahwa sanggar masih sepi dan tidak ada anak sama sekali sedangkan dia posisi berada di rumah Dek Eliana.
Demi mendengar informasi tersebut, kami pun terkejut. Adik-adik Ciliwung sudah meluncur ke sanggar, akan tetapi tidak ada satu pun adik yang ke musholla? Akhirnya, adik-adik Ciliwung pun sampai di Sanggar Darul Musthofa Bethek. Mereka menuju sanggar akan tetapi mereka masih sungkan-sungkan untuk memasuki musholla. Kondisi mencekam, tiada satu pun adik-adik dari Sanggar Bethek yang datang ke musholla.
Tetapi Alhamdulillah, beberapa saat kemudian kakak-kakak yang membina di Sanggar Ciliwung saat itu banyak berdatangan setelah beberapa menit kami sampai. Kondisi sanggar menjadi ramai. Melihat keramaian di sanggar, adik-adik di Bethek jadi berani untuk mendatangi sanggar dan musholla, satu per satu mereka memasuki musholla hingga Mushola menjadi penuh adik-adik asuh. Ternyata, mereka takut untuk datang ke musholla, karena mendengar bahwa musholla akan dibersihkan besar-besaran oleh takmir dan takut bila mereka mengikuti acara kami maka mereka akan diusir.
Sekali lagi Alhamdulillah, adik-adik asuh di Bethek pada berdatangan ke musholla dan mengikuti kegiatan kami. Terlebih setelah ada Ustad Rahmad yang mengisi acara kajian yang lucu dan menyegarkan. Pada saat yang sama, kami mengundang beberapa kakak asuh di Bethek untuk bisa hadir di rumah Dik Eliana untuk menenangkannya dan memberikan motivasi untuk lebih giat di sanggar. Sedangkan kami juga harus menjelaskan beberapa perkara yang menimpa sanggar kami di Bethek. Mereka pun menyetujui dan siap berkumpul di rumah Dek Eliana.
Setelah acara selesai, kami pun mengantarkan adik-adik ke Sanggar Ciliwung. Setelah memakan waktu yang lama karena macet, kami pun sampai di sanggar. Setelah itu, kami pun masuk dan membuka musyawarah. Akan tetapi tatkala mengatakan hal ini, betapa terkejut kami mendengar beberapa orang protes, bahwa yang kami katakan sudah dikatakan oleh juru biacara Komunitas, maka tidak perlu diulang. Kami pun kaget bukan kepalang, ketua komunitas belum membuka tetapi sudah didahului orang lain dan telah mengetahui permasalahannya? mengingat adab yang ada dalam Islam bahwa hal itu adalah kurang layak untuk dilakukan[27]. Kami berpikir, ini yang perlu diadakan perbaikan walau pelan-pelan dan sedikit demi sedikit. Akan tetapi saat itu bukan saatnya berdebat tentang adab organisasi dan kami pun faham bahwa waktu telah menginjak sore.
Akhirnya kami hanya memberi kesempatan berbicara kepada Dek Eliana dan Ibunya, atas apa yang menimpa kehormatan mereka, berupa dampratan dari warga. Dek Eliana diam, ia lebih suka berbicara kepada Ketua Komunitas dan beberapa orang yang ia anggap dekat daripada. Akhirnya kami pun mengatakan, “Apa yang kalian bisa lakukan di sanggar ini? bukan diri kalian sendiri saja, akan tetapi lihatlah adik-adik kita.” Mereka pun menjawab satu persatu, Alhamdulillah yang menjawab adalah mereka yang eksis dalam bergerak di sanggar walau mereka cukup sibuk dimakan waktu. Tatkala itu, hadiah utama pun diminta untuk dibuka, betapa senangnya adik kami yang satu itu tatkala menerima tas warna biru kesenangannya. Kami kira masalah selesai, dan tidak perlu diperpanjang. Tapi kami harus berkoordinasi dengan takmir saat itu juga.
Setelah ke rumah takmir, kami pun mengutarakan permintaan maaf yang sebesar besarnya atas kurangnya tanggung jawab kami. Takmir pun mengatakan sama seperti yang beliau katakan saat hari sabtu sore itu. Beliau juga menambahkan bahwa Ketua Komunitas yang sekarang tidak pernah berkoordinasi dengan takmir. Beliau merasa tersinggung dengan langkah kami, karena apapun yang berkaitan dengan agama adalah hak Beliau, dan kemasyarakatan adalah hak Pak RT[28]. Setelah puas mengungkapkan kekesalannya pada kami, kami pun pamit undur diri kepada Ketua Takmir. Di perjalanan kami berdiskusi dengan penasehat Komunitas Kadiksuh, lalu dikatakan bahwa ketua komunitas harus meningkatkan koordinas dengan takmir. Lalu ia mengatakan, “Bukankah yang bertanggung jawab atas koordinasi warga adalah Ketua RT, dan Pak RT juga pemimpin tertinggi musholla. Sedangkan takmir diangkat oleh Ketua RT.” Akhirnya dicapai kesepakatan, bahwa koordinasi tetap di RT akan tetapi mungkin Ketua Takmir hanya mendapat undangan bila ada acara.
Keesokan harinya, yaitu tepat hari Senin kami ingin berkoordinasi dengan Ketua RT, apakah memang masalah ini tidak disetujui oleh seluruh warga dan seluruh takmir Musholla Darul Musthofa, ataukah hanya segelintir orang saja yang memang mereka tidak senang dengan keberdaan kami? Tentu saja permasalahan ini terkait dengan sanggar dan kegiatannya. Kami pun melakukan perbincangan hangat dengan Ketua RT setempat dan diperoleh hasil bahwa, “alhamdulillah...alhamdulillah hamdan katsiro mubarokan fih Ya Allah” Ketua RT justru mendukung penuh kegiatan kami untuk membina adik-adik serta melakukan upaya untuk membendung arus fitnah yang tertuju kepada kami. Bahkan Ketua RT marah terhadap ulah oknum yang merasa mengklaim bahwa musholla itu adalah miliknya, “Musholla itu milik semua, milik umat. Bukan hanya milik dia saja! tidak masalah, teruskan kegiatan sanggar dan jangan takut sama ketua takmir itu” mungkin itu kutipan yang sempat kami tangkap dari beliau. 

Belum cukup puas dengan keterangan Ketua RT setempat, kami mendatangi rumah Ketua RW sanggar Bethek. Ketua RW setempat sama seperti apa yang disampaikan oleh Ketua RT dan beliau melakukan upaya untuk membendung oknum yang merasa menguasai musholla dan ilmu agama akan tetapi justru meresahkan masyarakat. “Saya harap tidak ada apa-apa, tetapi kalau memang masih tetap berlanjut dan membesar, maka saya akan turun langsung ke masyarakat!” itu ujar Ketua RW setempat kepada kami.
Maka, inilah peran adab para ulama baik itu ustad, kyai, syaikh, guru termasuk juga kakak-kakak yang merupakan sebuah pelopor kebaikan harusnya menyampaikan kebenaran dengan adab dan akhlak serta strategi, bukan dengan emosi dan dengan keegoisan yang dijaga ketat dalam diri. Hendaknya mengetahui seni dakwah yang benar dan bukan mentang-mentang mengetahui tentang agama, lalu main gasak kanan dan kiri saja. Inilah yang menyebabkan agama Islam redup dari cahayaNya, dan menyebabkan nonmuslim tak lagi simpati kepada umat Islam. Mengapa adab dan akhlak itu tak lagi ada pada alim ulama khususnya mereka yang tinggal di perkampungan dan pesedaan? Mengapa seringkali terjadi GAP yang besar antara orang ‘alim dengan orang jahil di suatu tempat bahkan terjadi bentrok fisik? mengapa kaum nonmuslim tak lagi simpati terhadap muslim bila berkunjung ke tempat-tempat perkampungan dan pedesaan pada umunnya? Insya Allah hal ini akan kami bahas pada pembahasan berikutnya pada judul “Antara Keingkaran Sunnah dan Kemunduran Ummah” Allahu a’lam.

Ditulis Oleh:
Ketua Komunitas Kakak Adik Asuh (Kadiksuh) periode II (2011-2012)
@nd.


[1] Berprasangka buruk.
[2] Karena saat ini, banyak dosen dan para mahasiswa kalau melihat ayat-ayat Allah menerangkan sesuatu tapi belum terbukti secara empris mereka mengatakan “su’udzon” kepada orang yang menyampaikan berita kabar itu. Seperti orang yang menyatakan, “Pelaku riba adalah dosa besar” mereka mengatakan “jangan su’udzon”. Begitupula dikatakan, “Panjang angan-angan dapat menjauhkan manusia kepada Allah Ta’ala” seorang mahasiswi juga menyatakan “jangan su’udzon”. Apa maksud mereka dengan hal ini? apakah akal yang telah mereka kedepankan? Allahu a’lam.
[3] Ayat-ayat yang jelas kandungan maknanya, “Seperti” “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu” (At-Takastsur: 1). Maknanya jelas bahwa bermegah-megahan itu melalaikan manusia.
[4] Adalah ayat-ayat yang perlu penafsiran tentang hal itu, tentu saja penafsiran ini hanya layak ditafsirkan dengan kaidah-kaidahnya berdasarkan urut-urutannya. Dimana penafsiran Al-Qur’an itu adalah: (1) Al-Qur’an ditafsirkan dengan Al-Qur’an; (2) Al-Qur’an dengan Hadits; (3) Al-Qur’an dengan pernyataan para sahabat Rasul; (4) Al-Qur’an dengan penafsiran para tabi’in/murid para sahabat; (4) penafsiran dengan ijma’ ulama/kesepakatan ulama yang shalih seluruh dunia bukan atas dasar kelompok dan kepentingan tertentu (atau dalam mewakilinya adalah pada lembaga Lajnah Dho’imah atau lembaga fatwa); (5) Dengan kaidah ilmu Bahasa Arab. Contoh, “Alif laam miin.” Ini termasuk mutasyabbih, karena tak ada yang tahu maknanya, akan tetapi sebagai seorang yang beriman maka dikatakan, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”. Allahu a’lam
[5] Al-Qur’an, Surat Al-Mujaadilah: 11
[6] Hadits Riwayat Imam Bukhari
[7] Hadits Riwayat Imam Muslim
[8] Al-Qur’an, Surat Al-Kahfi: 7
[9] Ayat-ayat yang berdasarkan kejadian nyata di bumi
[10] Ayat-ayat yang tertera dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
[11] Syaikh Hamd ibn Ibrahim. 1423/2002. An-Nubatdz Adab Thalib al-‘Ilm. Maktabah Ibnul Qayyim. Saudi Arabia
[12] Diambil dari intisari kajian Kelas Ramadhan setiap sore di Bulan Ramadhan di Masjid An-Nur Jagalan Saleyer Kota Malang oleh Ust. Abdullah Shalih al-Hadhromi dengan tema pembahasan kitab An-Nubaatdz Thalib al-‘Ilm (101 Adab Penuntut Ilmu).
[13] Maksudnya, mereka belum memahami tentang bagaimana hukum tawasul menurut aqidah dan apa saja tawasul yang benar, inilah dasar ilmu. Akan tetapi mereka langsung mempelajari fiqih tawasul/tata cara bertawasul yang mereka anut tanpa mempedulikan apa hukum tawasul yang benar menurut agama dan apa saja yang boleh dan apa pula yang dilarang.
[14] Lulusan pondok pesantren dan Masyarakat awam
[15] Penulis mendasarkan hal ini adalah mubah bila tidak ada sesuatu yang menjadikannya haram. Karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pun pernah melakukan lomba berkuda. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mengikuti lomba kuda yang dimulai dari Hafaya' dan berakhir di Tsaniyyatul Wada', dan mengikuti lomba kuda yang tidak dikempiskan perutnya dari Tsaniiyah hingga Banu Zuraiq, dan Ibnu Umar adalah termasuk orang yang ikut berlomba (H.R Bukhari & Muslim).
[16] Tidak sebaiknya kami menyebut alamat lengkap
[17] Allahu a’lam
[18] Di dalamnya terdapat alunan musik dan nyanyian para wanita yang diharamkan. Terdapat tabarruj (berlebihan dalam berdandan) serta Ikhtilath (bercampur baur laki-laki dan perempuan bukan mahramnya).
[19] Al-Qur’an, Surat An-Nahl: 126
[20] Al-Qur’an, Surat Ali Imran: 159
[21] Panggilan khusus untuk memanggil pemuda di wilayah Jawa
[22] Dalam kitab fiqih Imam Syafi’I, dinyatakan bahwa najis sebagaimana kencing tak harus dibasuh dengan air dengan cara mengalirkan air kepada yang terkena najis, hingga hilang bau, rasa dan warnanya. Maka kami saat itu mengambil seciduk air lalu kami tuangkan ke atas najis, hingga telah mewakili air itu ‘mengalir’ ke atas karpet yang najis. Sedangkan adik asuh saat itu sudah berumur 2 tahun dan telah memakan (makanan) selain air susu ibunya. Apabila belum memakan suatu makanan, maka disebut najis ringan/muthawwasithah yang membersihkannya dengan cara memercikkannya saja, tanpa mengguyurnya di atas najis. Sebagaimana Rasululllah tatkala membersihkan air kencing bayi yang masih menyusui ibunya. Akan tetapi karena sudah memakan makanan yang lain, maka najisnya tergolong sedang/mukaffafah, sehingga sedikit banyak harus dialirkan air pada karpet yang terkena najis. Mengingat kondisi saat itu, maka air yang dialirkan hanya sebatas tangan seorang pembina kadiksuh. Dan insya Allah itu adalah cukup.
[23] Najis sedang, dimana cara membersihaknnya dengan menghilangkan warna, bau dan rasa, dengan cara mengalirkan air ke atas benda yang terkena najis tersebut (berdasarkan fiqih Imam Syafi’i).
[24] Syaikh Abu Syuja’ al-Asfihni. 2008. Fiqih Islam Tradisi (terj) Mtn al-Ghaayah wat Tarqib. Oleh: Faiz el Muttaqiem. hal 16. Ampel Mulia: Surabaya.
[25] Menurut beberapa pengikut syafi’iah, usia baligh ada 3: Salah satunya adalah genap berusia 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan, bila tanda-tanda khusus yaitu datang bulan tidak juga kunjung datang.
[26] Larangan menyentuh perempuan bukan mahram termaktub dalam hadits, َلاَنْيَقْرَعَ الرَّجُلُ قَرْعًا يُخْلِصُ اِلٰى عَظْمِرَ أْسِهِ    خَيْرٌ لَهُ مِنْ اَنْ تَضَعَ امْرَاَةٌ يَدَهَا عَلٰى رَأْسِهِ لاَتَحِلُّ لَهُ، وَِلاَنْ يَبْرُصَ الرَّجُلُ بَرَصًا حَتّٰى يُخْلِصَ الْبَرَصُ اِلٰى عَظْمِ سَاعِدِهِ لاَتَحِلُّ لَهُSungguh, jika seseorang dipukul sampai menembus tulang kepalanya adalah lebih baik daripada kepalanya disentuh oleh tangan seorang wanita yang tidak halal baginya. Dan sungguh, seandainya seseorang menderita lepra yang parah hingga menembus tulang lengannya adalah juga lebih baik baginya, daripada ia membiarkan seorang wanita meletakkan langannya ke alas lengannya, padahal wanita itu tidak halal baginya. "

[27] Adab kepada seorang ulil amri dalam sebuah organisasi ataupun organisasi adalah tidak membuka pembicaraan inti kecuali dibuka oleh ulil amri itu sendiri.
[28] Lagi-lagi muncul sikap sekulerisme di tubuh kaum Muslimin terutama di masyarakat.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah