بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
JADILAH ORANG YANG BERTAUHID WAHAI ADIKKU
ARTIKEL SOSIAL: KOMUNITAS KAKAK ADIK-ASUH, EDISI KHUSUS
Secuplik Untaian Kata
Tentang Hubungan Antara Sabar, Yakin dan Pengesaan Kepada Allah
Jaman ini adalah jaman di mana hari
akhir semakin dekat. Saya tidak akan menuliskan tanda-tandanya secara detail
dan mengurai ayat demi ayat, hadits demi hadits, akan tetapi saya akan mengungkap secara singkat dan global
saja selebihnya adalah cerita nyata yang kami alami di Komunitas Kakak Adik
Asuh (Kadiksuh). Komunitas yang kami bina dan kami kelola, penuh dengan
kumpulan generasi muda berbakat dan memiliki potensi luar biasa. Sayang, bila
mereka harus menjadi ‘pedang’ yang salah fungsi akibat salah dalam mengasah,
mengasihi dan mengasuh mereka.
Salah satu hal paling menonjol dalam pendidikan anak-anak
yang sarat dengan ketergelinciran adalah masalah AQIDAH/Keyakinan terhadap
syariat dan kabar tentang apa saja yang dikabarkan Allah dan RasulNya Shalallahu
‘alahi wa sallam kepada manusia. Hal tersebut sangat erat sekali dengan
kondisi akhir zamman sekarang ini. Orang yang yakin akan agama Islam dan benar
dalam keyakinannya, maka dia bisa menjadi orang yang sabar karena dia memahami
makna kehidupan dunia ini. Akan tetapi, saat ini pendidikan anak-anak sarat
dengan pengkhultusan terhadap dunia dengan berbagai macam caranya, maka jadilah
mereka manusia yang egois dan mementingkan dirinya sendiri.
Mereka mementingkan dirinya sendiri untuk dapat meraih yang
terbaik dan terbanyak dari dunia yang sempit ini. Mulai dari yang modern dengan
berbagai caranya, seperti kerja keras banting tulang, pergi pagi pulang petang
dengan melupakan ibadah kepada Allah. Atau menghalalkan segala cara seperti riba,
mencuri/korupsi, memalsukan surat-surat kuasa, hingga berbebut kekuasaan dengan
cara-cara berpolitik kotor dan sebagainya. Hingga pada saatnya, orang-orang
pinggiran pun menginginkan dunia dengan caranya, yaitu mengunggulkan
keyakinannya untuk meraih dunia. Akan tetapi sayang, kekuatan keinginannya
kepada harta dunia dan ketidaksabaran mereka terhadap ujian yang melanda mereka
menggeser AQIDAH/keyakinan Islam yang benar menjadi sebuah keyakinan baru yang
batil, akan tetapi dikemas dalam bingkai agama Islam. Sehingga tampak
seolah-olah karya mereka masuk ke dalam ajaran Islam. Padahal mereka sudah
hampir merusak Islam seperti Yahudi dan Nasrani andai Allah tidak menjaga agama
ini dengan Kemaha KuasaNya.
Keyakinan baru tersebut diaplikasikan ke dalam tindakan-tindakan
‘merenovasi’ ibadah-ibadah tertentu untuk mendapatkan BERKAH. Ibadah kepada
Allah telah ditentukan sesuai tata cara yang ditentukan Allah melalui contoh
yang diajarkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam serta dilanjutkan
dengan para sahabat dan siapa yang mengikutinya. Akan tetapi, keinginan BERKAH
yang kuat untuk memiliki ‘sesuatu’ terhadap dunia ini membuat banyak orang
mengabaikan kaidah tersebut. Karena ketidaksabaran mereka, mereka pun membuat
aturan-aturan baru dalam ibadah dengan harapan Allah langsung memberikan apa
yang dia minta, padahal penangguhan pahala mereka di akherat jauh lebih baik
daripada apa yang mereka dapat di dunia.
Dalam masalah membuat-buat tata cara ibadah baru, marilah
kita simak pelajaran dari kaum-kaum terdahulu. Bukankah Kaum Nabi Nuh diadzab
karena melakukan sesuatu yang baru dalam ibadah mereka, dari yang tidak pernah
dilakukan manusia sejak 1000 tahun setelah kenabian Adam ‘alaihissalam,
dibuatlah hal yang menggemparkan dunia yaitu menyembah berhala berwujud PATUNG.
Kabar secara mauquf[1] dari
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dinyatakan, “Antara Adam dan Nuh
berjarak 10 Abad, semua berada dalam agama Islam, kemudian terjadi perpecahan
di antara manusia dan diibadahilah berhala-berhala, sekutu-sekutu, dan
patung-patung, maka Allah mengutus beberapa Rasul dengan ayat-ayatNya,
keterangan-keteranganNya, bukti-buktiNya yang pasti dan dalil-dalilNya yang
nyata.[2]”
Diperkuat oleh Hadits Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam diriwayatkan
dari ‘Atho’ bin Yasar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
berdoa: “Wahai Allah janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala (tuhan
yang disembah), besar murka Allah terhadap orang-orang yang menjadikan
kubur-kubur Nabi-Nabi mereka sebagai masjid-masjid[3]”
Mengingat berhala itu bukan hanya patung, akan tetapi apa saja yang disembah
selain daripada Allah Ta’ala.
Saya tulis artikel ini, karena masalah ‘baru dalam ibadah’ berdampak
sangat buruk bagi AQIDAH/keyakinan generasi muda serta pengetahuan mereka terhadap
agama ini. Kalau mereka bodoh dengan agama ini, lantas siapa lagi yang akan menolong
agama Allah di Indonesia ini? Akankan kita merasakan keredupan agama Islam di
Indonesia ini bagai di Andalusia? Negeri yang cerah dan terang benderang lalu
diliputi kegelapan hingga saat ini? na’udzubillah min dzaalik. LANTAS,
kalau tidak ada yang memurnikan ajaran agama ini, bagaimana agama ini bisa
dikatakan benar? sudahkah kita merenung terhadap apa yang terjadi pada Yahudi
dan Nasrani? Untuk mempersingkat saya akan ceritakan kisah dua orang adik kami.
Pada hari Sabtu sore tepatnya tanggal 6 April 2013, Alhamdulillah acara temu Akbar dan
Serah Terima Pengelolaan Komunitas Kakak-Adik Asuh dimudahkan oleh Allah. Hujan
gerimis tidak menghalangi lancarnya acara penyerahan pengelolaan komunitas
serta hadiah atas prestasi adik-adik kami. Setelah hadiah diserahkan kepada adik-adik
asuh kami, lantas ada satu hadiah yang tetap mangkrak, tidak ada yang menerima?
kemanakah gerangan adik Nasya, dialah yang berhak mendapatkan hadiah berupa
sepeda pancal itu? Oh, Ternyata dia sakit Demam Berdarah Dengue (DBD), dan dia pun
dikabarkan muntah darah, innalillahi wa innailaihi roji’un. Saya dan
teman-teman pun bergegas ke rumah sakit untuk menjenguknya. Saat itu beberapa
adik-adik pun turut serta, itulah semangat sosial mereka yang mulai tumbuh.
Harusnyalah kita sebagai orang tua/kakak asuh mereka mendukung rasa simpati
mereka untuk tumbuh menjadi empati.
Setelah sampai di rumah sakit, seorang dokter mengabarkan
bahwa Dik Nasya harus mendapatkan asupan darah (transfusi). Darah yang harus
ditransfusi Golongan B, lantas acara sore itu terus berlanjut hingga malam
dengan latar yang berpindah dari sanggar ke Rumah Sakit. Di rumah sakit kami
cukup lama karena harus mencari orang-orang yang mau dan rela mendonorkan
darahnya. Pendonor itu pun harus melalui kualitas kelayakan untuk diambil
darahnya, serta darah yang layak untuk ditransfusi ke adik asuh kami.
Hari menjelang malam, yaitu Malam Ahad pukul 20:00 WIB. Saat
itu salah satu adik asuh kami yang ikut ke rumah sakit bernama Dik Eliana sudah
mulai mengambek, mengapa kakak-kakaknya tak ikut pulang. Padahal seharusnya menjenguk
kan hanya sekedar menjenguk, belum lagi dia di SMS Dik Nila tetangganya untuk
cepat-cepat pulang. Ngembeknya pun semakin menjadi-jadi. Melihat gelagat ini kami
mencoba menjelaskan kepadanya bahwa Dik Nasya membutuhkan darah dan
kakak-kakaknya mencari siapa yang cocok serta bersedia mendonorkan darahnya. Saya
tanya kepadanya, “Mana adik dan orang tuamu?” Ia menjawab, “Ikut tour ke wali 5
kak.” “Owh, kapan pulang?” dia menjawab, “Ndak tau!” sambil ngambek. Kami pun
kurang memperhatikannya karena memang kami sibuk dengan urusan administrasi
pendonoran dan penyebaran informasi. Mengingat kondisi yang darurat atas
kesehatan adik asuh kami, maka kami mencoba upayakan yang terbaik selanjutnya
kehidupan hanyalah Allah Yang Maha Menggenggam.
Malam sudah semakin larut, pukul 20:30 WIB, maka mau atau
tidak kami harus pulang ke sanggar untuk menemani adik-adik asuh kami pulang
sebelum kami yang pulang. Mereka sudah tampak capek, tetapi Dik Eliana yang
dari tadi ngambek malah makin menjadi-jadi. Sedangkan yang lainnya masih tampak
ceria walau ada gurat kelelahan di wajah mereka. Lantas kami pun menunggu
Angkutan Kota (Angkot) jurusan Bethek, akan tetapi kami menunggu cukup lama. Dik
Eliana pun semakin ngambek dan meracau yang tidak-tidak, hingga kami pun
menjadi bingung dibuatnya. Kami berusaha menenangkannya, tapi tetap saja
membuat suasana cukup panas. Akhirnya, saya pun mencoba mendekatinya, lantas dia
pun melontarkan kata-kata yang pedas. Saya berpikir, sekali-kali bahwa anak
juga berhak dimarahi dengan marah yang mendidik. Kemudian saya pun berbicara
dengannya dengan nada tinggi, lantas berpaling untuk menuju kakak asuh yang
lain seraya berdoa kepada Allah agar Dia tidak memberi kepadaku dan juga yang
lainnya anak-anak yang demikian sifatnya. Memang dia dikenal sebagai anak yang
memiliki ego tinggi, walau dia adalah anak yang cukup baik tanggung jawabnya
sehingga kami mengangkatnya sebagai salah satu adik yang kami percaya.
Alhamdulillah setelah menanti cukup lama, angkot pun datang. Setelah masuk,
saya sengaja memilih duduk di sebelah persis Dik Eliana, dalam Angkot itu dia
saya rangkul dengan persahabatan bagai kakak dengan adiknya sendiri. Kemudian
dengan halus saya meminta maaf atas nada tinggi yang saya lontarkan dan
menjelaskan apa yang terjadi serta apa keutamaan sabar terhadap apa-apa yang
menimpa manusia. Nasehat itu meluncur pelan dan singkat, tetapi Alhamdulillah
efeknya cukup besar, dia menundukkan kepalanya dan mulai patuh. Setelah sampai
sanggar, kami pun shalat Isya’ kemudian pulang.
Keesokan harinya Dik Eliana SMS saya, dia meminta agar saya
membuatkan teks puisi/lirik untuknya karena dia memiliki tugas kesenian dan
pelajaran itu merupakan salah satu yang dia tidak sukai. Saya menyanggupi dan
adik kandung saya pun menyanggupi untuk membantu membuatnya. Malam harinya, Dik
Eliana datang bersama Yunus, adik kandungnya yang baru pulang dari perjalanan
tour Wali 5. Mereka datang ke rumah saya dengan menaiki sepeda barunya yang
kami hadiahkan kepada mereka karena prestasinya yang gemilang. Saat mereka datang,
kami sedang mendengarkan radio dakwah Islamiyah. Setelah saya minta mereka
masuk ke dalam rumah, saya dan adik kembali melanjutkan mencatat dengan serius apa
yang disampaikan seorang ustad melalui siaran radio tersebut. Waktu itu
membahas tentang Tafsir Surah Al-Kahfi, hikmah tentang peristiwa Nabi Musa dan
Nabi Khidir. Sedang tamu-tamu cilik kami duduk dengan tenang seraya
mendengarkan apa yang disampaikan ustad melalui radio.
Mereka sabar mendengarkan kajian ustad kami, dan wajah mereka
pun tampak menemukan suatu hal yang baru. Hingga kemudian sampailah ustad kami
membaca doa, “Waj’al sa’rona ‘ala man tholamana (Dan, balaslah siapa
saja yang pernah mendzalimi kami, Ya Allah!).” Doa itu diulang oleh ustad kami
selama lebih dari 4 kali, sungguh luar biasa! Setelah selesai, saya pun mencoba
menguak sedikit tentang doa itu dan maknanya. Mereka tampak asyik mendengarkan
saya bercerita, dan mereka kemudian bersemangat untuk mempelajari agama Islam
ini dengan baik saat mendengarkan ceramah yang mengandung tauhid itu. Tidak
sebagaimana biasanya, mereka bandel masalah agama. Mengapa??
Hal ini terkuak tatkala adzan Isya’ berkumandang. Saya ajak
Dik Yunus untuk shalat di masjid, walau usianya masih 7 atau 8 tahun akan
tetapi saya mencoba agar dia mau kuajak ke masjid. Saya tidak menyuruhnya
dengan paksa, akan tetapi saya mencoba menawarkan sesuatu padanya, “Mau sholat
di mana, masjid atau rumah? Kak Nanda sholat di masjid. Ayo ke masjid sama Kak
Nanda, kalau mau di rumah ya sholat sama Mbak Eli dan Mbak Anggun.” Alhamdulillah,
dia pun sholat menyertaiku ke masjid karena dia satu-satunya laki-laki dan malu
bila harus sholat bersama kakak-kakaknya yang perempuan di rumah. Di tengah
perjalanan menuju masjid itulah saya kembali bertanya, “Ke Wali Lima ngapain
aja? masuk ke makamnya?” Dia menjawab dengan Bahasa Jawa kasar[4],
“Iya Kak, aku ke makamnya Wali Lima.” Di sana ngapain aja?” Dia
menjawab, “Membaca (Surah) Yaasiin Kak.” Demi mendengar ini, kaget juga saya,
ada juga toh ritual baca-bacaan Yaasiin di dalam cungkup kuburan?
Memang saya pernah diajak ke makam Wali Lima oleh ibu saat
masih kecil, tour dalam rangka wisata kelulusan murid-muridnya. Tanggapan saya
waktu itu, melelahkan!!! Bagi anak kecil, perjalanan keliling kuburan itu suatu
yang menjemukan. Tapi di sisi lain asyik juga liat makam di hias-hias,
membayangkan tatkala tidur nyaman di dalam bumi mendapatkan suatu ruangan sejuk
dengan pengagungan yang luar biasa, doa-doa mengalir dan macam-macam pikiranku
saat itu. Tapi akhirnya toh jemu juga, belum lagi ingat film-film Suzana yang
saat itu marak, “Beranak Dalam Kubur” serta film horor “Si Manis Jembatan
Ancol” kemudian film-film hantu yang menampilkan pocong, kuntilanak,
jerangkong, genderuwo dan lainnya yang sering mengaitkan dengan suasana kuburan.
Film-film itu menyebabkan Anak tidak diajak merenungi hakekat kematian, tetapi
malah diajak untuk bertahyul dan macam-macam di sekitar kuburan.
Di sisi lain, orang-orang sepuh menuju kuburan dengan
niat yang berbeda-beda. Ada yang meminta berkah pada Si Mayit, mengagungkan
kuburan/penghuninya yang telah mati untuk mendapat pahala, bertawasul[5]
dsb. Padahal Rasulullah mencabut larangan berziarah bukan untuk tujuan
mengagungkan kuburan, tetapi untuk mengingat KEMATIAN dan HAKEKAT KEHIDUPAN.
Selain itu Rasulullah juga melarang safar untuk zuarah kecuali ke tiga tempat[6].
Dalam perjalanan menuju masjid untuk Shalat Isya’ itulah aku
membayangkan masa kecilku dahulu, di mana usiaku mungkin se Dik Yunus. Mungkinkah
dia juga berimajinasi sepertiku saat tour ke Wali Lima? Tidur pulas dalam bumi
dengan pengagungan, lalu muncul fikiran menakutkan akan keluar dari kubur
sesosok makhluk putih berkafan yang meloncat-loncat? Ah, Allahu a’lam,
yang jelas Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
kamu menjadikan rumah-rumahmu seperti kuburan, karena setan akan lari dari
rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah.[7]“ Nah,
hadits ini pertanda bahwa di kuburan tak boleh membaca Al-Qur’an, andai boleh
kenapa Rasulullah tak menyuruh orang hidup meramaikannya dengan bacaan Al-Qur’an?
Hadits ini diperkuat dengan hadits lainnya yang melarang tentang membaca
Al-Qur’an di perkuburan serta dalil para ulama 4 madzhab yang melarangnya serta
berfatwa bahwa membaca Al-Qur’an di kuburan sejatinya ‘tidak diperkenankan’. Entah
apakah orang yang membaca artikelku ini menyatakan bahwa penulis orang
Wahabiyun, ataukah tuduhan macam-macam? Itu tidak penting! Akan tetapi aku
hanya meyakini keyakinanku, berbeda pandangan terserah Anda. Hanya aku meyakini
inilah yang rajih dan kuat untuk diamalkan. Maka hendaknya bolehlah saya
mengajak adik asuh saya untuk mengamalkan yang sunnah? masalah tuduhan
Wahabiyun atau apalah maka itu hak Anda dan Allah adalah sebaik-baik Hakim Yang
Maha Adil.
Teringat hadits itu pun aku berkata kepada Dik Yunus, “Adik,
alangkah baiknya bila adik berdoa kepada Sunan-sunan itu. ‘Wahai Allah
ampunilah dosanya, angkatlah derajadnya dan berikanlah rahmatMu bila memang itu
benar-benar kekasihMu.’ Hendaknya ndak membaca Al-Qur’an di kuburan
siapapun termasuk para sunan. Maka dia dengan polosnya menjawab dengan Bahasa
Jawa kasar, (artinya) “Ndak membaca Al-Qur’an kok Kak, hanya membaca
Yaasiin.” Dibuat kaget aku mendengarnya, JADI selama ini Yaasiin menurut
pemikiran anak-anak itu bukanlah Al-Qur’an?? Maka aku katakan kepadanya, “Adik,
Yaasiin itu apanya Al-Qur’an? Coba Adik buka Al-Qur’an pasti di dalamnya ada
Surah yang namanya Yaasiin, jadi Yaasiin itu salah satu surah dalam Al-Qur’an.”
Innalillahi wa innailaihi roji’un, seberapa peran orang tua memahamkan
anak-anak mereka dan tidak hanya menjalankan ritual-ritual saja.
Mencoba mengingat sebuah kisah yang terjadi pada Dik Eliana,
ibunya pernah bercerita bahwa beliau memarahi habis-habisan anaknya karena
gurunya telah mengabarkan bahwa raport sekolahnya buruk. Setelah raport
diterima, ternyata nilainya baik semuanya, ternyata diketahui bahwa gurunya itu
BERCANDA. Bukan ruang mengkritik gurunya ataupun ibunya, tetapi cobalah kita
renungkan. Apabila memang orang tua hanya berorientasi kepada ritual dan juga
material, tanpa memandang untuk apa hakekat agama ini dalam menegakkan
keyakinan, keadilan, akhlak dan maslahat.
LANTAS, sepandai-pandai anak dalam memahami suatu pelajaran
ada kalanya anak itu tidak mahir dalam pelajaran yang lainnya. Boleh jadi dia
pun mahir dalam satu bidang, tapi tidak dalam satu bidang yang membahas bab
lainnya. Contohnya, penulis dahulu sangat mahir dalam hal materi sudut dalam
Matematika akan tetapi lemah dalam hal geometri serta dakam hal kesenian.
Begitu juga dengan Dik Eliana, boleh jadi dia dikenal pandai saat SMP memahami
matematika, tapi bukan hal kesenian kan dan juga bab tertentu dalam pembahasan
materi matematika? Maka apakah bila nilainya buruk tapi hasil dari kejujurannya
lantas dimarahi habis-habisan, apakah ibunya akan menghilangkan sifat jujurnya
hingga dia menjadi anak pendusta yang curang? Lantas, apakah nilai yang bagus
dari hasil kecurangan anak dan kedustaannya orang tua memuji-mujinya bahkan
menyanjungnya di hadapan orang lain? DEMI ALLAH saat ini banyak orang tua yang
demikian, hanya dilihat POKOKNYA NILAI harus mendapat bagus!
Ah, TEORI bila orang tua menekankan kejujuran, keikhlasan
namun tatkala sang anak mendapatkan nilai buruk walau jujur mayoritas
mendapatkan MARAH dan ANCAMAN orang tuanya. Begitupula gurunya, marah-marah
dengan nilai muridnya yang jujur, kapasitas belajar digunakan dalih dan alasan.
Anak kecil memang suka main, tetapi waktu bermainnya dahulu HABIS digunakan
untuk belajar di sekolah dan diharuskan mentaati berbagai peraturan. Sedangkan
saat-saat usia baligh, dimana tanggung jawab sudah mulai diemban dia justru
melampiaskan masa kecilnya dengan BERMAIN sepuasnya dan tidak mau belajar.
Belum lingkungannya yang mendukung mereka untuk melepaskan diri dari jeratan
pendidikan semasa pertumbuhannya. Bermain sambil berlajar, merupakan metode
yang baik akan tetapi PERCUMA bila jauh dari agama.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
orang tua untuk mengajaknya shalat di saat umur 7 tahun, dan memukul dengan
pukulan mendidik bila tidak mau sholat di usia 10 tahun. Lantas, apakah hal ini
dilakukan oleh para orang tua kebanyakan saat ini? Hampir pasti sedikit yang
mengamalkannya. Lantas dikemanakan SUNNAH RASULULLAH MUHAMMAD Shalallahu
‘alaihi wa sallam? Apakah agama ini hanya sebatas ritual, sholat untuk
menggugurkan kewajiban, sholat sunnah Dhuha untuk menambah rizki dagangan agar
laris, Puasa Sunnah Senin dan Kamis untuk mendapatkan lancar jodoh lancar pula
ujiannya, membaca mujarabat untuk melancarkan pensil ujian memilih sendiri
jawaban yang benar, hingga ritual aneh-aneh untuk lulus sekolah dengan nilai
yang baik? MATERIALISME telah direngkuh dengan kedok agama, padahal Akherat itu
jauh lebih kekal daripada dunia ini. Allah berfirman, “Harta dan anak-anak
adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh
adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi
harapan.[8]”
Maka sebaik-baik perkara adalah menjalankan Agama Islam
sesuai dengan porsinya yaitu apa yang telah diterangkan Allah dan RasulNya dalam
masalah ibadah. Tidak pula menjadikan alat untuk menambah materi belaka. Hingga
karena inginnya kita merengkuh banyak materi maka ritual ibadah pun ditambah-tambah
sendiri tanpa ‘SEIJIN’ Allah, sehingga tidak sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh
utusanNya shalallahu ‘alaihi wa sallam yang murni. Begitupula muamalat,
harus sabar dan ikhlas untuk mendapatkan apa yang ingin diraih, lakukan apa saja
yang bisa kita lakukan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Hanya saja
perlu akhlak dan perilaku yang baik, sabar dan tawakal kepada Allah dan hindari
sifat egois dalam memenuhi kebutuhan diri kita sendiri. Bentuk sifat simpati,
kembangkan sifat empati dengan tidak memandang ‘cover’ materi sebagai
patokan keberhasilan, seperti NILAI RAPORT, UJIAN serta KELULUSAN.
Alangkah baiknya, seorang anak yang TIDAK LULUS UJIAN AKHIR
NASIONAL akan tetapi dia telah belajar dengan tekun dan disiplin. Saat ujian
pun dia tidak mencontek dan berusaha keras jujur, kemudian setelah mengetahui
nilainya yang ‘gagal’ di mata manusia, dia kembalikan kepada Allah. Tiada yang
sia-sia dari apa yang Allah tentukan, PASTI ada hikmah di dalamnya. SEDIH
adalah wajar, akan tetapi menyalahkan Allah tatkala gagal adalah suatu hal yang
keji dan tidak dapat diterima karena Allah Maha Baik. Betapa banyak anak yang
SUKSES menjadi pengusaha tatkala bangkrut dalam usaha awalnya. Betapa banyak
anak menjadi siswa dengan nilai UNAS tertinggi di sekolahnya tatkala di saat
ujian pertamanya dia tidak lulus, akhirnya dia pun mengulang pelajaran yang
sama sehingga jauh lebih faham atas apa yang dia pelajari.
Maka, marilah kita didik anak-anak kita, adik-adik kita serta
murid-murid kita untuk bertauhid mengesakan Allah. Sehingga dengan TAUHID yang
benar mereka akan memiliki AQIDAH/keyakinan yang benar tentang agama Islam
hingga mereka pun mencintainya. Bila mereka cinta kepada Islam, maka mereka pun
ingin mempelajarinya dan mengamalkannya dalam kehidupannya dengan sabar. Maka,
semoga Allah akan menurunkan rahmatNya, keselamatanNya dan barakahNya pada kita
semua. Aamiin.
Akhirnya, semua hanyalah milik Allah dan kepadaNya lah semua
akan kembali.
Allahu a’lam.
Malang, 29 Jumadil Awwal 1434 / 10 April 2013
@nd.
Untuk mengunduh file PDF:
Disponori oleh:
Training & Motivation "CAHAYA HATI"
[1]
Suatu kabar yang disandarkan pada Sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Tentu kabar itu juga karena mereka mendengar keterangan dari Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam, karena kalau tidak maka tidak mungkin ada keterangan
seperti demikian. Hal ini menunjukkan penjagaan para sahabat terhadap syariat
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
[2]
Dirujuk dari Kitab Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4. Tafsir Surat Yunus: 18&19.
Hal 257.
[3] HR.
Malik, di dalam kitab Al-Muwaththo’, no: 376.
[4]
Ini juga merupakan salah satu akhlak yang hilang dari anak didik di negeri ini.
[5] Berdoa
kepada Allah melalui perantara, dalam hal ini melalui perantara mayat/kuburan
dari Sang Wali.
[6]
“Safar untuk berziarah hanyalah boleh dilakukan ke tiga masjid: Masjidil
Ka’bah (Masjidil Haram), Masjidku (Nabawi) dan Masjid Iliya’ (Baitul Maqdis)”.
(HR. Muslim dalam Shahihnya no 1397).
[7] HR
Muslim
[8]Al-Qur’an,
Surah Al-Kahf: 46
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah