KEMILAU EKONOMI ISLAM YANG MEMUDAR
DI NEGERI MUSLIM TERBESAR SEDUNIA
Oleh: ARNANDA AJI SAPUTRA
A. Pendahuluan
Segala Puji Bagi Allah, Tuhan Semesta Alam. Semoga shalawat serta salam tetap dicurahkan pada Nabi Muhammad, beserta keluarganya, beserta para sahabatnya juga para nabi yang lainnya dan ummat yang mengikuti mereka dengan setia sesuai dengan petunjuk Ilahi Ta’ala. Amma ba’d.
Sekitar 1432 tahun yang lalu dimana perintah hijrah telah ditetapkan dan kondisi umat Islam telah mendapatkan kemandiriannya, dimulai dengan berdirinya Negara Islam pertama di dunia yang terletak di Kota Madinah An-Nabawiyah. Negeri yang penuh dengan kemakmuran, tata negara yang sistematis, kota yang makmur sejahtera serta penduduknya yang tetap setia kepada pemimpin tertingginya Nabiyullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam memimpin negeri beserta umat Islam di dunia ini dengan landasan wahyu Allah berupa Al-Qur’an dan Hadist dalam semua aspeknya. Termasuk aspek perekonomian yang meliputi banyak hal dalam kehidupan manusia. Beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengambil ‘sistem’ manapun di luar kedua wahyu itu, karena orang-orang beriman telah menetapkan janjinya pada Allah tentang Islam serta syarat-syaratnya secara menyeluruh dan tunduk, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “…mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." (Al-Baqarah: 285). Bukan hanya itu saja, kaum orientalis Barat yang meyakini bahwa Sistem Ekonomi Kapitalis adalah sistem yang baik menyatakan kekagumannya terhadap sistem perekonomian Islam dan syariatnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bernard Sho, “Sesungguhnya aku menyimpan segala penghargaan terhadap agama Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam karena kevitalannya yang menabjubkan. Ia adalah satu-satunya agama yang mempunyai kekuatan hebat karena sesuai dengan jalan hidup yang senantiasa berubah-ubah dan dapat diterapkan di semua masa (Syaikh Muhammad, 1996: 123).
Pernyataan Bernard Sho ini bukan tanpa alasan, karena syariat Islam termasuk juga syariat perekonomiannya memiliki values (nilai-nilai) yang tidak ada pada sistem pereknomian lainnya. Hal itu diungkapkan oleh Prof. Munawar Ismail dalam pendapatnya pada seminar Ekonomi Syariah di Universitas Brawijaya. Nilai-nilai ini sejalan dengan fitrah manusia dan sejalan dengan kemaslahatan kehidupan dunia maupun akhirat bagi seluruh makhluk semesta. Ekonomi Islam berusaha memberikan manfaat dan maslahat kepada semuanya, karena Islam menetapkan bahwa manusia dilarang untuk memakan harta milik manusia lain dengan cara yang batil walau dengan menempuh jalur peradilan dan ia memenangkan perkaranya (Zainal, 2010: 38). Shalah ash-Shawi (2001: 1) menyatakan bahwa kegiatan dunia usaha (perekonomian) dalam Islam memiliki kode etik yang bisa memelihara kejernihan aturan Ilahi, jauh dari sikap serakah dan egoisme, sehingga membuat usaha tersebut sebagai mediator yang saling mengasihi satu sama lainnya.
Sayangnya, sistem ekonomi kapitalisme yang berawal dari sistem kolonialisme pada era perang Salib hingga saat ini telah memberikan peran yang besar terhadap kerusakan perekonomian global. Namun, melalui media masa yang kini telah dikuasai oleh dunia Barat seakan-akan sistem Kapitalisme merupakan sistem yang mampu memberikan solusi atas semua krisis di dunia, padahal kenyataannya krisis itu selalu saja terjadi tanpa henti. Kapitalis seakan-akan menjadi sistem perekonomian yang terbaik dan modern, hal ini tidak lain untuk mewujudkan kebebasan individu/kelompoknya tanpa batas aturan. Apabila terdapat peraturan yang dibuat semata-mata hanya agar tidak merugikan fihaknya dan/atau kelompoknya. Selain itu, pandangan dalam sistem permintaan menurut pendukung Kapitalis adalah lebih merupakan interpretasi uang atas kebutuhan daripada interpretasi kebutuhan mendasar manusia (Baqir ash-Shadr, 2008: 448).
Bila kita melihat Teori Harmoni milik Adam Smith maka kita akan mengetahui bahwa ia menyatakan bila individu ini digerakkan oleh kebaikan individu belaka, maka perekonomian ini akan hancur, dalam ilustrasinya Adam Smith berkata, "Anda membeli daging dan steak adalah bukan dari kebaikan penjual daging atau steak itu, namun mereka menjual adalah untuk membahagiakan dirinya sendiri. Namun bila ia menjual daging yang membahagiakan dirinya itu bisa menggembirakan orang lain, maka akhirnya akan sama-sama tercipta sebuah keharmonisan dalam ekonomi". Pendapat ini merupakan kebingungan Adam Smith, karena pendapatnya yang lain tidak menyatakan demikian dan tidak ada landasan yang kuat untuk mendukung teorinya ini. Teori Harmoni ini kemudian dirusak oleh Richardo dengan teori ekonomi konfliknya yang menyatakan bahwa ekonomi ini isinya adalah konflik, selamanya buruh akan berkonflik dengan tuan tanah. Teori ini dikembangkan lebih lanjut oleh Marx dan berhasil menghancur leburkan Teori Harmoni (Munawar, 2011).
Lebih lanjut Munawar (2011) juga menyatakan bahwa terdapat Teori Kapitalisme yang lebih mengarah kepada keserakahan, yaitu Teori Atomisme, teori ini sebenarnya hanyalah memaksakan kondisi atom secara science pada kondisi sosial-ekonomi. Teori ini menyatakan bahwa, tatkala seseorang itu tidak terikat pada orang yang menguntungkannya, maka ia bebas melakukan apa saja dan bebas memihak kepada siapa saja dan ia bebas bereaksi sesukanya, namun bila ia sudah terikat oleh orang lain, maka ia harus bisa menyerap energi negatifnya agar tercipta kenetralan dengan sikap-sikap yang tunduk dan saling menguntungkan. Beliau mengatakan bahwa hal itu merupakan suatu filsafat yang merusak tatanan perekonomian saat ini.
Manusia yang sifat dasarnya tak kan pernah puas, apabila iman tidak melekat pada hati mereka akan cenderung memilih ekonomi Kapitalisme daripada ekonomi Islam yang sebenarnya memiliki nilai-nilai moral tinggi. Begitu pula tatkala Umat Islam telah dihadapkan pada keinginan akan dunia dan meninggalkan akheratnya, maka ia melihat bahwa sistem Kapitalisme yang mendukung kebebasan akal dan usaha tanpa melihat bagaimana nilai-nilai kemanusiaan, merupakan sistem yang dianggap tepat untuk menumpuk kekayaan mereka.

Bukan tanpa alasan bila saat ini perekonomian internasional terpuruk dengan adanya sistem Kapitalisme. Karena sistem di luar Islam merupakan sistem yang dimurkai Allah Ta’ala dan tak akan pernah bisa abadi di dunia ini dan pasti akan hancur berkeping-keping. Telah dibuktikan bahwa sistem perekonomian yang mendukung masyarakat miskin dengan tangan besinya, yang mereka menamakan sebagai sistem Peradilan/Sosialisme/Sistem Komunisme telah takluk dan runtuh secara terhina. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah thogut, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Al-Baqarah: 257). Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan, bahwa kata-kata Thagut adalah setan yang mencangkup makna luas sebagaimana definisi dari Sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang tak beriman berupa penyembahan kepada selain Allah, memohon bantuan kepada selain Allah, berhukum dengan hukum selain hukum Allah (Ibnu Katsir, 2008: 517). Hal ini termasuk juga sistem perekonomian yang dilandasi dengan akal dan hawa nafsu semata termasuk pula sistem Ekonomi Kapitalis dan Komunis.
Bukan tanpa alasan pula bila orang-orang yang memuja dunia dan yang mencarinya dengan gelap mata akan hangus akhiratnya dan mereka tertipu akan usahanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imran: 185 (yang artinya), “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa orang-orang tak beriman yang berpegang teguh pada sistem perekonomian Komunis dan Kapitalis merupakan orang-orang yang jauh dari ilmu yang sempurna, mereka merasa pintar dan dapat menyelesaikan permasalahan perekonomian di dunia, namun pada hakekatnya mereka justru merusaknya. Allah telah menerangkan dalam Al-Qur’an dalam surat An-Najm ayat 29-30 (yang artinya), “Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”. Begitupula Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam jauh hari telah menerangkan bahwa, “Barang siapa mencintai dunianya, akan menimbulkan kerugian pada akhiratnya. Dan barang siapa mencintai akhiratnya akan menimbulkan kerugian pada dunianya. Maka hendaklah kalian lebih memilih yang kekal dari yang fana” (HR Ahmad, Al-Hakim, Ibnu Hiban dan Al-Baghawi dalam Minhajul Qashidin: 237). Maka kapitalis yang notabene adalah penyembah dunia, mereka dan kawan-kawannya telah merasakan bagaimana ruang sempit gerakan yang dikobarkannya. Mereka benar-benar telah memilih kehidupan dunia yang memperdayakan dan mereka memilih sesuatu yang terkutuk sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dunia ini terkutuk dan terkutuk pula apa yang ada di dalamnya, kecuali apa yang dikarenakan Allah darinya” (HR, Tirmidzi, Ibnu Majjah dan al-Baghawi dalam Minhajul Qashidin: 237).
Maha Benar Allah atas segala firmanNya dan terjadilah apa yang disampaikan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Kini banyak sekali ekonom yang tadinya mendukung Kapitalisme mulai resah dengan sistemnya sendiri, hingga banyak di antara mereka dengan ‘jantan’ mengakui kesalahannya dalam mendoktrinkan kapitalisme di dunia. Dalam seminar TOT yang dilakukan di Universitas Brawijaya pada tanggal 4 Maret 2011 yang lalu, terbukti sistem perekonomian Kapitalis harus mengakui keunggulan perekonomian Islam. Sebagaimana disampaikan oleh pemateri pada seminar TOT yang diadakan di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya pada tanggal 4 Maret 2011 menyatakan bahwa Amerika mem-bailout AIG dan CITI GROUP (dua perbankan Islam) yang dilakukan Presiden USA Barak Obama, hal ini merupakan suatu bentuk kesalahan konstitusi Amerika yang tidak membedakan agama, suku, dan adat istiadat, namun fakta adalah Amerika mem-bailout keduanya. Di Amerika Serikat juga terdapat Bank dengan sistem perekonomian Islam yang dinamakan RFB (Riba Free Bank), tidak dinamakan Islamic Bank karena untuk memudahkan masyarakat umum masuk di dalamnya, lembaga keuangan ini sangat disenangi oleh masyarakat Amerika secara mayoritas karena keamananya dan tidak memberatkan nasabahnya dengan resiko yang besar (Arief, 2011).
Namun di negara-negara Islam, khususnya pembahasan kali ini adalah di Indonesia yang notabene merupakan negeri berpenduduk dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, justru antipati terhadap sistem ekonomi Islam. Alhdamdulillah kini Indonesia mulai membuka matanya terhadap ekonomi Islam, namun pertumbuhannya sangatlah tertinggal dengan negara-negara kapitalis itu sendiri. Bahkan Arief (2011), menyatakan bahwa Bank Islam pertama di Eropa pada era milenium didirikan di Jerman, negeri yang sempat menjadi bahan pembicaraan panas umat sedunia karena Karikatur Nabi Muhammad-nya. Bukan hanya itu, di Asia Tenggara saja, Indoesia sangat tertinggal jauh. Beberapa sistem perekonomian Islam yang urgen kurang diperhatikan oleh negara. Hal ini nampak bila kita bandingkan antara upaya memurnikan sistem perekonomian Islam antara negara-negara seperti Malaysia, Brunei Darusallam, dan Singapura dalam membangun eksistensi Ekonomi Islam di negaranya.
Akhir-akhir ini, di Indonesia berkembang aspirasi untuk mengamandemen UU No. 38/ 1999 dan revisi UU No. 17 tahun 2000 yang sedang dalam pembahasan. Berbagai usulan telah disampaikan agar pembayaran zakat mengurangi kewajiban pajak (tax deductable). Keinginan tersebut sama sekali bukan tanpa dasar. Di negara-negara Amerika dan Eropa, donasi yang dikeluarkan perseorangan atau perusahaan diterima pemerintah sebagai bagian pembayaran pajak. Namun saat ini realisasinya masih saja belum kita lihat ( Septiana, 2008: ekonomi-syariah.com).
Di Singapura dan Malaysia, Zakat yang dibayarkan telah diakui sebagai pengurang pajak. Dengan insentif itu, para muzaki akan berlomba-lomba membayarkan zakatnya kepada lembaga (amil). Didin (2010) menunjukkan data penerimaan zakat dan pajak di Malaysia selama tahun 2001-2006, terlihat bahwa peningkatan zakat ternyata seiring dengan peningkatan pajak. Artinya saat zakat mengurangi pajak, maka penerimaan zakat dan pajak justru meningkat. Selain itu, pemerintah Malaysia secara mengejutkan juga memutuskan untuk memangkas persentase pajak bagi perusahaan. Keputusan ini dikeluarkan pertama kali dalam sembilan tahun terakhir sebagai upaya mendorong investasi sektor korporasi dan mampu bersaing dengan investor asing (Septiana, 2008: ekonomi-syariah.com).
Fenomena sikap apatis di dunia Islam khususnya di Indonesia ini menarik untuk dibahas, sebagi bahan muhasabah bagi kita untuk memperbaiki kesalahan yang ada dan mengembangkan apa yang sudah diterapkan. Maka apa aja yang menjadi penyebab kurang berkembangnya penerapan sistem ekonomi Islam di Indonesia dan apa solusi yang bisa ditarik itulah yang menjadi pembahasan pada artikel ini.
B. Faktor Penyebab Memudarnya Kemilau Ekonomi Islam di Indonesia
B.1 Cinta Dunia pada Sebagian Besar Individunya
Perekonomian Islam yang memudar di Indonesia penyebab utamanya adalah perilaku sebagian besar warga negaranya yang apatis terhadap Islam. Hal ini tampak terang di kota-kota besar, mereka menjunjung tinggi egoisme dan kebebasan tanpa melihat bagaimana saudaranya di belahan wilayah lainnya. Banyak sekali masyarakat yang menumpuk-numpuk harta namun tidak membayarkan zakat kecuali sedikit dari mereka, banyak dari mereka yang mendukung sistem Kapitalisme sebagai sistem yang bisa menguntungkan mereka karena sistem Kapitalisme dapat menumbuhkan ekspresi kebebasan dalam berbisnis tanpa memandang halal dan haram, yang ada adalah boleh dan tidak boleh atas dasar keuntungan dunia semata.
Saya tidak memaparkan fakta-fakta yang sangat banyak tentang masalah cinta dunia ini, karena di lingkungan sekitar pun sangat banyak kita temui. Banyak orang yang berlomba-lomba membangun rumah bertingkat sedangkan orang miskin di pinggiran jalan tetap saja dengan kondisinya yang miskin. Bahkan yang lebih parah banyak dari kita yang mengetahui rekan bisnisnya di belahan dunia Eropa dan Amerika sakit flu dan demam karena berita dari Twitter dan Facebook, namun tetangga di sebelah rumahnya yang sekarat ia tak mengetahuinya.
Perebutan kepemimpinan juga banyak terjadi di Indonesia, sebagaimana banyak kasus di Indonesia mulai orde lama hingga saat ini. Saat mendekati pemilihan presiden banyak sekali kampanye-kampanye calon pemimpin yang menyerukan banyak janji, namun janji itu adalah tetap janji, karena pada hakekatnya mereka tak akan pernah mau menerapkan syariat Islam dalam kepemimpinannya. Padahal tidak ada sistem apapun termasuk sistem perekonomian yang bisa menyelesaikan permaslahan kecuali sistem syariat Islam, sedangkan kepemimpinan itu sangat berat dan kepemimpinan itu bukan merupakan hal yang pantas diperebutkan, dan janji itu adalah hutang yang harus dibayar kepada Allah dan siapa yang ia berjanji kepadanya.
Islam melarang memperebutkan jabatan sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda dengan jalur periwayatan melalui sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya kalian akan berambisi merebut jabatan dan nanti pada hari kiamat akan menjadi penyesalan” (HR. Bukhari diambil dari Kitab Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi). Riwayat yang mengandung hikmah dan keindahan dalam sistem kekuasaan Islam telah dinyatakan oleh Ibnu Qudamah (2007: 165) yang menyatakan bahwa Khalifah Umar Ibn Khaththab radhiyallahu ‘anhu menyatakan, “Andai ada seekor anak kambing di pinggir Sungai Eufrat yang mati karena terlantar, tentu aku merasa khawatir jika sampai aku ditanya tentang nasibnya”, padahal saat itu Umar Ibn Khaththab ada di Madinah dan beliau masih memikirkan hewan yang ada di Iraq. Tapi mana mungkin orang-orang Kapitalis yang tak beriman kepada hari akhir memiliki kekhawatiran seperti yang dikhawatirkan oleh Umar Ibn Khaththab? Itulah unggulnya syariat Islam yang membawa nilai ruhaniah yang kompleks bila dikaji secara mendalam. Ternyata hubungan antara perebutan kekuasaan, perekonomian dengan kekacauan global sangatlah erat, hanya itu tidak dibahas dalam artikel ini.
Menurut salah seorang pendukung Kapitalis yang mendasarkan pendapatnya terhadap Teori Adam Smith, Andre Gunder Frank dalam Philip (2004: 40) menyatakan bahwa bisa saja kekayaan suatu negara itu karena adanya negara lain yang dikorbankan sehingga kini negara yang dikorbankan itu menjadi miskin melalui suatu sistem yang rumit dan kumulatif. Inilah yang dianut oleh sebagian besar pendukung kapitalisme, hingga salah satu pendukungnya mengakuinya dalam sebuah jurnalnya bahwa negara-negara kaya “membunuh” negara-negara lain yang dianggap lemah untuk dijadikan tumbal atas kekayaan mereka, hingga korbannya menjadi miskin. Bahayanya, negara-negara kaya yang membunuhnya memberikan iming-iming dunia yang gemerlap untuk menstimulus si Miskin agar mau terus berhutang demi kelangsungan roda perekonomian yang didasarkan atas sistem riba dan pengerukan keuntungan dari sistem produksi masal yang tak memperhatikan halal dan haram.
Para pasukan-pasukan Barat memberikan iming-iming harta kepada rakyat miskin bukan melalui sistem sedekah atau zakat, tapi melalui sistem motivasi besar kepada si Miskin untuk memperoleh jabatan yang tinggi. Para Kapitalis memberikan dana yang cukup besar bagi pemimpin-pemimpin yang sudi untuk menjalankan program kolonialisme perekonomian, sehingga rakyat berlomba-lomba memperebutkannya. Padahal hakekat kekayaan yang dimiliki seorang pemimpin sangat berat dalam segi tanggung jawab dan sangat tidak nyaman bila dilihat dari sisi kenyamanan hidup. Bahkan bisa jadi orang miskin yang dirinya jauh dari angan-angan dunia sebenarnya kaya raya daripada orang kaya yang memikirkan bagaimana cara menumpuk harta dengan sistem perekonomian yang tidak halal agar hartanya bisa terus bertambah tanpa batas, sebagaimana dinyatakan pula oleh Ibnu Qudamah bahwa orang-orang shalih dari kalangan terdahulu menyatakan, “Andai raja-raja dan para penguasa itu mengetahui hekakat kedamaian kami, niscaya leher-leher kami dipenggal oleh mereka karena mereka iri terhadap hal ini”.
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya),“Sekiranya anak Adam memiliki satu lembah daripada harta, niscaya ia ingin yang kedua dan sekiranya ia mempunyai dua lembah niscaya ia ingin yang ketiga. Tidak akan memenuhi perut anak Adam melainkan tanah dan Allah sentiasa menerima taubat orang yang bertaubat.” (HR. Ahmad). Inilah sifat dasar manusia yaitu memuaskan nafsu, andai iman tidak ditanamkan di hati manusia, maka manusia akan menggunakan akalnya untuk menghalalkan segala cara guna mendapatkan apa yang diinginkannya. Sedangkan Islam mengatur mana yang boleh dan mana yang dilarang, dalam bidang perekonomian hakekatnya adalah mengatur manusia agar tidak memenuhi nafsunya secara berlebihan sehingga kemaslahatan umat tetap terpelihara dengan baik. Sedangkan Kapitalis yang berhukum di luar hukum Allah, ingin memuaskan nafsu perut dan kemaluannya dengan akal dan upaya mereka untuk menghalalkan segala cara. Mereka memandang Ekonomi Islam sebagai penghambat kreasi dan kepuasan, memandang Sistem Ekonomi Islam sebagai sistem yang tidak nyaman untuk keadilan menurut mereka. Silahkan baca Global Political Economy and the Wealth of Nations Performance, Institutions, Problems And Policies Indikator, karya Philip O’Hara tentang makna keadilan yang diambil dari pemikiran Adam Smith dan Keyns, serta tariklah perbandingan antara pendapat mereka tentang keadilan dengan pernyataan Allah tentang keadilan, maka kita akan merasakan bahwa pendapat mereka terdapat banyak pertentangan dan hal tak nyaman di hati, walau ada beberapa di antaranya sesuai, karena hal ini tentu manusia juga memiliki fitrah dasar dalam kehidupannya.
Maka dari itu, pasukan Iblis yang ditugaskan sebagai pasukan perang perekonomian berusaha untuk menanamkan keraguan tentang Ekonomi Islam kepada Umat Islam sendiri, sedangkan kaum Kapitalis mengadopsi sistem Ekonomi Islam lalu mereka samarkan. Analogi dari hal ini adalah sama seperti pencuri sepeda motor yang menyamarkan sepeda curiannya dan mengklaim sepeda curian itu adalah miliknya. Kemudian setelah itu ia memberikan pemahaman kepada sang pemilik asli sepeda tersebut bahwa sepeda motor itu sudah sepantasnya hilang, karena memang sepeda motor itu sudah tidak layak pakai. Jadi Sang Pencuri itu menyarankan kepada pemilik motor untuk membeli sepeda motor yang baru dengan harga cukup mahal di Sang Pencuri itu sendiri, padahal sepeda motor yang dibelinya hakekatnya adalah miliknya sendiri namun sudah dimodifikasi sehingga tampak bagus. Setelah membeli ia merasakan bahwa pemilik sepeda telah ditipu Sang Pencuri, karena sepeda yang dibeli darinya tidak sesuai dengan medan yang ada, hingga tidak beberapa lama rusaklah sepeda itu. Inilah perumpanaan sederhana penulis coba paparkan untuk lebih mudahnya (semoga bisa dipahami).
B.2 Faktor Minimnya Pengetahuan Tentang Sejarah Islam
Faktor kedua yang cukup mempengaruhi memudarnya kemilau Ekonomi Islam adalah minimnya pengetahuan tentang sejarah Islam. Banyak masyarakat tidak mengetahui bahwa dahulu Islam pernah menjadi panutan di dunia dan menjadi kekuatan besar yang mengatur segala kehidupan dunia dengan penuh kesejahteraan.
Pemikiran yang ditanamkan oleh orang-orang kafir ahli dunia, baik dari kalangan Yahudi, Nasrani maupun dari kalangan Musyrikin bahwa Islam adalah agama yang penuh pertumpahan darah. Bila dunia dipimpin dengan menggunakan syariat Islam, yang terjadi adalah banyaknya pertumpahan darah, pedang di mana-mana dan pertempuran adalah fenomena biasa, inilah racun yang ditanamkan oleh para penjajah agama hanya untuk kepentingan dunia yang memihak pada kesenangan individualisme.
Sejarah perjuangan Bangsa Indonesia yang diliputi dengan perjuangan menegakkan agama dan Syariat Islam, justru dikaburkan dengan perjuangan yang hanya melukiskan tentang perebutan tanah warisan yang tidak ada nilainya sama sekali di hadapan Allah kemudian dihadapan para ulama. Lihat saja materi sejarah kebangsaan yang diajarkan mulai dari Sekolah Dasar hingga Menengah Atas, perjuangan Pasukan Diponegoro hanyalah berlatar belakang memperebutkan tanah leluhur, padahal Pangeran Diponegoro adalah seorang yang tangguh dalam menjalankan Syariat Islam. Begitupula latar belakang Perang Padri dan pertempuran yang lainnya. Begitupula gema Takbir ‘Allahu Akbar” Arek-Arek Suroboyo, tak lagi pernah dibanggakan dan dibahas dalam suatu sejarah perjuangan Kebangsaan Indonesia, ceritera-ceritera itu hanya lewat lalu dan berlatar belakang mengusir penjajah saja.
Sejarah perjuangan Islam terhadap kejayaan pemerintahan dan perekonomian telah terbukti dalam catatan-catatan dan kitab-kitab yang tersimpan. Pertempuran-pertempuran fantastis untuk melawan orang-orang yang jahat dan dzalim tidak akan terjadi bila tidak memerlukan dana yang besar. Sedangkan dana yang besar itu tidak akan didapatkan kecuali dengan sistem perekonomian yang baik. Mari kita lihat bagaimana kejayaan Ekonomi Islam pada masa pemerintahan Muhammad al-Fatih rahimahullah dengan metode refleksi atas perjuangan beliau dan pasukannya rahimakumullah dalam menaklukkan Konstantinopel. Kita melihat dengan menggunakan Shadow Method ini merupakan metode pengamatan secara tidak langsung, artinya kita mengamati kehebatan sistem Ekonomi Islam yang saat itu diterapkan oleh Muhamad al-Fatih rahimahullah adalah melalui pengamatan kita terhadap upaya-upaya beliau dan pasukannya dalam menaklukkan Konstantiopel. Keduanya memiliki hubungan, yaitu apabila pertempuran itu memang membutuhkan dana yang sangat besar dan berhasil dengan kesuksesan tanpa ada pemberitaan pailit dalam sistem keuangan, maka tentu sebanding dengan kemantapan perekonomian pada masa itu.
Adalah Sulthan Muhammad II, putera Sulthan Murad II yang melanjutkan penaklukkan Konstantinopel baik dari ayahnya maupun pendahulunya, dalam rangka penaklukan konstantinopel dia berusaha untuk memperkuat kekuatan militer Utsmani dari segi kuantitas hingga mencapai 250.000 personil. Selain membekali pasukan dengan kemampuan tempur dia juga menanamkan semangat Jihad. ia juga memperkuat infrastruktur angkatan bersenjata dan modernisasi peralatan tempur, dengan membangun benteng Romali Hisyar di wilayah selatan Eropa di selat Bosphorus pada sebuah titik yang paling strategis yang berhadapan dengan benteng yang pernah dibangun pendahulunya yaitu Sulthan Bayazid di daratan Asia. Meski sempat dihalangi oleh Kaisar Romawi dengan ganti uang yang akan dibayarkan pada sulthan, Sulthan tetap menolak dengan tegas. Hingga akhirnya selesailah satu benteng yang demikian tinggi dan sangat aman. Tingginya sekitar 82 meter. Beliau juga menyiapkan meriam-meriam yang berukuran sangat besar dalam penaklukan kali ini. Dalam Hal ini, Sulthan membebaskan tawanan insinyur ahli pembuat meriam yang bernama Orban dari penjara Konstantinopel, jadilah Meriam yang sangat besar (meriam Sulthan Muhammad) memiliki bobot puluhan ton dan membutuhkan bantuan lembu untuk menariknya. Selain itu, dalam mempersiapkan penaklukan kota Konstantinopel, Sulthan juga memperkuat armada laut Utsmani mengingat Konstantinopel adalah sebuah kota laut, yang tidak mungkin bisa dikepung kecuali dengan menggunakan armada laut. Disebutkan bahwa kapal perang yang telah dipersiapkan berjumlah 400 unit. Meriam-meriam besar telah digerakkan dari Adrianopel menuju Konstantinopel dalam jangka waktu dua bulan. Pertempuran demi pertempuran telah dilancarkan namun gagal, akan tetapi Sultan Muhammad al-Fatih bersama jenderal-jenderal strategi perangnya menemukan titik lemah yang sangat vatal. Titik lemah ini tidak akan dapat dicapai kecuali dengan armada laut yang dapat menembus pertahanan berbagai lapisan. Namun Sultan Muhammad al-Fatih melakukan ide luar biasa, beliau tidak mau menambah korban lebih besar dengan menembus lapisan pertahanan musuh yang berulang kali gagal. Akhirnya beliau menemukan ide yang cukup besar yaitu memindahkan kapal-kapal perang yang berada di perairan Selat Bosporus ditarik melalui darat untuk menghindari rantai penghalang. Hanya dalam semalam 70-an kapal bisa memasuki wilayah perairan Golden Horn (Tanduk Emas) melalui jalur darat yang memiliki perbukitan yang tinggi dan terjal. Para teknisi menggunakan lembu atau sapi, kuda-kuda untuk menarik kapal dan ribuan pasang gelondongan kayu yang diapit menjadi satu sehingga bagian bawah kapal yang lebih lancip bisa melewati celah antara gelondongan, untuk mempermudahnya kayu-kayu diolesi minyak sehingga licin, susunan kayu-kayu itu membentuk jalur yang menghubungkan 2 laut yang berbeda. Akhirnya pertempuran berjalan dan kemenangan berpihak pada Umat Islam. Selama diperintah oleh Khalifah Islamiyah Otoman di Konstantinopel, rakyat baik Muslim maupun Nonmuslim merasakan indahnya Islam dan kesejahteraan perekonomiannya. Namun imperialisme dengan berbagai cara meruntuhkan Kekhalifahan Islam pada tahun 1924 yang dimotori oleh Musthafa Kemal Pasha (semoga Allah melaknatnya), hingga Turki menjadi negara Sekuleris (Alfian, 2011).
Bila kita lihat sejarah penaklukan Konstantinopel, betapa besar dana yang dikucurkan dan betapa hebat strategi yang dilakukan. Ini tidak dapat dicapai tanpa sistem ekonomi yang hebat pula. Bercermin pada masa itu, kemudian kita melihat fakta saat ini, maka apakah yang dapat kita tarik dengan dunia Islam saat ini tatkala hampir semua negara Islam mengekor sistem kapitalis? Kini kekacauan ada di mana-mana, kekuatan Kaum Muslimin lemah dan sangat lemah kecuali di beberapa negara saja, itu pun tidak diupload media. Kaum Muslimin tidak memiliki media untuk propaganda, tidak memiliki senjata canggih untuk mengimbangi mereka. Palestina di Jalur Gaza maupun Tepi Barat ditindas Zionis, akan tetapi tidak dapat membela kecuali dengan ketapel dan lemparan batu karena kekurangan dana. Bahkan negara Kerajaan Arab Saudi pun telah melakukan kontrak kerjasama dengan negara-negara Barat yang mana tidak berkutik menghadapi Zionis penjajah Palestina. Apalagi Indonesia, semenjak krisis tahun 1997 hingga tahun 2011 tidak pula kunjung membaik, pengangguran bergelar kesarjanaan banyak sekali, kecurangan dalam hal keuangan publik tidak menjadi rahasia lagi. Dunia mejadi tujuan utama, karena memang itulah filosofi Kapitalis yang dikembangkan oleh ahli dunia dengan tokoh-tokohnya seperti Adam Smith, Marxis, hingga bangsa Timur seperti jepang yang bernama Yosinaga, O’Hara dan sebagainya. Anehnya teori mereka banyak dipuja dan ada juga yang menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang agamis, padahal dunia adalah tujuan utama mereka.
Belum lagi kita lihat sejarah perekonomian Umar Ibn Khaththab dan Umar ibn Abdul ‘Aziz, dimana keduanya terkenal akan kejayaan pemerintahannya dan perekonomiannya. Hingga tatkala zakat dibagikan, mayoritas manusia menolak karena mereka telah dapat mencukupi dirinya dengan banyaknya harta benda. Iman telah menghujam dalam hati mereka, begitupula mereka tidak ragu untuk menjalankan syariat agama Allah Ta’ala, hingga Allah menurunkan kesejahteraan dan kedamaian di hati mereka. Padahal jaman Umar Ibn Khathtab masih ada dua sistem perekonomian yang sangat besar dan menggurita, persis seperti kita saat ini, sistem perekonomian itu adalah sistem perekonomian Romawi dan Persia. Namun Sistem Perekonomian Persia pada jaman Umar Ibn Khaththab dapat dikalahkan dan ditumbangkan, hingga Kaum Muslimin mendapatkan banyak sekali ghanimah dari harta Persia yang sangat fantastis.
Bila kita melihat refleksi sejarah masa lampau, banyak para pakar ilmu ekonomi saat ini yang bergelar Profesor dan Doktor menyatakan, “Itu adalah masa lampau dan bukan masa kini dengan kecanggihan teknologi”. Benar kata mereka, namun coba kita bermain logika saja, saat itu tidak ada Pesawat, Mobil pun tidak ada dan yang ada hanyalah kuda, sapi dan onta. Saat itu telepon tidak ada, apalagi hand phone, yang ada hanyalah merpati pos dan kurir pengantar surat. Saat itu tidak ada FB, apalagi Teleconfrence, yang ada adalah perjalanan berhari-hari guna melakukan majelis musyawarah umum di masjid jami’ milik negara. Bila kita bandingkan dengan masa lalu, harusnya kita saat ini bisa lebih mudah dalam menjalankan syariat dan menguasai perekonomian dunia. Harusnya kesejahteraan bisa lebih kita nikmati daripada masa Umar Ibn Ktahthab maupun Umar bin Abdul ‘Aziz atau Muhammad al-Fatih rahimakumullah ajma'in. Tapi ternyata, faktanya bukanlah demikian. Maka canggih mana antara jaman mereka rahimahumullah dengan jaman kita saat ini?
B.3 Awamnya Umat Islam Indonesia Terhadap Syariat Islam dan Pahamnya Mereka Terhadap Sistem Kapitalis
Seorang profesor berkata pada para mahasiswanya dalam suatu mata kuliah yang menyatakan bahwa Sistem Ekonomi Islam tidak akan sempurna bila dalam pemaparannya tidak merujuk pula pada sistem ekonomi konvensional. Mungkin di suatu sisi bertujuan untuk membangun sebuah kekuatan untuk memaparkan kabaikan-kebaikan ekonomi Islam di hadapan ekonom nonmuslim dengan harapan agar mereka mau dan mampu bergerak menggunakan sistem Ekonomi Islam. Akan tetapi di sisi lain, kita perlu untuk memantapkan diri dahulu sebelum mempelajari ilmu perbandingan karena ilmu perbandingan akan sempurna bila dasar-dasar yang kita miliki matang dan kuat. Sayangnya beberapa universitas yang mengayomi Fakultas Ekonomi di Indonesia merujuk teori-teori Ekonomi Islam dari falsafah ekonomi konvensional.
Kita lihat beberapa contoh janggal yang sangat tampak bahwa beberapa kaidah Ekonomi Islam yang dinyatakan penulis berasal dari dasar-dasar kaidah Ekonomi Konvensional yang ‘dipaksakan’ ke ranah Ekonomi Islam, sehingga tidak tampak beda antara Ekonomi Islam dengan Ekonomi Konvensional. Sebagaimana buku yang ditulis oleh Munrokhim, dkk (2011: 135) dituliskan bahwa ciri khas Ekonomi Islam adalah terdapat unsur Maslahah, dimana merupakan gabungan dari manfaat dan berkah, sehingga dapat dirumuskan M=F+B. Munrokhim (2011: 149) juga menuliskan bagaimana cara menghitung Mashlahah Marginal, beliau memaparkan sebuah tabel yang menunjukkan ilustrasi Frekuensi Kegiatan, Manfaat fisik, Pahala per Unit, Total Pahala Mashlahah dan Mashlahah Marginal, dimana semua dikuantitatifkan menjadi ilustrasi angka-angka. Sehingga kita dapat temui rumus perhitungan antara Mashlahah dan pahala sebagai berikut M = F(1+β1p)Γγ.
Ilustrasi yang dibuat dalam buku itu merupakan pemaksaan ke arah visualisasi konvensionalis. Padahal kita ketahui bahwa pahala bukanlah sesuatu yang bisa dihitung. Pahala merupakan hal ghaib yang hanya Allah Yang Maha Mengetahuinya. Hitung-hitungan pahala bisa menyebabkan orang ujub dan takabur, serta ceroboh dalam melakukan ketaatan walaupun itu dalam transaksi dan jual beli. Untuk itulah para cendekiawan Muslim bidang ekonomi seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Thaimiyah dan lainnya tidak pernah membuat suatu kurva ataupun pehitungan matematis yang membahas permasalahan yang tidak bisa dipikirkan manusia, termasuk tentang segi kuantitatif pahala dan mashlahah. Hal ini mengacu pada firman Allah Ta’ala yang artinya, “…Karena itu janganlah kamu berdebat tentang hal mereka, kecuali perdebatan lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun di antara mereka” (Al-Kahfi: 22). Begitupula dalam Surat Al-Jin: 26, Allah berfirman (yang artinya), “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu”, maka satu kaidah besar telah dilanggar dalam materi Ekonomi Islam yang dimasukkan ke ranah pendidikan tinggi. Sehingga inilah, mengapa Ekonomi Islam tidak bisa berkembang, karena masih saja menetek pada Ekonomi Konvensional yang dikira ibu dari semua ibu sistem perekonomian.
Ada pula yang menyatakan bahwa Ekonomi Islam adalah normatif dan tidak bisa dibuktikan dengan riil, terlebih dalam hal aplikasi di lapangan karena belum ada contohnya. Ini merupakan suatu kelemahan mental dari Cendekiawan Muslim bidang Ekonomi. Mereka menunggu siapa yang terlebih dahulu bergerak maju untuk menerapkan teori ke dalam ranah lapangan. Apabila seseorang tidak mencoba mengaplikasikannya, maka tidak akan ada contoh yang baik dalam realitasnya. Kesalahan awal bisa diperbaiki melalui beberapa muhasabah dan penggalian ilmu lebih mendalam. Sebagaimana telah dilakukan oleh salah satu Bank Syariah di Indonesia yang telah melakukan dobrakan dengan membangun sistem perbankan syariah pertama di Indonesia, walaupun di dalamnya masih perlu diperhatikan pula masalah kehati-hatiannya dalam melakukan transaksi dan sistem perbankan syariahnya namun perannya sangat dibutuhkan oleh Kaum Muslimin maupun Nonmuslim yang membutuhkan keamanan dana dari segi dunia dan akherat. Berawal dari sinilah muncul bank-bank syariah lain yang mengikutinya, namun sayang mereka kebanyakan berkedok ingin mencari keuntungan secara konvensional dengan mengaburkan sistem dan penamaan Islami dengan hanya menamakan sistem transaksi konvensional dan dengan nama-nama Arab. Sebagaimana contoh Leasing dinamakan Ijarah namun dengan melalui pihak ketiga yang mem-back up proses Leasing itu, hal ini diterapkan pula kepada lembaga-lembaga seperti KPR dan lain-lain. Selain itu hutang, oleh mayoritas Bank Syariah dinamakan Mudharabah atau Musyarakah dengan beberapa perbedaannya. Dalam diskusi dengan seorang pegawai salah satu Bank Syariah, penulis menanyakan bagaimana bila hutang itu untuk membangun rumah? Ia menjawab bahwa hutang itu bisa dengan akad Mudharabah, karena rumah juga bisa dibuat investasi seperti kos-kosan dan penginapan, bila tidak seperti itu pada hakekatnya penghuni rumah juga melakukan usaha dan rumah itu sebagai salah satu fasilitasnya yaitu tempat berteduh sang pengusaha. Ini merupakan salah satu bentuk pengkaburan Syariat Ekonomi Islam (terlepas dari tau atau tidaknya petugas bank syariah itu), padahal Mudharabah adalah dana kerjasama usaha dan bukan termasuk kategori hutang. Maka dari itu sebenarnya Bank Syariah harus memiliki dana Ghardul Hasan (dana khusus untuk hutang masyarakat yang membutuhkan) dalam membangun tatanan perbankan Islamiyah yang baik. Lebih lengkapnya, Insya Allah akan dibahas dalam papper selanjutnya.
B.4 Jauhnya Kaum Intelektual dan Para Ulama
Dari Abdullah ibn ‘Amru mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengangkat ilmu dari manusia setelah Ia berikan kepada mereka. Akan tetapi Allah akan mengambil para ulama, maka setiap orang ‘alim pergi, akan pergi pula ilmu yang ia miliki. Hingga di dunia ini hanya tersisa orang-orang bodoh, dan manusia akan mengambil pemimpin yang bodoh. Jika mereka dimintai fatwa, mereka memberikan keputusan dengan tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan” (Hadist Riwayat Ahmad dari lidwa.com).
Segala Puji bagi Allah Ta’ala saat ini masih banyak para ulama, namun sayangnya saat ini kata-kata ‘ulama’ telah mengalami peyorasi/penyempitan makna. Dahulu ulama berarti orang-orang yang berilmu, siapapun orang yang berilmu baik itu ilmu agama, sosial maupun eksak dikatakan ulama. Mereka dikatakan ulama karena ilmu mereka adalah benar-benar berdasarkan landasan wahyu yaitu Al-Qur’an dan Sunnah kemudian dipahami dengan pemahaman para ulama-ulama sebelumnya. Cendekiawan Muslim yang sukses mengembangkan pengetahuannya di bidang ekonomi sangatlah banyak, wilayah kenegaraan Islam yang begitu luas diterapkan Syariat Islam, sehingga makmur, aman dan sejahtera.
Namun sekarang, makna ulama telah dipersempit hanya dengan makna orang yang paham ilmu agama saja, sedangkan mereka yang memahami ilmu dunia, yang memahami teori-teori ilmiah yang berlandasakan logika dinamakan ilmuwan atau intelektual. Penyempitan makna ini bukan tidak berdampak apa-apa, bahkan dampaknya besar bagi kelangsungan kehidupan umat manusia khususnya Kaum Muslimin. Hal yang paling tampak dari dampak penyempitan makna ini adalah terpecahnya pemikiran kaum muslimin akan ilmu agama dan ilmu dunia, ini merupakan suatu pengaruh paham sekuleris, yang memisahkan antara agama dan dunia. Padahal ilmu dunia itu pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dengan ilmu agama, karena agama ini mengatur segala kehidupan di dunia.
Begitupula dengan Ilmu Ekonomi Islam di Indonesia saat ini. Telah menjadi suatu yang patut kita syukuri bahwa beberapa Universitas di Indonesia baik negeri maupun swasta telah berani membuka program studi bahkan jurusan Ilmu Ekonomi Islam. Namun sangat disayangkan, ternyata banyak dari Intelektual Ekonomi Islam mengajarkan teori-teori Ekonomi Islam dari dasar ekonomi konvensional yang dipadukan dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, itu pun dengan beberapa penafsiran yang ditafsirkan oleh beberapa cendekiawan yang kredibilitasnya adalah berpaham liberal, atau bahkan berpaham Syiah (lihat buku 'Iqtishoduna' karya Baqir As-Sadr). Kitab-kitab itu dalam beberapa fikih adalah sama dengan fikih ahlu sunnah, namun dari segi penjelasan dan pemaparan cerita sangat bertentangan dengan ahlu sunnah. Lihat saja bagaimana kisah-kisah di dalam kitab Iqtishaduna yang banyak memaparkan cerita berhaluan Syiah dalam memaparkan ceritera yang berkaitan dengan sejarah kekhalifahan mereka tentang Perekonomian Islam, namun kitab ini merupakan rujukan dasar para Mahasiswa Ekonomi Islam dari jalur pendidikan formal, mereka menilai kitab-kitab yang ditulis itu mudah dipahami karena berawal dari fakta yang ada (fakta itu telah diterapkan pada Republik Islam Iran).
Sedangkan para ulama yang mereka menekuni bidang Al-Qur’an dan Hadist, mereka memahami teori Ekonomi Islam berawal dari Al-Qur’an dan Hadist yang dipahami oleh para ulama shalih terdahulu. Mereka benar-benar menjalankan syariat berdasarkan tata aturan agama dan benar-benar berlandaskan kaidah-kaidah dasar, kecuali bila memang ada perkembangan jaman maka sidang para ulama ahlu sunnah dilakukan dan keputusannya pun berdasarkan kehati-hatian. Mereka tidak mengenal ekonomi konvensional, mereka tidak mengenal grafik Marginal Utilities dan perhitungan-perhitungan yang kemudian digambarkan sebagai kurva-kurva ilustrasi metematis dengan memvisualisasikan hal yang ghaib, namun mereka berdasarkan iman dan sami’na wa atho’na.

Tatkala pembahasan yang dilakukan adalah merujuk pada refleksi jaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang shalih terdahulu (para sahabat dan murid-murid para sahabat radhiyallahu 'anhumma ajma'in) banyak dari kaum intelektual menyatakan bahwa hal itu merupakan teori dahulu kala dan berbeda dengan teori yang saat ini berkembang. Landasan yang kita pakai adalah Al-Qur’an dan Hadist, namun kurang bisa memberikan solusi bila tidak pula dipaparkan suatu bentuk sistem ekonomi konvensional. Ini merupakan pesimistis yang sangat disayangkan. Ekonomi konvensional boleh kita pelajari hanya untuk menambah wawasan dan justru kita tutup dengan kesempurnaan Ekonomi Islam, bukan sebaliknya. Maka bila keyakinan kita seperti itu, berarti kita kurang yakin bahwa Al-Qur’an dan Sunnah itu belum sempurna, ini merupakan pemahaman yang menjerumuskan kaum muslimin itu sendiri.
Pada sisi yang lain, sebagian para ulama juga tidak memahami kondisi yang terjadi saat ini. Mereka memahami teori-teori Ekonomi Islam dan kaidah-kaidahnya berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, namun mereka kurang begitu paham dengan permasalahan ekonomi yang berkembang saat ini. Sehingga untuk memperbaiki kondisi saat ini dan untuk memberikan solusi yang taktis sangat susah. Sebagimana contoh yang pernah penulis saksikan sendiri bahwa ada seseorang yang menannyakan tentang Bank Syariah saat ini, para ulama saat ini hanya menyatakan di dalamnya terdapat suatu hal yang tidak murni syariah, namun tidak bisa menjelaskan mekanismenya secara detail sehingga ditemukan mana kelemahannya. Sebagian ulama itu hanya mendengar dari temannya dan dari temannya, sedangkan para intelektual memahami bahwa bank syariah sudah menerapkan dasar-dasar syariah, hanya karena sistem perbankan konvensional saat ini tidak bisa dilepaskan dengan sistem perbankan syriah, maka diterapkanlah sistem syariah yang bisa dikompromikan untuk mendapatkan sebuah profit.
Maka kondisi yang seharusnya dilakukan adalah adanya persatuan para ulama dengan intelektual ekonomi. Intelektual ekonomi harusnya menyadari bahwa Al-Qur’an dan Sunnah itulah rujukan yang mendasar, kemudian dengan memahami ekonomi konvensional, sistem itu bisa dirobohkan dan dibangun dengan sistem ekonomi syariah yang murni. Semua yang tidak diharamkan syariat dari konvensional dapat diambil dan semua yang diharamkan dibuang tanpa terkecuali baik itu merubah namanya atau menambal sistemnya. Seyogyanya para intelektual Ekonomi Islam tidak sungkan untuk belajar landasan-landasan Perekonomian Islam dari para ulama Ahli Al-Qur’an dan Hadist, sehingga mereka bisa mengembangkan ilmu perekonomian dari akar yang kuat dan kokoh serta benar. Ini hanyalah harapan dan insya Allah bisa dikembangkan bila ada kepedulian dan kesadaran di antara kita. Apabila terdapat kesalaha penulis memohon maaf, dan kebenaran hanyalah milik Allah semata. Alhamdulillah, Allahu a’lam
nB: Bila ada dari pembaca yang akan mendiskusikan hal ini dipersilahkan….?
Referensi:
Al-Qur’an.
Alfian Kusuma N. 2011. Muhammad Al-Fatih Sang Penakhluk Konstantinopel. Notes Facebook tertanggal 16 Februari 2011. http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150090427388842.
Arief Hutoro. 2011. History of Islamic Economic Thought. Training of Trainer Ekonomi Islam di Pusat Pengembangan Akuntansi Universitas Brawijaya. Tanggal 3 Maret 2011.
Didin Hafidhuddin. 2010. Tujuan Zakat dan Pajak Itu Sama. Kompas elektronik tanggal 10 Juni 2010. (Online), http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/933/Tentang.Zakat, didownload pada tanggal 15 Maret 2011, pukul 19:55.
Baqir ash-Sadr. 2008. Buku Induk Ekonomi Islam (Iqtishaduna). Jakarta: Zahra.
Ibnu Katsir. 2008. Tafsir Ibnu Katsir Jilid I. Diterjemahkan oleh Abdul Ghofar. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.
Ibnu Qudamah. 2007. Minhajul Qashidin. Diterjemahkan oleh Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Imam Nawawi. 2006. Riyadhus Shalihin. Diterjemahkan oleh Agus Hasan Bashori al-Sanuwi, Lc., M.Ag dan Muhamad Syu’aib al-Faiz al-Sanuwi, Lc. Surabaya: Darul Ilmu.
Lidwa. Kumpulan Hadist Sembilan Imam. Lidwa Pusaka, Kitab Hadist Elektronik. http://lidwa.com/app/.
Munawar Ismail. Training of Theory Syaria Economic. Universitas Brawijaya 4 Maret 2011. Malang.
---------------. Teori Ekonomi Zakat. Seminar Kuliah. Malang. 12 April 2011.
Philip Anthony O’hara. 2004. Global Political Economy and the Wealth of Nations Performance, institutions, problems and policies. London: Taylor & Francis e-Library.
Salah ash-Shawi. 2001. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq.
Septiana Ambarwati. 2008. Kuliah Umum Ekonomi Syariah. Jurnal elektronik ekonomi-syariah copyright © 2008. ekonomi-syariah.com, didownload pada 2 Maret 2011 pukul 11:32.
Syaikh Muhammad Ibn Jameel Zeeno. Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat. Diterjemahkan oleh Dr. Abdul Muheeth Abdul Fatah. Departemen Agama, Wakaf,Dakwah dan Bimbinan Islam Kerajaan Saudi Arabia.
Zainal Abidin. 2010. Langkah Emas Pengusaha Muslim. Jakarta: Al-Manar.
Ditulis di
Malang, 12 April 2011 pukul 14:56
@nd.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berdiskusi...Tangan Kami Terbuka Insya Allah