KAJIAN ISLAM DAN KARYA PENA

KAJIAN ISLAM YANG MEMUAT HAL-HAL BERKAITAN TENTANG PENGETAHUAN ISLAM BAIK SADURAN ATAU KARYA ASLI. BAIK HAL AKIDAH, MUAMALAT, FIKIH ATAUPUN TASKIYATUN NUFS (PENYUCIAN HATI)

JUGA KARYA PENA UMUM BERUPA PUISI CERPEN DAN KARANGAN ATAU ILMU PENGETAHUAN UMUM DAN PENELITIAN ILMIAH

Selasa, 21 Agustus 2012

TAFSIR SURAT AR-RAHMAN AYAT 8,9, dan 10

TAFSIR SURAT AR-RAHMAN AYAT 8,9, dan 10

“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”

(NERACA KEADILAN ILAHI)

Rangkuman Kajian Ba’d Maghrib di Masjid Abu Dzar Al-Ghifari
Tertanggal 8 Rabi’ul Awwal 1433 / 1 Februari 2012
oleh: Ust. Abdullah Shaleh al-Hadhromi


A.      Pengantar
Sebagaimana mempelajari bidang ilmu agama, merupakan hal yang sangat dianjurkan. Mempelajari tafsir Al-Qur’an merupakan bidang ilmu agama yang sangat memiliki keutamaan. Mempelajari ilmu tafsir adalah sama dengan menghadiri majelis dzikir yang mengingat Allah Ta’ala.

Terdapat kisah yang pernah dinyatakan oleh seorang ulama, dimana kisah ini dapat diambil pelajaran dan semoga memang kisah ini adalah benar adanya. Yaitu ada dua orang yang bersahabat, kemudian yang satu telah meninggal akan tetapi yang satunya masih hidup, kemudian yang hidup bermimpi temannya yang telah meninggal dunia, kemudian ia (yang hidup) bertnya, “Amalan apa yang paling afdhal?” lalu temannya yang telah meninggal menjawab, “Menghadiri majelis-majelis dzikir.”

Maka marilah kita melihat keutamaan majelis-majelis dzikir melalui dalil Naqli (al-Qur’an dan Sunnah):
* Apabila kamu melewati taman-taman surga makan dan minumlah sampai kenyang. Para sahabat lalu bertanya, "Apa yang dimaksud taman-taman surga itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Kelompok zikir” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

*   Aku bertanya, "Ya Rasulullah, apa keuntungan dan keberuntungan yang diperoleh dari majelis zikir (majelis taklim)?" Nabi Saw menjawab, "Keuntungan dan keberuntungan yang diperoleh dari majelis zikir ialah surga." (HR. Ahmad).
Banyak  orang menyatakan bahwa majelis dzikir yang dimaksud Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah perkumpulan orang-orang yang duduk di masjid kemudian bersama-sama membaca tahlil, tahmid dan takbir dengan hitungan tasbih ataupun alat lain sebanyak yang mereka tentukan. Inilah pemahaman mereka dan sebatas inilah mereka mengamalkannya, padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukannya. Dimanapun kitab hadits yang disusun oleh para ulama dan dimanapun kitab sejarah yang disusun oleh pakar sejarah dunia Islam, tidak pernah menemukan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat Beliau radhiyallahu ‘anhuma melakukan sebagaimana orang-orang itu berpendapat.

Lalu apa yang dimaksud majelis dzikir? maka para ulama tafsir hadits menyatakan, yaitu kajian ilmu. Maka marilah kita simak keterangan Ust. Abdullah Shalih al-Hadhromi dalam kajiannya sebagaimana beliau hafidzahullah Ta’ala menyinggung majelis dzikir adalah kajian ilmu dan kajian ilmu adalah lebih utama daripada hanya sekedar menyebut Asma Allah semata. Allahu a’lam.

Beliau menyatakan bahwa majelis ilmu adalah majelis dzikir itu, bahkan majelis pengajian adalah majelis dzikir yang kedudukannya sangat tinggi. Beliau menyitir pernyataan Imam Asy-Syafi’I rahimahullah Ta’ala, Imam ahli sunnah tersebut menyatakan “Majelis ilmu adalah lebih afdhal daripada orang yang melakukan sholat sunnah.” Sehingga dijelaskan bahwa orang yang melakukan sholat sunnah 2 rakaat, 2 rakaat hingga Isya’ dibandingkan orang yang duduk di majelis pengajian ilmu hingga Isya’, maka hal yang kedua yang lebih afdhal. Dijelaskan pula oleh Ust. Abdullah hafidzahullah Ta’ala bahwa, orang yang sholat amalan mereka hanyalah untuk mereka senidiri dan manfaatnya tertuju kepada mereka sendiri.

Sedangkan majelis ilmu manfaatnya sangat multiragam: (1) dia mengingat Allah dan kebesaranNya; (2) dia menjadi tahu apa yang tidak tahu; (3) dia akan menjadi lurus dan benar dalam mengamalkan sesuatu amalan; dan (4) dia mengajarkan ilmu yang mengandung hikmah dan kebenaran itu kepada orang lain, sehingga orang lain menjadi tahu, maka inilah keutamaan yang sangat besar dan dia mendapatkan pahala yang sangat besar pula. Allahu a’lam.

B.      Makna Neraca dalam Q.S Ar-Rahman: 7, 8, dan 9
Sebagaimana disinggung oleh Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam kitab tafsirnya berjudul Kitab Tafsir As-Sa’di, beliau menyatakan, “Allah meletakkan neraca (timbangan) makudnya adalah keadilan di antara manusia dalam ucapan dan perbuatan. Maksud (Allah dalam) ayat ini bukan hanya timbangan yang kita kenal saja, akan tetapi timbangan yang kita kenal itu juga masuk dalam tafsir dalam ayat ini karena timbangan yang kita kenal itu merupakan sarana menegakkan keadilan. Timbangan itu juga menyangkut berat (Sebagaimana Kg, gr, mg, dsb); serta takaran/volume (Co: Liter, mL, Mol, Molar, dsb); termasuk ukuran (Co: Km u/ jarak; Tesla u/ kekuatan magnit; Volt u/ tagangan listrik, dsb). Termasuk di dalamnya adalah sarana pemutus perkara, dimana perkara itu perlu diputuskan dengan keadilan  di antara manusia (sehingga ini menyangkup hukum-hukum).” Inti ajaran Islam adalah menegakkan syariat, dan syariat diturunkan tidak lain adalah sebagai neraca kehidupan sosial untuk menegakkan keadilan sesama manusia.

Kemudian Syaikh As-Sa’di menyatakan, “Allah juga menurunkan timbangan, supaya kalian tidak melampaui batas dalam timbangan. Maka timbangan ini adalah syariat dalam agama yang berasal dari sisi Allah Ta’ala, apabila timbangan ini dikembalikan kepada akal manusia maka akan terjadi kehancuran. Letakkan timbangan dengan penuh keadilan semaksimal mungkin (dengan upaya yang dimiliki segenap manusia seadil mungkin), yaitu dengan mengamalkan kebaikannya serta mencegah kedzaliman, kelaliman dan tidak melampaui batas (hindari kedzaliman)!“ Apa yang dimaksud dari Syaikh As-Sa’di sesuai dengan inti ajaran Islam, yaitu menegakkan keadilan.

Sehingga apa yang dimaksud dengan keadilan? Keadilan menurut bahasa dan kaidah syariat adalah, ‘menempatkan sesuatu pada tempatnya’. Sehingga kedzaliman adalah makna yang sebaliknya. Tentu saja keadilan ini merujuk kepada Syariat Allah Ta’ala, bukan kepada pandangan-pandangan manusia yang didominasi oleh kebodohan dan hawa nafsunya. Sebagaimana ilmu harta waris yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala menyatakan, “Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S An-Nisaa’: 176). Tentu saja hal yang ditekankan itu merupakan sebuah keadilan, karena Allah Maha Tahu tentang manusia daripada manusia itu sendiri. Sehingga bila ada kelompok emansipasi muncul dengan harapan menjadi ‘sosok pahlawan bangsa’, hal itu sangatlah mendzalimi diri mereka sendiri dan orang lain.

Sebagaimana dinyatakan dalam Surah Al-Hadiid: 25, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan….

C.      Makna Surat Al-Hadiid (Hubungan antara Rasul-Rasul, Kitab, Keadilan dan Besi)
Sebelum kita membahas lebih lanjut, marilah kita simak Firman Allah Ta’ala (yang artinya),
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.S Al-Hadiid: 25).
Apa hubungan antara Rasul-Rasul, Kitab, Keadilan dan Besi?

Dijelaskan dalam ayat tersebut bahwa, “Allah menurunkan para rasul sebagai penyampai berita dan membawa syariat (memang inilah tugas para ‘rasul’). Tidak cukup hanya dinyatakan dalam lisan saja, akan tetapi Allah juga menurunkan panduan fakta yang dihafal oleh pengikut-pengikut rasul yang kemudian (qadarullah) dituliskan dan dibukukan hingga kitab itu terikat dalam keautentikannya (tentu saja saat ini yang benar-benar autentik hanyalah Al-Qur’an al-Karim). Keduanya diturunkan oleh Allah Ta’ala tidak lain adalah untuk menegakkan keadilan. Allah Ta’ala paling benci terhadap kezaliman, sebagaimana Ia Ta’ala sendiri mengharamkan kezaliman itu atas diriNya sendiri. Ia Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kezaliman Aku haramkan terhadap diriKu, sebagaimana aku haramkan kezaliman itu di antara kalian maka janganlah kalian berbuat zalim” (Hadits Qudsi). Sebagaimana kebencian Allah Ta’ala ini diwujudkan dalam FirmanNya dalam hadits Qudsi yang lain, dengan bersumpah Allah Ta’ala berfirman, “Allah "Dengan keperkasaan dan keagunganKu, Aku akan membalas orang zalim dengan segera atau dalam waktu yang akan datang. Aku akan membalas terhadap orang yang melihat seorang yang dizalimi sedang dia mampu menolongnya tetapi tidak menolongnya." (HR. Ahmad). Sumpah Allah Ta’ala merupakan sumpah yang tidak main-main, karena Ia Ta’ala tak pernah menyalahi janjiNya dan ‘hari itu’ (hari keadilan) pasti datang.

Maka kedzaliman diharamkan juga bagi orang mukmin/muslim terhadaporang kafir. Tatkala orang kafir itu berstatus dzimmi (tunduk kepada orang Islam dan tidak memerangi mereka), maka tidak boleh mereka diperangi dan dizalimi. Begitupula kafir harb (kafir yang boleh bahkan wajib diperangi), mereka diperangi karena menzalimi umat Islam dan mereka berbuat zalim, akan tetapi tatkala kita harus membunuh mereka harus memerangi mereka maka bunuhlah dengan cara yang ma’ruf (sehingga haram hukumnya memutilasi, menghina jasad mereka secara berlebihan dan menyiksa mereka dengan siksaan yang tidak manusiawi). Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang teradapat dalam kumpulan Hadits Arbain karya Imam Nawawi rahimahullah. Beliau rahimahullah menyatakan, “Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus radhiallahu’anhu dari Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan baik (ihsan) atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh maka berlakulah baik dalam hal tersebut. Jika kalian menyembelih berlakulah baik dalam hal itu, hendaklah kalian mengasah pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya.” (Riwayat Muslim).

Maka kebencian Allah Ta’ala terhadap kezaliman ini sampai-sampai Ia mengabulkan doa-doa orang yang terzalimi tanpa hijab, walaupun ia orang kafir. Sebagaimana negara, walaupun negara Islam akan tetapi pemerintahan dan masyarakat di dalamnya melakukan kezaliman maka Allah Ta’ala tidak akan menolong orang-orang dalam negeri itu, kecuali siapa yang dikehendakiNya. Sebaliknya, ada negara kafir akan tetapi adil (dalam urusan dunia, kenegaraan dan pemerintahan), maka mereka disejahterakan Allah di dunia dan diberikan pertolongan (kecuali siapa yang dikehendakiNya).

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Bahwa semua ajaran rasul adalah sepakat, yaitu menegakkan keadilan (baik hubungan dengan Allah yaitu “tauhid” maupun dengan manusia “muamalat”). Allah Ta’ala juga menurunkan besi, yang diberi kekuatan untuk dijadikan alat-alat perang supaya Allah dapat membuktikan siapa (di antara mereka yang memanfaatkan besi itu) yang menolong ajaran dan agama Allah Ta’ala walau mereka tidak melihat Allah.” Maka Allah menurunkan para Rasul dan kitab untuk memberikan kekuatan ilmu serta keadilan, dan Allah menurunkan pula besi sebagai alat militer maka dengan itu agama Allah bisa ditegakkan. Memang, ilmu saja tidak cukup karena itu kekuatan militer yang dimiliki oleh umat Muslim sangat diperlukan untuk menakut-nakuti musuh bahkan memukul mundur mereka yang mengganggu umat Islam dan memecah belah keadilan manusia.

D.      Keadilan dalam Muamalat (Kandungan Q.S Al-Muthaffifiin)
   Marilah kita simak Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam? Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjin.” (Q.S Al-Muthaffifiin: 1-7).

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Ayat ini ditujukan kepada orang yang mengurang-ngurangi timbangan dan takaran, dan bagaimana orang-orang yang sengaja mencuri (bisa juga dalam konteks merampas harta rakyat atau korupsi, kolusi dan nepotisme)? ayat ini juga dapat diperluas, kalau kita meminta hak-hak kita dipenuhi maka kita harus memenuhi hak-hak orang lain dengan sepenuhnya.” Syaikh Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Dalam hal rumah tangga, ayat ini masuk di dalamnya. Apabila suami meminta hak-haknya dipenuhi oleh istrinya, maka ia juga harus memenuhi hak-hak istri sepenuhnya.” Maka dari itu Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Aku berdandan sebagaimana istriku berdandan untukku.”

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (Q.S Al-Muthaffifiin: 4-6). Dimana dijelaskan tafsirnya oleh Ibnu Katsir rahimahullah, dinyatakan bahwa hal ini menyangkut kaitan secara khusus dengan kasus Nabi Syu’aib ‘alaihissallam, dimana masyarakat Madyan dihabiskan oleh Allah Ta’ala karena sangat curang dari perdagangan mereka. Mereka tidak adil dalam neraca takaran dan sebagaimana apa yang dijelaskan Allah Ta’ala dalam Surah Al-Muthaffiifin. Hari-hari itu adalah hari-hari yang memberatkan manusia, dan hari-hari itu adalah hari dimana manusia dibiarkan telanjang bulat, tanpa alas kaki dan tanpa khitan dimana matahari didekatkan kepada manusia. Sehebat urusan saat itu, hingga manusia tidak bisa saling memikirkan aurat tetangganya dan ia menghadap ke langit untuk mengharap rahmat Allah Ta’ala untuk segera datang pertolongan kepada mereka, mereka mengharap rahmat Allah Ta’ala yang saat itu marah besar, tidak pernah marah seperti saat itu dan tidak pernah marah lagi seperti saat itu. Saat itulah mereka gusar luar biasa dengan kucuran keringat-keringat mereka, ada yang tenggelam dengan keringat mereka sampai lututnya, sampai pinggangnya, sampai lehernya, bahkan tenggelam keseluruhannya. Saat itulah ada beberapa golongan yang diselamatkan oleh Allah Ta’ala dan dinaungiNya saat tak ada naungan kecuali naungan Allah Ta’ala, itulah salah satunya adalah pemimpin yang adil.

Saat itu ada riwayat menyatakan, berdiri selama 40 tahun, seribu tahun bahkan ada yang menyatakan 40 ribu tahun, hingga Allah Ta’ala menakdirkan Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam bersujud di hadapan Allah atas permintaan umatnya, sujud dengan memuji Allah Ta’ala dengan pujian luar biasa yang beliau pun belum pernah tahu pujian itu. Pujian yang diilhamkan saat itu oleh Allah Ta’ala karena kasih sayangNya. Kemudian diuruslah manusia, dan yang pertama kali diurus adalah Ummat Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Di sinilah keutamaan keadilan, yaitu pemimpin yang adil yaitu yang mendapat perlindungan Allah Ta’ala di hari dimana tidak ada perlindungan selainNya.

Semoga ringkasan tafsir Q.S Ar-Rahman ayat 7, 8, dan 9 ini bermanfaat dan bisa menambah pengetahuan kita serta mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala.
Allahu a’lam bish shawwab

Disusun di Malang
15 Rabi’ul Awwal 1433 / 7 Februari 2012
@nd.




Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah