بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
WOOW, DUNIA IMAJINASI!!!
by: TRAINING & MITOVATION "CAHAYA HATI"
Segala
Puji Bagi Allah, Tuhan Semesta Alam. Dialah yang menciptakan manusia dengan
akalnya, Dia pulalah yang memuliakan anak Adam dengan unsur kemuliaannya.
Semoga shalawat serta salam tetap terlimpah kepada Sang Utusan Allah, Muhammad
ibn Abdillah beserta keluarganya, para sahabatnya, serta umat yang mengikuti
sunnahnya dan petunjuknya hingga akhir zamman. Amma ba’d.
Anak-anak
merupakan tunas masa depan generasi muda. Dalam pramuka Indonesia, mereka
digambarkan sebagai tunas pohon kelapa. Tunas adalah bakal pohon dan kelapa
adalah pohon yang multimanfaat. Subhanallah, selain pohon kurma, kelapa
juga bermanfaat seluruh bagiannya yaitu mulai dari akar hingga daunnya[1]. Maka,
Pramuka Indonesia yang merupakan kependekan dari Praja Muda Karana ini berharap
anggotanya bisa memiliki manfaat yang multi guna[2], begitupula
seharusnya anak-anak Ummat ini.
Dalam
lambang Kepramukaan, anak usia Sekolah Dasar (SD), dilambangkan dengan tunas
yang berwarna hijau. Tunas yang masih hijau ini tak kan pernah mampu menopang terpaan
badai, maka dari itulah sunatullah (ketetapan Allah) berlaku. Apa apa
maksud sunatullah yang saya tuliskan di sini hai kawan? “Tidak ada
sebuah tunas yang menjulang tinggi hingga ia harus menahan beban berat yang tak
sanggup mereka pikul.” Semua tunas pasti pendek dan lentur, tidak menjulang
dan kaku, sehingga mereka terlindung dari terpaan badai dan petir untuk
melangsungkan kehidupannya. Begitupula manusia, makhluk berakal yang dimuliakan
oleh Allah Ta’ala yaitu manusia, berlaku ketetapan yang sama.
Manusia
yang baru lahir hingga baligh, mereka tak diberikan beban syariat (ghairu mukallaf),
karena apa? yah karena mereka masih mengalami pertumbuhan yang serius pada
fisiknya, mentalnya dan daya pikirnya. Kondisi ketiganya masih terbilang lemah
untuk mengemban permasalahan dan mengemban beban berat. Merupakan kedzaliman
apabila memaksakan beban kepadanya. Sedangkan Allah mengharamkan kedzaliman
kepada hamba-hambaNya[3].
Salah
satu beban berat yang sering dipaksakan kepada anak kecil adalah, “mereka
dipaksa untuk berpikir realistis.” Tak jarang mereka yang ‘dipaksakan’ itu
berumur kurang dari tujuh tahun bahkan kurang dari itu. Kata ‘dipaksakan’ ini
memang bukan sebuah kesengajaan bagi orang tua atau guru untuk memberikan permasalahan
pada anak-anak dan menyuruhnya untuk menjawab secara ilmiah, tentu itu
perbuatan ‘orang tua yang gila’. Tapi justru ketidaksengajaan karena mereka tak
mengetahui ilmunya. Itulah sebuah hal fatal yang justru akan merusak mental
anak hingga berdampak pada rusaknya perilaku pada usia selanjutnya (usia baligh/remaja).
Makanya
hai kawan, sebelum menikah atau sebelum kau menimang anak, pelajarilah dulu
ilmu tentang mengasuh anak. Di mana sekolahnya?? Datanglah ke taman-taman
syurga, yaitu di majelis-majelis dzikir yang mengingat Allah. Ingat!! yang
dimaksud dzikir di sini adalah mengkaji indahnya Islam, khususnya dalam membina
rumah tangga ala Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Kenapa harus
lagi-lagi kembali ke Beliau? karena “Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.”[4]
Karena
jauh dari pemahaman dan anjuran dalam syariat Islam tersebut, banyak orang tua
yang MELARANG anaknya untuk bebas berkreasi, banyak pula yang melarang
anak-anaknya untuk bermain, padahal apa yang mereka mainkan hakekatnya tidak
berbahaya tetapi hanya mungkin berdampak kotor bagi anak-anak itu. Boleh jadi
mainan itu punya tetangganya, saudaranya atau punya adiknya yang lebih kecil,
tetapi orang tua mereka melarangnya bermain hanya karena takut kuman, mungkin
Sang Mama sedang keranjingan berita Flu Burung, Tomcat, atau virus apalah yang
mereka lihat di televisi maupun media, takut merusak mainan temannya atau yang
lainnya. Boleh jadi Sang Ibu pun gengsi, karena sang anak mainannya hanya
mobil-mobilan butut sedangkan tetangganya mobil-mobilan remut (remote),
jadi kalau anaknya pinjam rasanya malu. “Jangan Gini...Jangan Gitu” “Nanti
Gini...Nanti Gitu” ini yang sering terdengar dari mulut Sang Mami, tatkala memarahi
anaknya yang sedang asyik bermain[5]. Padahal
hakekatnya permainan itu tak mengandung masalah kecuali hanya kotor, tampak
melelahkan atau khawatir rusak.
Padahal
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa dunia anak
memang dunia bermain dan dengan bermain itulah mereka berimajinasi.
IMAJINASI?
Yah,
Imajinasi...
Itulah
dunia anak-anak kawan. Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam
sangat faham bahwa imajinasi adalah dunia bagi anak-anak, maka dari itu Beliau Shalallahu
‘alaihi wasallam tidak melarang dan tidak pernah melarang anak kecil untuk
bermain selama itu tidak membahayakan dirinya dan orang lain serta tidak memungkinkan
sang anak menuju ke jalan kesesatan[6].
Bukti
bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memahami betul bahwa dunia
anak adalah dunia bermain adalah riwayat yang dibawa oleh Jabir radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, “Saya pernah masuk ke rumah Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam yang tatkala itu sedang merangkak, dan terlihat di atas
punggungnya Al-Hasan dan Al-Husein[7] (tatkala
mereka masih kecil) sedang duduk sambil Beliau Shalallahu ‘alahi wasallam berkata
kepada keduanya ‘Unta yang paling bagus adalah unta kalian ini, dan orang
adil yang paling baik adalah kalian berdua.’”[8]
Hadits ini salah satu hadits popular di kalangan ulama dan menjadi bahan dasar
ilmu mendidik anak. Bayangkan, Utusan Allah Ta’ala merangkak dan di atas
punggungnya terdapat dua anak kecil yaitu cucunya Al-Hasan dan Al-Husein yang
masih kecil.
Bukan
hanya itu, bahkan Beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam memotivasi agar
para orang tua menggiatkan anak-anak mereka yang masih kecil untuk bermain dan
belajar. Hal itu tentu memulainya dengan tahapan-tahapan hingga ia harus
belajar secara serius di usia yang akan menginjak baligh. Anak usia di bawah
tujuh tahun, adalah masih belum diberikan beban yang terlalu berat untuk
belajar, mereka memang masih memerlukan sarana bermain. Bahkan Rasulullah Shalallahu
‘alaih wasallam memerintahkan mereka untuk mengeluarkan keringat (dengan
bermain itu)[9].
So...
Bagaimana
realitasnya yang pernah kami alami hai kawan??
Keanehan
terjadi bila telah melihat realitas. Ada banyak unsur dan faktor yang mungkin
harus dilihat lebih mendalam dari hati ke hati. Tapi, di sinilah letak keunikan
masyarakat itu. Seakan keunikan itu tidak bisa dibaca dengan mencontek sebuah
teori, dengan bergaya ilmiah berkata di depan sidang terbuka lalu menyimpulkan
begitu saja. Tidak!!!...sekali-kali tidak demikian! Banyak hal yang harus kita
dalami dan kita selami, bukan hanya dengan akal dan pikiran semata, tapi dengan
hati. Maka dimanakah hati kalian hai kawan?!?! Manakah hati kalian hai para
calon sarjana dan master serta doktor pendidikan? apakah dengan mengejar gelar
Sarjana, Master, Doktor dan Profesor kau serampangan dalam mendalami
masyarakat? kasihan mereka menjadi korban uji coba kalian.
Unik...!
Yah
unik! Masyarakat pada dasarnya tahu, bahwa dunia anak adalah dunia imajinasi. WOOOW,
DUNIA IMAJINASI!!! Seakan orang tua itu senang melihat anaknya lahir, seakan
mereka ingin kembali ditimang lagi oleh ayah dan ibunya dulu, mama dan papanya,
mami dan papinya, entah sebutan apa lagi yang dirasa pantas oleh pembaca. Mereka
faham, bahwa anak mereka tatkala bayi adalah anak yang butuh perhatian dan
kasih sayang.
Namun,
pendidikan kepada anak-anak mereka berubah total tatkala anak-anak mereka
menginjak usia sekolah. Yah saat usia sekolah! Khususnya di Indonesia yang aku
ketahui dan khususnya di Malang salah satu kota yang aku cintai, para orang tua
mulai ‘aneh’ dalam mendidik mereka tatkala mereka sudah menginjak usia sekolah,
ya...walaupun itu Taman Kanak-Kanak (TK) atau bahkan PAUD (Pendidikan Anak Usia
Dini/Pra TK).
Tatkala
anak sudah menginjak usia sekolah, katakanlah TK[10] mereka
sudah melihat orang tuanya pun mulai marah-marah, mata melotot, belum lagi
kalau mereka mendapat nilai jelek di raportnya. Ujung-ujungnya anak yang
disalahkan, dimarahi dan dipelototi!!! yah...walau masih TK. Orang tua hanya
melihat nilai, nilai dan nilai, tanpa melihat bagaimana anak ini berusaha
sekuat tenaganya dan bagaimana anak ini harus dipenuhi dahulu hak-hak masa
kecilnya. Minimal orang tua dengan nada kesal mengatakan, “Kok udah gedhe
gak bisa baca!” atau “Kamu ramai aja di kelas!” atau “Kamu emang
bandel!”, dan beberapa kata senada yang walaupun lembut di telinga namun
menusuk-nusuk hati anak kecil walau seusia TK atau bahkan sebelum itu, asal dia
faham dengan bahasa orang tuanya.
Aneh,
aku sangat aneh melihat orang-orang tua itu. Di luar sekolahnya mereka
dibiarkan bermain sekenaknya, entah itu main nekeran[11], umbul[12],
atau permainan-permainan semacamnya. Padahal permainan itu terdapat unsur
yang berbahaya, yatu ‘JUDI”. Bagaimana tidak, mereka taruhan sebelum bermain,
dan pemenang merebut mainan milik pemain yang kalah. Orang tua tak mau tahu
akan hal ini, menganggapnya biasa, di luar urusan sekolah terserah mau apa.
Akan tetapi kalau masalah ‘pelajaran’ sekolah[13]
orang tua betul-betul memantaunya. Sekolah harus rajin, duduk, membaca dengan
serius, mendengarkan guru, jangan ramai saja di kelas, serta macam-macam
larangan dan larangan.
Menginjak
kelas 1 Sekolah Dasar yang rata-rata usia anak telah mencapai enam atau tujuh
tahun, beban berat semakin mereka rasakan. Padahal saat itu mereka masih memiliki
hak bermain, akan tetapi seakan-akan Sekolah Dasar adalah sekolah yang membeberkan
segudang realitas kepada anak kecil.
SEGUDANG
REALITAS?
Yah,
saya tulis dengan huruf besar pada kata “SEGUDANG REALITAS”. Betapa tidak, anak
yang harusnya masih memerlukan lapangan untuk mengembangkan imajinasinya,
karena memang mereka masih dalam masa pertumbuhan harus dijejali dengan
pertanyaan, “Apa cita-cita kamu?” “Dokter Pak/Bu Guru” Kenapa? “Karena, pengen
dapet uang banyaaak.” bla...bla...bla. Tatkala Pak/Bu Guru tanyak, “Apa
cita-citamu?”, sang murid menjawab, “Sopir Pak/Bu Guru!”. Maka tentu tertawa
riuh akan segera membahana. Itu karena orang tuanya yang mengajari mereka
terpasung pada cita-cita Dokter, Presiden, Tentara, Pilot, ujung-ujungnya
miliyader[14].
Belum gurunya boleh jadi juga mendukung pengekangan imajinasi ini.
Segudang
realita ini muncul tatkala mereka mendapatkan bentakan, marah dan makian dan tatkala
mereka masih tak tahu apa-apa. Banyak anak kecil yang mencoret-coret tembok lalu
dia dimarahi bahkan mendapat pukulan, padahal mereka tak tahu apa-apa tentang
larangan menulis di tembok itu. Ada pula anak kecil usia lima tahun yang membanting
gelas hingga pecah, lalu dia dimarahi padahal dia tak tahu apa-apa tentang
gelas pecah itu. Tatkala menginjak usia sekolah, tiba-tiba saja segudang
larangan dan perintah itu harus ia telan. Tatkala sang anak belajar seakan-akan
dia harus meniru sikap profesor yang serius di depan meja belajarnya. Tatkala
Sang Anak itu mau ujian, seakan-akan ia harus membaca layaknya ilmuwan yang
akan menemukan piring terbang...Hah?? yah itulah. Siapa sesungguhnya yang
berimajinasi? anaknya, atau ibu/bapaknya?
KADIKSUH...
Bagaimana
adik-adik di lingkungan Sanggar Baca Kadiksuh?
Tak
jauh beda, baik di Bethek maupun di Ciliwung, tapi karena aku banyak
berkecimpung di Bethek, maka aku lebih memahami tentang bagaimana karakter
orang tua dan anak di Bethek.
Pada
awalnya tatkala aku melihat adik-adik di Sanggar Baca Kadiksuh Bethek, aku
sangat kagum. Sebagaimana yang telah kuceritakan bahwa mereka sangat rukun
waktu itu. Antara adik-adiknya, antara kakak dan adiknya, serta warga
masyarakat yang turut hadir dalam acara siraman rohani itu. Aku bukan ustad,
tapi aku diminta mengisi sedikit wacana. Yah wacana ringan hingga akhirnya ku
bergaul dengan mereka.
Setelah
acara itu, selanjutnya Kak Arga pun datang ke rumahku dan berdiskusi tentang rencana
programnya ke depan. Aku pun menawarkan diri untuk bisa membantunya, karena aku
sangat tertarik dengan memahami dan mendekati adik-adik di Sanggar. Selanjutnya
aku pun aktif mempersiapkan rencana-rencana Sanggar Baca Kadiksuh (Sebelum
dibentuknya Komunitas) bersama Kak Arga. Aku pun turut melihat kakak-kakaknya
yang lain mengajar, bahkan aku diminta untuk mengajar pula. Ah...namanya
anak-anak yah agak bandel. Wajar, kadang juga mengundang emosi, tapi tetap saja
kita sebagai kakak harus sabuar...Hmm...(Dhieeng, baru tau rasa tuh! katanya
ndak boleh bilang bandel...?? yah cukup disimpan dalam hati saja marahnya.
Hingga
tiba saat suatu malam, aku bersama Kak Arga dan Pak RT 07 di Bethek ngobrol
bareng. Asyik rasanya obrolan malam itu, karena aku bisa melihat lebih dekat sosok
seorang pemimpin yang memimpin masyarakat pinggiran sungai (DAS) Berantas. Unik,
penuh gambaran lika-liku dan curahan hati seorang RT.
DHHIEEENGG???
Aku
kaget luar biasa tatkala kudengar ucapa Pak RT yang saat itu meluncur dari
lisannya, “Nuwun sewu Mas, niki kakak-kakake kudu teges nang adik-adike. Cek
supaya mboten nglamak ngoten loh kalih kakake. Niku lak njih gurune.” (Mohon
maaf Mas, Kakak-kakaknya ini harus tegas kepada adik-adiknya. Agar tidak kurang
ajar begitu loh kepada kakaknya. Itu kan juga guru mereka). Terlepas dari
penambahan dan pengurangan kata-kata beliau, menarik kayaknya. Tegas gimana
maksudnya, dan apa latar belakangnya?
Pak
RT melanjutkan lantunan curhatnya, “Kula niki pun sering kula disambat
warga. Arek-arek iku kok nglamak se karo kakak-kakake. Malah wonten sing
ngendikan, ‘iki karo kakake kok kayak karo gendhakane ae!’” (Saya ini sudah
sering dicurhati sama warga, anak-anak itu kok kurang ajar begitu sama
kakak-kakaknya. Malah ada yang bilang, ‘itu sama kakaknya kok seperti gundiknya
saja). Astaghfirullah hal ‘adzim, kata-kata “gendhakan” ini saya
tidak main-main menulisnya, bukan dari hiperbola saya sendiri akan tetapi ini
langsung dari lisan Pak RT. Gendhakan dalam Bahasa Jawa atau gundik
dalam Bahasa Indonesia, merupakan kata yang sangat kasar bahkan kuasar untuk
menyatakan “Istri/Suami Simpanan”.
ADA
APA INI? APA SALAH MEREKA DAN APA SALAH KAMI?
Pertanyaan
pun muncul terus dalam hatiku, “Ada apa ini, apa salah adik-adik itu dan apa
salah kami?” Aku pun yang baru mengenal wilayah itu bertanya-tanya, terkadang
aku pun bertanya kepada Pak RT karena ingin tahu, “Lah, kok saged Pak?
(Lah kok bisa Pak?)” Pak RT pun menjawab, “Lah niki lare-lare niku
lendhat-lendhet teng kakake. Guyon ae, gak sinau malah guyon...Iki niat sinau
apa dolanan. Niku loh Mas, nuwun sewu menawi ngajar ingkang teges mawon.” (Itu
anak-anak manja kepada kakaknya. Bergurau saja, ndak belajar malah
bergurau...ini niat belajar atau mainan. Itu loh Mas, mohon maaf kalau mengajar
yang tegas saja). Terlepas dari penambahan dan pengurangan, tapi apa yang
kudengar intinya seperti itu. Lendhat-lendhet artinya manja, dimana gaya
manjanya adalah seperti seorang anak kecil kepada orang tuanya atau kakaknya. Tapi
kalau menurut pernyataan Pak RT itu, masyarakat mempersepsikan adik-adik asuh
itu manjanya seperti seseorang ke pacarnya. na’udzubillah.
Tahukan
yang dimaksud oleh warga siapa mereka yang lendhat-lendhet itu???
Yaitu
adik-adik laki-laki dan perempuan kelas satu sampai kelas enam Sekolah Dasar[15]. Memang
sejauh yang saya lihat saat itu terdapat kedekatan antara adik-adik dan
kakak-kakaknya. Tapi saya lihat kakak-kakak dan adik-adiknya tidak pernah melakukan
aksi lendhat-lendhet dalam arti sebenarnya, yaitu memeluk, merangkul atau
lebih dari itu kecuali kepada adik-adik yang lebih kecil daripada kelas lima.
Kalaup pun mengelus kepala pada anak kelas lima dan enam, itu karena konflik
yang besar sedang menimpa mereka. Wajarlah anak kecil...kadang ngambek, kadang
bertengkar, kadang mewek, kadang juga minta kasih sayang.
Memang,
apabila perkataan manja dari mulut mereka adalah benar, seperti kata-kata “Oalah
Kaak-Kaak!” “Ayooo a Kaak!” dan sebagainya, kenyataannya ini sudah
dinilai warga sebagai hal yang berlebihan. Masya Allah, padahal realita “Orang
Dewasa” di wilayah setempat justru lebih parah dari itu, dan realita itu justru
menimpa tetangga mereka, kakak kandung mereka (yang sudah baligh) dan bahkan orang
tua mereka yang tidak pantas dilakukan selain mahramnya. Tapi, seakan itu biasa
bagi mereka dan bukan rahasia khusus lagi. Oh...Boy...!!! itulah yang
biasa orang Barat katakan atas keheranan mereka. Kalau kita hendaklah ucapkan Innalillahi
wa innailaihi roji’un.
Masalah
yang sesuai Judul di atas adalah, sabda Pak RT, “Guyon ae, gak sinau malah
guyon...Iki niat sinau apa dolanan. Niku loh Mas, nuwun sewu menawi ngajar
ingkang teges mawon.” (Itu anak-anak manja kepada kakaknya. Bergurau saja,
ndak belajar malah bergurau...ini niat belajar atau mainan. Itu loh Mas, mohon
maaf kalau mengajar yang tegas saja).
Dari
paragraf di atas tampak bahwa mereka harus duduk manis dalam belajar. Mereka
harus seperti mahasiswa yang duduk di bangku dengan mendengarkan celoteh dosen.
Mereka dipaksa seperti ilmuwan dadakan yang mendapat ilmu dengan bertapa di Gunung
Merapi. Weleeeh.
Biarkan
aku sedikit berceloteh. Anak-anak pada hakikatnya tidak bisa diperlakukan kaku seperti
itu, mereka harus diselingi dengan mainan, pendekatan dari hati ke hati, kasih
sayang dan ucapan yang baik. Terlebih mereka harus dimasuki iman dengan
menunjukkan akhlak yang mulia. Bermain adalah wajar, lagi pula Kadiksuh tidak
menawarkan les dengan menarik bayaran sepersen pun. Kadiksuh pun tidak
mengajarkan mereka sebagaimana les privat di lembaga-lembaga Bimbingan Belajar
ternama. Kalau les Bimbingan Belajar, apa lagi yang sudah unggulan maka cara
cepat dia dapat, kalau perlu pangkas soal dapat 100 nilainya. Tidak!! Kadiksuh
mengajarkan kasih sayang dan mendidik bagaimana Rasulullah mendidik. Kadiksuh
tidak hanya mendidik anak hanya dengan melihat nilai, tapi proses pembentukan
karakter. Ini yang tidak semudah membalik tangan, ini yang membutuhkan waktu
dan proses, ini yang membutuhkan strategi dan hati. Yach, dengan hati kawan
bukan dengan ambisi!
Masalah
sikap adik-adik yang manja hingga dikatakan seperti bersikap terhadap (maaf)
gundiknya itu tadi, merupakan klaim masyarakat yang justru akan kita bahas di
pembahasan berikutnya (insya Allah). Intinya “Sangat Tidak Layak” dituduhkan
oleh orang dewasa kepada anaknya atau anak saudaranya atau anak tetangganya, padahal
kita tahu mereka masih kecil dan tak tahu apa-apa. Mungkin kalau mereka masih
kurang sopan bicaranya, saya katakana “IYA”. Seperti “Opo sek Kak, aku
nyilih mboko!” (Apa sih Kak, aku pinjem donk), itu dalam Bahasa Jawa cukup
kasar. Tapi, apakah kita langsung bentak, “Kasar kamu, benarnya begini loh..!” Tidak!
tapi kita berikan reaksi yang lebih baik dari mereka. Kita kan bisa balik
pinjam sesuatu kepada mereka ”Adek pinter, boleh Kakak pinjem pensilnya?”, atau
bisa juga kita biasakan diri untuk berbahasa Jawa Krama/Halus di hadapan orang
tua mereka, sedang mereka ada di depan kita. Dengan akhlak itu kita ajarkan
mereka, bagaimana mungkin anak mau mengikuti pembicaraan gurunya, tatkala
akhlak gurunya pun berlawanan dengan apa yang diucapkannya. Bisa-bisa mereka
mengucapkan, “NGGEDABRUSH!!”
Mendidik
anak tidak semudah membalik tangan, tidak pula seperti memasak mie instan.
Sehari jadi anak yang sopan. Sehari jadi anak yang cerdas, kalau bisa sehari
punya ilmu kanuragan yang bisa membuat orang kagum padanya. Ini adalah
KONYOL...!
Maka...
‘aina
antum yaa thalib al-‘Ilm?
‘aina
antum yaa ‘alim?
Dimana kalian
semua wahai kakak-kakak yang dahulu mengikrarkan lisan semangat dalam berdakwah
dan berjuang menyebarkan cahaya Islam dan cahaya Iman?
Di sini...di
sinilah adik-adik menanti cahaya ilmu kalian.
Tapi...
Kalau dunia
memang sedang memanggil kalian untuk dipenuhi hak-haknya, maka Allah lah yang
akan menolong. Insya Allah Ta’ala.
Setelah
sekian lama berceloteh, pertanyaan mungkin muncul...
Kenapa
sih kok menulis seperti ini? kenapa tidak disimpan saja, dan untuk rahasia
sendiri? ini apakah tidak mengumbar aib?
MAKA...
Apakah
apabila kita berlayar dengan menaiki sebuah kapal pesiar yang besar. Kapal itu
memiliki lantai bertingkat-tingkat, lalu kita tahu bahwa ada penumpang kapal di
bagian bawah haus dan ingin mengambil air. Kemudian karena dia tidak mengetahui
sebuah ilmu, maka ia ingin mengambil air dengan cara “INSTAN”, yaitu dengan
melubangi kapal agar air itu masuk. LANTAS...?
Apakah kita
biarkan dia/mereka melubangi kapal kita itu walau sekecil jarum????
Maka mari kita pekikkan
perjuangan tuk menyebarkan cahaya Ilahi di Bumi Pertiwi. Allahu Akbar!!!
KADIKSUH
“Dengan Asma
Allah. Berguna Bagi Negeri, Mewujudkan Sejuta Mimpi”
Ditulis di
Malang
8 Sya’ban 1433
/ 27 Juni 2012
Download file PDF
[1]
Hal ini didasarkan Hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. “Dari
Abdillah bin umar beliau berkata: “Ketika kami duduk-duduk disisi Rasululloh
Shalllallahu ‘alaihi Wassalam tiba-tiba diberikan jamaar (jantung kurma).
Rasululloh shallahu ‘alaihi wassalam lalu berkata: “Sesungguhnya terdapat satu
pohon, barokahnya seperti barokah seorang muslim”. Lalu aku menerka itu adalah
pohon kurma lalu ingin aku sampaikan dia adalah pohon kurma, wahai Rasululloh.
Kemudian aku menengok dan mendapatkan aku orang kesepuluh dan paling kecil,
lalu aku diam. Rasululloh berkata: “Ia adalah pohon kurma”". Menanggapi
hal ini Ibnu Hajar berkata: “Barokah pohon kurma ada pada semua
bagiannya, senantiasa ada dalam setiap keadaannya. Dari mulai tumbuh sampai
kering, dimakan semua jenis buahnya, kemudian setelah itu seluruh bagian pohon
ini dapat diambil manfaatnya sampai-sampai bijinya digunakan sebagai makannan
ternak. (dibawakan Ibnu Hajar dalam Fathul Baariy)
[2]
Dikutip dari Wkipedia Indonesia pada point no. 6 tentang arti lambang Pramuka. http://id.wikipedia.org/wiki/Lambang_Pramuka
[3]
Hadits Qudsi diriwayatkan melalui sahabat
Dari Abi Dzar al-Ghifari radhyiallahu ‘anhu, dari Nabi saw.,
menyampaikan apa yang diterimanya dari Rabbnya. Bahwa Allah berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman
atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah
kalian saling menzalimi.” (H.R. Muslim).
[4] HR
Muslim, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad
[5]
Dikutip dari buku karya Mahmud Al-Khal’awi & Muhammad Said Mursi. Mendidik
Anak dengan Cerdas. Terjemahan dari Silsilatu Tarbyatul Aulad
Ash-Shohihah Fann Gharsil-Qiyam. 2007. Diterbitkan oleh Insan Kamil: Solo.
[6]
Maksudnya adalah, tatkala Sang anak kagum tatkala melihat Salib. Lalu anak itu
ingin dibelikan Salib dan ia bermain dengannya. Ini permintaan yang sangat
berbahaya bagi akidah mereka. Maka orang tua seharusnya dengan lemah lembut
menolaknya dan membelokkan keinginannya dengan permainan yang lain dengan
lembut.
[7]
cucu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, putera dari Sahabat Ali ibn
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
[8]
Hadits Riwayat Ath-Thabrani. Sanad hadits yang dapat diterima.
[9]
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Keringat anak (karena
bermain) di waktu kecilnya, akan menambah kecerdasan di waktu besarnya.”
[10]
Padahal TK biasanya anak masih berumur 4 tahun dan baru menginjak SD kelas 1
adalah usia enam atau tujuh tahun.
[11]
Kelereng dalam Bahasa Jawa
[12]
Permainan semacam kartu, lalu dipegang dengan telapak tangan. Antara satu anak
dan anak yang lainnya TOS dengan membawa kartu itu di telapak tangannya. Kemudian
tatkala kartu itu jatuh, yang muncul gambarnya dialah pemenangnya, dan milik
temannya akan dirampas serta menjadi hak pemenang.
[13]
Pelajaran yang dimaksud di sini berdasarkan pengamatan penulis, orang tua hanya
sebatas mengamati nilai dan menindak tegas segala upaya yang mengarah kepada
“NILAI JELEK”. Ini berlaku ‘mayoritas’ bukan semua orang tua. Allahu a’lam.
[14]
Ini juga merupakan cuplikan kisah nyata yang dtulis oleh Abu Umar Basyier pada
buku berjudul Prahara Cinta. Diterbitkan oleh Shafa Republika: Malang.
[15]
Saat kami ngopi darat itu, adik-adik asuh kami belum ada yang SMP kecuali
beberapa orang laki-laki yang kurang aktif, sedangkan mayoritas masih SD.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah