TAFSIR SURAT AR-RAHMAN AYAT 29 & 30
(BERUSAHALAH, SEDANGKAN KETETAPAN HANYA ALLAH YANG TAHU)
Rangkuman Kajian Ba’d Maghrib di Masjid
Abu Dzar Al-Ghifari
Hari Rabu, Tertanggal 17 Jumada ats-Tsaniyah
1433 / 2 Mei
2012
oleh: Ust. Abdullah Shaleh al-Hadhromi
Rumus utama dan yang pertama dari
memahami Aqidah (Keyakinan Islam) adalah Al-Ilmu:
Kita semua memahami bahwa Allah
adalah Dzat Yang Maha Mengetahui. Kita semua yakin bahwa Allah mengetahui
semuanya, bahkan dedaunan yang jatuh, jenisnya, waktunya, tempatnya. Begitupula
Allah mengetahui jumlah pasti penduduk ahli syurga dan neraka tanpa dtambah dan
tanpa dikurangi, begitupula nama-nama ahli syurga dan nama bapaknya. Bahkan
Allah tahu apa yang akan kita lakukan, berupa keburukan dan kebaikan. Dan
inilah yang dituliskan di Lauh al-Mahfudz. Dimana tulisan-tulisan yang ada di
Lauh al-Mahfudz ini ditulis semenjak 50.000 (lima puluh ribu tahun) sebelum
diciptakannya langit dan bumi beserta isinya.
Hanya takdir pada Lauh al-Mahfudz
itu hanya Allah Yang Mengetahuinya dan hanya Hak Allah saja yang berhak
menetapkannya. Seluruh makhluk tidak ada yang tahu kecuali siapa yang
dkehendakiNya itupun sedikit sekali dan yang tertentu saja. Maka bukan hak kita
untuk menentukan, menerka, mengira takdir masa depan apalagi menyalahkan
perkara atas takdir yang ada. Karena takdir sendiri pun telah diturunkan Allah
kepada manusia dengan pembagian-pembagannya sebagaimana takdir satuan kehidupan
(saat ada di perut ibu), tahunan (pada saat Lailatul Qadar), serta takdir
harian. Maka kita bisa pastikan itu takdir Allah, tatkala suatu hal telah
terjadi.
Ada banyak kesalah pahaman dengan
takdir ini. Banyak orang ahli maksiat yang belum bertaubat menyatakan, “Aku ini
menjadi ahli maksiat karena takdir Allah.” Ini pernyataan yang sangat salah,
karena dia mengklaim bahwa dia adalah orang yang diberi keburukan oleh Allah
tanpa sebab dan dia malas berusaha merubah dirinya.
Kita (manusia dan jin) diciptakan
oleh Allah dengan sebutan mukallaf. Khususnya manusia, kita diberi akal oleh
Allah untuk mengelola apa yang ada di dalam bumi dan luarnya. Sedangkan Allah
tidak berbuat Dzalim dan mengharamkan kedzaliman atas diriNya dan
hamba-hambaNya. Tidak mungkin manusia tanpa sebab langsung dimasukkan neraka,
dan begitupula Jin. Maka manusia dan Jin, diberikan pilihan-pilihan oleh Allah
dalam kehidupannya. Dengan pilihan itulah maka manusia dan Jin berhak memilih
berserta konsekuensinya.
Syaikh Utsaimin menyatakan dalam
Kitab Aqidah Ahlu As-Sunnah wal Jamaa’ah, “Kita beriman Allah Maha Tahu
semuanya. Akan tetapi kita juga harus mengiman bahwa para hamba ini mempunyai
pilihan dan mempunyai kekuasaan/kehendak yang dengan pilihannya itu terjadilah
perbuatan. Dalil bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu atas pilihan dan juga
kehendak manusia adalah: Firman Allah Q.S Al-Baqarah: 223, (artinya) “Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah
tempat bercocok-tanammu itu sari mana saja yang kamu kehendaki....”; At-Taubah: 46 (artinya), “Dan jika mereka mau
berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka
Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka:
"Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu".
Mendatangi istri dari mana saja
yang dikehendaki (dalam hal posisi, namun pada tempat yang semestinya) adalah
tanda bahwa Allah memberkan kebebasan memilih tindakan bagi hamba-hambaNya.
Begitupula dengan orang-orang munafik, hanya saja tindakan mereka itu juga
memiliki konsekuensi yaitu marahnya Allah terhadap mereka dan dosa yang harus
mereka tanggung.
Selanjutnya Syaikh al-Utsaimin
menyatakan, “Allah memberikan kepada hamba-hambaNya (Manusia dan Jin) berupa
perintah dan larangan. Kalau sekiranya seorang hamba tidak punya pilihan dan
kekuasaan untuk bertindak, maka tatkala Allah memerintahkan ‘kerjakan ini’ dan
larangan ‘tinggalkan itu’ ini adalah sebuah pemaksaan (kepada makhluk yang
mukallaf). Dan ini tidak sesuai dengan Sifat Allah, Rahmat Allah dan tidak
sesuai pula dengan berita “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya (Q.S Al-Baqarah: 256).”
Perlu diketahui, bahwa mukallaf
adalah makhluk berakal yang diberikan pilihan-pilihan. Ia memilih A dengan
konsekuensi A dan memilih B dengan konsekuensi B, dan ia bebas memilih mana
yang ia kehendaki beserta konsekuensinya itu.
Kemudian beliau rahimahullah menyatakan,
“Allah memuji orang yang berbuat baik atas kebaikannya dan mencela orang yang
berbuat buruk atas keburukannya. Dan Allah memberikan balasan kepada mereka
masing-masing sesuai dan dengan selayaknya. Kalau sekiranya perbuatan seorang
hamba itu tidak terjadi dengan kehendaknya sendiri, maka berarti ketika Allah
memuji hamba yang berbuat baik itu adalah sia-sia. Dan tatkala Dia menghukum
orang yang jahat adalah sebuah kedzaliman. Dan Allah Maha Suci atas perbuatan
kesia-siaan dan dzalim.”
Syaikh Utsaimin melanjutkan, “Allah
Ta’ala mengutus para rasul di antara fungsinya adalah memberi kabar
gembira dan memberikan peringatan, supaya manusia tidak lagi memiliki alasan di
depan Allah.”
Selanjutnya beliau rahimahullah menyatakan,
“Manusia yang melakukan sesuatu, ia mengerjakan itu atau ia meninggalkan ini.
Maka mereka tidak ada yang mengatakan, aku melakukan itu semua karena dipaksa
(hal ini tentu dalam kondisi normal). Sebagaimana kamu saat ini bisa berdiri
dan bisa duduk sesukamu, atau kamu keluar dari masjid atau memasukinya
sesukamu. Demikian pula tatkala kamu musafir atau mukin, semua itu tidak ada
yang memaksa.”
Selanjutnya beliau rahimahullah menyatakan,
“Maka, orang yang (masih) bergelimang maksiat dan menyalahkan takdir Allah,
maka alasan ini sungguh tidak dapat diterima.” Hal ini sesuai dengan hadits
sahih bahwa tatkala Nab Musa menyalahkan Nabi Adam atas kesalahannya, dan
dengan kesalahan Adam itu maka manusia bersusah payah di dunia, maka jawaban
Nabi Adam adalah, “Apakah kamu mencelaku atas sesuatu yang Allah
mentakdirkannya sebelum menciptakanku?” Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam menerangkan, “Maka, Adam mematahkan pertanyaan Musa.”
Apa yang dimaksud dengan Syaikh
Utsaimin adalah, sesuatu hal yang telah terjadi adalah benar-benar takdir
Allah. Tapi segala sesuatu yang belum terjadi belum bisa disebut takdir, dan
tidak bisa mengklaim itu sebagai keputusan masa depan. Sebagaimana ahli maksiat
yang merasa dia ditakdirkan Allah sebaga ahli maksiat. Maka ini tidak benar
karena dia masih hidup, dan kalau dia mau dia bisa bertaubat dengan segala
konsekuensi dan reward-nya. Pernyataan “Allah mentakdirkanku menjadi
ahli maksiat” adalah seakan-akan orang ini mendahului Allah dalam hal takdir,
dia merasa bahwa dia sudah menjadi seperti itu karena Allah. Padahal dia sama
sekali tak mengetahui apa isi Lauh al-Mahfudz.
Syaikh Utsaimin rahimahullah menyatakan,
“Kalau ada orang maksiat yang berkata, ‘ini takdir Allah’ Mengapa mereka tidak
melakukan ketaatan saja lalu mengatakan, ‘ini takdir Allah’?”
beliau melanjutkan, “Dan apabila
ahli maksiat itu mengatakan ‘ini takdir Allah’ maka mengapa tidak ditawarkan
kepada mereka bahwa ini ada jalan menuju Mekkah, yang satu mulus dan yang satu
berlubang-lubang dan sangat susah. Maka apakah mereka memilih jalan yang
berlubang dan sangat susah itu dengan mengatakan ‘ini takdir Allah’?”
Imam Ath-Thahawi rahimahullah dalam
Kitabnya (Aqidah Ath-Thawiyah) menyatakan, “Semenjak dahulu kala Allah Ta’ala
telah mengetahui jumlah siapa saja yang masuk ke dalam syurga dan siapa
saja yang masuk ke dalam neraka. Jumlah itu tidak akan bertambah dan tak pula
berkurang.” Hal ini sesuai dengan hadits yang sahih diriwayatkan sampai pada
sahabat Abdullah ibn Amr radhiyallah ‘anhu, beliau menyatakan, “Aku
melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan di tangannya
ada dua buah kitab, lalu Beliau berkata, ‘Tahukan kamu apa yang ada di dua
kitab ini?’ sahabat menjawab, ‘tidak ya Rasulullah, kiranya engkau bersedia
memberitahukan kepada kami’ Rasulullah bersabda, ‘Kitab yang ada di tangan
kananNya merupakan tulisan nama-nama ahli syurga beserta nama-nama bapaknya dan
nama-nama marganya. Kemudian jumlahnya tidak ditambahkan dan tidak dikurangi
lagi. Dan kitab yang ada di tangan kiriNya merupakan kitab Robul ‘alamin di
dalamnya ada nama-nama ahli neraka beserta nama-nama bapak dan marganya.
Jumlahnya tak akan ditambah dan tak akan dikurangi untuk selama-lamanya.”[1]
Kemudian ada sahabat yang bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa kita tidak
pasrah saja kalau begitu?”, Lalu belau menjawab, “Berupayalah! karena ahli
syurga yang telah dicatat di Lauh al-Mahfudz, pasti nanti dimasukkan syurga.
Dan ahli neraka pasti dia nanti akan dimasukkan neraka walaupun ia beramal apa
saja.” Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaih wasallam menyatakan, “Segolongan
masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.” (Q.S Asy-Syura: 7) Hanya saja
banyak orang yang berbuat kebaikan dan selalu berbuat kebaikan, namun pada
akhirnya ia meninggal dalam keadaan Su’ul Khotimah (na’udzubillah),
karena orang ini diindikasikan berbuat kebaikan akan tetapi di dalam hatinya
penuh dengan keburukan. Orang lain menyangka baik, akan tetapi ternyata hatinya
penuh dengan keburukan.
Apabila orang berdalil dengan
takdir dan bermalas-malasan untuk tidak beramal shalih, maka katakanlah, “Apabila
rumahmu dimasuki pencuri dan akan mencuri sesuatu, apakah kamu hanya diam dan
tidak mencari barangmu yang hilang itu, lalu kamu katakan dengan enaknya, ‘ini
takdir Allah?’” Oleh sebab itu, Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi menyatakan dalam
kitabnya, “Hakekat takdir adalah rahasia Allah, yang tidak diketahui oleh
malaikat yang didekatkan dan juga oleh Nabi dan Rasul yang diutus.”
Iman kepada takdir banyak
hikmahnya, yaitu”
1. Kita akan selalu bergantung
kepada Allah, dan tidak bergantung kepada diri kita sendiri. Karena semua ini
adalah bergantung hanya kepada Allah saja. Apapun yang kita lakukan apapun yang
kita upayakan adalah atas ijin Allah Ta’ala.
2. Jiwa dan hati kita damai.
Apabila kita kena musibah maka kita bisa mengatakan, “ini adalah takdir Allah”.
3. Jauh dari sifat bangga diri
ketika kita berhasil. Dan apabila gagal kita bisa menerima dan tidak terlalu
sumpek dalam menghadap kegagalan itu.
Maka, orang yang beriman pada
takdir justru tambah bersemangat untuk membuka takdir yang telah tertulis pada
Lauh al-Mahfudz melalui upaya-upayanya yang akan menghantarkan kepada tujuan
takdir itu sendiri. Allahu a’lam bish shawwab.
Disusun di Malang
28 Jumada Tsaniy 1433 / 19 Mei 2012
@nd.
[1] Riwayat
Ath-Trmdzi. Disahihkan oleh Al-Albaniy dalam Kitab “Silsilah Ash-Shahihah”.
Sampai kepada Sahabat Abdullah ibn Amr radhiyallahu ‘anhu.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
1 komentar:
nunut promo saja. Siapa yang ingin sedikit dari dunia, tapi jangan kebablasan ya ini nich dicoba klik link nya
http://www.penasaran.net/?ref=khhc6e
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah