SALAH SATU MUSUH ORANG BERTAKWA
Alhamdulillah,
Segala Puji Bagi Allah. Semoga shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada
Rasulullah Muhammad beserta keluarganya, para sahabatnya serta umatnya yang
setia mengikuti beliau dengan menegakkan sunnahnya hingga akhir zamman. Amma
ba’d.
Artikel
ini saya angkat setelah mendengar seorang khatib dalam khutbah Jumah
menerangkan tentang salah satu ayat Al-Qur’an yang menyentuh hati. Pembahasan
ini saya rasa penting mengingat saat ini semakin marak kecintaan
kita kepada selain Allah padahal kita adalah orang-orang yang beriman.
Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوّاً
لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya, “Hai orang-orang
mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan
dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S Ath-Thaghabun: 14).
Surat Ath-Thaghabun,
ayat-ayatnya hampir seluruhnya adalah ayat Makkiyah kecuali ayat ini. Karena
ayat ini memiliki ciri khas dengan panggilan, “Wahai orang-orang yang
beriman.” Ini salah satu ciri surah ataupun ayat Madaniyah.
Menurut ashbabul nuzulnya
(riwayat turunnya suatu surah/ayat) yang disampaikan oleh beberapa ulama ahli
tafsir termasuk juga Ibnu Katsir, ayat ini berkenaan dengan seorang sahabat
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau termasuk salah satu
sahabat yang baik keimanannya, hingga pada akhirnya Rasulullah Shalallau
‘alaihi wa sallam menyerukan perintah berjihad fi sabilillah. Sahabat
ini begitu bersemangatnya hingga belau pun melakukan berbagai persiapan untuk
bertempur di jalanNya. Akan tetapi tatkala hendak berangkat, istri dan
anak-anaknya menangis merengek-rengek seraya berkata, “Hendak kemana kamu?”
Akhirnya, sang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam itu pun
luluh dan berniat mengurungkan diri untuk bergabung dengan tentara perang. Maka
Allah menurunkan ayat ini sebagai peringatan.
Adapun tafsir lain yang
semakna akan tetapi dalam kasus yang berbeda, disampaikan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu. Beliau menyatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan orang-orang
beriman yang tinggal di Makkah. Mereka sudah berniat untuk hijrah ke Madinah
bersama Rasulullah dan para sahabatnya, akan tetapi karena anak-anak dan istri
mereka merengek-rengek serta menahan mereka maka niat untuk hijrah itu pun
urung dilaksanakan. Hingga dalam jangka waktu yang lama, mereka pun akhirnya
hijrah. Pada saat mereka hijrah dan sampai di Madinah, para sahabat telah
banyak faham tentang syariat Islam. Syariat Islam telah berkembang semakin
sempurna. Para sahabat yang terlambat berhijrah karena ditahan anak dan istri menyesal,
lalu mereka memarahi anak-anak dan istri-istri mereka serta membencinya. Menanggapi
hal ini, Allah menurunkan FirmanNya, “dan jika kamu memaafkan dan tidak
memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” Para ulama menyatakan, bahwa makna tafsir keduanya benar,
yang satu makna secara khusus pada seorang sahabat nabi dan yang lainnya adalah
makna secara umum kepada seluruh orang yang enggan berhijrah karena menuruti
kemauan dari anak-anak dan istri mereka.
Dalam FirmanNya, Allah
berfirman dengan kata مِنْ hal ini merupakan sebuah
ungkapan dengan makna ‘sebagian dari mereka’. Sehingga tidak semua
anak-anak dan istri-istri menjadi musuh bagi para suami atau ayah. Ada pula
dalam kenyataannya seorang istri justru lebih taat dari suaminya dan suaminya
yang menghalangi ketakwaan istrinya. Begitu pula yang terjadi pada ayah
terhadap anaknya. Akan tetapi, memang tidak jarang istri dan anak-anak menjadi
‘musuh’ bagi sang suami atau sang ayah.
Pertanyaannya, kapan seorang
istri atau anak itu dapat dikatakan menjadi musuh bagi suami atau ayah?
Jawabannya adalah saat mereka
menghambat kita sebagai suami atau ayah itu untuk melakukan ketaatan kepada
Allah. Sebagaimana contoh ashbabu an-nuzul (sebab turunnya ayat/surat
dalam Al-Qur’an) ayat di atas, bahwa mereka menghambat niat baik para suami dan
ayah untuk berperang dan/atau berhijrah karena Allah.
Saat ini kita lihat semakin
banyak fenomena maraknya anak-anak dan istri yang menyeret suaminya ke lembah
kenistaan. Padahal sebelumnya suami atau ayah itu adalah orang yang shalih.
Inilah salah satu bentuk ujian untuk kita yang sebabnya berasal dari anggota
keluarga kita sendiri. Jarang atau sering, akan tetapi hal ini tentu dapat
terjadi di dalam anggota keluarga. Apakah suaminya yang bertakwa dihambat istri
dan/atau anaknya, ataukah istrinya yang bertakwa dihambat suami dan/atau
anaknya, ataukah anak yang bertakwa dihambat oleh ayah dan/atau ibunya.
Semuanya adalah ujian yang disampaikan kepada kita sebagai langkah untuk
membuktikan “manakah yang terbaik amal-amal kita.” Serta menguji kita
tentang cara bersikap dalam menghadapi sebuah problematika sosial. Seorang
suami yang menjadi pemimpin diuji ketegasannya, seorang istri yang harusnya
setia diuji ketaatannya kepada suaminya tatkala menasehati sang suami yang
salah. Begitu anak-anak diuji perilaku baktinya kepada orang tua bagaimana ia
bisa bersikap tatkala orang tua melakukan kesalahan. Ini tidak mudah dan
memerlukan akidah, fikih, adab, serta akhlak yang benar sesuai tuntunan
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya serta
mereka yang mengikutinya.
Akidah adalah keyakinan yang
merupakan landasan utama dalam beragama serta patokan dalam melakukan
persetujuan atau penolakan atas suatu perintah/larangan orang lain. Fikih,
adalah hukum-hukum yang mengatur kita untuk melakukan sikap terbaik saat
melakukan ammar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan yang diajarkan dalam Islam.
Adab, adalah tata cara kita menampilkan sesuatu secara lahiriyah sebagai
tonggak menunjukkan kebenaran dan kebaikan. Sedangkan akhlak, adalah murni dan
bersihnya hati dari keburukan-keburukan yang fatal serta bentuk kelembutan hati
tatkala melakukan ammar ma’ruf nahi munkar di saat kita dihadapkan pada
penghalang-penghalang keimanan.
Maka untuk menghindari potensi
istri-istri dan anak-anak kita menjadi musuh bagi ketakwaan kita padaNya perlu tindakan
prefentif (pencegahan) yang bisa kita lakukan. Yakni:
1. Pra
rumah tangga: Hendaklah kita memilih istri adalah orang yang bertakwa, shalihah
dan juga qona’ah (menerima pemberian Allah dan berusaha untuk mencari
yang lebih baik tanpa menuntut dan mengeluh). Telah dinyatakan oleh Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam bahwa wanita dinikahi karena 4 hal, yakni: kecantikannya,
keturunannya/nasabnya, hartanya dan agamanya. Maka Beliau shalallahu ‘alaihi
wa sallam mengutus kita untuk memprioritaskan wanita yang baik agamanya
untuk keselamatan diri kita di dunia dan akherat.
2. Pasca Rumah
Tangga:
a. Mengajarkan
kepada anak dan istri tentang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam. Mendekatkan mereka dengan Islam dan ilmu (agama Islam).
b. Memerintahkan
untuk bertakwa: Menurut para ulama baik Ibnu Abbas, Fudhail ibnu ‘Iyadh, Ibnu
Rajab, hingga para ulama muta’akhirin menyatakan bahwa takwa tidak
terlepas dari 3 hal, yakni: menjalankan perintah Allah, meninggalkan larangan
Allah, dan menjauhi yang syubhat (hal-hal yang samar dan tidak
dijelaskan rinci dalam agama). Karena dalam hadits yang disampaikan oleh Imam
Nawawi dalam Riyadhus Shalihin dinyatakan bahwa siapa yang meninggalkan syubhat
maka dia telah selamat.
c. Memerintahkan
mereka untuk selalu berdzikir kepada Allah Ta’ala. Karena berdzikir
merupakan benteng yang kokoh dari kejaran setan. Sebagaimana dinyatakan dalam
hadits dan juga atsar sahabat bahwa dzikir merupakan perlindungan bagi hati
dari godaan setan serta penyejuk hati dan sarana untuk mendekatkan diri kita
kepada Allah Ta’ala.
Akhirnya itulah yang bisa saya
sampaikan dalam kajian ilmu yang singkat ini. Apabila ada kebenaran di dalamnya
maka itu adalah hikmah yang besar yang diberikan Allah kepada kita dan juga apa
yang telah disampaikan RasulNya sebagai penyampai kabar gembira dan ilmu yang
indah, serta taman syurga bagi kita di dunia. Dan apabila ada kesalahannya, itu
karena dari diri penulis sendiri dan dari godaan setan yang terkutuk, Allah dan
RasulNya terlepas dari kesalahan-kesalahan yang ada.
Allahu al-musta’an
Malang, 13 Rabi’ul Awwal 1434 / 25 Januari 2013.
@nd.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah