بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
PENTINGNYA PENDIDIKAN AKHLAK
DAN ADAB GENERASI MUDA PADA KEDUA ORANG TUA
Oleh: TIM Training
& Motivation CAHAYA HATI
Segala
Puji Hanya Milik Allah, Dialah yang telah memberikan akal dan hati, Iman serta
Islam kepada hamba-hambaNya yang dipilihNya. Semoga shalawat serta salam tetap
tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad ibnu Abdillah beserta keluarganya, para
sahabatnya serta umatnya yang mengikuti sunnahnya dengan baik hingga akhir
zamman. Amma ba’d.
Sudah
semestinya anak-anak itu berbakti kepada orang tua bukan? Secara idealisme,
tentu anak-anak itu harusnya berbakti kepada orang tua. Bukankah Allah ta’ala
berfirman secara panjang lebar dalam Al-Qur’an,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ
إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ
أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا
وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً, وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ
الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً
(الإسراء:23-24)
Artinya: ““Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil[1]’” (Q.S
Al-Israa’:23-24).
Begitupula dalam banyak hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam juga diterangkan pentingnya berbakti kepada orang tua.
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu[2],
dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam Beliau bersabda,
"رغن انف ثمّ
رغن انف ثمّ رعن انف, رجلٍ ادرك والد يهِ احدهمااوكليهماعندهالكبرولم يدخلهالجنّة"
“Sungguh hina,
sungguh hina, sungguh hina. Orang yang mendapatkan salah seorang atau kedua
orang tuanya lanjut usia di sisinya, namun ia (orang tuanya) tidak memasukkannya
ke syurga (karena anaknya yang tidak berbakti kepadanya).
Sebagai
bentuk bakti kepada kedua orang tua, anak pun dituntut juga untuk memperbaiki
akhlak dan adab mereka. Secara singkat, akhlak berkaitan dengan urusan hati
seperti memaafkan kesalahan kedua orang tua, mendoakannya, bila orang tua di
luar Islam mencoba untuk mendakwahkan Islam dengan baik dan santun. Apabila
mereka ternyata mereka menolak dakwah Islam, maka kita doakan untuk diberikan
hidayah hingga meninggalnya. Tatkala meninggal, orang tua masih juga tetap
kafir tidak diperkenankan mendoakan lagi, akan tetapi tetap berbuat baik kepada
kerabat dan teman-teman dekatnya yang Muslim. Adab adalah berkaitan dengan tata
krama, yaitu cara berbicara, bersikap, dan apa yang dapat dilhat oleh panca
indera manusia.
Seorang
anak yang telah menginjak remaja bila tidak sopan kepada orang tuanya, mesti
banyak orang yang heran dan mencela orang tersebut. Celaan yang macam-macam dengan
umpatan yang ‘unik’ untuk didengar. Orang yang shalih mungkin mendoakan agar
cepat sadar, bila orang yang fasiq atau hatinya sakit, umpatannya sudah mulai
nyaring bagai burung beo yang berlatih berbicara dengan tuannya.
Banyak
orang yang tidak memahami, mengapa anak bisa durhaka kepada kedua orang tua,
lantas banyak pula yang langsung menyalahkan sang anak tersebut. Termasuk pula
hak-hak anak kepada orang tua dan hak-hak orang tua kepada anak. Hal ini
diabadikan dalam sebuah atsar sahabat terkait dengan seorang anak yang durhaka
yang mengadu kepada Amirul Mukminin Umar ibn Al-Khaththab رضى الله عنه [3].
Hanya
saja, saya ingin membahas dalam artikel ini terkait dengan masalah anak-anak.
Bagaimana mereka bisa durhaka dan bagaimana prosesnya? tentu ini yang harus
kita kuak terlebih dahulu baru mengambil langkah perbaikan. Masalah vonis, itu
bukan hak kita kecuali memang benar-benar harus dilakukan untuk mengambil
sebuah tindakan sebagai sebuah pendidikan.
Banyak
orang sudah mengklaim, “Anak itu nakalnya mintak ampun!!”, “Sama orang tuanya
nglamak[4]!” “Anak
itu kata-katanya kasar.”, hingga dia pun merasa terkucilkan dengan
ungkapan-ungkapan para tetangga. Bukannya malah mengadakan perbaikan pada
dirinya, anak kecil yang polos apalagi yang sudah bisa melampiaskan
kekesalannya[5] malah
menjadi-jadi nakalnya dan semakin mencari perhatian kepada banyak orang.
Akhirnya, tak jarang dia bersarnya pun jadi maling, begal jalanan, atau minimal
tukang misuhi[6]
orang.
Hal
ini juga terjadi di lingkungan perkampungan Bethek Kota Malang, di mana kami
mendirikan sanggar baca di dalamnya. Ada pun adik-adik kami mayoritas berada di
sana. Salah satu hal yang sulit untuk ditata adalah adab mereka kepada orang
yang lebih tua. Belum lagi kata-kata kotor yang secara ‘sepontan’ mereka
ucapkan dan lontarkan kepada teman sebayanya yang menggodanya, atau bahkan
tatkala tersandung dan kepleset. Kakak penngasuh mereka sudah berulang kali
memberikan nasihat, kalau tersandung ucapkan إنّالله
وإنّا اليه رجعون“Innalillahi
wa innailaihi woji’un”, begitu dijawab sama mereka, “Siapa yang mati kak?” Subhanallah,
kata istirja’ hanya sebatas kematian saja yang mereka tahu? Kita mungkin
mengklaim, “Maklum lingkungannya kali ya?” “Benar!! lingkungan, akan tetapi
jangan hanya vonis lingkungan.
Saya
pernah berdiskusi dengan salah seorang orang tua/wali adik asuh kami, beliau
pun sangat ingin pindah dari lingkungan yang buruk itu menuju yang baik. Maka
beliau mengatakan, “Pingine tak pondokne kok Kak anak-anak iki. Iki Fulanah[7]wes tau
mondok, tapi kok yo gak krasan. Anakku iki yo pengen sak jane tak pondokno lah
lingkungane kayak ngene (Ingin saya masukkan ke pondok kok Kak anak-anak
saya ini. Ini Fulanah sudah pernah masuk pondok, tapi kok ya tidak krasan. Anak
saya ini ya ingin sebenarnya saya masukkan pondok, lah lingkungannya seperti
ini).” Mungkin tataran ini boleh jadi PONDOK, merupakan sebuah alternatif
pengungsian bagi anak-anak ke lingkungan kondusif. Baik, itu bisa diterima akan
tetapi anak yang tidak kerasan juga boleh jadi malah menumbuhkan problematika
yang lebih serius.
Banyak
anak stres karena tidak krasan di pondokan, banyak yang tambah ndableg[8] bahkan
sulit diatur dan binal, akhirnya menjadi anak yang bermasalah saja di pondok. Bukan
tempatnya di sini mengkoreksi pondok, akan tetapi ternyata pondok bukan
satu-satunya cara yang tepat untuk membina akhlak dan adab anak kan? Walaupun
hijrah, tetap disarankan dan ditekankan, bagi yang memiliki biaya, dana, waktu
dan peluang untuk hijrah tidak menjadi masalah dan bahkan harus langsung hijrah
ke tempat yang kondusif. Kalau tidak bagaimana? Maka orang tua lah yang harus
memiliki peran sebagai ibu, sekaligus guru, sekaligus pendamping anak-anaknya.
Khususnya seorang ibu yang harus dapat menempatkan diri sebagai tempat curhat
bagi anak-anaknya. Manajemen waktu untuk meluangkan waktunya guna cerita
tentang akhlak para sahabat Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.
serta mendengarkan mereka curhat tentang masalah dan uneg-uneg[9] mereka
adalah hal yang sangat ditekankan untuk mereka yang hidup di lingkungan tidak
kondusif akan tetapi ‘belum’ diberi kesempatan untuk hijrah.
Jangan
sampai mereka mengumbar cerita tentang masalah dan uneg-uneg mereka
kepada orang yang salah. Kepada teman-teman yang tak mengetahui ilmunya. Kepada
orang yang di dalamnya ada penyakit hati seperti iri hati, hasad/dengki dan
yang lainnya. Jangan sampai anak mendapatkan fatwa dari orang bodoh tentang
masalahnya, hanya gara-gara Sang Ibu sibuk mencari nafkah, inilah sumber
bencana dan awal dari bencana selanjutnya. Alasan Sang Ibu sibuk mencari nafkah
di luar rumah dan terikat dengan orang lain guna membantu ayahnya
mensejahterakan anak-anaknya, sepertinya tidak bisa diterima 100%. Padahal
bukan itu hakekat kesejahteraan. Sang Ibu mungkin berhak saja membantu sang
ayah, akan tetapi tidakkah Sang Ibu tidak memiliki keterampilan secuil pun
untuk bisa bekerja di rumah dan dengan hasil kerjanya itu Sang Ibu bisa
mendapatkan tambahan nafkah tanpa mengabaikan anak-anaknya?
Saya
pernah menanyakan hal ini kepada salah seorang ustad tatkala ada show di Malang
Islamic Book Fair tentang pendidikan anak. Saya bertanya, “Ustad, bagaimana
kalau lingkungan rumah kita tidak kondusif sedangkan anak-anak kita juga butuh
berteman dan bermain, maka apakah kita melarang anak kita bermain dengan
mereka? kalau bermain dengan teman-teman yang nakal, maka anak-anak kita bakal
tertular kata-kata kotor mereka.” Pertanyaan ini seakan-akan saya sudah menikah
dan memiliki banyak anak ya?? Padahal saat saya tulis artikel ini saya masih
single dan belum menikah ^-^ sangat manis dan indah, yang penting mengapa saya
tanyak demikian??
Karena
walau saya belum menikah dan belum punya anak saat artikel ini saya tulis, saya
sudah merasakan bagaimana adik-adik asuh saya yang saya anggap sebagai adik
atau anak sendiri terkena racun lingkungan yang bahasa lisannyanya sungguh mengusung
hal yang sangat tabu. AREMA sebagai lambang persepakbolaan Malang tidaklah
pantas mengusung jargon ‘kotor’ sebagai teriakan yang memberikan semangat,
padahal hakekat AREMA adalah anak yang santun dan baik dengan sesama manusia
seiman dan seakidah. Sekali lagi saya heran dengan itu, padahal Arema
sesungguhnya dibangun atas tujuan membangun kebersatuan Kota Malang dengan akhlak
al-karimah, dan sebenarnya tidak bisa diterima bila jargon AREMA dijadikan
alasan menampilkan kata-kata kotor penambah semangat dan keberanian para pemuda
dan anak-anak. Akan tetapi, tujuan tinggal tujuan tatkala cara itu sudah
ditempuh dengan segala caranya dengan mengabaikan hal yang syar’i.
Dampaknya? anak-anak kita pun jadi tertular berteriak-teriak dengan kata-kata rafaats[10]. Hingga
lingkungan di mana adik-adik asuh kami bertempat tinggal pun menjadi sebuah
lingkungan kondusif untuk menjadikan mereka terbiasa dengan hal itu.
Maka
Sang Ustad hafidzahullah menjawab, “Biarkan mereka bermain dengan
teman-temannya dengan ditemani orang tua. Dan seharusnyalah orang tua
(khususnya ibu) hendaknya menjadi teman main dan curhat bagi mereka...”
Kemudian beliau menceritakan tentang kondisi putera beliau, yaitu saat pulang
bermain dia tiba-tiba berteriak dengan keras kepada ayahnya “JK” Bahasa yang sangat
dikenal oleh kalangan pemuda. Maka Ustad pun terkejut, bagaimana bisa begini?
Akan tetapi dengan tenang ustad memanggil puteranya. Setelah dielus dan dicium
kepala dan pipinya, ustad itu berkata, “Kalau berbicara baik itu Allah dan
malaikat seneng, begitu pula Abi dan Ummi. Nah, kalau seneng adek
bisa dicium, dipeluk dan diberi hadiah sama Abi dan Ummi. Allah
juga bakal memberi adek sesuatu yang indah dan menyenangkan. Kalau berbicaranya
jelek gimana?” Maka sang anak akan menjawab, “Yah gak seneng Abi.” “Nah kalau
ndak seneng bisa dihukum kan? atau dimarahi? bener?” Anak itu menjawab, “Iya
Abi.” “Maka adek seneng mana bicaranya baik atau jorok?” “yang Baik Abi.” Maka
diterangkanlah kepada anak itu, “Naaah, jadi...adek bicaranya yang baik ya? Kata-kata
itu tadi Abi membuat telinga Abi agak kurang nyaman, maka Abi seneng kalau adek
itu memuji Allah saja atau berkata yang baik.” Maka sang anak mengatakan, “Abi,
kalau ada teman yang ngomong kotor gimana?” Maka diterangkan kepada anak itu, “Adek
katakan kepada teman adek, kalau itu tidak baik dan dibenci Allah. Kalau mau Alhamdulillah
adek dapet pahala, kalau tidak mau ya adek tidak usah bermain lagi dengan dia
tapi adek harus tetap menyapa dan berbuat baik padanya dan adek tetap dapet pahala
dengan menyampaikan kebaikan kepadanya.” Akhirnya sang adek itu pun tunduk dan
melaksanakan perintah Abi-nya[11].
Sekarang
saya ingin membandingkan, bagaimana lingkungan di tempat adik-adik kami
tinggal.
PERISTIWA 1:
Kami
memiliki beberapa adik asuh yang suka misuh, kami pun dengan beberapa
cara berusaha merubah agar hal itu tidak menjadi kebiasaan. Hakekatnya memang
yang merubah adalah Allah, akan tetapi harapan dan ikhtiar kami adalah suatu
pintu yang boleh jadi terbuka untuk suatu perubahan itu. Akan tetapi, di sisi
lain betapa terkejutnya kami tatkala justru orang tuanyalah yang suka misuh
dan melontarkan kata-kata jorok kepada temannya dengan bergurau. ITU BERGURAU,
bayangkan! Jadi apa tanggapan sang anak dengan ‘GURAUAN’ yang mengusung
kata-kata kotor seakan itu tidak ada masalah bagi kehidupan dan kematian. BIASA,
sehingga adik-adik kami pun terbiasa melontarkan kata-kata itu kepada temannya,
tetangganya, bahkan gurunya boleh jadi juga kepada orang tuanya. Walau mereka
mengatakan kata kotor itu bukan ditujukan kepada orang tuanya, akan tetapi
dengan keras mengatakan kata kotor itu di hadapan orang tuanya dengan nada
bercanda bersama temannya. BIASA, innalillahi wa innailaihi roji’un.
PERISTIWA II:
Saat
itu saya bersama adik datang ke sanggar untuk berkunjung sekalian menanti
jadwal kajian ba’da maghrib di salah satu masjid di Malang. Sedangkan waktu
saat itu menunjukkan pukul 16:30 WIB, masih lama untuk menanti maghrib dan
masjid juga masih sepi. Akhirnya sanggar tempat transit kami setelah kami
melakukan kunjungan penting ke Kota Kepanjen (Kabupaten Malang).
Saat
sowan ke rumah salah seorang warga, dimana putera dan puterinya juga anggota
komunitas Kadiksuh dan merupakan adik-adik asuh kami. Akhirnya pembicaraan
terarah kepada peristiwa kematian salah seorang paman dari adik-adik asuh itu. Tatkala
saya tanya, “Apakah Mas Edi[12]
saat meninggalnya, Dek Fulan sudah lahir?” Tiba-tiba adik asuh kami yang seusia
kelas 4 SD berkata, “Waktu iku ibu sek meteng Kak. (Waktu itu ibu masih
hamil Kak)” Spontan saya pun terheran begitu pula adk saya, “Haah? Meteng?!”
dengan polosnya anak itu menjawab, “Iya, Ibuk sek meteng aku waktu iku.
(Iya, saya masih ada di perut ibu waktu itu)” Saya lihat sekelilingnya, ibunya
dan kakak perempuannya tampak santai dengan perkataan anaknya.
Tahukah
pembaca sekalian dengan kata-kata METENG? itu kata dalam Bahasa Jawa
tingkatan terendah untuk kata-kata HAMIL yang hanya enak didengar untuk
aktivitas hewan. Kalau kita bilang “Kucing Meteng” itu adalah hal yang
pas dan berkeadilan[13].
Akan tetapi kalau itu untuk orang tua, apalagi seorang IBU, kata-kata itu sudah
termasuk kedurhakaan. Kata ‘uf/ah’ saja dilarang oleh Allah, apalagi kata-kata
yang sangat hina sebagaimana hal itu.
Apakah
anak itu bisa dikatakan DURHAKA? Tunggu!! tidak bisa secepat dan seenak itu
memvonis manusia, terlebih lagi dia belum baligh. Jelas, dia adalah anak polos
yang hanya mengucap apa yang biasa dia dengar dari lingkungan sekitar. BAIK,
mungkin awalnya kita menyalahkan lingkungan, memang lingkungan mereka bukan lingkungan
keraton atau paling tidak bukan lingkungan konfusif untuk membentuk kepribadian
yang santun. Akan tetapi, hal yang paling umum untuk ditanyakan, apakah ibunya
tidak mengajarkannya? padahal ibunya juga faham bagaimana pemakaian Bahasa Jawa
yang merupakan bahasa sehari-hari orang Jawa. Sekali lagi ini tidak
membicarakan masalah suku tertentu, akan tetapi ditarik hikmahnya untuk
mengambil pelajaran akan adab dan akhlak anak terhadap orang tua DAN bagaimana
peran orang tua untuk membangun anak agar bisa berbakti kepadanya.
Sikap
santai dan diam sang ibu saat anak bilang “meteng” itu merupakan sikap
yang dapat membuat anak merasa biasa melakukannya. Memang lingkungan
mempengaruhi, akan tetapi insya Allah kasih sayang ibu lebih berpengaruh
daripada lingkungan. Yang menjadikan anak ‘gampang’ terpengaruh
lingkungan adalah kurang dekatnya perhatian orang tua pada anaknya.
Apabila orang tua memiliki kasih sayang dan kedekatan yang lebih, maka
sebagaimana ustad dalam kisah di atas yang anaknya mampu memahami buruknya
kata-kata kotor dan mampu menyaring tindakan teman-temannya yang buruk dan yang
baik. Tatkala orang tua dingin, diam dan tampak santai terhadap kelakuan buruk
anaknya, maka anak tersebut akan gampang terpengaruh lingkungan karena
menganggap bahwa lingkungan itulah yang BENAR dan yang mengajarinya tentang
kehidupan. Kalau lingkungan kondusif, seperti tetangga yang baik, atau teman
yang suka ngaji tidak masalah. Tetapi bila lingkungan yang kotor, apatis, dan
keras maka anak akan menjadi urakan dan juga apatis.
Maka
kami katakan, “Dek, (katakan) ‘HAMIL’! Kalau meteng itu untuk kucing.
Ibunya adek bukan kucing kan?”[14]
Ibunya mungkin baru menyadari akan hal itu, maka ibunya pun langsung
mengacungkan jari telunjuknya dan memelototkan matanya. Hanya saja hal itu
tidak cukup, memang perlu pendekatan ekstra untuk anak-anak yang tinggal di
sebuah kampung yang lingkungannya kurang kondusif, khususnya dalam adab-adab dan
akhlak masyarakat sekitarnya. Apabila solusi ‘hijrah’ belum bisa diambil, maka
solusi pendekatan psikologis kepada anak memang perlu dan sangat perlu untuk
diprioritaskan. Barulah setelah pendekatan psikologis/akhlak, dilakukan
pendekatan secara agamis[15]
pelan-pelan sesuai dengan kemampuan anak tersebut.
Anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah dan dia mau menerima fitrah dengan mudah, asalkan
memang ada upaya dari orang tua terhadap anak untuk mendekatkan fitrah itu
kepada mereka. Maka sebelum anak diklaim durhaka kepada orang tuanya, orang tua
harusnya instropeksi “Apakah saya sudah mendidiknya dengan baik sesuai
fitrah agama? dan apakah saya sudah berjalan sesuai dengan perintah Allah?”
kalau sudah, akan tetapi anak tetap bandel mungkin perlu meningkatkan doa
kepada Allah agar Allah mencabut ujian atas kenakalan anak-anaknya. Kalau
belum, maka ada kesempatan untuk memperbaiki diri dan memperbaiki kedekatan
psikologis dengannya. Selain itu instropeksi, boleh jadi kita pernah melanggar
syariat Allah sehingga Allah meringankan dosa kita dengan ujian yang disegerakan
di dunia sebagai bentuk kasih sayang Allah agar kita tidak mendapatkan adzab di
akherat. Dan bentuk ujian itu adalah “anak yang susah dididik dan buruk dalam
akhlak serta adabnya.” Salah seorang ulama Salaf[16]
mengatakan, “Aku melihat betis seorang wanita yang tersingkap. Langsung hampir
separuh dari hafalanku hilang dari kepalaku karena maksiat itu.” Luar biasa
bukan dampak maksiat? itu karena kasih sayang Allah terhadap kita, agar Allah
tidak menghukum kita di akherat kelak. Maka Ia segerakan hukuman itu di dunia.
Cara menghilangkannya adalah dengan kembali kepada Allah dan banyak
beristghfar, menjaga aktivitas ibadah wajib dan melakukan yang sunnah. Maka
Insya Allah, Allah akan mencabut hukuman atau bahkan ujian dan menggantinya
dengan kesenangan di dunia dan akhirat. Insya Allah.
Maka
kembali kita memohon taufik kepada Allah atas kebaikan pribadi kita dan anak-anak
kita. Semoga Allah memberikan kita keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.
Serta diberikan karunia berupa putera dan puteri yang shalih dan shalihah. Ammiin.
Allahu
a’lam
Malang,
24 جماديالشانية 1434
6 Mei 2013
[1]
Al-Qur’an Surat Al-Israa: 23-24.
[2]
Pada masa jahiliyyah, beliau bernama Abdu
Syams. Kemudian diganti dengan nama Abdurrahman bin Shakhr ad Dausi (pendapat
secara mayoritas ulama). Karena beliau memiliki seekor kucing jantan dan senang
bermain dengannya, maka Rasulullah memanggilnya Abu Hir dan kemudian menjadi masyhur
nama Abu Hurairah. Ahli hadits telah sepakat, beliau adalah sahabat yang paling
banyak meriwayatkan hadits. Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu masuk Islam antara
setelah perjanjian Hudaibiyyah dan sebelum perang Khaibar. Beliau radhiyallahu
'anhu datang ke Madinah sebagai muhajir dan tinggal di Shuffah (tempat
orang-orang penimba ilmu yang bertempat di belakang Masjid Nabawi). Imam asy
Syafi’i berkata,"Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu adalah orang yang paling
hafal dalam meriwayatkan hadits pada zamannya (masa sahabat).” Beliau radhiyallahu 'anhu wafat pada
tahun 57 H menurut pendapat yang terkuat. Dirujuk dari Pustaka Imam Syafi’I,
alamat: http://pustakaimamsyafii.com/biografi-abu-hurairah-radhiyallahu-anhu.html
[3]
Penjelasan tentang hal ini insya Allah pada artikel Serial Bersambung. Dan ini
kami tulis dalam Artikel serial khusus.
[4]
kurang ajar.
[5]
Maksudnya masa remaja.
[6]
Memberikan umpatan dengan kata-kata kotor.
[7]
Nama samaran
[8]
Bandel
[9]
Ganjalan dalam hati yang ingin diceritakan kepada orang lain yang terpercaya.
[10]
Pembicaraan kotor yang terkait dengan kelamin. Perlu diketahui bahwa kata-kata
J****K, asal katanya adalah dari kepanjangan ‘Jajan di Pincuk”, asal kata yang
tidak kotor sama sekali yaitu berasal dari kata Jajan: Artinya makanan ringan,
dipincuk: adalah kata pasif yang menyatakan bahwa makanan ringan itu dimasukkan
ke daun pisang. Sehingga cara makannya sama seperti makan pecel jaman dahulu,
memakai pincuk daun pisang. Akan tetapi, perlu diketahui kata-kata itu menjadi rafaats
(kotor) tatkala mereka meniatkan mengatakan hal itu bukan untuk mengatakan hal
yang sebenarnya. Akan tetapi untuk ‘MENGEJEK’ temannya, maka maknanya sudah
berbeda dan telah mengarah kepada alat kelamin dan itu sangat tidak layak
dikatakan di depan umum.
[11]
Perkataan ini sudah ada tambahan dan pengurangan tanpa mengubah makna yang ada
untuk mendidik mereka memiliki adab dan akhlak yang baik di lingkungan yang
kurang kondusif.
[12]
Nama paman salah seorang adik asuh kami yang meninggal karena kecelakaan
tunggal.
[13]
Hakekat adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya.
[14]
Seperti itulah inti nasehat kami saat itu.
[15]
Seperti kaidah-kaidah tauhid dan aqidah. Karena spoan santun juga bagian
penting dalam tauhid dan ajaran Islam. Akan tetapi bukan tempatnya membahas
korelasi antara tauhid dan akhlak pada artikel ini.
[16]
Ulama terdahulu.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah