TAFSIR SURAT AR-RAHMAN AYAT 8,9, dan 10
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya
kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu
mengurangi neraca itu.”
(NERACA KEADILAN ILAHI)
Rangkuman Kajian Ba’d Maghrib di Masjid
Abu Dzar Al-Ghifari
Tertanggal 8 Rabi’ul Awwal 1433 / 1 Februari 2012
oleh: Ust. Abdullah Shaleh al-Hadhromi
A. Pengantar
Sebagaimana mempelajari bidang ilmu agama, merupakan hal yang sangat
dianjurkan. Mempelajari tafsir Al-Qur’an merupakan bidang ilmu agama yang
sangat memiliki keutamaan. Mempelajari ilmu tafsir adalah sama dengan
menghadiri majelis dzikir yang mengingat Allah Ta’ala.
Terdapat kisah yang pernah dinyatakan oleh seorang ulama, dimana kisah ini
dapat diambil pelajaran dan semoga memang kisah ini adalah benar adanya. Yaitu
ada dua orang yang bersahabat, kemudian yang satu telah meninggal akan tetapi
yang satunya masih hidup, kemudian yang hidup bermimpi temannya yang telah
meninggal dunia, kemudian ia (yang hidup) bertnya, “Amalan apa yang paling
afdhal?” lalu temannya yang telah meninggal menjawab, “Menghadiri
majelis-majelis dzikir.”
Maka marilah kita melihat keutamaan majelis-majelis dzikir melalui dalil Naqli
(al-Qur’an dan Sunnah):
* Apabila kamu melewati taman-taman surga makan dan minumlah sampai
kenyang. Para sahabat lalu bertanya, "Apa yang dimaksud taman-taman surga
itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Kelompok zikir” (HR.
Tirmidzi dan Ahmad).
* Aku bertanya, "Ya Rasulullah, apa
keuntungan dan keberuntungan yang diperoleh dari majelis zikir (majelis
taklim)?" Nabi Saw menjawab, "Keuntungan dan keberuntungan yang
diperoleh dari majelis zikir ialah surga." (HR. Ahmad).
Banyak orang menyatakan bahwa majelis dzikir yang
dimaksud Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam adalah perkumpulan orang-orang yang duduk di masjid kemudian
bersama-sama membaca tahlil, tahmid dan takbir dengan hitungan tasbih ataupun
alat lain sebanyak yang mereka tentukan. Inilah pemahaman mereka dan sebatas
inilah mereka mengamalkannya, padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukannya. Dimanapun
kitab hadits yang disusun oleh para ulama dan dimanapun kitab sejarah yang
disusun oleh pakar sejarah dunia Islam, tidak pernah menemukan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan para
sahabat Beliau radhiyallahu ‘anhuma
melakukan sebagaimana orang-orang itu berpendapat.
Lalu apa yang dimaksud majelis dzikir? maka para ulama tafsir hadits
menyatakan, yaitu kajian ilmu. Maka marilah kita simak keterangan Ust. Abdullah
Shalih al-Hadhromi dalam kajiannya sebagaimana beliau hafidzahullah Ta’ala menyinggung majelis dzikir adalah kajian ilmu
dan kajian ilmu adalah lebih utama daripada hanya sekedar menyebut Asma Allah
semata. Allahu a’lam.
Beliau menyatakan bahwa majelis ilmu adalah majelis dzikir itu, bahkan
majelis pengajian adalah majelis dzikir yang kedudukannya sangat tinggi. Beliau
menyitir pernyataan Imam Asy-Syafi’I rahimahullah
Ta’ala, Imam ahli sunnah tersebut menyatakan “Majelis ilmu adalah lebih
afdhal daripada orang yang melakukan sholat sunnah.” Sehingga dijelaskan bahwa
orang yang melakukan sholat sunnah 2 rakaat, 2 rakaat hingga Isya’ dibandingkan
orang yang duduk di majelis pengajian ilmu hingga Isya’, maka hal yang kedua
yang lebih afdhal. Dijelaskan pula oleh Ust. Abdullah hafidzahullah Ta’ala bahwa, orang yang sholat amalan mereka
hanyalah untuk mereka senidiri dan manfaatnya tertuju kepada mereka sendiri.
Sedangkan majelis ilmu manfaatnya sangat multiragam: (1) dia mengingat
Allah dan kebesaranNya; (2) dia menjadi tahu apa yang tidak tahu; (3) dia akan
menjadi lurus dan benar dalam mengamalkan sesuatu amalan; dan (4) dia
mengajarkan ilmu yang mengandung hikmah dan kebenaran itu kepada orang lain,
sehingga orang lain menjadi tahu, maka inilah keutamaan yang sangat besar dan
dia mendapatkan pahala yang sangat besar pula. Allahu a’lam.
B. Makna Neraca
dalam Q.S Ar-Rahman: 7, 8, dan 9
Sebagaimana disinggung oleh Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam kitab tafsirnya
berjudul Kitab Tafsir As-Sa’di, beliau menyatakan, “Allah meletakkan neraca
(timbangan) makudnya adalah keadilan di
antara manusia dalam ucapan dan perbuatan. Maksud (Allah dalam) ayat ini
bukan hanya timbangan yang kita kenal saja, akan tetapi timbangan yang kita
kenal itu juga masuk dalam tafsir dalam ayat ini karena timbangan yang kita
kenal itu merupakan sarana menegakkan keadilan. Timbangan itu juga menyangkut
berat (Sebagaimana Kg, gr, mg, dsb); serta takaran/volume (Co: Liter, mL, Mol,
Molar, dsb); termasuk ukuran (Co: Km u/ jarak; Tesla u/ kekuatan magnit; Volt
u/ tagangan listrik, dsb). Termasuk di dalamnya adalah sarana pemutus perkara,
dimana perkara itu perlu diputuskan dengan keadilan di antara manusia (sehingga ini menyangkup
hukum-hukum).” Inti ajaran Islam adalah menegakkan syariat, dan syariat
diturunkan tidak lain adalah sebagai neraca kehidupan sosial untuk menegakkan
keadilan sesama manusia.
Kemudian Syaikh As-Sa’di menyatakan, “Allah juga menurunkan timbangan,
supaya kalian tidak melampaui batas dalam timbangan. Maka timbangan ini adalah
syariat dalam agama yang berasal dari sisi Allah Ta’ala, apabila timbangan ini dikembalikan kepada akal manusia maka
akan terjadi kehancuran. Letakkan timbangan dengan penuh keadilan semaksimal
mungkin (dengan upaya yang dimiliki segenap manusia seadil mungkin), yaitu
dengan mengamalkan kebaikannya serta mencegah kedzaliman, kelaliman dan tidak
melampaui batas (hindari kedzaliman)!“
Apa yang dimaksud dari Syaikh As-Sa’di sesuai dengan inti ajaran Islam, yaitu
menegakkan keadilan.
Sehingga apa yang dimaksud dengan keadilan? Keadilan menurut bahasa dan
kaidah syariat adalah, ‘menempatkan
sesuatu pada tempatnya’. Sehingga kedzaliman adalah makna yang sebaliknya. Tentu saja keadilan ini merujuk kepada
Syariat Allah Ta’ala, bukan kepada
pandangan-pandangan manusia yang didominasi oleh kebodohan dan hawa nafsunya. Sebagaimana
ilmu harta waris yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala menyatakan, “Dan jika
mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum
ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (Q.S An-Nisaa’: 176). Tentu saja hal yang ditekankan itu
merupakan sebuah keadilan, karena Allah Maha Tahu tentang manusia daripada
manusia itu sendiri. Sehingga bila ada kelompok emansipasi muncul dengan
harapan menjadi ‘sosok pahlawan bangsa’, hal itu sangatlah mendzalimi diri
mereka sendiri dan orang lain.
Sebagaimana dinyatakan dalam Surah Al-Hadiid: 25, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul
Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama
mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan….”
C. Makna Surat
Al-Hadiid (Hubungan antara Rasul-Rasul, Kitab, Keadilan dan Besi)
Sebelum kita membahas lebih lanjut, marilah kita simak Firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul
Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama
mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan
supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya
padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
(Q.S Al-Hadiid: 25).
Apa hubungan antara Rasul-Rasul,
Kitab, Keadilan dan Besi?
Dijelaskan dalam ayat tersebut bahwa, “Allah menurunkan para rasul sebagai
penyampai berita dan membawa syariat (memang inilah tugas para ‘rasul’).
Tidak cukup hanya dinyatakan dalam lisan saja, akan tetapi Allah juga menurunkan
panduan fakta yang dihafal oleh pengikut-pengikut rasul yang kemudian
(qadarullah) dituliskan dan dibukukan hingga kitab itu terikat dalam keautentikannya
(tentu saja saat ini yang benar-benar autentik hanyalah Al-Qur’an al-Karim).
Keduanya diturunkan oleh Allah Ta’ala
tidak lain adalah untuk menegakkan keadilan. Allah Ta’ala paling benci terhadap kezaliman, sebagaimana Ia Ta’ala sendiri mengharamkan kezaliman
itu atas diriNya sendiri. Ia Ta’ala
berfirman, “Sesungguhnya kezaliman Aku
haramkan terhadap diriKu, sebagaimana aku haramkan kezaliman itu di antara
kalian maka janganlah kalian berbuat zalim” (Hadits Qudsi). Sebagaimana
kebencian Allah Ta’ala ini diwujudkan
dalam FirmanNya dalam hadits Qudsi yang lain, dengan bersumpah Allah Ta’ala berfirman, “Allah "Dengan keperkasaan dan keagunganKu, Aku akan
membalas orang zalim dengan segera atau dalam waktu yang akan datang. Aku akan
membalas terhadap orang yang melihat seorang yang dizalimi sedang dia mampu
menolongnya tetapi tidak menolongnya." (HR. Ahmad). Sumpah Allah Ta’ala merupakan sumpah yang tidak
main-main, karena Ia Ta’ala tak
pernah menyalahi janjiNya dan ‘hari itu’ (hari keadilan) pasti datang.
Maka kedzaliman diharamkan juga bagi orang mukmin/muslim terhadaporang
kafir. Tatkala orang kafir itu berstatus dzimmi
(tunduk kepada orang Islam dan tidak memerangi mereka), maka tidak boleh mereka
diperangi dan dizalimi. Begitupula kafir harb
(kafir yang boleh bahkan wajib diperangi), mereka diperangi karena menzalimi
umat Islam dan mereka berbuat zalim, akan tetapi tatkala kita harus membunuh
mereka harus memerangi mereka maka bunuhlah dengan cara yang ma’ruf (sehingga
haram hukumnya memutilasi, menghina jasad mereka secara berlebihan dan menyiksa
mereka dengan siksaan yang tidak manusiawi). Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam yang
teradapat dalam kumpulan Hadits Arbain karya Imam Nawawi rahimahullah. Beliau rahimahullah
menyatakan, “Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus radhiallahu’anhu dari Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan baik (ihsan) atas segala
sesuatu. Jika kalian membunuh maka berlakulah baik dalam hal tersebut. Jika
kalian menyembelih berlakulah baik dalam hal itu, hendaklah kalian mengasah
pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya.” (Riwayat Muslim).
Maka kebencian Allah Ta’ala
terhadap kezaliman ini sampai-sampai Ia mengabulkan doa-doa orang yang
terzalimi tanpa hijab, walaupun ia orang kafir. Sebagaimana negara, walaupun
negara Islam akan tetapi pemerintahan dan masyarakat di dalamnya melakukan
kezaliman maka Allah Ta’ala tidak
akan menolong orang-orang dalam negeri itu, kecuali siapa yang dikehendakiNya.
Sebaliknya, ada negara kafir akan tetapi adil (dalam urusan dunia, kenegaraan
dan pemerintahan), maka mereka disejahterakan Allah di dunia dan diberikan
pertolongan (kecuali siapa yang dikehendakiNya).
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menyatakan,
“Bahwa semua ajaran rasul adalah sepakat, yaitu menegakkan keadilan (baik
hubungan dengan Allah yaitu “tauhid”
maupun dengan manusia “muamalat”). Allah
Ta’ala juga menurunkan besi, yang diberi
kekuatan untuk dijadikan alat-alat perang supaya Allah dapat membuktikan
siapa (di antara mereka yang memanfaatkan besi itu) yang menolong ajaran dan
agama Allah Ta’ala walau mereka tidak melihat Allah.” Maka Allah menurunkan
para Rasul dan kitab untuk memberikan kekuatan ilmu serta keadilan, dan Allah
menurunkan pula besi sebagai alat militer maka dengan itu agama Allah bisa
ditegakkan. Memang, ilmu saja tidak cukup karena itu kekuatan militer yang
dimiliki oleh umat Muslim sangat diperlukan untuk menakut-nakuti musuh bahkan
memukul mundur mereka yang mengganggu umat Islam dan memecah belah keadilan
manusia.
D. Keadilan dalam
Muamalat (Kandungan Q.S Al-Muthaffifiin)
Marilah kita simak Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang
curang. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka
akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?
Sekali-kali jangan
curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjin.” (Q.S Al-Muthaffifiin: 1-7).
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menyatakan,
“Ayat ini ditujukan kepada orang yang mengurang-ngurangi timbangan dan takaran,
dan bagaimana orang-orang yang sengaja mencuri (bisa juga dalam konteks
merampas harta rakyat atau korupsi, kolusi dan nepotisme)? ayat ini juga dapat
diperluas, kalau kita meminta hak-hak kita dipenuhi maka kita harus memenuhi
hak-hak orang lain dengan sepenuhnya.” Syaikh Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Dalam hal rumah tangga, ayat ini masuk di
dalamnya. Apabila suami meminta hak-haknya dipenuhi oleh istrinya, maka ia juga
harus memenuhi hak-hak istri sepenuhnya.” Maka dari itu Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Aku
berdandan sebagaimana istriku berdandan untukku.”
Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Tidaklah orang-orang itu
menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (Q.S Al-Muthaffifiin: 4-6). Dimana dijelaskan tafsirnya oleh Ibnu Katsir
rahimahullah, dinyatakan bahwa hal
ini menyangkut kaitan secara khusus dengan kasus Nabi Syu’aib ‘alaihissallam, dimana masyarakat Madyan
dihabiskan oleh Allah Ta’ala karena
sangat curang dari perdagangan mereka. Mereka tidak adil dalam neraca takaran
dan sebagaimana apa yang dijelaskan Allah Ta’ala
dalam Surah Al-Muthaffiifin. Hari-hari itu adalah hari-hari yang memberatkan
manusia, dan hari-hari itu adalah hari dimana manusia dibiarkan telanjang
bulat, tanpa alas kaki dan tanpa khitan dimana matahari didekatkan kepada
manusia. Sehebat urusan saat itu, hingga manusia tidak bisa saling memikirkan
aurat tetangganya dan ia menghadap ke langit untuk mengharap rahmat Allah Ta’ala untuk segera datang pertolongan
kepada mereka, mereka mengharap rahmat Allah Ta’ala yang saat itu marah besar, tidak pernah marah seperti saat
itu dan tidak pernah marah lagi seperti saat itu. Saat itulah mereka gusar luar
biasa dengan kucuran keringat-keringat mereka, ada yang tenggelam dengan
keringat mereka sampai lututnya, sampai pinggangnya, sampai lehernya, bahkan
tenggelam keseluruhannya. Saat itulah ada beberapa golongan yang diselamatkan
oleh Allah Ta’ala dan dinaungiNya
saat tak ada naungan kecuali naungan Allah Ta’ala,
itulah salah satunya adalah pemimpin yang adil.
Saat itu ada riwayat menyatakan, berdiri selama 40 tahun, seribu tahun
bahkan ada yang menyatakan 40 ribu tahun, hingga Allah Ta’ala menakdirkan Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam bersujud di hadapan Allah atas
permintaan umatnya, sujud dengan memuji Allah Ta’ala dengan pujian luar biasa yang beliau pun belum pernah tahu
pujian itu. Pujian yang diilhamkan saat itu oleh Allah Ta’ala karena kasih sayangNya. Kemudian diuruslah manusia, dan
yang pertama kali diurus adalah Ummat Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Di sinilah keutamaan keadilan, yaitu
pemimpin yang adil yaitu yang mendapat perlindungan Allah Ta’ala di hari dimana tidak ada perlindungan selainNya.
Semoga ringkasan tafsir Q.S Ar-Rahman ayat 7, 8, dan 9 ini bermanfaat dan
bisa menambah pengetahuan kita serta mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala.
Allahu a’lam bish shawwab
Disusun di Malang
15 Rabi’ul Awwal 1433 /
7 Februari 2012
@nd.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah