KAJIAN ISLAM DAN KARYA PENA

KAJIAN ISLAM YANG MEMUAT HAL-HAL BERKAITAN TENTANG PENGETAHUAN ISLAM BAIK SADURAN ATAU KARYA ASLI. BAIK HAL AKIDAH, MUAMALAT, FIKIH ATAUPUN TASKIYATUN NUFS (PENYUCIAN HATI)

JUGA KARYA PENA UMUM BERUPA PUISI CERPEN DAN KARANGAN ATAU ILMU PENGETAHUAN UMUM DAN PENELITIAN ILMIAH

Jumat, 26 Oktober 2012

BERUSAHALAH MERAIH KEBAIKAN

TAFSIR SURAT AR-RAHMAN AYAT 29 & 30
(BERUSAHALAH, SEDANGKAN KETETAPAN HANYA ALLAH YANG TAHU)

Rangkuman Kajian Ba’d Maghrib di Masjid Abu Dzar Al-Ghifari
Hari Rabu, Tertanggal 17 Jumada ats-Tsaniyah 1433 / 2 Mei 2012
oleh: Ust. Abdullah Shaleh al-Hadhromi


Rumus utama dan yang pertama dari memahami Aqidah (Keyakinan Islam) adalah Al-Ilmu:
Kita semua memahami bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui. Kita semua yakin bahwa Allah mengetahui semuanya, bahkan dedaunan yang jatuh, jenisnya, waktunya, tempatnya. Begitupula Allah mengetahui jumlah pasti penduduk ahli syurga dan neraka tanpa dtambah dan tanpa dikurangi, begitupula nama-nama ahli syurga dan nama bapaknya. Bahkan Allah tahu apa yang akan kita lakukan, berupa keburukan dan kebaikan. Dan inilah yang dituliskan di Lauh al-Mahfudz. Dimana tulisan-tulisan yang ada di Lauh al-Mahfudz ini ditulis semenjak 50.000 (lima puluh ribu tahun) sebelum diciptakannya langit dan bumi beserta isinya.

Hanya takdir pada Lauh al-Mahfudz itu hanya Allah Yang Mengetahuinya dan hanya Hak Allah saja yang berhak menetapkannya. Seluruh makhluk tidak ada yang tahu kecuali siapa yang dkehendakiNya itupun sedikit sekali dan yang tertentu saja. Maka bukan hak kita untuk menentukan, menerka, mengira takdir masa depan apalagi menyalahkan perkara atas takdir yang ada. Karena takdir sendiri pun telah diturunkan Allah kepada manusia dengan pembagian-pembagannya sebagaimana takdir satuan kehidupan (saat ada di perut ibu), tahunan (pada saat Lailatul Qadar), serta takdir harian. Maka kita bisa pastikan itu takdir Allah, tatkala suatu hal telah terjadi.

Ada banyak kesalah pahaman dengan takdir ini. Banyak orang ahli maksiat yang belum bertaubat menyatakan, “Aku ini menjadi ahli maksiat karena takdir Allah.” Ini pernyataan yang sangat salah, karena dia mengklaim bahwa dia adalah orang yang diberi keburukan oleh Allah tanpa sebab dan dia malas berusaha merubah dirinya.

Kita (manusia dan jin) diciptakan oleh Allah dengan sebutan mukallaf. Khususnya manusia, kita diberi akal oleh Allah untuk mengelola apa yang ada di dalam bumi dan luarnya. Sedangkan Allah tidak berbuat Dzalim dan mengharamkan kedzaliman atas diriNya dan hamba-hambaNya. Tidak mungkin manusia tanpa sebab langsung dimasukkan neraka, dan begitupula Jin. Maka manusia dan Jin, diberikan pilihan-pilihan oleh Allah dalam kehidupannya. Dengan pilihan itulah maka manusia dan Jin berhak memilih berserta konsekuensinya.

Syaikh Utsaimin menyatakan dalam Kitab Aqidah Ahlu As-Sunnah wal Jamaa’ah, “Kita beriman Allah Maha Tahu semuanya. Akan tetapi kita juga harus mengiman bahwa para hamba ini mempunyai pilihan dan mempunyai kekuasaan/kehendak yang dengan pilihannya itu terjadilah perbuatan. Dalil bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu atas pilihan dan juga kehendak manusia adalah: Firman Allah Q.S Al-Baqarah: 223, (artinya) “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu sari mana saja yang kamu kehendaki....”; At-Taubah: 46 (artinya), “Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: "Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu".
Mendatangi istri dari mana saja yang dikehendaki (dalam hal posisi, namun pada tempat yang semestinya) adalah tanda bahwa Allah memberkan kebebasan memilih tindakan bagi hamba-hambaNya. Begitupula dengan orang-orang munafik, hanya saja tindakan mereka itu juga memiliki konsekuensi yaitu marahnya Allah terhadap mereka dan dosa yang harus mereka tanggung.

Selanjutnya Syaikh al-Utsaimin menyatakan, “Allah memberikan kepada hamba-hambaNya (Manusia dan Jin) berupa perintah dan larangan. Kalau sekiranya seorang hamba tidak punya pilihan dan kekuasaan untuk bertindak, maka tatkala Allah memerintahkan ‘kerjakan ini’ dan larangan ‘tinggalkan itu’ ini adalah sebuah pemaksaan (kepada makhluk yang mukallaf). Dan ini tidak sesuai dengan Sifat Allah, Rahmat Allah dan tidak sesuai pula dengan berita “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (Q.S Al-Baqarah: 256).”
Perlu diketahui, bahwa mukallaf adalah makhluk berakal yang diberikan pilihan-pilihan. Ia memilih A dengan konsekuensi A dan memilih B dengan konsekuensi B, dan ia bebas memilih mana yang ia kehendaki beserta konsekuensinya itu.

Kemudian beliau rahimahullah menyatakan, “Allah memuji orang yang berbuat baik atas kebaikannya dan mencela orang yang berbuat buruk atas keburukannya. Dan Allah memberikan balasan kepada mereka masing-masing sesuai dan dengan selayaknya. Kalau sekiranya perbuatan seorang hamba itu tidak terjadi dengan kehendaknya sendiri, maka berarti ketika Allah memuji hamba yang berbuat baik itu adalah sia-sia. Dan tatkala Dia menghukum orang yang jahat adalah sebuah kedzaliman. Dan Allah Maha Suci atas perbuatan kesia-siaan dan dzalim.”

Syaikh Utsaimin melanjutkan, “Allah Ta’ala mengutus para rasul di antara fungsinya adalah memberi kabar gembira dan memberikan peringatan, supaya manusia tidak lagi memiliki alasan di depan Allah.”

Selanjutnya beliau rahimahullah menyatakan, “Manusia yang melakukan sesuatu, ia mengerjakan itu atau ia meninggalkan ini. Maka mereka tidak ada yang mengatakan, aku melakukan itu semua karena dipaksa (hal ini tentu dalam kondisi normal). Sebagaimana kamu saat ini bisa berdiri dan bisa duduk sesukamu, atau kamu keluar dari masjid atau memasukinya sesukamu. Demikian pula tatkala kamu musafir atau mukin, semua itu tidak ada yang memaksa.”

Selanjutnya beliau rahimahullah menyatakan, “Maka, orang yang (masih) bergelimang maksiat dan menyalahkan takdir Allah, maka alasan ini sungguh tidak dapat diterima.” Hal ini sesuai dengan hadits sahih bahwa tatkala Nab Musa menyalahkan Nabi Adam atas kesalahannya, dan dengan kesalahan Adam itu maka manusia bersusah payah di dunia, maka jawaban Nabi Adam adalah, “Apakah kamu mencelaku atas sesuatu yang Allah mentakdirkannya sebelum menciptakanku?” Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menerangkan, “Maka, Adam mematahkan pertanyaan Musa.”
Apa yang dimaksud dengan Syaikh Utsaimin adalah, sesuatu hal yang telah terjadi adalah benar-benar takdir Allah. Tapi segala sesuatu yang belum terjadi belum bisa disebut takdir, dan tidak bisa mengklaim itu sebagai keputusan masa depan. Sebagaimana ahli maksiat yang merasa dia ditakdirkan Allah sebaga ahli maksiat. Maka ini tidak benar karena dia masih hidup, dan kalau dia mau dia bisa bertaubat dengan segala konsekuensi dan reward-nya. Pernyataan “Allah mentakdirkanku menjadi ahli maksiat” adalah seakan-akan orang ini mendahului Allah dalam hal takdir, dia merasa bahwa dia sudah menjadi seperti itu karena Allah. Padahal dia sama sekali tak mengetahui apa isi Lauh al-Mahfudz.

Syaikh Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Kalau ada orang maksiat yang berkata, ‘ini takdir Allah’ Mengapa mereka tidak melakukan ketaatan saja lalu mengatakan, ‘ini takdir Allah’?”
beliau melanjutkan, “Dan apabila ahli maksiat itu mengatakan ‘ini takdir Allah’ maka mengapa tidak ditawarkan kepada mereka bahwa ini ada jalan menuju Mekkah, yang satu mulus dan yang satu berlubang-lubang dan sangat susah. Maka apakah mereka memilih jalan yang berlubang dan sangat susah itu dengan mengatakan ‘ini takdir Allah’?”

Imam Ath-Thahawi rahimahullah dalam Kitabnya (Aqidah Ath-Thawiyah) menyatakan, “Semenjak dahulu kala Allah Ta’ala telah mengetahui jumlah siapa saja yang masuk ke dalam syurga dan siapa saja yang masuk ke dalam neraka. Jumlah itu tidak akan bertambah dan tak pula berkurang.” Hal ini sesuai dengan hadits yang sahih diriwayatkan sampai pada sahabat Abdullah ibn Amr radhiyallah ‘anhu, beliau menyatakan, “Aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan di tangannya ada dua buah kitab, lalu Beliau berkata, ‘Tahukan kamu apa yang ada di dua kitab ini?’ sahabat menjawab, ‘tidak ya Rasulullah, kiranya engkau bersedia memberitahukan kepada kami’ Rasulullah bersabda, ‘Kitab yang ada di tangan kananNya merupakan tulisan nama-nama ahli syurga beserta nama-nama bapaknya dan nama-nama marganya. Kemudian jumlahnya tidak ditambahkan dan tidak dikurangi lagi. Dan kitab yang ada di tangan kiriNya merupakan kitab Robul ‘alamin di dalamnya ada nama-nama ahli neraka beserta nama-nama bapak dan marganya. Jumlahnya tak akan ditambah dan tak akan dikurangi untuk selama-lamanya.”[1] Kemudian ada sahabat yang bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa kita tidak pasrah saja kalau begitu?”, Lalu belau menjawab, “Berupayalah! karena ahli syurga yang telah dicatat di Lauh al-Mahfudz, pasti nanti dimasukkan syurga. Dan ahli neraka pasti dia nanti akan dimasukkan neraka walaupun ia beramal apa saja.” Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaih wasallam menyatakan, “Segolongan masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.” (Q.S Asy-Syura: 7) Hanya saja banyak orang yang berbuat kebaikan dan selalu berbuat kebaikan, namun pada akhirnya ia meninggal dalam keadaan Su’ul Khotimah (na’udzubillah), karena orang ini diindikasikan berbuat kebaikan akan tetapi di dalam hatinya penuh dengan keburukan. Orang lain menyangka baik, akan tetapi ternyata hatinya penuh dengan keburukan.

Apabila orang berdalil dengan takdir dan bermalas-malasan untuk tidak beramal shalih, maka katakanlah, “Apabila rumahmu dimasuki pencuri dan akan mencuri sesuatu, apakah kamu hanya diam dan tidak mencari barangmu yang hilang itu, lalu kamu katakan dengan enaknya, ‘ini takdir Allah?’” Oleh sebab itu, Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi menyatakan dalam kitabnya, “Hakekat takdir adalah rahasia Allah, yang tidak diketahui oleh malaikat yang didekatkan dan juga oleh Nabi dan Rasul yang diutus.”

Iman kepada takdir banyak hikmahnya, yaitu”
1. Kita akan selalu bergantung kepada Allah, dan tidak bergantung kepada diri kita sendiri. Karena semua ini adalah bergantung hanya kepada Allah saja. Apapun yang kita lakukan apapun yang kita upayakan adalah atas ijin Allah Ta’ala.
2. Jiwa dan hati kita damai. Apabila kita kena musibah maka kita bisa mengatakan, “ini adalah takdir Allah”.
3. Jauh dari sifat bangga diri ketika kita berhasil. Dan apabila gagal kita bisa menerima dan tidak terlalu sumpek dalam menghadap kegagalan itu.

Maka, orang yang beriman pada takdir justru tambah bersemangat untuk membuka takdir yang telah tertulis pada Lauh al-Mahfudz melalui upaya-upayanya yang akan menghantarkan kepada tujuan takdir itu sendiri. Allahu a’lam bish shawwab.

Disusun di Malang
28 Jumada Tsaniy 1433 / 19 Mei 2012
@nd.




[1] Riwayat Ath-Trmdzi. Disahihkan oleh Al-Albaniy dalam Kitab “Silsilah Ash-Shahihah”. Sampai kepada Sahabat Abdullah ibn Amr radhiyallahu ‘anhu.


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami

1 komentar:

ARNANDA AJI SAPUTRA mengatakan...

nunut promo saja. Siapa yang ingin sedikit dari dunia, tapi jangan kebablasan ya ini nich dicoba klik link nya

http://www.penasaran.net/?ref=khhc6e

Posting Komentar

Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah