TAFSIR Q.S AR-RAHMAN:2 (DIA YANG
MENGAJARKANAL-QUR’AN)
“INDAHNYA AL-QUR’AN”
4 Muharram 1433 / 30 November 2011
oleh Ustad Abdullah Shaleh al-Hadhromi
Masjid Abu Dzar Al-Ghifari, Jl. Soekarno
Hatta Kota Malang
Ar-Rahman, adalah Asma Allah yang berdiri sendiri. Sehingga asma ini tidak
boleh disematkan kepada makhlukNya, kecuali dengan penambahan Abdu ar-Rahman
(Hamba Ar-Rahman). Berbeda apabila Ar-Rahim, karena dalam suatu riwayat Allah Ta’ala menciptakan rahim yang
menyambungkan antara ArsyNya dengan manusia, barang siapa yang memutus maka
Allah akan memutuskannya, dan barang siapa yang menyambung maka Allah juga akan
menyambungnya.
A. Devinisi
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah Kalam Allah, yaitu Firman Allah Ta’ala yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam
sebagai penutup para nabi. Maka Al-Qur’an ini pun merupakan kitab suci terakhir
yang turun dan paling lengkap serta melengkapi kitab suci sebelumnya. Kitab
Al-Qur’an adalah paling komplit dan paling sempurna dari semua kitab yang
sebelumnya telah diturunkan. Dibuka oleh Surat Al-Faatihah dan ditutup dengan
Surat An-Naas.
Al-Qur’an akan dikembalikan oleh Allah Ta’ala dan dijaga langsung olehNya. Berbeda
dengan kitab terdahulu yang Allah Ta’ala menyuruh umat itu
sendiri yang menjaga kitab sucinya, namun Al-Qur’an dijaga ketat oleh Allah Ta’ala itu sendiri. Bukti dari dijaganya
Al-Qur’an oleh Allah Ta’ala dan
dikembalikan kepadaNya adalah, tatkala melalui suatu malam mushaf-mushaf yang
ada tulisan Al-Qur’an hilang dan lenyap kecuali hanya kertasnya yang kosong.
Begitupula yang di dadanya ada hafalan Al-Qur’annya, maka lewat satu malam
Al-Qur’an di dadanya itu akan lenyap dan dilupakan secara penuh. Karena saat
itu, Al-Qur’an sudah tidak berfungsi lagi, yang hidup saat itu adalah
seburuk-buruk makhluk yang tidak bisa mendapatkan kebaikan dan cahaya. Allah
yang menjaga Al-Qur’an dinyatakan oleh Allah dalam Surat Al-Hijr: 9 (yang
artinya), “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
B. Turunnya
Al-Qur’an
Ada tiga ayat dalam surat yang berbeda yang menyatakan bahwa ketiganya
terdapat hubungan erat tentang masalah turunnya Al-Qur’an: (1) “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al
Quran) pada malam kemuliaan” (Al-Qadr:1); (2) “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan
sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan” (Ad-Dukhan:3); (3) “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…” (Al-Baqarah:185). Ketiga ayat
di atas menerangkan bahwa Al-Qur’an turun pada malam Lailatul Qadar, yaitu 10
malam terakhir Bulan Ramadhan.
Terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan Ulama yang menyatakan riwayat
turunnya Al-Qur’an. Al-Qur’an yang turun di Bulan Ramadhan turun sebagai
berikut: (1) Al-Qur’an turun pertama kali pada Bulan Ramadhan yaitu Surat
Al-‘Alaq:1-5 kepada Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam di Gua Hira’; (2) Al-Qur’an turun dengan dua cara, yaitu:
(a) bahwa Al-Qur’an turun secara utuh dari Lauh al-Mahfudz ke Bait al-Izzah
(langit dunia), hal ini terjadi pada Bulan Ramadhan pada malam Lailatul Qadar.
Kemudian, (b) turun secara berangsur-angsur selama 23 tahun dan ayat pertamanya
pun turun pada Bulan Ramadhan pada 10 malam terakhir.
Ayat yang pertama turun dalam Al-Qur’an tidak ada khilaf (perbedaan)
pendapat, yaitu Al-‘Alaq: 1-5, turunnya surat ini menunjukkan Muhammad Ibn
Abdillah Shalallahu ‘alaihi wasallam
diangkat menjadi nabi. Setelah itu wahyu terputus, kemudian setelah beberapa
lama turun wahyu kembali yaitu Al-Mudatsir:1-5, turunnya ayat ini menunjukkan
bahwa Nabi Muhammad Shalallau ‘alaihi
wasallam diangkat menjadi Rasul/Utusan Allah Ta’ala.
C. Turunnya
Al-Qur’an Berdasarkan Sebab
Berdasarkan sebabnya, Al-Qur’an turun melalui dua cara, yaitu: (1) Ibtida’I (tanpa sebab): yaitu turunnya
Al-Qur’an tanpa ada suatu sebab yang melatar belakanginya. Kebanyakan ayat-ayat
Al-Qur’an turun dari jenis ini; (2) Sababi
: yaitu ayat yang turun dengan sebab yang melatarbelakanginya.
Sebab yang biasa menjadi turunnya ayat Al-Qur’an adalah: (1) karena ada
pertanyaan. Biasanya ada ciri khas sebagaimana ayat: (a) “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar” (Al-Baqarah:217); (b) Mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran” (Al-Baqarah:222).
Akan tetapi ada perkecualian pada Surat Al-Baqarah:186, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, bahwasanya
Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia
memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Allah langsung menjawabnya, tanpa memerintahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menjawabnya, ini merupakan bentuk
kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNya;
(2) karena adanya peristiwa yang membutuhkan peringatan. Sebagaimana dalam
Surat At-Taubah: 65-66, “Dan jika kamu
tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka
akan manjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main
saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya
kamu selalu berolok-olok? Tidak usah
kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan
segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan
(yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.".
Ayat ini menjelaskan tentang peristiwa olok-olokan orang-orang munafik terhadap
para sahabat nabi, dikatakan bahwa mereka gendut-gendut, berperut buncit dan
bodoh serta gampang percaya. Kemudian ada yang mendengarkan, dan ia kemudian
melaporkan hal ini kepada Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam. Pertama kali orang munafik tidak mengaku apabila ia
berkata seperti itu, kemduian turunlah ayat ini yang menyatakan tindakan
mereka. Mereka masih berdalih bahwa mereka hanyalah bersenda gurau, tapi Allah Ta’ala menyatakan bahwa mereka
memperolok agama yang di sisi Allah adalah dosa yang besar.
(3) sebuah perbuatan yang membutuhkan penjelasan hukum. Sebagaimana dalam
Q.S Al-Mujaadilah: 1-2, “Sesungguhnya
Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu
tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar
soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya
sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka
tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka
sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”. Ini mengkisahkan tentang sahabat
perempuan bernama Khaulah mengadu kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tentang suaminya yang telah mengatakan,
“Punggungmu seperti punggung ibuku” dengan perasaan bahwa istrinya itu seperti
ibunya sehingga ‘haram’ bagi dia. Akan tetapi dia akan menarik kembali
ucapannya, dan apa yang harus dilakukan olehnya, maka Allah menjawab di ayat
selanjutnya. Apabila seorang suami memanggil istrinya sebutan ‘Ibu’ atau ‘Ummi’
dengan tidak merasa dan berniat bahwa ia seperti ibunya, dan ini hanyalah
panggilan maka dibolehkan. Allahu a’lam.
Terdapat pelajaran yang menarik dari pernyataan point (3). Di sinilah
Allah Yang Maha Meliputi seluruh suara. Saat itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan Khaulah radhiyallahu ‘anha mengobrol, padahal di
sebelahnya ada Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, beliau mendengar dengan suara yang tidak jelas, akan tetapi Allah Ta’ala yang ada di langit ketujuh langsung menurunkan
keteranganNya. Hal ini yang menyebabkan beliau langsung berkata, “Segala Puji
Allah Yang Meliputi Semua Suara”.
Qaidah yang penting dalam mengambil hukum dari ayat-ayat Sababi adalah, “Yang Menjadi Pelajaran Adalah Keumuman
Lafadz, Bukan Kekhususan Sebab”
D. Turunnya Surat
Berdasarkan Patokan Hijrah Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam
Yang disebut Surat Makiyyah, adalah Surat yang turun kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sebelum
beliau hijrah ke Madinah. Sedangkan surat Madaniyyah adalah semua surat setelah
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam
hijrah ke Madinah.
Maka, surat yang turun di Mekah akan tetapi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sudah hijrah
ke Madinah, maka hal ini disebut surat Madaniyah. Sebagaimana Q.S Al-Maa’idah:3,
“…Pada hari ini orang-orang kafir telah
putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada
mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagimu…”.
Dari sisi gaya bahasa perbedaan Makiyah dan Madaniyah adalah: (1)
Rata-rata Surat Makiyah pembicaraannya cenderung keras, karena yang dihadapi
adalah masyarakat yang sombong, kasar, pembangkang dan keras kepala sehingga layak
diperlakukan seperti itu. Sedangkan surat Al-Madaniyah gaya bahasanya halus,
nyaman, dan lembut karena mereka rata-rata sudah beriman; (2) Surat Makiyah ayatnya
pendek-pendek, suratnya juga pendek-pendek serta to the point. Bila surat al-madaniyah surat dan ayat-ayatnya
penjang-panjang serta menjelaskan hukum-hukum, sebagaimana Q.S Al-Baqarah: 282.
Dari sisi materi bahwa: (1) Makiyah sering membahas masalah tauhid dan
aqidah, karena orang musyrik intinya adalah mereka tidak mengakui: (a) keesaan
Allah; (b) kebangkitan di hari akhir; dan (c) Ar-Risalah/kenabian, mereka tidak mau menerima bahwa utusan itu
adalah manusia dan mereka meminta malaikat. Sedangkan Madaniyah berisi tentang
perincian-perincian ibadah; (2) Makiyah membicarakan orang-orag kafir.
Sedangkan Madaniyah membicarakan tentang orang-orang munafik. Karena di Mekah
yang ada hanyalah beriman dan kafir, tetapi di Madinah mulai ada munafik. Karena
orang-orang kafir yang melihat kekuatan Islam di Madinah, mereka takkut dan
menampakkan kebaikan tetapi batinnya penuh kebencian.
E. Pengumpulan dan
Penulisan Mushaf Al-Qur’an
Terdapat tiga tahapan pengumpulan dan penulisan mushaf Al-Qur’an:
1. Pada
masa hidup Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam. Mereka lebih mengutamakan hafalan daripada tulisan. Walau ada di
antara mereka ada yang menulisnya di kulit binatang, papan kayu, batu ataupun
apa yang bisa ditulis. Mengedepankan hafalan adalah andalan saat itu karena:
(a) jarangnya orang yang bisa baca-tulis; (b) jarangnya alat-alat tulis yang
mendungnya.
2. Jaman
Abu Bakar As-Siddiq radhiyallahu ‘anhu
(Tahun 12 Hijriyah): Telah terjadi perang al-Yamamah, yang banyak merenggut
korban dari kalangan ahlul Qur’an. Sebagaimana Salim Maula Hudzaifah
(SalimPembantu Hudzaifah radhiyallahu
‘anhu), beliau adalah salah satu yang direferensikan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam untuk
menjadi guru bagi para sahabat dalam mengajarkan Al-Qur’an sepeninggal
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian Umar ibn Khaththab menyarankan kepada Abu Bakar untuk membukukan
Al-Qur’an, awalnya beliau takut apabila hal tersebut termasuk kategori bid’ah,
karena di jaman Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam tidak pernah dilakukan hal demikian. Sampai Abu Bakar pun
menyadari bahwa memang Al-Qur’an perlu diselamatkan, maka Abu Bakar menyuruh
Zaid ibn Tsabit untuk mengumpulan Al-Qur’an. Lalu beliau mengumpulkan dan
mencarinya dari tulisan-tulisan yang terserak dan dari hafalan-hafalan para
ahlul Qur’an. Setelah terkumpul lengkap, maka mushaf yang terserak itu
diserahkan kepada Abu Bakar dan disimpan olehnya. Sampai jaman Umar ibn
Khaththab, kemudian mushaf itu disimpan oleh Umar. Setelah beliau akan wafat,
maka mushaf yang terkumpul itu diserahkan kepada Hafshah.
3. Pada
jaman Utsman ibn Affan radhiyallahu ‘anhu
(Tahun 25 Hijriyah): Saat itu terjadi perbedaan pendapat tentang versi mushaf
Al-Qur’an. Versi mushaf yang diperdebatkan adalah urut-urutan surat dalam
Al-Qur’an, serta beberapa tajwid, dialeg bahasa serta susunan bahasa yang ada. Dalam
Sahih Bukhari diceritakan:
“Bahwa
waktu Sahabat Hudzaifah Ibn Yaman radhiyallahu
‘anhu menemui sahabat Utsman ibn Affan, setelah berhasil menaklukkan
Armenia. Beliau berkata, ‘Wahai Amirul
Mu’minin, selamatkan ummat ini sebelum mereka berselisih pendapat
sebagaimana Yahudi dan Nasrani berselisih pendapat tentang kitab mereka.’ Lalu
Utsman ibn Affan, memerintahkan agar kumpulan mushaf diambil dari Hafshah radhyallahu ‘anha dan disalin. Aslinya
dikembalikan kembali kepada Hafshah. Setelah itu mengutus para pakar Al-Qur’an:
Zaid ibn Tsabbit, Abdullah ibn Az-Zubair; Mu’idz ibn Ahkam dan lainnya untuk
menyusun Al-Qur’an berdasarkan hafalan, dialeg dan susunan bahasa Arab yang
sesuai dengan aslinya (perlu diketahui bahwa merekalah yang paling mengenal
Al-Qur’an dari Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam). Semua para sahabat setuju dengan susunan ini dan mereka menyepakatinya
sebagai mushaf yang bisa dipertanggungawabkan keasliannya.
F. Urut-Urutan Al-Qur’an
Ada tiga macam
urut-urutan dalam Al-Qur’an:
a. Susunan
kata per kata: contoh ‘Alhamdulillahirobbil
‘alamin’. Ini adalah baku dan tidak dapat diubah karena berdasarkan Nash
yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala
melalui lisan Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam.
b. Susunan
ayat-ayat Al-Qur’an: ini adalah susunah yang berdasarkan nash dan baku. Seperti
urut-urutan Surat Al-Faatihah adalah sebagaimana tertera dalam mushaf.
c. Urut-Urutan
Surat: Sebagaimana urut-urutan Surat yang pertama adalah Al-Faatihah dan yang
terakhir adalah An-Naas, adalah berbeda pendapat. Namun beberapa ulama seperti
Syaikh Utsaimin rahimahullah ta’ala
menyatakan bahwa itu adalah ijtihad para sahabat penyusun mushaf. Hal ini
karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam pernah membaca Al-Qur’an tidak berurutan dalam hal Surat. Sebagaimana
Beliau pernah shalat malam dengan sangat panjang bersama Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. Beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam membaca
surat Al-Faatihah, Al-Baqarah, kemudian langsung An-Nisaa’ lalu mundur ke Surat
Ali-Imran. Akan tetapi ada yang tidak boleh juga untuk dibalik-balik karena
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selalu
membacanya demikian. Contoh: Surat Al-A’la dengan Al-Ghasiyyah.
Demikian penjelasan dalam tafsir Ar-Rahman yang dapat kami
petik dari Kajian Rabo Malam di Masjid Abu Dzar Al-Ghifari. Semoga bermanfaat…
Disusun di
Malang, 18 Muharram 1433 / 14 Desember 2011
@nd.
nB: Untuk Format PDF dapat didownload di alamat
http://www.ziddu.com/download/17873566/INDAHNYAAl-Quran.pdf.html
nB: Untuk Format PDF dapat didownload di alamat
http://www.ziddu.com/download/17873566/INDAHNYAAl-Quran.pdf.html
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah