TAFSIR SURAT AR-RAHMAN AYAT 4
“MENGAJARNYA PANDAI BERBICARA”
(JILID I: MANISNYA ILMU SYAR’IYYAH)
Rangkuman Kajian Ba’d Maghrib di Masjid
Abu Dzar Al-Ghifari
Tertanggal 10 Shafar 1433 / 4 Januari
2012
oleh: Ust. Abdullah Shaleh al-Hadhromi
Segala Puji
Bagi Allah Yang Maha Pemurah, dariNya manusia diajarkan berbagai ilmu
pengetahuan menurut apa yang dikehendakiNya. Semoga shalawat serta salam tetap
tercurah kepada Rasulullah Muhammad beserta keluarganya, para sahabatnya dan
ummatnya yang ditegakkan di atas jalanNya hingga akhir zamman. Amma ba’d.
Pembahasan
yang lalu tanggal 11 Muharram 1433 / 7 Desember 2011 dengan judul “JILID
1: PENTINGNYA TAFAKUR” yang mana
penafsiran ayat ini berkaitan dengan Kholaqol Insaan. Marilah kita segarkan
ulang ingatan kita, yaitu bila ditafsirkan ayat ke 3-nya saja maka ada tiga
perbedaan pandangan ahli tafsir terkait ‘Siapa’ manusia yang dimaksud.
Perbedaan pandangan itu yaitu: (1) Manusia secara keseluruhan sebagai nama
makhluk; (2) Nabi Adam ‘alaihissalam;
(3) Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wasallam. Maka tatkala al-Insaan
dikaitkan dengan manusia, maka al-Bayaan
berkaitan dengan ilmu yang diberikan kepada manusia, yaitu: (a) Allah telah menciptakan manusia dan telah
mengajarkan berbicara dan mengajarkan pengetahuan agar mereka bisa membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk (pendapat dari Hasan al-Bashri); (b) Allah
menciptakan manusia dan mengajarkan kepada mereka halal dan haram (pendapat
dari Qatadah); (c) Allah menciptakan manusia dan mengajarkan pengetahuan
tentang apa yang ia bicarakan dan apa yang ia dengar (pendapat dari Abdullah
ibn Ka’ab); (d) Allah menciptakan manusia dan mengajarkannya kebaikan dan
keburukan (At-Thoha); (e) Allah menciptakan manusia dan Allah mengajarkan
kepada manusia itu jalan petunjuk dan jalan hidayah (pendapat menurut Ibnul
Juraij); (f) Allah menciptakan manusia dan mengajarkannya membaca dan menulis.
Maka dalam ilmu tafsir, hal ini tidak saling bertentangan karena yang satu
dengan yang lainnya saling mendukung (pendapat menurut Ibnul Yamman).
Pada mulanya (saat kita dilahirkan)
manusia adalah makhluk yang ‘bodoh’, sebagaimana dalam Q.S An-Nahl: 78
(artinya), “Dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” Inilah sifat
dasar manusia yang sesungguhnya, kemudian Allah Ta’ala memberikan kepada kita berbagai fasilitas sebagaimana
pendengaran, penglihatan, serta otak dan Qolb
(menurut terjemahan kita adalah ‘hati’ dan beberapa penafsir
menafsirkan ‘jantung’. Karena saat kita merasakan emosi, maka yang
berpengaruh paling keras adalah jantung, begitupula dalam fenomena kedokteran,
bahwa banyak pria dan wanita berubah sifat, pola makan dan nafsu seksualnya
setelah melakukan transplantasi jantung. Allahu
a’lam. dikopas dari artikel dalam group ngaji yuk. red). Oleh karena itu,
kita dianjurkan memakai fasilitas yang diberikan Allah pada tempatnya sesuai
dengan aturan yang ditetapkanNya, apabila tidak maka hal ini adalah kedzaliman.
Maka semuanya adalah diperuntukkan guna mengambil pelajaran agar kita
bersyukur.
Oleh karena itu Imam Ahmad ibn
Hambal rahimahullah Ta’ala
mengatakan, “Ilmu itu tiada tandingannya bagi orang yang benar niatnya.”
Kelezatan ilmu sangat nikmat dirasakan dan tidak ada yang dapat menandinginya,
senada dengan hal itu Imam Syafi’I rahimahullah
Ta’ala menuturkan bahwa beliau ingin semua tubuhnya ada telinganya agar
dapat mendengarkan ilmu dari segala penjuru. Hanya manisnya ilmu ini seringkali
banyak orang tidak merasakannya karena sibuk dengan fitnah yang menimpa dirinya
serta hal-hal yang tidak berfaedah. Ilmu yang indah dan manis dibahas oleh
Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah dalam kitabnya “Miftadaaris
Saa’adah” dalam 3 jilid.
Ilmu itu lebih penting dari harta.
Apabila kita perhatikan nominal harta bila dilihat secara tampak akan berkurang
apabila dibelanjakan (hanya saja akan dilipatgandakan oleh Allah secara ‘tidak
langsung’ atau tidak tampak bila diamalkan), berbeda dengan ilmu karena semakin
kita dermawan mengamalkan ilmu maka ilmu yang diberikan Allah Ta’ala lebih banyak lagi dengan asal
semua ilmu yang bermanfaat kita berikan semua dan dengan niat yang ikhlas
karena Allah. Imam Ahmad ibn Hambal rahimahullah
Ta’ala ditanya tentang ilmu yang tiada tandingannya. Maka ada yang
menanyakan, “Bagaimana maksudnya?” Maka beliau menuturkan, “ilmu itu disebarkan
dengan niat memberantas kebodohan dirinya sendiri dan orang lain.”
Maka tentang masalah ilmu ini tentu
ada kaitan yang sangat erat dengan Q.S Al-Ashr. Surat pendek dan yang
terpendek, akan tetapi Imam Syafi’I rahimahullah
Ta’ala menyatakan, ”Kalau sekiranya manusia merenungkan surat ini,
dipelajari dan diamalkan maka dengan surat ini saja cukup.” Begitu pula para
sahabat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam
membacakan Q.S Al-Ashr bila akan berpisah.
A. Kandungan Ringkas Q.S Al-Ashr: 1-3
Alangkah baiknya kita simak sedikit
dari kandungannya:
Dalam ayat ini Allah ingin
menyampaikan satu pesan. Sebelum pesan itu disampaikan, Allah menekankan dengan
tiga penekanan hebat yang menandakan pentingnya pesan itu, yaitu:
(1) Demi Masa: ini adalah sumpah
yang tidak main-main (hanya saja khusus Allah boleh bersumpah kepada makhlukNya,
bila manusia dilarang melakukannya dan harus bersumpah atas Nama Allah
(Terletak pada ayat ke 1).
(2) Inna : “Sesunggunya”, ini merupakan
penekanan yang kedua (perhatikan bentuk huruf ‘Nun’ yang merupakan Nun tauqid.
Bentuk penekanan dalam kaidah nahwu Bahasa Arab)
(3) Lafi : “Benar-Benar”, ini merupakan
penekanan ketiga (perhatikan bentuk huruf ‘Lam’ yang merupakan Lam tauqid). (Keduanya
terletak pada ayat ke 2)
Keterangan yang diberikan adalah “Dalam
Keadaan Merugi” bahwa semua manusia tak peduli tingkatan status, kelamin
dan banyaknya harta semuanya pasti merugi. Kemudian Allah Ta’ala berfirman dengan kata ”Illa (kecuali)” hal ini terdapat pada
ayat ke 3:
Kecuali orang-orang yang beriman:
(dan berilmu, karena tak mungkin
orang dikatakan beriman tatkala dia tidak memiliki ilmu).
dan mengerjakan amal saleh:
Berarti hal ini adalah mengamalkan
ilmunya
dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran:
Berarti ilmu yang dia miliki harus
didakwahkan
dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran:
Bahwa menuntut ilmu itu haruslah
sabar, baik sabar ketika mencari ilmu, ketika mengamalkan dan ketika
mendakwahkan ilmunya.
Maka ada dua keindahan yang ada
dalam ayat 3 tersebut, yaitu: (1) dengan berilmu dan mengamalkan ilmu itu maka
menjadikan diri kita baik; dan (2) dengan mendakwahkannya serta sabar maka
menjadikan orang lain baik. Sehingga kesimpulannya adalah menjadikan manusia
itu baik dengan ilmu.
B. Kedudukan Ilmu dalam Islam Ditinjau dari Segi Ayat
Qauliyyah
Maka tidakkah kita ingat Q.S
Al-‘Alaq: 1-5?
Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran pena. Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.”
Dari ayat tersebut kita
diperintahkan belajar baca dan tulis agar dapat memudahkan kita mengetahui apa
yang sebelumnya kita tidak tahu.
Maka dengarkanlah kisah dari Ibnul
Qayyim Al-Jauziyyah (ditulis dalam artikel selanjutnya insya Allah, atau dapat
didengarkan melalui rekaman yang dapat diunduh dalam link berikut:http://www.ziddu.com/download/18850796/mahulbayan-manisnyailmuwahyu-10shafar1433-4jan2012.3gp.html).
Ada kisah yang sangat indah oleh
Atho’ ibn Rabbah radhiyallahu ‘anhu,
beliau secara fisik benar-benar buruk dengan status mantan budak. Akan tetapi
saat beliau thawwaf di Ka’bah, banyak orang mengelilinginya dan bertanya-tanya
tentang sesuatu hal. Khalifah pun saat itu kalah kepopulerannya dibandingkan
dengan Atho’ ibn Rabbah karena ilmunya.
C. Ilmu Agama adalah Ilmu yang Dimaksudkan dalam Ayat-Ayat
Allah
Marilah kita simak Q.S At-Taubah:
122 (artinya) ,” Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Maka: Allah dalam surat ini hendak
memerintahkan kepada Umat Muslim untuk membagi kedua kelompok dalam tugasnya,
yaitu satu kelompok berperang dan satu kelompok lagi adalah mencari ilmu. Keduanya
adalah Afdhal, karena: (1) Satu kelompok berjihad di jalan Allah melalui perang
dalam rangka menjaga pertahanan; dan (2) Kelompok lainnya mencari ilmu dengan
menghadiri majelis-majelis ilmu dalam rangka menjaga syari’at agama. Maka
keduanya adalah “JIHAD” dan apabila mati keduanya Syahid, insya Allah.
Hanya yang satu syahid dunia-akherat (dengan hukum-hukum mati syahid) dan yang
satunya syahid akherat (dengan hukum-hukum mayat biasa akan tetapi keutamaannya
sama dengan syahid).
Imam Bukhari dan Muslim rahimahullah Ta’ala, menyatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menyatakan, “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan padanya, maka Allah menjadikannya mengerti masalah agama.” Maka patutlah bersyukur apabila kita dimudahkan untuk belajar agama dan mudah untuk menghadiri majelis ta’lim.
Maka apa yang dimaksud Ilmu Agama?
yaitu pengetahuan yang didapatkan dari Kabar Langit (wahyu) yang dibawa oleh
para nabi, dan tidak sepatutnya kita untuk mengambil syari’at wahyu kecuali
wahyu Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wasallam. Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Abu Dawud,
Ibnu Majjah dan yang lainnya dengan sanad Sahih bahwa Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesunggunnya
para nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi mereka mewariskan
ilmu. Barangsiapa yang mengambil warisannya nabi maka ia mendapatkan bagian
warisan yang sangat banyak.” Marilah kita rebutan warisan??? bukan warisan
harta, uang, emas dan perak akan tetapi ilmu yang berasal dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah secara murni.
D. Allah Mengajarkan yang Halal dan yang Haram
Hadits Bukhari-Muslim (dan juga
dalam Hadits Arba’in An-Nawawi), melalui jalan Sahabat Nu’man ibn Bashir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Yang
halal adalah jelas, dan yang haram juga telah jelas. Dan keduanya terdapat hal
yang samar-samar (syubhat). Barangsiapa yang meninggalkan yang samar itu maka
dia telah menjaga kehormatannya.”
Syubhat itu terjadi karena
ketidaktahuan dan kurngnya ilmu, atau karena perbedaan yang sangat tipis
sehingga ilmu yang dimiliki kurang menjangkau tentang hal itu. Maka lebih baik
dihindari untuk menyelamatkan diri dari kesalahan.
D. Ilmu Umum (Ilmu Dunia) adalah Pendukung Naiknya Derajad
dan Bukan Hal Utama
Penjelasan ini bukan diambil dari
rekaman yang ada, akan tetapi diambil dari Kajian oleh Ust. Syukur Hafidzahullah Ta’ala saat beliau
mengajar di Masjid As-Sallam pada Hari Ahad pagi, marilah kita simak:
Beliau menyatakan bahwa ilmu itu
adalah penting, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Maka yang dimaksud berilmu yang
dimaksud adalah ilmu agama, bukan ilmu dunia.
Ilmu dunia memang perlu untuk
menunjang kekuatan Kaum Muslimin, memberikan kemajuan teknologi kepada ummat
akan tetapi hal ini tidak menjadi suatu yang berarti (muspro: Jw) apabila tidak mengetahui dasar-dasar ilmu ‘wahyu’. Maka
perhatikanlah ayat Allah Ta’ala berikut:
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum
'Aad? (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi yang belum pernah dibangun (suatu
kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong
batu-batu besar di lembah dan kaum Fir'aun yang mempunyai pasak-pasak, yang
berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan
dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab,
sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.”
Maka apakah yang mereka lakukan itu
tidak dengan ilmu? pasti jawabanya “dengan ilmu”. Akan tetapi ilmu yang mereka
miliki adalah ilmu dunia tanpa dilandasi ilmu akherat. Betapa hebatnya mereka
hingga peradabannya begitu maju di jaman itu, akan tetapi mereka berbuat
sewenang-wenang dan menyombongkan diri. Ilmu dunia itu memang perlu, akan
tetapi tidak menjadi berarti apabila tidak dilandasi oleh ilmu syari’at.
Maka, dalam banyak hadits
disebutkan bahwa ahli ilmu lebih utama daripada ahli ibadah tapi kurang
ilmunya. Itulah yang dimaksudkan dengan orang-orang diangkat beberapa derajad
karena ilmunya daripada orang yang kurang ilmunya. Alangkah baiknya apabila ia
ahli ibadah dan berilmu, lebih baik lagi adalah ahli ibadah berilmu dan ia pun
menguasai ilmu dunia yang menunjang keimannya. Allahu a’lam bish shawwab.
Disusun tanggal 16 Shafar 1433 / 10
Januari 2012
@nd
nB:
1. Untuk mendengar rekaman asli Ust. Abdullah dengan materi yang tertulis, silahkan download link
http://www.ziddu.com/download/18850796/mahulbayan-manisnyailmuwahyu-10shafar1433-4jan2012.3gp.html
2. Untuk mendownload file PDF, silhkan klik Link
http://www.ziddu.com/download/18872349/Ayat4-JilidI-ManisnyaIlmuSyariyyah.rtf.pdf.html
nB:
1. Untuk mendengar rekaman asli Ust. Abdullah dengan materi yang tertulis, silahkan download link
http://www.ziddu.com/download/18850796/mahulbayan-manisnyailmuwahyu-10shafar1433-4jan2012.3gp.html
2. Untuk mendownload file PDF, silhkan klik Link
http://www.ziddu.com/download/18872349/Ayat4-JilidI-ManisnyaIlmuSyariyyah.rtf.pdf.html
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah