SURAT KAUM NASRANI TERHADAP AMIRUL
MU’MININ
UMMAR IBNUL KHATHTHAB radhiyallahu
‘anhu
Segala Puji hanya milik Allah semesta
alam. Dialah Yang Maha Esa dan memiliki Seluruh Kerajaan Langit dan Bumi.
Dialah yang memberikan kebebasan sementara kepada orang-orang kafir hingga
waktu yang telah ditentukan, hingga habislah waktu itu maka mereka semua
dihinakan dengan sehina-hinanya.
Semoga shalawat serta salam tetap
tercurah kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
penghulu para nabi dan rasul yang mulia. Dan semoga tetap dicurahkan pula
shalawat serta salam kepada para ahlul bayt termasuk istri-istri Beliau Ummul
Mu’minin Khadijah, ‘Asiyah, Hafshah dan yang lainnya, juga para sahabat
Beliau Abu Bakar, Umar, Utsman serta para sahabat seluruhnya serta ummatnya
yang mengkuti sunnah beliau hingga akhir zamman. Amma ba’d.
Pada hakekatnya orang-orang kafir itu
hina di sisi Allah walaupun tampak di sisi manusia sebagai orang yang berjaya. Mengapa orang-orang kafir itu hina di sisi Allah?
Maka ada beberapa jawaban yang bisa diuraikan di artikel ini
berdasarkan Firman Allah Ta’ala.
a. Allah berfirman, “يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَس” Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis....[1]“ Seluruh
ulama fiqih dan ahli tafsir sepakat bahwa ‘kenajisan’ mereka bukanlah najis
badannya, akan tetapi batinnya. Karena Allah mengetahui apa yang tampak dan apa
yang tersembunyi dan Allah sangat benci kepada kemusyrikan dan kekafiran.
b. Mereka menjadi najis karena
kemusyrikan mereka dalam menyekutukan Allah. Begitupula Ahli Kitab (Yahudi dan
Nasrani) yang menuduh Allah memiliki anak. Sebagaimana FirmanNya,
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ
ابْنُ اللّهِ وَقَالَتْ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُم
بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِؤُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَبْلُ قَاتَلَهُمُ
اللّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ -٣٠- اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ
أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ
لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا
يُشْرِكُونَ –٣١
Artinya: “Orang-orang Yahudi berkata:
"Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al
Masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka,
mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah
mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? (30) Mereka menjadikan orang-orang
alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka
mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah
Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan (31).[2]”
Untuk
alasan itulah Allah memerintahkan kaum muslimin memerangi mereka agar mereka
masuk ke dalam Islam hingga keselamatan dunia dan akherat mereka dapatkan. Atau
kalau tidak mau mereka harus membayar jizyah dengan menundukkan diri,
sebagaimana Allah Berfirman,
قَاتِلُواْ
الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ
مَا حَرَّمَ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ
أُوتُواْ الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُواْ الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ -٢٩
Artinya: Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan
RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah[638] dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk[3].
Atas dasar ayat ini
(karena ini merupakan perintah Allah Sang Penguasa Jagat Raya), maka
Hamba-hamba Allah (Kaum Muslimin) tidak diperkenankan memberikan wibawa kepada
orang kafir siapapun dia. Hanya saja kita diperintahkan untuk berbuat keadilan
dan kebaikan serta memberikan keamanan kepada ahlul dzimmah[4],
namun bukan berarti kebaikan itu dengan memberikan wibawa kepada mereka dan
merendahkan diri di hadapan mereka.
Oleh
sebab itulah Amirul Mu’minin Umar ibn Khaththab memberikan persyaratan kepada
kaum musyrikin tatkala Kaum Nasrani Syam meminta perlindungan[5].
Persyaratan tersebut adalah bentuk ketaatan Amirul Mu’minin untuk
merealisasikan ayat Allah ini[6]. Sebagaimana dinyatakan oleh para Imam Hufadz
dari Abdurrahman ibn Ghanim al-Asy’ari[7],
ia berkata, “Aku mengirimkan surat kepada Umar, karena ia memberikan perjanjian
damai kepada orang-orang Nasrani dari Penduduk Syam. Surat kami kepada Umar ibn
Khaththab itu berisi sebagai berikut:
“Dengan menyebut Asma Allah Yang
Maha Pemurah Lagi Penyayang. Sebuah surat untuk Hamba Allah, Amirul Mu’minin,
dari orang-orang Nasrani kota ini dan itu. Sesungguhnya tatkala kalian datang
kepada kami, kami meminta jaminan keamanan untuk diri, anak, harta dan pemeluk
agama kami.
Kalian mensyaratkan agar kami tidak
membangun tempat peribadatan baru di tempat kami, tidak memperbaiki yang rusak,
serta menonaktifkan tempat peribadatan yang menjadi rute jalan Kaum Muslimin.
Kami juga tak boleh melarang seorang Muslim pun singgah di gereja kami siang
maupun malam. Pintu gereja harus selalu terbuka untuk orang-orang yang sedang
dalam perjalanan. Kami diharuskan menjamu Kaum Muslimin yang berada dalam
perjalanan selama 3 hari. Gereja dan rumah tinggal kami tidak boleh dijadikan
tempat persembunyian mata-mata atau menipu kaum Muslimin. Kami tidak
diperbolehkan mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak kami. Tidak boleh
menampakkan kesyirikan dan menyeru kepada kesyirikan itu. Tidak boleh melarang
kerabat kami yang memeluk Islam. Harus menghormati orang Islam. Diharuskan
mengutamakan orang Islam yang hendak duduk dalam suatu majelis. Tidak
diperbolehkan pula menyerupai orang-orang Islam dalam pakaian, tutup kepala,
sandal, model sisiran rambut. Tidak boleh berbicara dalam Bahasa Kaum Muslimin
(Bahasa Arab). Tidak boleh memakai sebutan yang dipergunakan Kaum Muslimin.
Tidak boleh menggunakan pelana ketika berkendaraan. Tidak boleh membawa
senjata. Tidak boleh menuliskan kata-kata Arab pada cincin kami, serta tidak
menjual khamr. Kami juga harus memendekkan rambut bagian depan, kami harus
selalu mengenakan pakaian seragam kami dan juga ikat pinggang khusus kami.
Tidak diperbolehkan memperlihatkan salib di gereja-gereja dan tidak boleh
menunjukkan salib serta kitab suci kami di jalan-jalan serta pasar-pasar kaum
Muslimin. Kami tidak diperkenankan memukul lonceng gereja kecuali dengan suara
sepelan mungkin. Tidak boleh meninggikan suara kami ketika membaca kitab suci
kami di gereja saat ada Kaum Muslimin. Kami tidak boleh menjadi utusan. Tidak
boleh meninggikan suara ketika ada pengikut kami yang meninggal. Kami tidak
boleh menyalakan lampu di jalan-jalan maupun pasar-pasar Kaum Muslimin. Tidak
boleh mengubur jenazah kami di pemakaman kaum Muslimin. Kami tidak boleh
mengambil budak sahaya sebagaimana diperbolehkan pada Kaum Muslimin. Kami harus
mempermudah kaum Muslimin dan tidak boleh mengganggu privasi mereka.”
Itulah persyaratan Amirul Mu’minin Umar Ibn Khathtab terhadap
Kaum Nasrani yang meminta perlindungan kepada Kaum Muslimin. Dengan syarat itu,
maka Kaum Muslimin tidak diperkenankan mengganggu mereka apapun bentuknya,
kecuali bila mereka melanggar perjanjian itu. Ini BUKANLAH KEJAM, akan tetapi
kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNya yang tersesat untuk menuju kepada
cahaya. Akibatnya, negeri Syam (saat ini terbagi pada wilayah Palestina,
Suriah, Jordania, dan Lebanon) kini mayoritas penduduknya MUSLIM[8]
dan mereka sangat taat kepada Allah hingga rela berjihad dengan harta dan jiwa
mereka.
Allah Maha Pengasih dan Penyayang, bukan sayang kalau seluruh
permintaan hambaNya dikabulkan. Bukan sayang namanya kalau seluruh keinginan
hambaNya diwujudkan. Apabila demikian yang terjadi di dunia ini, apa hakekat
dunia sebagai tempat ujian? Mana Keadilan Allah? dan Mana kasih sayangNya
kepada hamba-hambaNya, yaitu kepada yang bekerja keras untuk takwa apakah sama
dengan yang berleha-leha ingkar dari FirmanNya??
Maka berpikirlah wahai kaum kafirin. Allahu a’lam.
Malang, 27 Rabi’uts Tsaniy 1433 / 9 Maret 2013
@nd.
Sumber:
Ibnu Katsir. 2003. Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsir Juz 4.
(terjemahan), Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4. Abdul Ghoffar (penerjemah). Jakarta:
Imam Syafi'i.
nB: Untuk mengunduh artikel ini dalam bentuk Format PDF, silahkan click link berikut
nB: Untuk mengunduh artikel ini dalam bentuk Format PDF, silahkan click link berikut
[1] Al-Qur’an Surat At-Taubah (9): 28
[2] Al-Qur’an Surat At-Taubah (9): 30-31
[3] Al-Qur’an Surat At-Taubah (9): 29
[4] Kaum Nonmuslim yang membayar Jizyah dan tunduk kepada
Amirul Mu’minin.
[5] Persyaratan ini termasuk di dalamnya membayar Jiazyah.
Mengingat prosentase Jizyah ditetapkan sesuai kemampuan ahli Dzimmah.
[6][Dalam Al-Qur’an Surat At=Taubah (9): 29.
[7]Saat itu dia adalah orang Nasrani dari penduduk Syam,
sebelum masuk Islam.
[8]
Kecuali Syi’ah, karena hakekat Syi’ah adalah di luar Islam. Maka tidak dapat
dikategorikan Kaum Muslimin.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah