بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
SAMPAIKAN MAKA SELESAILAH TUGASMU
“SOLUSI ALTERNATIF ATAS POLEMIK KELUARGA UJE”
ETIKA DAKWAH
Segala Puji Hanya milik Allah Yang Maha Tinggi, Dialah
Yang Memberikan banyak sekali kebaikan pada para hambaNya. Dia tidak membutuhkan
para hamba sedikitpun akan tetapi justru Dialah yang memberikan seluruh
kebutuhan para hambaNya itu karena kasihNya kepada kita semua. Semoga shalawat
serta salam tetap dicurahkan olehNya kepada Sang Utusan Allah Muhammad ibn
Abdillah, beserta keluarga Beliau, para sahabat Beliau serta umat Beliau yang mengikuti
jejak ajaran Beliau hingga akhir zamman.
Dalam Al-Qur’an Al-Karim Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْتُلُواْ الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ وَمَن
قَتَلَهُ مِنكُم مُّتَعَمِّداً فَجَزَاء مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ
بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْياً بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ
أَو عَدْلُ ذَلِكَ صِيَاماً لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللّهُ عَمَّا سَلَف
وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللّهُ مِنْهُ وَاللّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ (الماءده:
92)
“Dan taatlah
kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika
kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami,
hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (Q.S Al-Maa’idah: 92).
Firman Allah dalam ayat
di atas menerangkan bahwa tugas para rasul hanyalah menyampaikan risalah bukan
menentukan hidayah seseorang hamba. Oleh sebab itu para ulama juga telah
menjelaskan bab tentang fiqih/aturan dakwah.
Para ulama juga berkata,
الاجريقع بى مجرد الدعوة, ولايتوقف علا
الإستجابة
Yang artinya: “Ganjaran (dalam
dakwah) telah didapatkan dengan menyampaikan, dan bukan tergantung pada
diterimanya dakwah itu.”
Sangat jelas bahwa dengan hanya menyampaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan
pada syariat Agama Islam dan yang memberitahukan apa-apa yang seharusnya dihindari
adalah sudah cukup, tanpa harus menuntut sebuah hasil yang maksimal.
Kaidah yang disampaikan di atas bukan berarti lantas
ditafsirkan “yang penting menyampaikan lalu selesai”. Dakwah juga harus
memperhatikan cara berdakwah dan apa yang disampaikan. Dalam syariat Allah,
Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa sallam telah menyampaikan cara riil
untuk dilaksanakan bagi para pendakwah, baik itu ustad, kyai, mubaligh, atau thalib
al-‘ilm. Simak sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berikut
ini, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka
hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka
dengan lisannya. Kalau tidak sanggup, maka dengan hatinya. Dan itu adalah
selemah-lemah iman.” (Sahih Muslim No. 70). Sehingga selama seseorang itu mampu dengan
kekuatan, maka cegah kemungkaran itu dengan kekuatan, namun bila tidak mampu
dengan lisan, dan bila tidak mampu lagi dengan pengingkaran dalam hati atau
kebencian.
Para ulama menyatakan bahwa urutan-urutan mencegah
kemungkaran dimulai dari awal yaitu kekuatan, kemudian lisan, kemudian barulah
yang paling lemah, yaitu kebencian. Selanjutnya tatkala mencegah kemungkaran
harus juga menggunakan fikih prioritas, apakah itu?
Fiqih prioritas adalah sesuatu aturan yang membahas
tentang mana yang harus didahulukan daru dua perkara, khususnya bila perkara
itu sama-sama baiknya. Beitupula apa yang harus dipilih bila berhadapan dengan
dua hal yang sama-sama buruknya. Tentu bila sama-sama baik, maka kita memilih
yang paling baik dari keduanya, akan tetapi bila dihadapkan dengan sesuatu yang
sama-sama buruk dan kita harus memilih salah satunya tentu kita memilih yang
terbaik dari yang terburuk tersebut.
Fiqih prioritas sangatlah penting untuk dilakukan bagi
para pendakwah, para pemegang wasiat yang diminta menyampaikan wasiat serta
para penyampai pesan para Nabi Shalawatu wa sallam ‘alaih. Bila fiqih
prioritas ini diabaikan hasilnya bukan memberikan kesejukan Islam pada orang
yang tidak memahami, malah semakin menjadi-jadi kebodohan orang yang bodoh
dalam agama.
Khususnya pada zaman saat ini, ada banyak ulama busuk
yang menyeret umat ke depan pintu Jahannam dengan kata-katanya yang manis akan
tetapi menjerumuskan. Sedangkan para mubaligh yang jujur justru tidak didengar.
Boleh jadi ulama yang busuk tersebut lebih memahami fiqih prioritas dan
memahami tata cara bertutur kata yang baik dibandingkan ulama yang jujur dalam
penyampaiannya akan tetapi tergesa-gesa dalam bertindak. Tutur kata yang keras
dan kasar disertai paksaan yang sangat menyakitkan membuat orang bertambah
tidak simpati dengan kata-katanya.
Ada salah satu fenomena yang unik dan menarik yang pernah
menimpa negeri Indonesia ini. Pertarungan yang sengit antar keluarga seorang
ustad, sebut saja Uje, ustad terkenal di Indonesia yang meninggal akibat
kecelakaan. Perjalanan panjang dilalui oleh Uje, mulai dari beliau rahimahullah
(semoga Allah merahmatinya) menjadi seorang preman dan pemakai narkoba,
hingga bertaubat kemudian menjadi mubaligh terkenal. Hanya saja beliau masih
membahas hal-hal yang berkenaan dengan permintaan umat, khususnya permintaan
para penyelenggara telvisi. Hingga beliau rahimahullah pun menyadari
beberapa kekeliruannya dan menemukan teman yang sangat dia idamkan, yaitu ulama
dari Ahlusunnah wal jamaa’ah yang komitmen dengan jalan para Salafush
shaalih (orang-orang shalih terdahulu dari Rasulullah, para sahabat, tabi’in
dan murid para tabi’in). Hingga akhirnya beliau banyak mengenal ajaran
sunnah, salah satunya adalah “larangan membangun kuburan dan
memperindahnya”.
Salah satu syariat yang (kini) banyak dilanggar umat
Islam sendiri, yaitu membangun kuburan telah menjadi polemik besar bagi umat
khususnya keluarga Uje. Maka saya ingin sedikit berkomentar tentang polemik
ini, bukan untuk ngurusin rumah tangga orang akan tetapi untuk
menjelaskan apa yang harus dijelaskan agar siapapun yang mengalami polemik
seperti di atas tidak berdampak buruk hingga terjadi perpecahan antar keluarga
besar yang mengakibatkan semakin lemahnya kekuatan umat Islam.
MENGHORMATI KUBURAN
Dalam ajaran agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah banyak dipaparkan
hukum-hukum tentang bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi kuburan. Tentu
kuburan yang hakekatnya adalah tempat peristirahatan bagi manusia khususnya
bagi kaum Muslimin merupakan sesuatu yang harus dihormati, akan tetapi
penghormatan haruslah sesuai Sunnah/Tata Cara yang dibawa oleh Rasulullah
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Barang siapa yang tidak
menghormati dengan apa yang dibawa oleh Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam
sama saja dengan tidak menghormatinya karena mendurhakai Allah dan RasulNya.
Tatkala seseorang berziarah ke kubur kerabatnya, tentu
mereka harus memperhatikan adab-adabnya sebagai bentuk pengormatan bagi
penghuni kubur, yaitu jenazah kaum muslimin. Bagaimanakah cara menghormati
kuburan menurut ajaran Islam yang sahih/benar?
Simaklah keterangan berikut:
1. Mengucapkan salam ketika masuk kompleks pekuburan.
Keterangan diambil dari Hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
“Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu,
dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan mereka (para
shahabat) jika mereka keluar menuju pekuburan agar mengucapkan :
اَلسَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا
إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Salam keselamatan atas penghuni
rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah
merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan,
dan kami Insya Allah akan menyusul kalian, kami memohon kepada Allah
keselamatan bagi kami dan bagi kalian[1]”
2.
Tidak memakai sandal ketika memasuki pekuburan (kecuali keadaan yang tidak memungkinkan
seperti panas yang menyengat atau banyak duri).
Diambil dari peristiwa pada masa Rasulullah tatkala Beliau Shalallahu
‘alaihi wa sallam melihat seseorang
memakai sandal saat berziarah kubur, lantas Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ، وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ»
فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا
“Wahai pemakai sandal, celakalah engkau! Lepaskan sandalmu!” Lalu orang tersebut melihat (orang yang
meneriakinya). Tatkala ia mengenali (kalau orang itu adalah) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia melepas kedua sandalnya dan melemparnya[2]”
Ini termasuk penghormatan yang justru
disunnahkan tatkala kita berziarah kubur.
3. Tidak duduk di atas kuburan dan menginjaknya.
Dasar atas adab ini adalah sabda Rasulullah
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ،
فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ
“Sungguh
jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api sehingga membakar bajunya
dan menembus kulitnya, itu lebih baik daripada duduk di atas kubur[3]”
Ini adalah penghormatan yang sudah mencukupi
suatu hal untuk menghormati kubur yang justru kurang diperhatikan para peziarah
kubur. Pengelola kubur di Indonesia juga mayoritas terkesan asal-asalan dalam
menata tempat tidur jenazah kaum Muslimin, hingga aturannya pun acak-acakan.
Tidak diberikan jalan untuk para peziarahnya dengan alasan yang dibuat-buat,
yaitu lahan yang tidak cukup, padahal hal tersebut dapat diupayakan Insya
Allah.
4. Termasuk adab dalam menghormati penghuni kubur adalah
mendoakannya tatkala ziarah tanpa meratap dan mengatakan hal-hal yang tidak
diridhoi Allah.
Mengapa saya utarakan tentang
adab ziarah kubur, padahal tema pembahasannya adalah cara menyampaikan sebuah
pesan/cara dakwah? Betul, saya sampaikan karena saya ingin mengomentari kasus
yang terkait dengan Uje dan kuburannya yang menjadi polemik. Saya juga ingin
menyampaikan hal ini agar keluarga Uje (semoga juga membaca artikel ini) dan
masyarakat umum mengetahui bagaimana harus bersikap dan apabila ada kasus
serupa tidak terulang kembali. Maka inilah beberapa hal menghormati penghuni
kubur.
HUKUM MEMBANGUN KUBURAN, MENGAPUR DAN
MENGECATNYA
Saya sampaikan hal ini juga
karena ingin menyampaikan bagaimana seharusnya kita sebagai Muslim harus
bersikap kepada kuburan, baik itu kuburannya orang awam maupun orang shalih.
Hukumnya, bila penghuni kubur tersebut adalah Kaum Muslimin maka merujuk kepada
aturan syariat Islam yang telah disampaikan dan dijelaskan oleh Rasulullah
Muhammad Shalallau ‘alaihi wa sallam.
Media ramai memberitakan
bagaimana Istri Uje menentang keras fihak keluarganya khususnya fihak ibunda
Uje yang telah membangun kuburan Uje dengan sangat bagus dan dengan biaya yang
mahal. Alasan istri Uje secara sederhana adalah, Uje telah berwasiat
kepadanya untuk tidak membangun kuburannya tatkala ia sudah meninggal nanti.
Permasalahannya, wasiat Uje tentu bukan wasiat yang asal-asalan. Lantas, apa
dorongan Uje untuk berwasiat seperti itu? Simak paragraf berikutnya.
Ternyata Uje bukan tanpa
alasan bila telah berwasiat agar kuburannya tidak dibangun, tidak dikapur dan tidak
dicat serta diperlakukan macam-macam sebagaimana mayoritas kuburan orang-orang
yang diagungkan manusia. Alasan Uje untuk menyatakan wasiatnya didasarkan oleh hadits-hadits
yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam.
a. Dari Jabir radhiyallahu
‘anhu beliau menerangkan bahwa,
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى
عَلَيْهِ
b. Pernyataan
Sahabat Ali ibn Ab Thalib radhiyallahu ‘anhu.
عَنْ أَبِى
الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ
أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ
طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
Dari Abul
Hayyaj Al-Asadi, ia berkata, ‘Ali bin Abi Tholib berkata kepadaku, “Sungguh
aku mengutusmu dengan sesuatu yang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
pernah mengutusku dengan perintah tersebut. Yaitu jangan engkau biarkan patung
(gambar) melainkan engkau musnahkan dan jangan biarkan kubur tinggi dari tanah
melainkan engkau ratakan.[5]”
c. Bahkan mayoritas
orang Indonesia yang bermadzhab Syafi’i harusnya tahu pernyataan Imam Syafi’i
yang sebenarnya di kitab karya beliau, Kitab Al-Umm. Serta matan-matan beliau
khususnya matan Abu Syuja’ (matan Taqrib). Disebutkan di dalamnya (Matan Abi
Syuja’) bahwa,
ويسطح القبر ولا
يبني عليه ولا يجصص
“Kubur itu mesti diratakan, kubur
tidak boleh dibangun bangunan di atasnya dan tidak boleh kubur tersebut diberi
kapur (semen).[6]”
Sudah jelas bahwa memang membangun kuburan,
meninggikannya, mengkapurnya, dan duduk di atasnya tidak diperbolehkan menurut
syariat Islam.
MENYIKAPI KASUS PERSETRUAN KELUARGA UJE
Permasalahan terjadi tatkala Ibunda Uje
membayar orang lain untuk memperindah kuburan Uje. Kuburan itu dibangun dengan
indah bahkan lebih indah dari sekitar kanan dan kirinya. Permintaan ibunda Uje
yang sangat mungkin adalah orang awam didukung oleh ulama-ulama televisi yang
sangat getol menyuarakan syariat pesanan rakyat. Mereka bahkan teman dan
kerabat Uje turut mendukung ajakan sang ibu untuk membangun kuburan.
Di sisi lain, istri Uje yang merupakan orang
terdekat Uje faham betul wasiat suaminya yang memahami syariat Islam, khususnya
tentang masalah mengelola kuburan. Hanya saja, karena dianggap menantu
(mungkin) atau dianggap masih bau kencur (kemungkinan yang lain), perkataannya
ini tidak dianggap oleh ibu Uje maupun oleh sodara-sodara Uje yang lainnya. Sang
istri pun tetap ngotot untuk membongkar makam Uje dan meratakannya dengan tanah
sebagaimana wasiat suaminya tercinta, permintaan ini tetap tidak digubris.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun turun
tangan, memberikan fatwa bahwa membangun, meninggikan, menyemen, memperindah
kuburan adalah dilarang syariat Islam berdasarkan nash tersebut. Hanya saja,
MUI hanya bisa memberikan fatwa selanjutnya action adalah urusan
keluarga mereka. Maka bagaimanakah ISTRI UJE harus bersikap? dan bagaimanakah
bila kita juga yang mengalami kasus seperti itu?
SAMPAIKAN MAKA SELESAILAH TUGASMU
Sebagaimana sub bab yang kami tulis tentang Etika
Dakwah, yaitu kaidah yang menyatakan
الاجريقع بى مجرد الدعوة, ولايتوقف علا
الإستجابة
Yang
artinya: “Ganjaran (dalam dakwah) telah didapatkan dengan menyampaikan, dan
bukan tergantung pada diterimanya dakwah itu.”
Maka, kita sebagai orang yang diberikan wasiat oleh
Allah, para Nabi dan Rasul, maupun kaum Muslimin haruslah menyampaikan dengan
cara yang baik dan ikhlas tanpa memaksa seseorang untuk mengikuti dakwah kita
sehingga timbul konflik yang lebih besar. Sehingga apabila timbul konflik yang
lebih besar, maka justru tujuan dakwah untuk memberikan cahaya itu dikaburkan
oleh suasana keruh yang terjadi karena penolakan dakwah oleh mereka-mereka yang
bodoh atau justru memang sengaja merusak syariat Islam.
Apabila keikhlasan ada pada diri kita, maka
sebagaimana dakwah para Nabi dan Rasul, kita sebagai hamba-hamba Allah
sekaligus pengikut para Nabi, khususnya Nabi dan Rasulullah terakhir Muhammad
ibn Abdillah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak memperdulikan apakah
banyak orang yang mengikuti ataukah tidak. Apa yang kita pikirkan hanyalah
bagaimana kita harus menyampaikan dengan cara yang baik, apakah dengan
menyampaikan dengan cara begini akan berdampak baik, dan apabila dengan cara
begtu berdampak baik pula. Ibnu Qudammah dalam kitab beliau Mukhtasar Minhajjil
Qashiddin disebutkan bahwa orang-orang yang berakal mampu memilik mana di antara
yang buruk itu keburukannya paling ringan, dan mana di antara yang baik itu
kebaikannya paling sempurna. Inilah fiqih prioritas dalam dakwah, karena memang
di dunia ini banyak pilihan dan buah simalakama kehidupan.
Bagaimana bila itu adalah wasiat, apakah
berdosa?
Di dalam banyak kitab-kitab para ulama ahlusunnah
wal jamaa’ah dikatakan bahwa apabila wasiat itu dilanggar oleh seseorang
yang diberikan wasiat kecuali memang wasiat itu berisi maksiat dan
penyimpangan, maka baginya dosa orang yang melanggarnya dan buka orang yang
berwasiat ataupun orang lain yang menetapkan wasiat itu. Hal ini didasarkan
atas Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَ مَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا
إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (البقرة: ١٨١)
“Maka
barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka
sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah: 181).
Sehingga apabila dikaitkan dengan kasus pada
UJE ataukah yang semisal pada kasus orang lain yang telah berwasiat sesuai
petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak
membangun, meninggikan, mengkapur, memperindah dan menghias kuburan, maka yang
berwasiat telah menggugurkan dirinya dari dosa sebelum kematiannya. Begitu pula
siapa yang diberi wasiat dan telah menyampaikannya kepada khalayak dan berusaha
mencegahnya, maka dia tidak ada dosa bagi mereka. Dosa dibebankan kepada mereka
yang justru melanggar wasiat dan yang tidak melaksanakannya.
Maka hendaknyalah istri UJE tidak memperkeruh
suasana sehingga melontarkan sesuatu yang menyebabkan perpecahan antar keluarga
yang tadinya rukun dan bersatu. Begitu pula keadaan orang lain yang semisal,
karena doasa memutuskan hubungan silaturahim, berseteru dengan kaum Muslimin,
bahkan membunuh kaum Muslimin karena dendam yang ada pada dirinya itu boleh
jadi lebih berat dampak dan dosanyanya bagi kemaslahatan dunia maupun akherat
daripada sekedar untuk mengecat satu kubur manusia. Walau keduanya di sisi
Allah sangat dibenci olehNya.
Semoga saran ini dapat memberikan manfaat dan
dapat pula memberikan jalan keluar bagi siapa yang memiliki problematika
sebagaimana di atas. Sekian artikel dari kami, apabila ada kebenaran di
dalamnya, semata-mata karena taufik dan hidayah dari Allah subhanahu wa
ta’ala, namun apabila ada kesalahan itu datangnya dari setan dan hawa nafsu
saya pribadi, jadi mohon untuk dikoreksi dan diberikan saran. Allahu al
Musta’an wa shawwab.
Malang, 1 Dzulhijjah 1434 / 6 Oktober 2013
Ditulis oleh: 435554
[1]
HR. Muslim no. 974. Dikutip dari
artikel Online Muslim.or.id, alamat: http://muslim.or.id/aqidah/adab-islami-ziarah-kubur.html.
[2]
HR. Abu Dawud (2/72), An Nasa’I (1/288), Ibnu Majah (1/474), Ahmad (5/83), dan
selainnya. Al Hakim berkata : “Sanadnya shahih”. Hal ini disetujui oleh Adz
Dzahabi dan juga Al Hafizh di Fathul Baari (3/160). Lihat Ahkaamul
Janaa-iz hal. 173, Maktabah Al Ma’arif. Dikutip dari artikel Online Muslim.or.id, alamat: http://muslim.or.id/aqidah/adab-islami-ziarah-kubur.html.
[3]
HR. Muslim (3/62). Dikutip dari
artikel Online Muslim.or.id, alamat:
http://muslim.or.id/aqidah/adab-islami-ziarah-kubur.html.
[4]
Hadits Riwayat Muslim. Diambil dari
artikel Muslim.or.id, alamat: http://muslim.or.id/aqidah/fatwa-ulama-hukum-membangun-kuburan.html.
[5]
HR. Muslim no. 969. Diambil dari
artikel muslim.or.id, alamat: http://muslim.or.id/aqidah/hukum-kuburan-mewah-dengan-bangunan.html.
[6]
Mukhtashor Abi Syuja’, hal. 83 dan At Tadzhib, hal. 94 dalam muslim.or.id, alamat: http://muslim.or.id/aqidah/hukum-kuburan-mewah-dengan-bangunan.html.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah