KAJIAN ISLAM DAN KARYA PENA

KAJIAN ISLAM YANG MEMUAT HAL-HAL BERKAITAN TENTANG PENGETAHUAN ISLAM BAIK SADURAN ATAU KARYA ASLI. BAIK HAL AKIDAH, MUAMALAT, FIKIH ATAUPUN TASKIYATUN NUFS (PENYUCIAN HATI)

JUGA KARYA PENA UMUM BERUPA PUISI CERPEN DAN KARANGAN ATAU ILMU PENGETAHUAN UMUM DAN PENELITIAN ILMIAH

Jumat, 03 Januari 2014

ANDAI CAHAYA ITU TAK MENYENTUHKU



ANDAI CAHAYA ITU TAK MENYENTUHKU

Gayung pun bersambut, pinangan Salman diterima oleh Annisa setelah sebelumnya ia beristikharah Kepada Sang Penentu Peristiwa. Annisa adalah gadis yang baru saja lulus SMA dan tinggal berdua dengan seseorang yang dicintainya, Bu Sholichah. Ia menjodohkan Annisa dengan Salman serta merelakannya bukan karena uangnya yang banyak, kedudukannya yang tinggi dan dunianya yang unggul, namun Salman adalah orang yang shalih dan memahami ilmu agama ini. Bu Sholichah memahami walaupun Salman masih harus meniti karir lebih baik bila ingin nafkah yang layak, akan tetapi hal itu bukanlah yang utama untuk dipertimbangkan. Bu Solichah memegang dengan teguh hadist dari Rasulullah Sahalallahu ‘alaihi wasallam bahwa Beliau bersabda, “Ada tiga golongan yang sudah pasti akan ditolong Allah, yaitu: (1) Orang yang menikah dengan maksud untuk menjaga kehormatan diri; (2) seorang hamba budak yang berniat memerdekakan dirinya; dan (3) seorang yang berperang di jalan Allah.” (Riwayat Ahmad, Nasa’i, Tarmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim).



Setelah Salman berpamitan pulang dan berjanji akan datang kembali bersama keluarganya untuk bermusyawarah menentukan hari pernikahan, maka Bu Sholichah memanggil dan mendudukkan Annisa di sampingnya. Raut wajahnya serius tidak seperti biasanya, beliau selalu ceria dan penuh canda tawa yang segar. Kini, walau tampak ceria namun tersimpan di dalamnya sesuatu yang ingin diungkapkan kepada Annisa, tak lama kemudian Bu Sholichah pun menatap wajah Annisa dalam-dalam dengan penuh kecemasan.



Annisa juga merasa aneh melihat ekspresi orang yang selama ini menyayanginya, yang ia kenal baik sifat dan karakternya. Menurutnya Bu Sholichah adalah ibu yang sangat menyayanginya, kini berbeda raut wajahnya. “Ah, apa karena saya akan tinggal jauh dar ibu. Padahal Ibu sendirian di rumah, Bapak juga sudah meninggal saat saya masih usia Sekolah Dasar”, gumam Annisa di dalam hatinya. Setelah Annisa duduk di sebelahnya, Bu Sholichah pun mengusap Kepala Annisa yang mungil dengan ditutup jilbab syar’i nan anggun, kemudian beliau pun menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Nduk, Alhamdulillah engkau akan menemukan salah satu pasang sayapmu, engkau akan terbang bersamanya mengarungi antariksa kehidupan tuk menuju keridhoan Allah”. Bu Sholichah yang berasal dari Blitar terbiasa menasehatinya dengan penuh tutur kata yang halus dan lembut sebagaimana ibu dengan puterinya, Bahasa Jawa halus menjadi kebiasaan Annisa dalam berbicara kepada Bu Sholichah dan itu merupakan salah satu adab yang diajarkan beliau kepada Annisa.



Alhamdulillah Bu. Kulo nyuwun restu saking ibu, menawi wonten kalepatan kulo nyuwun ngapuntenipun (Alhamdulillah Bu. Saya meminta restu dari ibu, apabila ada kesalahan saya meminta maaf dari ibu)”, tutur Annisa. “Yo nduk ora opo-opo, ana kang arep Ibu aturake marang kowe Nduk. Kowe kudu ngerti masalah iki, menurut Ibu saiki pancen wancine wis teka supaya Ibu crita marang kowe (Ya Nduk[1] tidak mengapa, ada yang ingin Ibu sampaikan kepadamu Nduk. Kamu harus tahu permasalahan ini, menurut Ibu saat inilah memang sudah waktunya bagi ibu untuk menceritakan sesuatu padamu)” Bu Sholichah menarik nafas panjang lagi. “Monggo Bu, Insya Allah kulo midangetaken, menawi kulo sanggup lan mboten nyalahi syariat insya Allah tuturipun ibu kulo laksanakaken kanthi leres (Silahkan Bu, Insya Allah saya akan mendengarkan dengan baik, apabila saya sanggup dan tidak menyalahi syariat Insya Allah nasehat Ibu akan saya laksanakan dengan baik)”, ujar Annisa penuh dengan kesopanan.



“Begini Nduk, Insya Allah dalam waktu dekat ini kamu mau menikah, kamu akan memiliki seseorang yang akan menjadi imam dalam hidupmu. Nduk, kamu sudah mantap dengannya?”, Bu Sholichah menatap Annisa dengan mata penuh harap. “Bu, insya Allah saya mantap dan siap. Saya sudah cukup mengenalnya dari awal proses menuju pernikahan ini Bu, melalui ta’aruf[2] dan nadhor[3]. Bu, Annisa mohon doa restunya dalam mengarungi samudera rumah tangga”, Annisa menyalami Bu Sholichah dan mencium tangannya. “Iyo Nduk, Ibu aturake restu marang kowe (Iya Nduk, Ibu memberikan restu kepada kamu)”. Setelah terdiam sejenak, Bu Sholichah membuka pembicaraannya, ”Nduk, tahukan kamu rukun-rukun pernikahan?”. “Njih Bu (Iya Bu). Adanya calon mempelai pria maupun wanita, wali, dua orang saksi, dan ijab kabul”. “Nduk, apa kamu sudah tahu tentang walimu?”, Tanya Bu Sholichah. “Iya Bu, Annisa tahu kalau Bapak sudah lama meninggal. Maka perwalian saat ini jatuh pada Paklik Taji kan Bu?”, Annisa menjawab dengan mengembangkan senyum simpulnya. “Bukan Nduk!”, Jawab Bu Sholichah tegas. Annisa kaget mendengar jawaban Bu Sholichah, tidak mungkin beliau bercanda di saat seperti ini, ada apa gerangan dan ada apa dengan Paklik Taji? Pertanyaan-pertanyaan yang terus mewarnai batin Annisa dalam hening suasana saat itu.



Bu Sholichah seakan ingin menyembunyikannya, tampak beliau merenung dan menatap lantai dengan sangat lama akan tetapi tampak pula beliau memaksakan diri untuk segera memberikan keterangan atas apa yang selama ini disimpannya. “Nduk, Ibu njaluk ngapuro marang kowe yen Ibu lan Bapak khilaf (Nduk, Ibu minta maaf padamu apabila Ibu dan Bapakmu khilaf)”, Bu Sholichah tampak berlinang air matanya. Tenggorokan Annisa tercekat, ada apa gerangan kenapa kebahagiaan berubah menjadi suasana yang serba absurd?. “Wonten punopo Bu, monggo ngendikan mawon, kulo midhangetaken insya Allah (Ada apa Bu, silahkan bicara, saya mendengarkannya dengan baik insya Allah)”, Jawab Annisa. “Nduk, sebenarnya kamu bukanlah anak kandung dari Bapak dan Ibu. Ayahmu hilang karena kecelakaan pesawat Adam Air saat akan terbang ke Makassar dimana saat itu kamu sedang dalam kandungan dan akan melahirkan. Sedangkan Ibumu meninggal sehari setelah melahirkanmu karena syok mendengar kabar bahwa pesawat yang ditumpangi ayahmu kecelakaan dan terjatuh di laut Majene”, Bu Sholichah tampak menahan rasa bersalah yang sangat mendalam.



Antara terkejut, penuh tanda tanya, sedih dan entah perasaan apa lagi yang mewarnai qalbunya, namun ia berusaha untuk tegar dalam menghadapi untaian kalam seorang yang pernah merawatnya dengan sangat baik. Sekuat-kuat Annisa, ia adalah seorang perempuan yang memiliki hati lembut, tampak buliran air matanya menetes membasahi pipinya, ya...Anisa pun menangis. Dengan tangisan yang tertahan ia bertanya, “Bu, pareng kulo tanglet? (Bu bolehkan saya bertanya)”. “Silahkan Nak”. “Lalu siapa sebenarnya Ayah dan Ibu saya Bu?”. “Nak, sebelum Ibu menjelaskan siapa Ayah dan Ibumu, Ibu benar-benar meminta maaf atas kesalahan kami, semoga Allah juga mengampuni suami Ibu Nak. Ibu tau, dalam Islam menyembunyikan nasab adalah suatu dosa dan kamu seharusnya mengetahui hal ini mulai kecil. Tapi, karena maslahat yang sangat mendesak akhirnya kami putuskan untuk merahasiakannya sementara. Kami berharap suatu saat nanti kami bisa menjelaskannnya padamu. Alhdmulillah, Allah masih memberikan umur yang panjang pada Ibu, walau Bapak telah meninggal mendahului kita”.



Bu Sholichah terdiam sejenak, hening serasa menyelimuti suasana saat itu. Hangatnya udara Kota Blitar saat sore hari menambah keharuan hati masing-masing. Batin Annisa masih diliputi banyak tanda tanya, walau telah terurai sedikit demi sedikit, namun ia tidak tega untuk memberondong seseorang yang telah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Bu Sholichah pun kemudian menangis tersedu, tampak kepalanya menunduk sangat rendah, ingin beliau bersimpuh dan bersujud di hadapan Ilahi. Annisa tak kuasa melihat Bu Sholichah demikian, ia pun memeluknya dengan tangisan pula, ia berusaha menenangkan seseorang yang sudah ia sayang selagi masih kecil hingga kini. Setelah tangisan Bu Sholichah mereda, Annisa mulai melepas pelukannya dengan perlahan kemudian menatap beliau dalam-dalam dan penuh tanda tanya.



Bu Sholichah memahami maksud Annisa, beliau menarik napas panjang lalu melanjutkan pembicaraannya. “Nduk, dahulu kami tinggal di Jakarta kemudian kembali ke Blitar karena kami tidak mau engkau terlepas dari agama yang benar ini”. Rasa kaget dan penasaran Annisa bertambah lagi, namun ia tahan karena ia yakin untaian demi untaian akan terurai melalui lisan seorang ibu yang telah ia sayangi selama ini. “Baiklah, mungkin apa yang ibu ceritakan menurutmu terkesan terpotong-potong, maka ibu akan ceritakan semuanya. Sungguh, sebenarnya ibu merasa berat dengan apa yang akan ibu ceritakan, akan tetapi insya Allah inilah yang terbaik buatmu Nak”.



Setelah terdiam sejenak dan menata hati, Ibu Sholichah pun mulai berbicara, “Ibu dahulu adalah tetangga dari kedua orang tuamu saat masih tinggal di Jakarta, kedua orang tuamu sangat kaya dan jauh berbeda keadaannya dengan kami yang saat itu tinggal di depan rumahnya. Sebagai seorang Muslim, bagaimanapun kami harus berbuat baik kepada tetangga walau itu berbeda agama sekalipun dan kami juga berkewajiban memberikan hak-hak sebagai tetangga kepada kedua orang tuamu. Tatkala melahirkan dirimu, kami sempat menjenguk ibumu yang berada di rumah sakit. Kami pun mengobrol dengan ibumu dengan kondisi yang berbeda dari biasanya, tampak saat itu ibumu sedang sangat senang karena kelahiranmu serta karena rencana keberangkatan ayahmu ke Makassar untuk menangani proyek besar dan sangat menjanjikan. Akan tetapi di tengah-tengah kami mengobrol itulah, ibumu mendapat kabar melalui telepon bahwa pesawat Adam Air yang ditumpangi ayahmu hilang dalam radar dan diperkirakan terjatuh di Laut Majene, semua orang dalam pesawat itu tewas termasuk ayahmu. Ibumu langsung panik luar biasa kami telah menenangkannya dan meminta untuk mengecek berita itu kembali, akan tetapi belum sempat kami berbicara ternyata ada kepastian dari pihak berwenang bahwa ayamu memang benar-benar telah hilang bersama pesawat yang ditumpanginya.



Bu Sholichah menghela nafas panjang, lantas melanjutkan kisahnya, “Saat itu entah mengapa ibumu langsung terjatuh dan kesulitan bernafas, para suster langsung datang menolongnya. Akan tetapi setelah diberi selang oksigen darurat, tetap saja ibumu tidak bisa bernafas secara teratur. Nis, ibu telah berusaha untuk membimbingnya agar mengucapkan kalimat syahadat, akan tetapi hingga akhir hayatnya tiada keluar ucapan kalimat syahadat sedikitpun”. Annisa tampak kaget luar biasa, seakan tidak percaya dengan cerita Bu Sholichah dan Annisa tidak tahan lagi untuk bertanya, “Bu, ceritakanlah siapakah sebenarnya ibu dan ayah saya?”, tanya Annisa dengan penuh galau, ia tak tahu harus bertanya apa lagi selain itu. “Nak, Ayah dan Ibumu berbeda agama dengan kita



Bu Sholichah memegang pundak Annisa yang kondisinya saat itu sangat tegang. Annisa langsung menundukkan kepalanya, kedua tangannya ia tutupkan ke wajahnya, ia pun menangis tersedu. Keimanan Annisa tentang kebenaran Islam dan tentang keyakinannya bahwa Allah adalah Esa ternyata tidak dimiliki oleh kedua orang tua kandungnya. Tangisan sedih karena berbeda keyakinan yang sangat mendasar, akan tetapi keduanya telah meninggalkannya terlebih dahulu sebelum ia sempat mengerti tentang bagaimana hakekat dunia ini hingga ia bisa berdakwah kepada orang tuanya. Ia menangis dengan tangisan yang andai mampu ia akan berteriak, namun semua kejadian di dunia ini telah dicatat dalam Kitab Lauh al-Mahfudz, kitab Allah yang tiada satu makhluk pun yang mengetahuinya kecuali siapa yang dikehendakiNya. Bu Sholichah memeluknya dengan penuh kasih sayang, tampak beliau dapat merasakan bagaimana perasaan Annisa yang terluka akibat untaian kalamnya, untaian kata yang mau atau tidak harus ia sampaikan. “Nduk, sabarlah! semua sudah diatur oleh Allah Yang Maha Tinggi! Bersyukurlah karena engkau dapat mengenal agama yang indah ini, agama nenek moyangmu, Adam. Dan agama panutanmu yang dimuliakan, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam”.



Setelah Annisa sedikit tenang, Bu Sholichah kembali melanjutkan ceriteranya. “Singkat cerita datanglah seorang teman ayahmu yang mengaku sebagai seorang pastur, ia akan mengambil dan mendidikmu. Tetapi, Bapak mempertahankan agar jangan sampai kau diambil oleh mereka dan dididik dalam kemusyrikan kepada Allah. Akhirnya melalui proses yang panjang kami pun pindah ke Blitar dan mengganti namamu dari Violeta Perdana Puteri menjadi Annisa Rahma Az-Zahra. Bapak dan Ibu lakukan itu semua, adalah demi keinginan kami memilikimu Nduk, kami ingin mempunyai seorang anak. Kami saat itu sangat sedih tatkala ada anak tetangga ibu yang masih bayi yatim-piatu dan akan jatuh ke tangan orang yang salah. Ibu tahu, tak sepatutnya ibu mengambil alih untuk merawatmu tanpa ijin keluarga besarmu dan tak sepatutnya ibu mengganti namamu untuk menyembunyikannya dari keluarga besarmu, namun kedekatan ibu kepada ibu kandungmu membuat kami sangat akrab dan kami anggap seperti saudara sendiri. Bahkan, ada niatan ibu untuk memberikan kepada mereka Al-Qur’an dan buku-buku Islam agar Allah berkenan memberikan mereka hidayah. Kedekatan itulah yang membuat kami merasa tidak mempermasalahkan untuk melakukan semua ini. Tapi lambat laun kami merasa bersalah, di satu sisi lain kami pun merasa bangga denganmu Nduk. Nduk, ibu sangat bangga denganmu tatkala kau tumbuh menjadi anak sholihah seperti sekarang ini, anak yang kuat imannya dan bertakwa kepada Tuhannya, anak yang sangat berbakti kepada siapa yang telah merawatnya. Nduk, maafkan kami yang telah merahasiakan hal ini bertahun-tahun dan baru sekaranglah Ibu ceritakan”.



Annisa pun mulai bisa memahami apa yang diceritakan Bu Sholichah dan ia pun dengan penuh keimanan menegarkan perasaan beliau yang tampak bersalah. “Alhamdulillah hamdan katsiro mubarokan fih (Segala Puji Bagi Allah, dengan pujian yang sangat besar dan penuh kebaikan). Annisa justru mengucapkan terimakasih pada Ibu, karena ibu telah menyelamatkan Annisa dan mendidik Annisa dalam konsep agama yang sangat indah ini. Annisa tidak bisa membalas kebaikan ibu, amalan yang sangat besar yang telah ibu berikan pada Annisa tidak akan bisa Annisa balas dengan sebaik-baik balasan. Keringat yang telah tumpah dari Bapak dan Ibu tidak akan bisa Annisa balas dengan sebaik-baik balasan, ibu telah mengenalkan pada Tuhanku, pada agama Tuhanku yang benar dan pada Sunnah RasulNya yang dimuliakan. Annisa tidak bisa membayangkan, andai kini Annisa tidak disamping Ibu. Alhamdulillah, Allah telah memberikan cahaya Iman dan Islam kepadaku melalui tangan ibu dan bapak, andai cahaya itu tidak menyentuhku tentulah aku tidak akan menjadi anak seperti sekarang ini”.



“Bu, tidak usah ibu meminta maaf pada Annisa, justru Annisa lah yang harus meminta maaf pada Ibu apabila selama ini Annisa juga sering membantah ibu. Tidak ada sesuatu kata yang lebih baik yang akan Annisa berikan kepada Ibu dan Bapak kecuali ucapan Jazaakumullahu Khoiron Katsir (Semoga Allah memberikan kebaikan yang sangat besar kepada kalian). Semoga jasa-jasa Bapak dan Ibu dalam menyelamatkan Annisa diterima oleh Allah dan hal itu menjadi sarana untuk memperoleh syafaatNya, karena Annisa memahami bahwa itu adalah jihad yang besar yang telah menyelamatkan seorang anak Adam atas fitrahnya”.



Hening menyeruak dalam ruang tamu saat itu, Bu Sholichah pun membuka pembicaraan. Kini pembicaraan lebih tenang dan lebih cair daripada sebelumnya, “Nduk, kau sudah benar-benar mantap dengan Salman? Sejujurnya ibu juga tidak tega membiarkanmu menikah setelah lulus SMA. Teman-teman sebayamu melanjutkan kuliah hingga kelulusannya, kemudian ia bekerja dahulu baru menikah. Maafkan Ibu, sekali lagi maafkan Ibu, ibu sangat takut tidak bisa menjalankan amanah Allah dalam mendidik seorang anak wanita sepertimu. Selain itu, Ibu tahu bahwa di Blitar ini tidak ada universitas yang kau impikan. Mulai SMP kau sudah bercita-cita menjadi seorang akuntan sukses dan masuk kuliah di Kota Malang, akan tetapi Ibu khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Bolehlah kau anggap ini berlebihan, akan tetapi sejujurnya, ibu sangat sayang padamu Nduk”.



Annisa tersenyum simpul dan menyatakan, “Bu, Ibu telah memberikan kepada Annisa apa yang tidak diberikan oleh kebanyakan seorang ibu yang lain kepada anaknya. Ini adalah hadiah spesial buat Annisa bu, Annisa melihat Salman adalah bagaikan pangeran yang membuka mutiara dalam cangkang dengan halus dan lembut, penuh dengan aturan yang baik dalam membuka cangkang itu”. “Nduk, ibu tak faham bahasa-bahasa puitis gitu ah!”, tampak sifat Bu Sholichah yang ceria mulai muncul dari wajah dan lisannya. “Bu, intinya Annisa sangat senang dengan hadiah ibu berupa kedatangan laki-laki shalih yang siap menjemput Annisa dalam akad nikah nanti insya Allah. Bu, buat apa dunia ini kalau tidak dibarengi dengan ibadah pada Allah, bukankah nikah juga ibadah? Masalah Annisa mau kuliah lagi dan menjadi akuntan itu gampang Bu. Bukankah Mas Salman adalah seorang pengusaha?”. “Iya Nduk, Salman itu pengusaha tetapi usahanya masih belum tampak hasilnya, tapi ibu yakin dengan pertolongan Allah. Salman adalah laki-laki yang dikenal shalih dan menjaga dirinya. Ia Mahasiswa Ekonomi di salah satu universitas di Malang, kalau tidak salah dengar sih dia Mahasiswa Ekonomi yang ambil tentang Eis…apa yah Ibu kurang tahu, pokoknya ekonomi yang diterapkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam itu”. “Ekis Bu, singkatan dari Ekonomi Islam?”. “Eh iya, Ekis. Mbuh wis Nduk ibu ora faham karo dunia perkuliahan (Sudah lah Nduk Ibu ini tidak paham dengan dunia perkuliahan)”. Keduanya tertawa dengan penuh senyum kebahagiaan.



“Lah itu lah Nduk, sebagai pemuda yang wajar dan normal, ia sangat ingin menikah tapi berkali-kali dia ditolak oleh ayah dari akhwat yang mau ia nikahi karena pekerjaannya yang tidak jelas. Nah qadarullah (atas kehendak Allah), orang tua Salman tiba-tiba bilang ke ibu dan menyatakan bagaimana dengan Annisa apakah sudah siap menikah dan bersedia dinikahkan dengan anak saya? Ngono je Nduk ngendikane (Lah, begitu loh Nduk katanya), lalu Ibu melihat Salman berbeda dengan laki-laki lainnya ibu pun mengobrol dengannya. Ia nyaman diajak bicara dan faham dengan agama ini, terlebih lagi faham dengan bagaimana harus menata rumah tangga loh! Ia juga hafal beberapa jus dari Al-Qur’an serta hadist Arbain. Subhanallah, itulah maka ibu mantap dengan Salman”. “Sekali lagi Ibu minta maaf kalau tergesa-gesa Nduk, tapi Alhamdulillah kau mau menerimanya. Kau benar-benar siap dan tidak marah Nduk?”. Annisa tersenyum simpul dan menjawab, “Bu, bukankah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam orang yang jujur dan selalu dapat dipercaya di setiap keterangannya? Itu kan yang diajarkan Ibu pada Annisa? Kalau memang Mas Salman ingin menikahi Annisa karena ingin menjaga diri dan kehormatannya, Annisa yakin kami akan ditolong oleh Allah Yang Maha Menolong dan Maha Memahami. Bu, Annisa yakin pilihan Ibu tidak salah dan Annisa menerimanya, nasihat ibu sangat Annisa pegang teguh”. “Alhamdulillah Gusti, Panjenengan paring kawulo puteri ingkang shalihah kados Annisa (Segala Puji Bagi Engkau wahai Tuhan, karena Engkau telah memberikan puteri yang shalihah seperti Annisa). Nis, engkau benar-benar anak yang sangat ibu banggakan, mulai kecil engkau berprestasi di sekolah. Sebenarnya kalau engkau mau kuliah engkau tidak kalah dengan teman-teman sebayamu dan insya Allah engkau akan menjadi orang penting di negeri ini”, ujar Bu Sholichah.



“Nis, ibu akan berusaha mencarikan biaya untuk kuliahmu di Malang, biar Salman nanti yang memberikan nafkah bagimu untuk kebutuhan sehari-harinya”. Mendengar hal itu Annisa tersenyum, “Bu, dengan menikah sama Mas Salman justru cita-cita Annisa akan dikabulkan Allah, insya Allah. Bukankah Mas Salman seorang pengusaha? Pengusaha itu membutuhkan akuntan yang handal, dan sayalah istrinya. Ilmu dunia tidak harus didapatkan melalui bangku sekolah kan Bu? Melalui pengalaman dan bimbingan Mas Salman yang sarjana eknomi, insya Allah Annisa akan bisa menjadi akuntan yang baik. Bu, Annisa yakin orang penting di negeri ini adalah seorang wanita yang berbakti kepada suaminya, dengan memotivasinya untuk selalu berbuat ketaatan pada Allah. Orang penting juga adalah seorang ibu yang mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan petunjuk Allah yang telah disampaikan RasulNya agar terbentuk pemuda-pemudi yang shalih dan handal serta kuat mentalnya. Bu, saksikanlah insya Allah Annisa akan menjadi orang penting di negeri ini. Annisa yakin, tanpa seorang wanita, Bung Karno tak akan dapat memproklamirkan kemerdekaan Republlik Indonesia”, Jawab Annisa mantab. “Subhanallah, Nis semoga Allah memberikan kepadamu rumah tangga sakinah (ketenangan), mawaddah (ketenteraman) dan rahmah (kasih sayang) Nak. Untuk masalah wali yang akan menikahkanmu, insya Allah kita akan meminta Pak Usep, wali hakim dari KUA. Semoga prosesnya dimudahkan”, Bu Shalichah mengelus kepala Annisa dengan penuh kasih dan sayang.



Satu setengah bulan berikutnya, terdengarlah kalimat mulia dari mulut Salman, “Saya terima nikahnya Annisa Rahma Az-Zahra binti Stefanus Zauhar dengan Mas Kawin uang sebesar satu juta rupiah, satu buah Al-Qur’an dan satu set kitab Tafir Ibnu Katsir Tunai”. “Sah!!”. Akhirnya, resmilah pernikahan antara Salman dengan Annisa. Suasana haru menghiasi mempelai berdua. Tampak Salman menitikkan air mata dan mengusapnya dengan perlahan, hatinya berbunga memiliki seorang akhwat (wanita) yang shalihah. Begitupula dengan Annisa, ia pun menitikkan air matanya, menurutnya tidak ada yang lebih indah selain ketakwaan kepada Allah dan tidak ada urusan dunia yang lebih indah kecuali didasarkan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.



Thala’al Badru ‘alayna

Min Tsaniyyatili wada’

Wajabasy syukru ‘alayna

Ma da’a lillahida’

Suara nasyid pun berkumandang dengan lembut, syair yang dinyanyikan oleh group Nasyid Al-Hidayah, group personelnya Salman saat kuliah dahulu yang kini telah naik daun di dunia nasyid nasional. Dalam kebahagiaan dan keharuan tersebut Salman telah sah menjadi suami Annisa dan kini saatnyalah mereka bedua memulai membangun bahtera untuk kemudian siap berlayar hingga akhirnya berlabuh di syurgaNya insya Allah.



Setelah acara prosesi selesai, Annisa ingin sekali mengungkapkan perasaannya melalui untaian kata, ia mengambil secarik kertas dan menuliskan goresan-goresan indah di hadapan suaminya, Wahai suamiku, Kakanda Salman yang aku cintai karena Allah

Tak ada yang lebih berharga dari kelereng dibandingkan mutiara

Tak ada yang lebih bermakna dari kata dibanding dizikir dan doa

Tak ada yang lebih bijaksana dari menundukkan lisan dan mata

Tak ada yang lebih baik dari menyerahkan segala urusan hanya kepadaNya

Dan tak ada yang lebih mulia dari mutiara tatkala ia berada dalam cangkangnya

Maka jadilah dirimu “Sebutir Mutiara Dalam Cangkang”





Malang, 29 Sya’ban 1432 (31 Juli 2011)

Written by

Arnanda Aji Saputra




[1] Panggilan untuk anak perempuan dalam adat Jawa
[2] Proses awal sebelum seseorang laki-menikahi perempuan adalah dengan berkenalan. Dalam Islam ada tata cara berkenalan yang syar’I, hal ini sangat penting untuk menjaga kehormatan masing-masing fihak sebelum halal di antara keduanya.
[3] Setelah Ta’aruf, maka masing-masing calon pengantin melihat calon pasangannya, ia diperbolehkan melihat bentuk fisiknya pada apa yang telah diatur dalam syariat Islam.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami

2 komentar:

ve mengatakan...

jempol..sblm sls bcny kirain dah putri yg trtukar..he. dr judulny kirain tntg pjuangan mualaf tyt lbh mengarah k yg lain.

Admin mengatakan...

Komen di atas saya Ukhti Vega? Syukron wa jazaakillahu khoyr semoga bermanfaat

Posting Komentar

Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah