KAJIAN ISLAM DAN KARYA PENA

KAJIAN ISLAM YANG MEMUAT HAL-HAL BERKAITAN TENTANG PENGETAHUAN ISLAM BAIK SADURAN ATAU KARYA ASLI. BAIK HAL AKIDAH, MUAMALAT, FIKIH ATAUPUN TASKIYATUN NUFS (PENYUCIAN HATI)

JUGA KARYA PENA UMUM BERUPA PUISI CERPEN DAN KARANGAN ATAU ILMU PENGETAHUAN UMUM DAN PENELITIAN ILMIAH

Senin, 19 Desember 2011

INDAHNYA AL-QUR'AN

TAFSIR Q.S AR-RAHMAN:2 (DIA YANG MENGAJARKANAL-QUR’AN)

“INDAHNYA AL-QUR’AN”

4 Muharram 1433 / 30 November 2011
oleh Ustad Abdullah Shaleh al-Hadhromi
Masjid Abu Dzar Al-Ghifari, Jl. Soekarno Hatta Kota Malang


Ar-Rahman, adalah Asma Allah yang berdiri sendiri. Sehingga asma ini tidak boleh disematkan kepada makhlukNya, kecuali dengan penambahan Abdu ar-Rahman (Hamba Ar-Rahman). Berbeda apabila Ar-Rahim, karena dalam suatu riwayat Allah Ta’ala menciptakan rahim yang menyambungkan antara ArsyNya dengan manusia, barang siapa yang memutus maka Allah akan memutuskannya, dan barang siapa yang menyambung maka Allah juga akan menyambungnya.

A.      Devinisi Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah Kalam Allah, yaitu Firman Allah Ta’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penutup para nabi. Maka Al-Qur’an ini pun merupakan kitab suci terakhir yang turun dan paling lengkap serta melengkapi kitab suci sebelumnya. Kitab Al-Qur’an adalah paling komplit dan paling sempurna dari semua kitab yang sebelumnya telah diturunkan. Dibuka oleh Surat Al-Faatihah dan ditutup dengan Surat An-Naas.

Al-Qur’an akan dikembalikan oleh Allah Ta’ala dan dijaga langsung olehNya. Berbeda dengan kitab terdahulu yang Allah Ta’ala  menyuruh umat itu sendiri yang menjaga kitab sucinya, namun Al-Qur’an dijaga ketat oleh Allah Ta’ala itu sendiri. Bukti dari dijaganya Al-Qur’an oleh Allah Ta’ala dan dikembalikan kepadaNya adalah, tatkala melalui suatu malam mushaf-mushaf yang ada tulisan Al-Qur’an hilang dan lenyap kecuali hanya kertasnya yang kosong. Begitupula yang di dadanya ada hafalan Al-Qur’annya, maka lewat satu malam Al-Qur’an di dadanya itu akan lenyap dan dilupakan secara penuh. Karena saat itu, Al-Qur’an sudah tidak berfungsi lagi, yang hidup saat itu adalah seburuk-buruk makhluk yang tidak bisa mendapatkan kebaikan dan cahaya. Allah yang menjaga Al-Qur’an dinyatakan oleh Allah dalam Surat Al-Hijr: 9 (yang artinya), “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.

B.      Turunnya Al-Qur’an
Ada tiga ayat dalam surat yang berbeda yang menyatakan bahwa ketiganya terdapat hubungan erat tentang masalah turunnya Al-Qur’an: (1) “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan” (Al-Qadr:1); (2) “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan” (Ad-Dukhan:3); (3) “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…” (Al-Baqarah:185). Ketiga ayat di atas menerangkan bahwa Al-Qur’an turun pada malam Lailatul Qadar, yaitu 10 malam terakhir Bulan Ramadhan.

Terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan Ulama yang menyatakan riwayat turunnya Al-Qur’an. Al-Qur’an yang turun di Bulan Ramadhan turun sebagai berikut: (1) Al-Qur’an turun pertama kali pada Bulan Ramadhan yaitu Surat Al-‘Alaq:1-5 kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam di Gua Hira’; (2) Al-Qur’an turun dengan dua cara, yaitu: (a) bahwa Al-Qur’an turun secara utuh dari Lauh al-Mahfudz ke Bait al-Izzah (langit dunia), hal ini terjadi pada Bulan Ramadhan pada malam Lailatul Qadar. Kemudian, (b) turun secara berangsur-angsur selama 23 tahun dan ayat pertamanya pun turun pada Bulan Ramadhan pada 10 malam terakhir.

Ayat yang pertama turun dalam Al-Qur’an tidak ada khilaf (perbedaan) pendapat, yaitu Al-‘Alaq: 1-5, turunnya surat ini menunjukkan Muhammad Ibn Abdillah Shalallahu ‘alaihi wasallam diangkat menjadi nabi. Setelah itu wahyu terputus, kemudian setelah beberapa lama turun wahyu kembali yaitu Al-Mudatsir:1-5, turunnya ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Shalallau ‘alaihi wasallam diangkat menjadi Rasul/Utusan Allah Ta’ala.

C.      Turunnya Al-Qur’an Berdasarkan Sebab
Berdasarkan sebabnya, Al-Qur’an turun melalui dua cara, yaitu: (1) Ibtida’I (tanpa sebab): yaitu turunnya Al-Qur’an tanpa ada suatu sebab yang melatar belakanginya. Kebanyakan ayat-ayat Al-Qur’an turun dari jenis ini; (2) Sababi : yaitu ayat yang turun dengan sebab yang melatarbelakanginya.


Sebab yang biasa menjadi turunnya ayat Al-Qur’an adalah: (1) karena ada pertanyaan. Biasanya ada ciri khas sebagaimana ayat: (a) “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar” (Al-Baqarah:217); (b) Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran” (Al-Baqarah:222). Akan tetapi ada perkecualian pada Surat Al-Baqarah:186, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” Allah langsung menjawabnya, tanpa memerintahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menjawabnya, ini merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNya;

(2) karena adanya peristiwa yang membutuhkan peringatan. Sebagaimana dalam Surat At-Taubah: 65-66, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.". Ayat ini menjelaskan tentang peristiwa olok-olokan orang-orang munafik terhadap para sahabat nabi, dikatakan bahwa mereka gendut-gendut, berperut buncit dan bodoh serta gampang percaya. Kemudian ada yang mendengarkan, dan ia kemudian melaporkan hal ini kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Pertama kali orang munafik tidak mengaku apabila ia berkata seperti itu, kemduian turunlah ayat ini yang menyatakan tindakan mereka. Mereka masih berdalih bahwa mereka hanyalah bersenda gurau, tapi Allah Ta’ala menyatakan bahwa mereka memperolok agama yang di sisi Allah adalah dosa yang besar.
(3) sebuah perbuatan yang membutuhkan penjelasan hukum. Sebagaimana dalam Q.S Al-Mujaadilah: 1-2, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”. Ini mengkisahkan tentang sahabat perempuan bernama Khaulah mengadu kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tentang suaminya yang telah mengatakan, “Punggungmu seperti punggung ibuku” dengan perasaan bahwa istrinya itu seperti ibunya sehingga ‘haram’ bagi dia. Akan tetapi dia akan menarik kembali ucapannya, dan apa yang harus dilakukan olehnya, maka Allah menjawab di ayat selanjutnya. Apabila seorang suami memanggil istrinya sebutan ‘Ibu’ atau ‘Ummi’ dengan tidak merasa dan berniat bahwa ia seperti ibunya, dan ini hanyalah panggilan maka dibolehkan. Allahu a’lam.


Terdapat pelajaran yang menarik dari pernyataan point (3). Di sinilah Allah Yang Maha Meliputi seluruh suara. Saat itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan Khaulah radhiyallahu ‘anha mengobrol, padahal di sebelahnya ada Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mendengar dengan suara yang tidak jelas, akan tetapi Allah Ta’ala  yang ada di langit ketujuh langsung menurunkan keteranganNya. Hal ini yang menyebabkan beliau langsung berkata, “Segala Puji Allah Yang Meliputi Semua Suara”.

Qaidah yang penting dalam mengambil hukum dari ayat-ayat Sababi adalah, “Yang Menjadi Pelajaran Adalah Keumuman Lafadz, Bukan Kekhususan Sebab

D.      Turunnya Surat Berdasarkan Patokan Hijrah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
Yang disebut Surat Makiyyah, adalah Surat yang turun kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sebelum beliau hijrah ke Madinah. Sedangkan surat Madaniyyah adalah semua surat setelah Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah.

Maka, surat yang turun di Mekah akan tetapi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sudah hijrah ke Madinah, maka hal ini disebut surat Madaniyah. Sebagaimana Q.S Al-Maa’idah:3, “…Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…”.

Dari sisi gaya bahasa perbedaan Makiyah dan Madaniyah adalah: (1) Rata-rata Surat Makiyah pembicaraannya cenderung keras, karena yang dihadapi adalah masyarakat yang sombong, kasar, pembangkang dan keras kepala sehingga layak diperlakukan seperti itu. Sedangkan surat Al-Madaniyah gaya bahasanya halus, nyaman, dan lembut karena mereka rata-rata sudah beriman; (2) Surat Makiyah ayatnya pendek-pendek, suratnya juga pendek-pendek serta to the point. Bila surat al-madaniyah surat dan ayat-ayatnya penjang-panjang serta menjelaskan hukum-hukum, sebagaimana Q.S Al-Baqarah: 282.

Dari sisi materi bahwa: (1) Makiyah sering membahas masalah tauhid dan aqidah, karena orang musyrik intinya adalah mereka tidak mengakui: (a) keesaan Allah; (b) kebangkitan di hari akhir; dan (c) Ar-Risalah/kenabian, mereka tidak mau menerima bahwa utusan itu adalah manusia dan mereka meminta malaikat. Sedangkan Madaniyah berisi tentang perincian-perincian ibadah; (2) Makiyah membicarakan orang-orag kafir. Sedangkan Madaniyah membicarakan tentang orang-orang munafik. Karena di Mekah yang ada hanyalah beriman dan kafir, tetapi di Madinah mulai ada munafik. Karena orang-orang kafir yang melihat kekuatan Islam di Madinah, mereka takkut dan menampakkan kebaikan tetapi batinnya penuh kebencian.

E.      Pengumpulan dan Penulisan Mushaf Al-Qur’an
Terdapat tiga tahapan pengumpulan dan penulisan mushaf Al-Qur’an:
1.     Pada masa hidup Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Mereka lebih mengutamakan hafalan daripada tulisan. Walau ada di antara mereka ada yang menulisnya di kulit binatang, papan kayu, batu ataupun apa yang bisa ditulis. Mengedepankan hafalan adalah andalan saat itu karena: (a) jarangnya orang yang bisa baca-tulis; (b) jarangnya alat-alat tulis yang mendungnya.


2.   Jaman Abu Bakar As-Siddiq radhiyallahu ‘anhu (Tahun 12 Hijriyah): Telah terjadi perang al-Yamamah, yang banyak merenggut korban dari kalangan ahlul Qur’an. Sebagaimana Salim Maula Hudzaifah (SalimPembantu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu), beliau adalah salah satu yang direferensikan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menjadi guru bagi para sahabat dalam mengajarkan Al-Qur’an sepeninggal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Umar ibn Khaththab menyarankan kepada Abu Bakar untuk membukukan Al-Qur’an, awalnya beliau takut apabila hal tersebut termasuk kategori bid’ah, karena di jaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah dilakukan hal demikian. Sampai Abu Bakar pun menyadari bahwa memang Al-Qur’an perlu diselamatkan, maka Abu Bakar menyuruh Zaid ibn Tsabit untuk mengumpulan Al-Qur’an. Lalu beliau mengumpulkan dan mencarinya dari tulisan-tulisan yang terserak dan dari hafalan-hafalan para ahlul Qur’an. Setelah terkumpul lengkap, maka mushaf yang terserak itu diserahkan kepada Abu Bakar dan disimpan olehnya. Sampai jaman Umar ibn Khaththab, kemudian mushaf itu disimpan oleh Umar. Setelah beliau akan wafat, maka mushaf yang terkumpul itu diserahkan kepada Hafshah.

3.       Pada jaman Utsman ibn Affan radhiyallahu ‘anhu (Tahun 25 Hijriyah): Saat itu terjadi perbedaan pendapat tentang versi mushaf Al-Qur’an. Versi mushaf yang diperdebatkan adalah urut-urutan surat dalam Al-Qur’an, serta beberapa tajwid, dialeg bahasa serta susunan bahasa yang ada. Dalam Sahih Bukhari diceritakan:
          “Bahwa waktu Sahabat Hudzaifah Ibn Yaman radhiyallahu ‘anhu menemui sahabat Utsman ibn Affan, setelah berhasil menaklukkan Armenia. Beliau berkata, ‘Wahai Amirul Mu’minin, selamatkan ummat ini sebelum mereka berselisih pendapat sebagaimana Yahudi dan Nasrani berselisih pendapat tentang kitab mereka.’ Lalu Utsman ibn Affan, memerintahkan agar kumpulan mushaf diambil dari Hafshah radhyallahu ‘anha dan disalin. Aslinya dikembalikan kembali kepada Hafshah. Setelah itu mengutus para pakar Al-Qur’an: Zaid ibn Tsabbit, Abdullah ibn Az-Zubair; Mu’idz ibn Ahkam dan lainnya untuk menyusun Al-Qur’an berdasarkan hafalan, dialeg dan susunan bahasa Arab yang sesuai dengan aslinya (perlu diketahui bahwa merekalah yang paling mengenal Al-Qur’an dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam). Semua para sahabat setuju dengan susunan ini dan mereka menyepakatinya sebagai mushaf yang bisa dipertanggungawabkan keasliannya.

F.      Urut-Urutan Al-Qur’an
Ada tiga macam urut-urutan dalam Al-Qur’an:

a.       Susunan kata per kata: contoh ‘Alhamdulillahirobbil ‘alamin’. Ini adalah baku dan tidak dapat diubah karena berdasarkan Nash yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala melalui lisan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

b.       Susunan ayat-ayat Al-Qur’an: ini adalah susunah yang berdasarkan nash dan baku. Seperti urut-urutan Surat Al-Faatihah adalah sebagaimana tertera dalam mushaf.

c.       Urut-Urutan Surat: Sebagaimana urut-urutan Surat yang pertama adalah Al-Faatihah dan yang terakhir adalah An-Naas, adalah berbeda pendapat. Namun beberapa ulama seperti Syaikh Utsaimin rahimahullah ta’ala menyatakan bahwa itu adalah ijtihad para sahabat penyusun mushaf. Hal ini karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pernah membaca Al-Qur’an tidak berurutan dalam hal Surat. Sebagaimana Beliau pernah shalat malam dengan sangat panjang bersama Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. Beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam membaca surat Al-Faatihah, Al-Baqarah, kemudian langsung An-Nisaa’ lalu mundur ke Surat Ali-Imran. Akan tetapi ada yang tidak boleh juga untuk dibalik-balik karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selalu membacanya demikian. Contoh: Surat Al-A’la dengan Al-Ghasiyyah.

Demikian penjelasan dalam tafsir Ar-Rahman yang dapat kami petik dari Kajian Rabo Malam di Masjid Abu Dzar Al-Ghifari. Semoga bermanfaat…

Disusun di
Malang, 18 Muharram 1433 / 14 Desember 2011
@nd. 

nB: Untuk Format PDF dapat didownload di alamat

http://www.ziddu.com/download/17873566/INDAHNYAAl-Quran.pdf.html
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah