بسم الله الرحمن الرحيم
DAMPAK ADAB DARI TOKOH AGAMA
Segala Puji Bagi Allah, Tuhan Semesta Alam yang tiada sekutu bagiNya.
Dia Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Semoga shalawat serta salam tetap
tercurah kepada Sang Utusan Allah, Nabi Besar Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wasallam beserta seluruh keluarga Beliau dan para sahabat Beliau serta umat
Beliau hingga akhir jaman. Amma ba’d.
Pentingnya menyampaikan kebenaran informasi ternyata bukan hanya
isapan jempol semata. Begitupula Islam telah mengajarkan kepada kita untuk
menyelidiki informasi yang masuk kepada kita. Begitu pentingnya menjaga diri
untuk tidak bergosip ria, merupakan hal mutlak yang perlu untuk dijaga.
Tidak kalah pentingnya adalah menguasai ilmu agama dengan benar
sebelum menyampaikan tindakan dan memberikan informasi kepada masyarakat, terlebih berfatwa tentang hukum agama. Bila tidak, maka mustahil ada sebuah ketentraman dalam situasi
lingkungan masyarakat. Selalu ada konflik dan selalu ada permasalahan dalam
satu kampung serta selalu pula ada tetangga yang menjadi ‘bumbu masakan siap
olah’ untuk suatu kepentingan-kepentingan dunia. Su’udzon[1]
kah pernyataan ini?[2]
Apakah bila jelas-jelas ayat-ayat Allah menerangkan tentang sesuatu
mereka menyatakan “su’udzon”? Allah berfirman,
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di
antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[3],
itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[4].
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal. (Ali-Imraan: 7).
Telah jelas
bahwa memang ada sebagian manusia yang suka dengan ayat-ayat mutasyabbih
hanya untuk mencari-cari ta’wilnya (penjelasannya), padahal tiada yang
tahu kecuali Allah Ta’ala saja. Mereka mencari hikmah dan ta’wil
karena ingin mendapatkan prestasi dalam pendidikannya, atau mungkin agar diakui
karyanya, atau mungkin agar tampak ilmiah menurut prasangkanya dan yang paling
berbahaya mereka mencari takwil ayat untuk membenarkan nafsu yang akan
diturutinya. Tapi, semua itu tak lain adalah talbis iblis (jebakan
Iblis) untuk menyesatkan manusia.
Pembahasan
kali ini difokuskan kepada pentingnya ilmu sebelum menyampaikan dan sebelum
bertindak. Ilmu yang paling penting untuk dimiliki manusia adalah ilmu agama,
sebab ini merupakan landasan dasar yang menyelamatkan manusia di dunia maupun
akherat. Tanpa ilmu yang benar dari sisi Allah dan atas apa yang disampaikan
Rasulullah Shalallahu ‘alahi wasallam, maka tatanan kehidupan ini akan
kacau. Bahkan bila bermasyarakat tidak akan tentram dan menentramkan.
Allah
Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan
kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah niscaya
Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan[5]. Ini adalah janji Allah Ta’ala
yang jelas, tentu Allah meninggikan beberapa derajad atas orang yang berilmu
bukan tanpa sebab dan tanpa alasan
karena Ia Maha Mengetahui Hikmah. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang
maka dia diberi pendalaman dalam ilmu agama. Sesungguhnya memperoleh ilmu hanya
dengan belajar.[6]” Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Barang siapa berjalan
untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke syurga[7].
Hikmah
Allah Ta’ala sangat luas, akan tetapi Ia juga memberikannya kepada
sebagian manusia. Hanya saja manusia mendapatkan hikmah dengan porsi sedikit
sekali dari hikmahNya yang sesungguhnya, hal ini tentu karena akal manusia tak
akan pernah sampai pada ilmuNya Yang Maha Luas dan keterbatasan indera ini
adalah sebagian dari ujianNya kepada manusia. Allah berfirman, “Sesungguhnya
Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami
menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.[8]”
Maka sedikit hikmah yang akan kami paparkan berdasarkan ayat-ayat KhauniyyahNya[9]
untuk mendukung ayat-ayat Qhauliyyah[10]Nya
berdasarkan pengalaman
kami membina masyarakat di Komunitas Kadiksuh. Tentu ini adalah sedikit contoh
dari kejadian yang sangat banyak di dunia, baik dari umat terdahulu, sekarang,
maupun yang akan datang.
Tidak
ada salahnya kami menceritakan atas apa yang kami lihat dan apa yang kami
alami. Semua bukan semata karena mengumbar informasi, tapi lebih tepatnya apa
yang bisa kita tarik hikmah dari semuanya dan upaya untuk memberikan sesuatu
manfaat untuk ikhtiar dalam merubah sesuatu menjadi lebih baik lagi. Sekali
lagi, bahwa perubahan itu ada di Tangan Allah akan tetapi usaha kita tetap mendapatkan
nilai di sisiNya. Maka yang terpenting bukanlah masalah perubahan itu, tapi
kebaikan apa yang telah kita lakukan hingga Allah ridho atas pintu syurga dan
segala isinya untuk kita.
Terkadang,
seseorang mengklaim bahwa ilmunya tinggi. Terkadang juga ia mengklaim telah
belajar ke banyak guru terhadap suatu ilmu sehingga ia merasa bahwa ilmunya itu
bermanfaat. Akan tetapi ternyata itu hanya di sisinya semata, bukan di sisi
Allah kemudian di sisi orang lain. Atau terkadang dia memang memiliki banyak
ilmu, akan tetapi ia mengamalkan secara serampangan di tengah-tengah masyarakat
awam, sehingga malah memunculkan banyak probelmatika. Memang benar pernyataan
para ulama bahwa ilmu tanpa adab dalam menuntutnya tidak akan barokah, salah
satu adabnya adalah memahami ilmu itu dan mengamalkannya dengan baik[11].
Bahkan imam ahli hadits sekaliber Imam Ahmad, ahli fiqih sekaliber Imam Syafi’I
dan yang lainnya, mereka terlebih dahulu menerapkan ilmu Al-Qur’an dan hadits dalam
kehidupan mereka baru mereka memasukannya dalam kitabnya. Sebagimana Musnad
Imam Ahmad, yang beliau tidak memasukannya kecuali beliau telah mengamalkan
ilmunya. Bahkan pernah ada salah seorang ulama shalih terdahulu, membeli budak
kemudian memerdekakannya baru beliau berani ceramah mengenai “Keutamaan
Memerdekakan Budak”[12].
Tanpa
adab dan tanpa pengamalan yang baik, ilmu itu menjadi hambar bahkan tidak menjadi barokah tetapi
malah menjadi masalah. Biasanya masyarakat awam mempelajari ilmu agama
setengah-setengah. Mereka belum memahami dasar-dasar agama akan tetapi telah
mempelajari hal yang jauh melampaui kemampuan mereka. Sebagai contoh, mereka
belum mantab dalam mendalami ilmu aqidah dasar, khususnya tentang makna Laa
ilaha ilallah, akan tetapi mereka sudah memberikan suatu komentar tentang hukum
ziarah para wali dan tata cara meminta-minta kepada para wali tersebut di depan kuburnya[13]. Begitupula mereka belum
mempelajari ushul fiqih, akan tetapi sudah mempelajari tentang perbedaan
madzhab.
Tata
cara belajar yang dipaksakan masyarakat pada pondok modern maupun Taman
Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) saat ini, ataupun di pondok tradisional yang
mengatasnamakan ahlussunnah seringkali membanggakan organisasi tertentu,
sehingga terkadang setelah mereka keluar dari pondok mereka menjadi orang yang
merasa dirinya cerdas dan paling benar. Lebih ronis mereka memiliki sikap
ekstrim yang berlebihan kepada organisasi dan golongannya. Mereka,
kelompoknya, dan siapa yang mau mengikuti ajaran fiqihnya sajalah yang masuk
syurga atau paling tidak merasa sepadan dengan derajad agamanya.
Seringkali
pula tatkala anak lulusan pondok melihat dunia luar, mereka kaget atas
perbedaan yang luar biasa besar pada umat Islam ini. Terlebih ada banyak
organisasi yang berdiri di Indonesia ini yang menambah daftar kebingungan mereka. Kasus ini
wajar sebagai anak yang baru keluar dari kondisi kondusif kemudian terjun di medan laga, yaitu kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu di sinilah peranan pendidikan yang paripurna tentang dasar-dasar Islam, luas dan menanamkan pendewasaan
dari para ustad kepada para santrinya selama
di madrasah, guna
membekali anak didiknya agar bermanfaat bagi para lulusan pondok pesantren dalam
menghadapi problematika masyarakat. Apakah mereka memaklumi perbedaan yang ada serta tetap mengkuti
sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam ataukah mereka
intoleransi atas perbedaan yang ada dengan menuruti hawa nafsu mereka? Itu menjadi salah satu tanggung jawab dari para orang tua dan para
guru/ustad. Allahu
a’lam.
Di
sisi lain, masyarakat awam tidak mau peduli dengan masalah agama. Mereka
mengakui bahwa dirinya bodoh akan tetapi mereka tetap tak peduli dengan
kebodohan itu, seakan hidup hanyalah kenyamanan dan mati adalah istirahat total
untuk selamanya. Sewaktu mengadakan penelitian formal di Sanggar Kadiksuh, Bethek, kami mendapati seseorang
mengatakan, “Kayak awak-awak ngene iki ya sakjane nul puthul nang
agama...tapi yo fer-feran ya wis ayo lah....” (Seperti kita ini, sebenarnya
tidak tahu apa-apa tentang agama...tapi ya jujur-jujuran saja lah). Ironis!
lalu kemanakah tokoh agama? ustad? kyai? atau lulusan pondok pesantren?
Inilah
yang akan kita bahas:
Kami
telah menuliskan bagaimana lulusan pondok pesantren untuk saat ini,
tatkala mereka
kurang diberikan teori tentang adab dan tata cara menuntut ilmu oleh para gurunya. Begitu pula dengan Adab
dan tata cara bergaul serta mengatasi
perbedaan umat, dan juga dasar-dasar
agama yang mantab sesuai Al-Qur’an dan Sunnah. Di sisi lain masyarakat awam
yang tidak peduli akan bagaimana ilmu agama, sehingga mereka tak mau belajar
atau tak mau sekedar
datang saja ke majelis para ulama. Dua hal yang bertentangan ini biasanya
terdapat GAP yang besar. Bahkan saya katakan “SANGAT BESAR” mungkin mengandung majas hiperbola, yah, tapi inilah
kondisi di masyarakat. Kami tidak tahu di wilayah lain, karena kami sudah lama
berkecimpung dalam kehidupan masyarakat kampung di Bethek. Sedangkan Ciliwung
insya Allah akan kami bahas kedepan.
GAP
yang besar memang benar-benar tampak, tatkala kedua belah fihak[14]
berinteraksi sosial. Bukan hanya sekedar interaksi sosial, akan tetapi mereka
terlibat dalam kegiatan masyarakat. Di satu sisi, masyarakat awam melakukan
tindakan dengan landasan hawa nafsu mereka disertai kebodohan atas agama Islam.
Sedangkan di sisi lain, para lulusan santri yang dianggap faham agama oleh
masyarakat mengatasi problematika penyimpangan masyarakat ini dengan keras
tanpa mempedulikan ilmu yang mereka miliki. Sayangnya, sewaktu acara itu dinyatakan
mubah/boleh oleh agama Islam, katakanlah lomba 17 Agustus[15]
beberapa tokoh agama yang dianggap memahami agama tidak menghadiri pelaksanaan acara
tersebut. Sehingga bila dapat saya kemukakan sebuah perumpamaan adalah “Gembala
itu tidur sewaktu kuda memakan rumput, akan tetapi sewaktu kuda-kuda itu hampir
masuk batas larangan ia terbangun dengan tergopoh-gopoh lalu mencambuknya
hingga kuda itupun kesakitan dan tak mau lagi digembalakannya.”
Perumpamaan
itu boleh dikata bahwa, tatkala masyarakat melakukan sebuah kegiatan yang
dibolehkan syariat, para tokoh agama tidak turut serta di dalamnya dan membaur
dengan masyarakat dan menampakkan senyumnya. Sehingga hal ini tiada kedekatan
hati antara masyarakat dan ulama. Boleh jadi saat masyarakat bermain itu, para
tokoh agama ikut serta dengan menunjukkan akhlak mereka yang santun, atau boleh
jadi dalam acara yang mubah itu terdapat satu atau dua larangan dalam
Islam, sehingga dia bisa menasehati masyarakat dan memberikan solusi praktis
kepada mereka. Akan tetapi dalam pelaksanaan yang sebenarnya, tatkala
masyarakat itu membuat suatu acara yang mubah para tokoh agama tak
peduli, mereka seakan hanya peduli pada acara keagamaan sebagaimana Isra’
Mi’raj, Maulid Nabi dan semisalnya padahal acara-acara itu pun juga tak pernah
diadakan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian,
tatkala masyarakat itu sudah merasa bebas dan tatkala setan telah menggoda
mereka untuk melanggar batas, baru tokoh agama turun tangan dengan membawa ‘cambuk
besar’ atas mereka sehingga mereka terkejut dan lari tunggang langgang. Kuda saja
kesakitan dan menjadi tidak patuh terhadap penunggangnya bila dicambuk
habis-habisan, apalagi manusia yang memiliki hati.
Pernyataan kami didasarkan atas
ayat-ayat Khauniyyah (kejadian) Allah yang telah terjadi di
masyarakat. Setelah melakukan penelitian didapatkan rekaman yang sangat
memiriskan hati. Sikap intoleransi pada tokoh agama justru dapat memicu
munculnya sekulerisme dan liberalisme, hingga terpecahlah agama ini dan manusia
tidak mengenal agamanya lagi. Salah seorang tokoh pemuda di sekitar sanggar
Kadiksuh Bethek mengatakan tentang tokoh agama di wilayah setempat, “Maksude
kene iku yo lek kegiatan warga yo ayuk ngguyub, lek kegiatan Islam yo ayuk
ngguyub...Wayahe kegiatan agama gelem teka, wayahe kegiatane negara seolah-olah
gak mau tau, kabeh padha...protes.” (Maksudnya kami ini yah, kalau kegiatan
warga mari berkumpul bersama dan saling rukun, kalau kegiatan Islam ya mari
rukun juga...nah ini, saatnya kegiatan agama mau datang, akan tetapi saat
kegiatan negara seolah-olah tidak mau tahu, semua menjadi protes). Perkataan ini
menjadikan hati terasa pedih, tampak terasa sekali bagaimana seorang awam yang
berpikiran sebagaimana Musthofa Kemal Pasha, orang Yahudi yang mengaku masuk
Islam tetapi akhirnya menghancurkan Islam dari dalam. Kemal menyatakan bahwa
Agama dengan Negara itu TERPISAH, ironi. Yeah, akan tetapi ini hanyalah
perkataan orang awam, bagaimana kalau ia berkuasa? Selebihnya, ia berkata
demikian karena sangat anti terhadap perilaku takmir di mushola dekat dengan
sanggat Bethek. Masya Allah.
Peristiwa yang memilukan:
Saya tidak tahu, apakah ini bisa dikatakan
peristiwa memilukan ataukah menggelikan. Tapi hati kami mengatakan ini adalah
IRONIS. Tepatnya beberapa saat sebelum sanggar kami dibangun di Bethek[16],
terdapat sebuah peristiwa yang unik yang mungkin hanya di wilayah situ saja di
dunia ini yang ada. Allahu a’lam.
Kisah
pertama: Tokoh
warga yaitu Ketua RT bersama ketua pemuda, memiliki niat dan ide yang cukup
unik untuk mengarahkan masyarakat mereka agar menghormati Bulan Ramadhan. Mengingat
masyarakat setempat sangat keras dan kurang mendapat perhatian agama, mereka minum
hingga mabuk, judi bahkan juga melakukan zina dan pengantarnya. Suatu saat,
tokoh pemuda (katakanlah Pak P) mendapati sekumpulan pemuda sedang
minum-minuman keras kemudian Pak P berinisiatif memberikan pelajaran kepada
mereka dengan memasukkan mereka ke dalam rumahnya. Pak P melakukan perjanjian
dengan para pemuda itu, perjanjian itu menyatakan bahwa bila mereka ingin minum
sepuasnya hingga mabuk silahkan akan tetapi di rumahnya Pak P dan hanya pada
hari itu. Sedangkan hari selanjutnya, mereka diharuskan menahan diri dulu
selama Bulan Ramadhan dan diwajibkan bagi mereka untuk menghadiri terawih di
Musholla, kalau tidak konsekuensinya mereka akan diusir dari kampung mereka.
Perjanjian
pun berjalan, dan sesuai perjanjian para pemuda menghentikan minumnya bahkan
judi dan zinannya[17]
. Akan tetapi takmir sangat tidak senang bila shalat terawih yang ia imami
didatangi para pemuda yang suka mabuk dan sholat di belakangnya. Lalu takmir
pun mengadakan protes dan perjanjian pun batal seketika itu juga, maka Bulan
Ramadhan tak lain sama seperti bulan yang lainnya di wilayah tersebut. Pak P
mengatakan, “Rumiyin niki lek teraweh kuebek...” (Dahulu di sini bila sholat terawih penuh). Didukung juga
oleh keterangan Pak Ketua RT setempat, “Loh, lek teng mriki teraweh ngantos
emper Mas.” (Loh, kalau di sini sholat terawih sampai belakang masjid Mas).
Lalu Pak P pun menyatakan alasannya, “Akhire arek-arek sing tas waras
dipluinthes...Akhire, saiki arek-arek sing ngombe-ngombe, sing nogel-nogel tak
juuarno wis..” (Akhirnya anak-anak yang baru saja sembuh itu didzalimi.
Akhirnya, sekarang anak-anak itu yang minum ya minum, yang judi ya judi. Saya
biarkan sudah).
Para tokoh agama
seharusnyalah dihormati, akan tetapi saat ini tokoh agam tidak mendapatkan
sebuah kelayakan untuk dihormati. Ada dua faktor menurut kami, yaitu faktor
eksternal yang dilakukan musuh-musuh Islam dalam menghembuskan paham-paham
sesat dan sesuai dengan hawa nafsu. Ada juga faktor internal yaitu sikap dan
perilaku tokoh agama itu sendiri, mereka menganggap dirinya alim akan tetapi
masyarakat itu menganggapnya jauh dari kebijaksanaan. Pak P menyatakan, “Masalahne...digolekna
makmum ya gak isa nyetirrr, awake...awake ngarepe tapi awake nuruti buntute gak
gelem...ya konflik...” (Masalahnya dicarikan makmum tidak bisa membina
dirinya sendiri. Dirinya itu sebenarnya panutan akan tetapi disuruh untuk
menuruti ekornya – maksudnya membina masyarakat – ndak mau...ya konflik)
Peristiwa yang tadi
menyebabkan Pak P dan Ketua RT sepakat bahwa, “Sing ngertii agama mlakune
gak karuan, lah lapoo eh. Sing gak ngerti agama ngono sik karuan, lah iki sing
ngerti agama...patut digugu tah??? Lah iki sing ngerti agama turu kabeh
kok patut digugu...” (Yang tahu agama berjalannya saja tidak karuan, lah
berbuat apa saja itu hah?! Yang tidak faham agama kalau seperti itu masih bisa
ditoleransi, lah ini yang tahu tentang agama...pantas dijadikan panutan tah?
Lah ini yang tahu agama tidur semua kok pantas jadi panutan?...). Laa hawla
wa laa quwwata ilaa billah, astaghfirullah hal adzim.
Kisah kedua: Pernah suatu saat warga mengadakan sebuah acara
pentas seni untuk memperingati 17 Agustus. Mereka mengadakan sebuah acara
pentas seni dan musik di lapangan depan mushola yang saat ini di sebelahnya
mushola itu juga terdapat sanggar baca kami. Tentu menurut Islam, acara yang
demikian ini memang hal yang sangat dekat dengan larangan Allah[18].
Akan tetapi untuk menegakkan syariat Allah, diperlukan ‘ulama. Menurut Syaikh
Hamd ibn Ibrahim dalam kitabnya “101 Adab Penuntut Ilmu”, ulama bukan
hanya orang yang mengetahui tentang ilmu saja, akan tetapi orang yang memiliki
adab dalam menuntut ilmu dan juga mengamalkannya dengan bijaksana. Ulama ialah
orang yang tahu bagaimana ia harus bersikap sebagaimana para ulama terdahulu
bersikap kepada orang yang mengganggunya. Bukankah Allah berfirman,
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan
balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika
kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.[19]”
Ini terkait dengan balasan, bagaimana dengan
dakwah? Maka Allah berfirman,
“Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.[20]”
Inilah agama Islam yang indah yang penuh mutiara
bagi orang berilmu maupun orang awam. Maka, hanya orang yang kurang memahami
atau kurang sabar saja yang mencetuskan akhlak yang buruk dalam penilaian
syariat.
Demi mengetahui acara tersebut takmir merasa
geram, hal yang dilarang agama dilakukan di depan mushola tempat peribadatan. Maka
dengan serta merta beliau pun turun dan menemui tokoh pemuda, lalu beliau
menyampaikan rasa keberatan dengan apa yang dilakukan masyarakat Bethek. Beliau
pun menyarankan agar pentas dan lomba dipindah tempat. Akhirnya masyarakat pun berunding
dan berdiskusi, akan tetapi tidak dicapai kesepakatan. Darah muda adalah
bergolak sedangkan takmir pun bersikeras agar dipindah ke tempat lain. Akhirnya
Pak P sebagai ketua pemuda berinisiatif untuk membawa terpal yang besar sekali
dan menutup mushola dengan terpal itu. “Langsung aku...tutupen...ayooo!!!
tutupen Rek!! Langgar iki cek gak kethok tutupen!! nggawea ndek kene!...Akhire
lare-lare ngamuk Mas, ngantos nggih, ngantos dilaporno...dilaporaken....Sak iki
ya, yakapa arek-arek dilebakna mushala...kula jawabane penak wisan...bah mabuk
nang ngarepe langgar bah ndak sing penting gak nang njerone langgar...njih kula
ngotennn... (Langsung saya – berkata – “Kita tutup saja ayoo!!! tutup saja Rek[21]!! buatlah
di sini!! langgar ini agar tidak terlihat tutup saja!! buat di sini!! Akhirnya
anak-anak marah Mas, sampai dilaporkan. Sekarang ya, bagaimana anak-anak itu
dimasukkan mushola, kalau saya menjawab enak saja sudah...biar mabuk di
depannya mushola atau tidak yang penting tidak mabuk di dalam mushola, yah saya
jadinya begitu saja). Astaghfirullah hal ‘adzim.
Akhirnya mushola
itu pun ditutup sebagaimana Ka’bah ditutup dengan Kiswah dari sutra, kalau
mushola itu ditutup dengan terpal. Akhirnya warga mengadakan pentas di depan
mushola yang sudah ditutup akan tetapi khusus untuk lomba diadakan di lapangan
lain yang medannya cukup berbahaya. Sampai-sampai ada yang terperosok dan
hampir masuk ke dalam sungai yang alirannya cukup deras saat itu. Maka konflik
ini sempat memuncak hingga akhirnya takmir pun dihantam oleh pemuda setempat. Pengeroyokan
pun hampir saja terjadi bila tidak ada kaum tua dan tokoh masyarakat yang turun
tangan untuk meredamnya.
Kisah Ketiga:
Kisah ini yang
sangat memiriskan. Suatu hari, kami bekerja bakti membersihkan sanggar
dilanjutkan dengan menghias sanggar. Adik-adik asuh kami pun mengusulkan agar
sanggar dihias dengan kain flanel yang kemudian di dalamnya dimasukkan dakron
putih, sehingga seperti bangun tiga dimensi yang membentuk huruf demi huruf
yang bertuliskan “KDS WE LOVE YOU.” Sementara untuk membuatnya adek-adek
berkumpul di dalam musholla seperlu menggunting dan menjahit kain flanel untuk
dibentuk menjadi sebuah bangun tiga dimensi.
Tiba-tiba datang
seorang ibu dengan menggendong anaknya yang berusia 2 tahun. Anak itu juga adik
dari adik-adik asuh kami. Sang ibu meminta agar kami bekerja di beranda
musholla karena di dalam bisa “berbahaya”. Melihat hal ini, kami
memandang bahwa beranda musholla tak kondusif untuk dijadikan lahan bagi
adik-adik dalam membuat karya, mengingat lantai dingin dan tak berkarpet saat
itu. Bahan-bahan pun sudah terkumpul di musholla, serta kondisi angin dan debu
yang tebal menyebabkan sangat rentan adik-adik terkena penyakit. Kami pun
menyatakan bahwa insya Allah tak apa-apa.
Kegiatan itu pun
berlangsung hingga sekira pukul 14:00, tiba-tiba adik asuh usia 2 tahun ‘pipis’
di musholla, saat itu ibunya lupa untuk mengenakan Pampres padanya. Kami pun
menenangkan semua yang ada dalam musholla dan kami katakan bahwa ini najis yang
tidak berat. Maka kami meminta seciduk air kemudian menuangkannya di bekas
kencing adik itu. Lalu kami meminta kain untuk menyerap air yang membasahi
karpet musholla[22]. Mencuci
karpet musholla saat itu adalah tidak mungkin karena pertimbangan waktu dan
keadaan, selain itu najis tersebut adalah najis mukaffafah[23], sehingga
cukuplah seciduk air untuk membersihkan bagian yang terkena najis[24].
Lagipula air kencing itu tidak terlalu banyak karena sebagian besar sudah
terserap oleh kain di celananya. Demi melihat semua yang khawatir, kami pun
menenangkan mereka dan mengatakan bahwa insya Allah apa yang kami lakukan sudah
membuat karpet suci. Setelah sholat ashar, kami pun pulang dan adik-adik kami
minta untuk istirahat dan meneruskan keesokan harinya.
Akan tetapi namanya
juga anak-anak, ada salah seorang yang cerita bahwa musholla telah terkena
najis berupa kencingnya adik Fulan yang pipis di dalam musholla. Berita ini
tersiar hingga plosok kampung. Awalnya kami tidak mengetahui adanya suatu penyebaran
informasi ini, karena kami telah berpesan hal itu tidak perlu dibicarakan
kepada orang lain, jangan disebarkan dan insya Allah telah disucikan oleh Allah
melalui apa yang kami lakukan. Akan tetapi penyebaran berita ini ternyata telah
kami ketahui tatkala kami akan mengadakan acara pertemuan PERSAHABATAN II.
PERSAHABATAN II,
merupakan acara dimana adik-adik Ciliwung akan kami pertemukan di Sanggar Darul
Musthofa Bethek. Tatkala itu, selain bertemu mereka juga harus menunjukkan
pertunjukkkan terbaik oleh masing-masing wilayah sanggar baca. Hal ini untuk
memicu semangat bersaing yang membangun. Demi mewujudkan rasa keadilan, maka
kami mencoba untuk membagikan hadiah berdasarkan obyektifitas yang ada, yaitu bukan
hanya bagusnya tampillan akan tetapi bagaimana mereka mempersiapkan penampilan
mereka dan proses selama latihan.
Kembali ke
permasalahan. Sehari sebelum acara Persahabatan II kami harus memasang spanduk
yang telah kami cetak. Spanduk itu untuk memeriahkan acara dan menghias sanggar
menjadi lebih baik. Betapa terkejutnya kami tatkala sanggar sudah berubah
total, karpet bagian barat yang mash basah terkena bocoran air hujan tiba-tiba
bersih mengkilap. Belum lagi almari takmir yang tadinya terletak di tempat yang
satu bergeser di tempat yang lainnya. Kami pun mengira adik-adik mungkin yang
membersihkan sanggar ini, tapi anehnya lemari bergeser dan itu bukan hak kami
sebagai pengelola sanggar untuk memindah-mindah apa yang bukan milik kami. Kami
pun akhirnya memasang spanduk itu dengan penuh tanda tanya. Tiba-tiba seorang
adik yang juga ketua sanggar baca Darul Musthofa datang dan memberitahukan
bahwa ketua Takmir telah membersihkan semuanya.
Betapa kagetnya
kami, karena seharusnya yang membersihkan itu semua adalah kami karena itu
adalah wilayah sanggar baca yang kami bersama adik-adik kami kelola. Akan
tetapi karena keterbatasan waktu, dimana kami juga sibuk. Di sisi lain,
keterbatasan tenaga bagaimana mungkin kami mengangkat karpet basah yang begitu
berat dan barang-barang takmir pun bukan menjad hak kami. Adapun para pembina pernah
kami undang untuk kerja bakti membersihkan sanggar, akan tetapi sedikit sekali
kakak pembina yang bisa datang, selain itu inventaris masjid juga bukan menjadi
hak kami untuk membersihkannya bahkan sekedar memindahnya. Sebagaimana
Al-Qur’an yang telah usang dan penuh sobekan-sobekan, seharusnyalah itu dibakar
agar tidak dibuang seenaknya di tempat sampah. Akan tetapi kami takut terjadi
suatu perkara yang besar yang masyarakat salah faham.
Di tengah-tengah
kegiatan kami memasang spanduk dan menata tempat untuk acara esok harinya serta
ada beberapa adik-adik yang meneruskan pekerjaan flanelnya, tiba-tiba datang
ketua takmir dengan tergopoh-gopoh. Beliau langsung turun dan mendamprat kami
dengan kata-kata keras dan menyatakan bahwa kami tak bertanggung jawab atas
najis yang ada di musholla. Kami pun dibuat bingung, “najis”? mungkin karena
kami jarang membersihkan sanggar dan musholla hingga menurut mereka menjadi
najis, lagipula memang tenaga dan waktu kami yang terbatas hingga merapikan
saja butuh dua minggu. Apabila dikerjakan mulai pagi sampai sore insya Allah
bisa beres, akan tetapi waktu kami untuk membersihkan sanggar hanya hari Ahad
setelah kajian ilmu yaitu sekitar pukul 10:00 s.d ba’dan dhuhur sekira jam
14:00 WIB. Itu pun tidak banyak kakak yang datang, dua atau tiga paling banyak
lima itu pun sangat jarang sekali.
Maklum, kami tahu kesibukan mereka dan dalam
urusan kerja bakti membersihkan sanggar memang kami tekankan kakak yang laki-laki
karena harus mengangkat yang berat dan menata buku-buku yang sangat banyak. Kakak
perempuan pun bila kami undang datang bagai gelombang, syang atu datang dan yang
lain pulang. Tapi kami sabar menghadapi dampratan takmir ini. Kami hanya diam
dan sesekali menyahut untuk mengulang kata-kata takmir yang dirasa penting
untuk menyenangkan hatinya. Bahwa kata-kata penting itu diperhatikan, akan
tetapi kami yakin bahwa beliau tak faham bagaimana kondisi kami sebenarnya,
kecuali Ketua RT dan Tokoh Pemuda. Demi memendam rasa takut yang luar biasa,
adek-adek pun satu demi satu beringsut pergi meninggalkan kami dan sanggar pun
sepi dari anak-anak.
Pukul 16:30 selesailah
kemarahannya dan beliau pamit undur diri. Alhamdulillah, lalu kami pergi
menemui Ketua RT untuk mengkonvirmasi hal ini, ternyata ketua takmir sudah di
depan rumah Ketua RT saat itu. Tapi Pak Ketua RT sedang pergi untuk mencari
nafkah, sehingga kami terlibat pembicaraan panjang kembali dengan ketua takmir.
Pembicaraan selesai beberapa saat sebelum adzan maghrib dikumandangkan. Pembicaraan
dengan ketua takmir itu intinya adalah: (1) Ketua takmir tidak setuju dengan sanggar
baca yang ada di samping musholla, dan itu sudah dinyatakan dari awal
pembangunan sanggar; (2) Ketua takmir menyesalkan najis yang terjatuh di dalam
musholla berupa kencing anak kecil; (3) Takmir menyesalkan tiadanya kerja bakti
untuk pembersihan sanggar dan mushollah yang menjadikan jamaah nyaman; (4)
Ketua Takmir merasa tersinggung karena tiadanya koordinasi dengan takmir dalam
urusan agama, sedangkan Ketua RT adalah urusan masyarakat. Sehingga apabila
acara kami berada di Mushola harusnya melapor kepada Ketua Takmir.
Mengingat takmir di
Sanggar Darul Musthofa ada beberapa orang, akan tetapi yang dirasa aktif
menggerakkan hanya dua saja. Ketua takmir yang beliau ditunjuk menjadi imam utama
bila beliau ada di lokasi dan takmir anggota yang beliau ditunjuk sebagai imam
pengganti imam utama bila ketua takmir tak berada di tempat. Kami mengira bahwa
pembicaraan takmir tersebut adalah sebuah kesepakatan seluruh takmir sehingga
kami pun merasa bahwa posisi kami terjepit. Akan tetapi kami menyerahkan pada
Allah saja, andai mereka mengusir kami insya Allah masih ada Ciliwung sebagai
markas kami dan kami bertekad insya Allah kami masih akan berkunjung dan
sedikit banyak memberikan ilmu kepada adik-adik kami semampu kami. Itulah tekad
kami, akan tetapi semua di Tangan Allah Ta’ala.
Kami pun sholat
maghrib bersama warga di Musholla Darul Musthofa, saat itu yang menjadi imam
adalah ketua takmir selaku imam utama. Setelah selesai sholat maghrib kami pun
telah merampungkan pemasangan spanduk dan hendak pulang. Kami pun akan
mengambil tas yang kami titipkan di rumah Dek Eliana yang terletak persis di
depan sanggar. Mengingat Dek Eliana adalah ketua sanggar baca Darul Musthofa –
Bethek – yang dia sangat aktif menggerakkan teman-temannya untuk mau les pada
kami. Demi melihat sesuatu yang kami tak tega untuk meninggalkan rumah Dek
Eliana, akhirnya kami pun masuk rumahnya. Terlihat ia menangis terisak-isak. Kami
pun mendekatinya dan duduk di sebelahnya, mengingat dia belum bisa dikatakan
baligh secara syariat, karena belum datang bulan dan usia belum genap 15 tahun[25].
Demi menenangkannya, serta secara syariat yang kami yakini bahwa larangan
menyentuh perempuan bukan mahram jatuh saat seorang wanita itu sudah menginjak
masa baligh[26], maka kami
duduk di sebelahnya dan kami rangkul dia serta kami dengarkan perkataannya yang
tidak jelas karena isak tangisnya.
Di sampingnya lagi
ada ibunya yang juga mendengarkannya, karena tidak jelas dalam berbiacara maka
kami tanyakan permasalahannya setelah ia puas dalam menangisnya. Akhirnya saat
itu Ibunya turut membantu menjelaskan apa yang terjadi. Beliau berkata bahwa puterinya
dimarahi oleh nenek-nenek dengan menunjuk-nunjuk wajahnya dan dengan kata yang keras
dan menyakitkan setelah sholat maghrib. Dikatakan juga bahwa beberapa jamaah
putri memarahinya dan mengatakan kepada Dek Eliana di depan wajahnya bahwa ia
tak becus dalam menjaga adiknya, hingga kencing di musholla. Ironisnya,
nenek-nenek yang juga merupakan salah satu jamaah puteri itu melontarkan
kata-kata kotor yang sangat menyakitkan pada anak kecil. Ia pun sakit hati dan
pulang dengan amarah yang meledak, karena tak bisa meluapkan emosinya dengan
tindakan dan perkataan maka ia pun menangis sejadi-jadinya.
Demi menenangkannya
kemudian kami katakan, bahwa kami pun juga terkena marah ketua takmir karena
najis, lalu kami yang kebingungan bertanya, “Dik, apa hubungannya antara najis
dengan kamu ndak becus menjaga adikmu?” ibunya bilang bahwa masalah ini adalah
masalah yang datang pada beberapa hari yang lalu dimana adiknya kencing di
musholla dan sekarang menjadi perkara besar. Perkara ini dihembuskan beberapa
orang lalu melaporkannya kepada ketua takmir. Baru saat inilah kami tahu
permasalahannya.
Kami pun kaget,
ternyata masalah sepele yang terjadi hari ahad itu sampai mengenai hati seorang
anak kecil yang masih usia SMP serta menyalahkan tindakan anak kecil yang masih
tak tahu apapun kecuali belajar bicara dan berjalan. Masya Allah, inikah
perkaranya?
Setelah lama kami
mendengar keterangan ibunya, Dek Eliana pun berusaha menahan tangis lalu
berbicara banyak kepada kami. Ia pun berbicara panjang lebar tentang masalah
yang ada dan perasaannya yang sakit kala itu. Salah satunya ia mengatakan bahwa
ia sudah banyak melakukan untuk sanggar, akan tetapi ia selalu saja disalahkan
dalam segala hal yang berkaitan dengan sanggar. Ia sangat capek merasakan
olok-olokan warga yang terus ditujukan padanya. Dan ada banyak sekali yang ia
katakan, setelah itu kami memberikan motivasi yang dapat mendukungnya. Kami
faham, motivasi yang kami berikan tidak ada apa-apanya bagi mereka, karena
mereka mengetahui betul terhadap lingkungan setempat dan mereka tinggal di sana
dan tak akan bisa berpindah kecuali Allah menghendaki. Sedangkan kami hanyalah
orang yang mampir untuk melakukan yang kami mampu. Andai terjadi apa-apa kami
bisa mengundurkan diri di wilayah situ, akan tetapi tidak untuk Dek Eliana dan
yang lainnya. Akhirnya kami katakan, bahwa ia akan mendapatkan hadiah utama
yang saat ini masih dibungkuskan oleh Kakak-kakaknya yang lain. Mengingat ia
adalah seorang pelopor yang kakak-kakak semua mengagumi ketangguhannya dan
tanggung jawabnya.
Demi mendengar
curahan hati keluarga Dek Eliana, kami pun harus mengambil langkah cepat dengan
berkoordinasi kepada Ketua RT dan RW serta takmir yang ada. Tapi karena saat
itu malam dan kami harus menemui juru biacara Komunitas Kadiksuh, maka kami
tunda dulu untuk koordinasi dengan para tokoh masyarakat. Masalahnya, tempat
belum kami tata dengan baik dan masih perlu suatu hal untuk dibenahi dan karpet
harus digelar. Tapi karena adanya desas-desus acara mau dibatalkan oleh pihak
warga yang benci dengan sanggar, kami harus pasang strategi khusus. Kami pun
mengatakan kepada Dek Eliana dan Ibunya, bahwa kami harus ke rumah penasehat
dan juru bicara Komunitas Kadiksuh malam ini juga. Sedangkan untuk menata
karpet kami lakukan malam hari setelah dari rumah sang jubir Komunitas. Mereka
pun setuju. Saya katakan bahwa jangan ada yang keluar untuk membantu kami,
khususnya Dek Eliana yang telah mendapatkan dampratan luar biasa. Hal ini untuk
mengistirahatkan badannya dan juga ruhaninnya yang cukup sakit akibat dampratan
jamaah putri dengan perkataan sangat kasar, mengingat esok harinya dia harus
tampil sebagai pembawa acara.
Akhirnya pukul
21:30 WIB kami pun datang ke sanggar lagi, hanya dua orang. Langkah kami pun dibuat
sehalus mungkin, sedangkan sepeda motor kami parkir jauh dari pemukiman warga
yang sedang tidur nyenyak. Akhirnya, kami pun beraksi dengan cepat, kami menggelar
karpet dan tikar, menata buku lalu membereskan apa yang ada. Namanya juga
anak-anak, ada beberapa adik yang belum tidur dan mereka pun datang ke sanggar
dengan ceria mereka membantu kami. Melihat hal itu, kami tidak tega untuk
mengusir mereka, akan tetapi suara mereka cukup keras hingga kami khawatir
takmir datang untuk membatalkan acara sepihak mengingat undangan sudah kami
sebar dan kami siapkan bagi adik-adik di Ciliwung. Mereka tak memahami apapun
dan juga tak memahami bagaimana kondisi sebenarnya di Sanggar Baca Bethek, kami
pikir tak perlu mereka ikut-ikut dan mereka harus tidak tahu mengenai hal ini.
Kami pun meminta kakak
pembina dan adik-adik yang hadir saat itu agar tidak terlalu keras dalam
berbicara karena bisa membangunkan adik-adik yang sedang tidur lainnya. Dengan
bangunnya adik-adik yang lain, maka sanggar akan menjadi ramai oleh anak kecil
dan orang dewasa pun menjadi terbangun karena keramaiannya.
Tetapi, tiba-tiba
datanglah Pak Ketua RT menuju sanggar, tatkala itu kami sedang membersihkan
sanggar dan menatanya. Kami pun menyambutnya dan menjelaskan tentang acara yang
akan kami gelar. Akan tetapi beliau mungkin saat itu belum memahami
permasalahan yang baru saja meledak. Beliau tampak lelah sekali sehabis mencari
nafkah, tatkala itu waktu menunjukkan pukul 22:30. Kami akan konfirmasi malam
itu tidak mungkin. Dugaan kami betul, ternyata Pak Ketua RT tidak membicarakan
apapun terkait masalah yang muncul hari itu. Biasanya bila ada masalah terkait
sanggar beliau langsung mengontak dan membicarakan dengan kami. Setelah Pak
Ketua RT undur diri, kami pun melanjutkan aktivitas kami, setelah selesai kami
pun mengontak salah seorang teman kami yang kami tugaskan untuk menjaga sanggar
dan datang pada pukul 06:00 WIB keesokan harinya. Malam itu juga dia menyatakan,
“insya Allah sanggup datang besok pukul 06:00 WIB”.
Esoknya, teman kami
yang bertugas sebagai pengawas utama dan penghalau serta memberi informasi
terkini terkait aktivitas sanggar pun datang tepat waktu. Kami merasa bahwa
takmir akan bertindak untuk membatalkan acara yang sudah dirancang jauh hari,
maka kami memohon kepada Allah kemudian berikhtiar agar tidak kecolongan. Kami
sendri harus menjemput adik-adik Ciliwung dan mereka harus datang di sanggar
pada pukul 08:00 WIB. Pada pukul 07:30 kami pun berangkat dari Sanggar
Ciliwung, kemudian kami mengontak teman kami yang berjaga di Sanggar Bethek serta
menanyakan tentang kondisi adik-adik terkini di Bethek. Ia menjelaskan, bahwa
sanggar masih sepi dan tidak ada anak sama sekali sedangkan dia posisi berada
di rumah Dek Eliana.
Demi mendengar
informasi tersebut, kami pun terkejut. Adik-adik Ciliwung sudah meluncur ke
sanggar, akan tetapi tidak ada satu pun adik yang ke musholla? Akhirnya,
adik-adik Ciliwung pun sampai di Sanggar Darul Musthofa Bethek. Mereka menuju
sanggar akan tetapi mereka masih sungkan-sungkan untuk memasuki musholla.
Kondisi mencekam, tiada satu pun adik-adik dari Sanggar Bethek yang datang ke
musholla.
Tetapi Alhamdulillah,
beberapa saat kemudian kakak-kakak yang membina di Sanggar Ciliwung saat
itu banyak berdatangan setelah beberapa menit kami sampai. Kondisi sanggar
menjadi ramai. Melihat keramaian di sanggar, adik-adik di Bethek jadi berani
untuk mendatangi sanggar dan musholla, satu per satu mereka memasuki musholla hingga
Mushola menjadi penuh adik-adik asuh. Ternyata, mereka takut untuk datang ke
musholla, karena mendengar bahwa musholla akan dibersihkan besar-besaran oleh
takmir dan takut bila mereka mengikuti acara kami maka mereka akan diusir.
Sekali lagi Alhamdulillah,
adik-adik asuh di Bethek pada berdatangan ke musholla dan mengikuti kegiatan
kami. Terlebih setelah ada Ustad Rahmad yang mengisi acara kajian yang lucu dan
menyegarkan. Pada saat yang sama, kami mengundang beberapa kakak asuh di Bethek
untuk bisa hadir di rumah Dik Eliana untuk menenangkannya dan memberikan
motivasi untuk lebih giat di sanggar. Sedangkan kami juga harus menjelaskan beberapa
perkara yang menimpa sanggar kami di Bethek. Mereka pun menyetujui dan siap
berkumpul di rumah Dek Eliana.
Setelah acara
selesai, kami pun mengantarkan adik-adik ke Sanggar Ciliwung. Setelah memakan
waktu yang lama karena macet, kami pun sampai di sanggar. Setelah itu, kami pun
masuk dan membuka musyawarah. Akan tetapi tatkala mengatakan hal ini, betapa
terkejut kami mendengar beberapa orang protes, bahwa yang kami katakan sudah
dikatakan oleh juru biacara Komunitas, maka tidak perlu diulang. Kami pun kaget
bukan kepalang, ketua komunitas belum membuka tetapi sudah didahului orang lain
dan telah mengetahui permasalahannya? mengingat adab yang ada dalam Islam bahwa
hal itu adalah kurang layak untuk dilakukan[27].
Kami berpikir, ini yang perlu diadakan perbaikan walau pelan-pelan dan sedikit
demi sedikit. Akan tetapi saat itu bukan saatnya berdebat tentang adab
organisasi dan kami pun faham bahwa waktu telah menginjak sore.
Akhirnya kami hanya
memberi kesempatan berbicara kepada Dek Eliana dan Ibunya, atas apa yang
menimpa kehormatan mereka, berupa dampratan dari warga. Dek Eliana diam, ia
lebih suka berbicara kepada Ketua Komunitas dan beberapa orang yang ia anggap dekat
daripada. Akhirnya kami pun mengatakan, “Apa yang kalian bisa lakukan di
sanggar ini? bukan diri kalian sendiri saja, akan tetapi lihatlah adik-adik kita.”
Mereka pun menjawab satu persatu, Alhamdulillah yang menjawab adalah
mereka yang eksis dalam bergerak di sanggar walau mereka cukup sibuk dimakan
waktu. Tatkala itu, hadiah utama pun diminta untuk dibuka, betapa senangnya
adik kami yang satu itu tatkala menerima tas warna biru kesenangannya. Kami
kira masalah selesai, dan tidak perlu diperpanjang. Tapi kami harus
berkoordinasi dengan takmir saat itu juga.
Setelah ke rumah
takmir, kami pun mengutarakan permintaan maaf yang sebesar besarnya atas
kurangnya tanggung jawab kami. Takmir pun mengatakan sama seperti yang beliau
katakan saat hari sabtu sore itu. Beliau juga menambahkan bahwa Ketua Komunitas
yang sekarang tidak pernah berkoordinasi dengan takmir. Beliau merasa
tersinggung dengan langkah kami, karena apapun yang berkaitan dengan agama
adalah hak Beliau, dan kemasyarakatan adalah hak Pak RT[28].
Setelah puas mengungkapkan kekesalannya pada kami, kami pun pamit undur diri
kepada Ketua Takmir. Di perjalanan kami berdiskusi dengan penasehat Komunitas
Kadiksuh, lalu dikatakan bahwa ketua komunitas harus meningkatkan koordinas
dengan takmir. Lalu ia mengatakan, “Bukankah yang bertanggung jawab atas
koordinasi warga adalah Ketua RT, dan Pak RT juga pemimpin tertinggi musholla.
Sedangkan takmir diangkat oleh Ketua RT.” Akhirnya dicapai kesepakatan, bahwa
koordinasi tetap di RT akan tetapi mungkin Ketua Takmir hanya mendapat undangan
bila ada acara.
Keesokan harinya,
yaitu tepat hari Senin kami ingin berkoordinasi dengan Ketua RT, apakah memang
masalah ini tidak disetujui oleh seluruh warga dan seluruh takmir Musholla
Darul Musthofa, ataukah hanya segelintir orang saja yang memang mereka tidak
senang dengan keberdaan kami? Tentu saja permasalahan ini terkait dengan
sanggar dan kegiatannya. Kami pun melakukan perbincangan hangat dengan Ketua RT
setempat dan diperoleh hasil bahwa, “alhamdulillah...alhamdulillah hamdan
katsiro mubarokan fih Ya Allah” Ketua RT justru mendukung penuh kegiatan
kami untuk membina adik-adik serta melakukan upaya untuk membendung arus fitnah
yang tertuju kepada kami. Bahkan Ketua RT marah terhadap ulah oknum yang merasa
mengklaim bahwa musholla itu adalah miliknya, “Musholla itu milik semua, milik
umat. Bukan hanya milik dia saja! tidak masalah, teruskan kegiatan sanggar dan
jangan takut sama ketua takmir itu” mungkin itu kutipan yang sempat kami
tangkap dari beliau.
Belum cukup puas
dengan keterangan Ketua RT setempat, kami mendatangi rumah Ketua RW sanggar
Bethek. Ketua RW setempat sama seperti apa yang disampaikan oleh Ketua RT dan
beliau melakukan upaya untuk membendung oknum yang merasa menguasai musholla
dan ilmu agama akan tetapi justru meresahkan masyarakat. “Saya harap tidak ada
apa-apa, tetapi kalau memang masih tetap berlanjut dan membesar, maka saya akan
turun langsung ke masyarakat!” itu ujar Ketua RW setempat kepada kami.
Maka, inilah peran
adab para ulama baik itu ustad, kyai, syaikh, guru termasuk juga kakak-kakak
yang merupakan sebuah pelopor kebaikan harusnya menyampaikan kebenaran dengan
adab dan akhlak serta strategi, bukan dengan emosi dan dengan keegoisan yang
dijaga ketat dalam diri. Hendaknya mengetahui seni dakwah yang benar dan bukan
mentang-mentang mengetahui tentang agama, lalu main gasak kanan dan kiri saja. Inilah
yang menyebabkan agama Islam redup dari cahayaNya, dan menyebabkan nonmuslim
tak lagi simpati kepada umat Islam. Mengapa adab dan akhlak itu tak lagi ada
pada alim ulama khususnya mereka yang tinggal di perkampungan dan pesedaan?
Mengapa seringkali terjadi GAP yang besar antara orang ‘alim dengan orang jahil
di suatu tempat bahkan terjadi bentrok fisik? mengapa kaum nonmuslim tak lagi
simpati terhadap muslim bila berkunjung ke tempat-tempat perkampungan dan
pedesaan pada umunnya? Insya Allah hal ini akan kami bahas pada pembahasan
berikutnya pada judul “Antara Keingkaran Sunnah dan Kemunduran Ummah”
Allahu a’lam.
Ditulis Oleh:
Ketua Komunitas Kakak Adik Asuh (Kadiksuh) periode
II (2011-2012)
@nd.
[1] Berprasangka buruk.
[2]
Karena saat ini, banyak dosen dan para mahasiswa kalau melihat ayat-ayat Allah
menerangkan sesuatu tapi belum terbukti secara empris mereka mengatakan
“su’udzon” kepada orang yang menyampaikan berita kabar itu. Seperti orang yang
menyatakan, “Pelaku riba adalah dosa besar” mereka mengatakan “jangan
su’udzon”. Begitupula dikatakan, “Panjang angan-angan dapat menjauhkan manusia
kepada Allah Ta’ala” seorang mahasiswi juga menyatakan “jangan
su’udzon”. Apa maksud mereka dengan hal ini? apakah akal yang telah mereka
kedepankan? Allahu a’lam.
[3]
Ayat-ayat yang jelas kandungan maknanya, “Seperti” “Bermegah-megahan
telah melalaikan kamu” (At-Takastsur: 1). Maknanya jelas bahwa
bermegah-megahan itu melalaikan manusia.
[4]
Adalah ayat-ayat yang perlu penafsiran tentang hal itu, tentu saja penafsiran
ini hanya layak ditafsirkan dengan kaidah-kaidahnya berdasarkan urut-urutannya.
Dimana penafsiran Al-Qur’an itu adalah: (1) Al-Qur’an ditafsirkan dengan
Al-Qur’an; (2) Al-Qur’an dengan Hadits; (3) Al-Qur’an dengan pernyataan para
sahabat Rasul; (4) Al-Qur’an dengan penafsiran para tabi’in/murid para sahabat;
(4) penafsiran dengan ijma’ ulama/kesepakatan ulama yang shalih seluruh dunia
bukan atas dasar kelompok dan kepentingan tertentu (atau dalam mewakilinya
adalah pada lembaga Lajnah Dho’imah atau lembaga fatwa); (5) Dengan kaidah ilmu
Bahasa Arab. Contoh, “Alif laam miin.” Ini termasuk
mutasyabbih, karena tak ada yang tahu maknanya, akan tetapi sebagai seorang
yang beriman maka dikatakan, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”. Allahu
a’lam
[5]
Al-Qur’an, Surat Al-Mujaadilah: 11
[6]
Hadits Riwayat Imam Bukhari
[7]
Hadits Riwayat Imam Muslim
[8]
Al-Qur’an, Surat Al-Kahfi: 7
[9]
Ayat-ayat yang berdasarkan kejadian nyata di bumi
[10]
Ayat-ayat yang tertera dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
[11]
Syaikh Hamd ibn Ibrahim. 1423/2002. An-Nubatdz Adab Thalib al-‘Ilm. Maktabah
Ibnul Qayyim. Saudi Arabia
[12]
Diambil dari intisari kajian Kelas Ramadhan setiap sore di Bulan Ramadhan di
Masjid An-Nur Jagalan Saleyer Kota Malang oleh Ust. Abdullah Shalih al-Hadhromi
dengan tema pembahasan kitab An-Nubaatdz Thalib al-‘Ilm (101 Adab Penuntut
Ilmu).
[13]
Maksudnya, mereka belum memahami tentang bagaimana hukum tawasul menurut aqidah
dan apa saja tawasul yang benar, inilah dasar ilmu. Akan tetapi mereka langsung
mempelajari fiqih tawasul/tata cara bertawasul yang mereka anut tanpa
mempedulikan apa hukum tawasul yang benar menurut agama dan apa saja yang boleh
dan apa pula yang dilarang.
[14]
Lulusan pondok pesantren dan Masyarakat awam
[15]
Penulis mendasarkan hal ini adalah mubah bila tidak ada sesuatu yang
menjadikannya haram. Karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pun
pernah melakukan lomba berkuda. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radliyallaahu
'anhu: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mengikuti lomba
kuda yang dimulai dari Hafaya' dan berakhir di Tsaniyyatul Wada', dan mengikuti
lomba kuda yang tidak dikempiskan perutnya dari Tsaniiyah hingga Banu Zuraiq,
dan Ibnu Umar adalah termasuk orang yang ikut berlomba (H.R Bukhari &
Muslim).
[16]
Tidak sebaiknya kami menyebut alamat lengkap
[17] Allahu
a’lam
[18]
Di dalamnya terdapat alunan musik dan nyanyian para wanita yang diharamkan.
Terdapat tabarruj (berlebihan dalam berdandan) serta Ikhtilath
(bercampur baur laki-laki dan perempuan bukan mahramnya).
[19]
Al-Qur’an, Surat An-Nahl: 126
[20]
Al-Qur’an, Surat Ali Imran: 159
[21]
Panggilan khusus untuk memanggil pemuda di wilayah Jawa
[22]
Dalam kitab fiqih Imam Syafi’I, dinyatakan bahwa najis sebagaimana kencing tak
harus dibasuh dengan air dengan cara mengalirkan air kepada yang terkena najis,
hingga hilang bau, rasa dan warnanya. Maka kami saat itu mengambil seciduk air
lalu kami tuangkan ke atas najis, hingga telah mewakili air itu ‘mengalir’ ke
atas karpet yang najis. Sedangkan adik asuh saat itu sudah berumur 2 tahun dan
telah memakan (makanan) selain air susu ibunya. Apabila belum memakan suatu
makanan, maka disebut najis ringan/muthawwasithah yang membersihkannya
dengan cara memercikkannya saja, tanpa mengguyurnya di atas najis. Sebagaimana
Rasululllah tatkala membersihkan air kencing bayi yang masih menyusui ibunya.
Akan tetapi karena sudah memakan makanan yang lain, maka najisnya tergolong
sedang/mukaffafah, sehingga sedikit banyak harus dialirkan air pada
karpet yang terkena najis. Mengingat kondisi saat itu, maka air yang dialirkan
hanya sebatas tangan seorang pembina kadiksuh. Dan insya Allah itu adalah
cukup.
[23]
Najis sedang, dimana cara membersihaknnya dengan menghilangkan warna, bau dan
rasa, dengan cara mengalirkan air ke atas benda yang terkena najis tersebut
(berdasarkan fiqih Imam Syafi’i).
[24]
Syaikh Abu Syuja’ al-Asfihni. 2008. Fiqih Islam Tradisi (terj) Mtn
al-Ghaayah wat Tarqib. Oleh: Faiz el Muttaqiem. hal 16. Ampel Mulia:
Surabaya.
[25]
Menurut beberapa pengikut syafi’iah, usia baligh ada 3: Salah satunya adalah
genap berusia 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan, bila tanda-tanda khusus
yaitu datang bulan tidak juga kunjung datang.
[26]
Larangan menyentuh perempuan bukan mahram termaktub dalam hadits, َلاَنْيَقْرَعَ الرَّجُلُ قَرْعًا
يُخْلِصُ اِلٰى عَظْمِرَ أْسِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ اَنْ تَضَعَ امْرَاَةٌ يَدَهَا
عَلٰى رَأْسِهِ لاَتَحِلُّ لَهُ، وَِلاَنْ يَبْرُصَ الرَّجُلُ بَرَصًا حَتّٰى
يُخْلِصَ الْبَرَصُ اِلٰى عَظْمِ سَاعِدِهِ لاَتَحِلُّ لَهُ ”Sungguh, jika seseorang dipukul sampai menembus tulang kepalanya adalah
lebih baik daripada kepalanya disentuh oleh tangan seorang wanita yang tidak
halal baginya. Dan sungguh, seandainya seseorang menderita lepra yang parah
hingga menembus tulang lengannya adalah juga lebih baik baginya, daripada ia
membiarkan seorang wanita meletakkan langannya ke alas lengannya, padahal
wanita itu tidak halal baginya. "
[27]
Adab kepada seorang ulil amri dalam sebuah organisasi ataupun organisasi adalah
tidak membuka pembicaraan inti kecuali dibuka oleh ulil amri itu sendiri.
[28]
Lagi-lagi muncul sikap sekulerisme di tubuh kaum Muslimin terutama di
masyarakat.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah